Jumat, 22 Agustus 2008

Agraria

Agraria merupakan salah satu konsep yang penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namu demikian, konsep ini masih diliputi oleh berbagai ketidaksepahaman di antara para ahlinya. Ketidaksepahaman tersebut sedikit banyak menyumbang pula kepada terhambatnya implementasi konsep tersebut, khususnya di Indonesia.
Secara etimologi, agraria berasal dari bahasa Latin “ager” [1] yang berarti (a) lapangan (b) pedusunan, sebagai lawan dari perkotaan, dan (c) wilayah; tanah negara. Kata lain yang dekat adalah “agger”, yang artinya adalah (a) tanggul penahan/pelindung, (b) pematang, (c) tanggul sungai, (d) jalan tambak, (e) reruntuhan tanah, dan (f) bukit. Dari pengertian ini, tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “pedusunan”, “bukit” dan “wilayah’ jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di “pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia[2].
Pengertian ini sesungguhnya sudah berupaya diadopsi dalam produk-produk hukum di Indonesia, walaupun sebagian besar orang beranggapan bahwa agraria hanya berkaitan dengan masalah “tanah”. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa agraria adalah “seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ....”. Selanjutnya, dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, juga dinyatakan bahwa agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jelas, bahwa agraria tidaklah semata-mata tanah. Juga bukan semata-mata masalah fisik, karena ada aspek sosial, ekonomi, dan politik di dalamnya.
Salah satu aspek penting dalam agraria adalah tentang “pemilikan” dan “penguasaan” [3]. Pemilikan merupakan status hukum antara seseorang dengan sebidang tanah, sedangkan penguasaan lebih kepada aspek ekonomi yaitu akses pemanfaatan seseorang terhadap sebidang tanah. Namun, ada yang membedakannya menjadi:  pemilikan merupakan penguasaan formal, sedangkan penguasaan merupakan penguasaan efektif. Konsep ini dikembangkan dari “land tenure”  dan “land tenancy”.
“Tenure” berasal dari Bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti “memelihara”, “memegang”, dan “memiliki”. Maka, land tenure adalah hak atas tanah atau penguasaan tanah, atau tepatnya tentang status hukum dari penguasaan tanah (hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan juga kedudukan buruh tani). Saementara, land tenancy lebih kepada pendekatan eknomi, yaitu menyangkut tentang penggarapan tanah[4].
Pemikiran yang berkembang di tingkat dunia selama ini telah menyepakati, bahwa negara-negara berkembang sudah saatnya melaksanakan kebijakan pembaruan agraria secara sungguh-sungguh.  Asumsi dasar yang melandasinya adalah, karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil merupakan instrumen yang esensial untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan terutama di pedesaan. Pemikiran ini sudah muncul semenjak Konferensi oleh FAO yang bertajuk “World Conference on Agrarian Reform and Rural Development” tahun 1979. Dalam pertemuan ini, pembaruan agraria merupakan hal yang mendesak dan dilabeli status: “keharusan”. 
Dalam konteks agraria, dua konsep penting yang paling sering menjadi perhatian adalah “Reforma Agraria”  dan “landreform”. “Reforma agraria”, atau pembaruan agraria, berasal dari kata “agrarian reform”. Dalam salah satu tulisannya, Wiradi[5] menyatakan: ”Ada yang mengatakan bahwa land reform adalah sebagian dari agrarian reform, ada yang mengatakan sebaliknya, dan ada yang berpendapat bahwa kedua istilah itu sama saja”. Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi, dimana redistribusi tanah tidak diutamakan. Namun dapat pula dengan menitikberatkan kepada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, dengan sasaran utama adalah redistribusi tanah.
Di Indonesia, tampaknya yang dianut adalah bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform. Artinya, landreform dipakai untuk sekitar redistribusi tanah, sedangkan agrarian reform kepada pengertian yang lebih luas dan komprehensif, menyangkut berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian[6].
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point yang ditulis tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama bicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya.
Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring dalam pembaruan agraria. Namun sayangnya, sebagian besar pihak hanya tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform.
Dari berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. Landreform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian “soil”, yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria - atau pembaruan agraria - tidaklah semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain, sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan sekumpulan aktifitas bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya.
Struktur permasalahan agraria di Indonesia, serta apa yang dapat dilakukan pada masing-masing aspek tersebut disajikan pada tabel berikut.

Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya
Masalah yang dihadapi saat ini
Aktifitas Pembaruan Agraria yang relevan

Aspek Landreform

Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan adat), tekanan demografis,   kondisi ekonomi (mis. lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain.


o  Konflik penguasaan dan  pemilikan  secara vertikal dan horizontal
o  Inkosistensi hukum (antara UUPA dan “turunannya”)
o  Ketimpangan penguasaan dan pemilikan
o  Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis
o  Ketidaklengkapan dan inkosistensi data
o   

o  Penetapan objek tanah landreform
o  Penetapan petani penerima
o  Penetapan harga tanah dan cara pembayaran
o  Pendistribusian tanah kepada penerima
o  Perbaikan penguasaan, (mis. perbaikan sistem penyakapan)
o  Penertiban tanah guntay (absentee)

Aspek Non-Landreform

Dibentuk oleh faktor geografi, topografi,  kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global,   tekanan demografis,   ketersediaan teknologi,  ketersediaan kredit,     keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain


o  Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis
o  Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal
o  Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah
o   

o  Berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah
o  Pembangunan infrastruktur
o  Peningkatan produktifitas tanah
o  Perbaikan sistem pajak tanah
o  Pemberian kredit usahatani
o  Penyuluhan dan penelitian
o  Penyediaan pasar pertanian
o  Pengembangan keorganisasian petani


Salah satu bentuk kegiatan dalam reforma agraria adalah “konsolidasi tanah”.  Secara umum, konsolidasi tanah adalah penguatan nilai dan fungsi tanah sebagai hasil penataan bentuk, luas, dan letak dari banyak bidang tanah dari banyak pemilik pada satu lokasi, sehingga menjadi tertib dan teratur yang mendukung pemanfaatan tanah secara efektif dan efisien sesuai potensinya. Dalam kegiatan ini juga dilengkapi dengan barbagai prasarana, sarana, dan fasilitas. Konsolidasi tanah di wilayah perkotaan lebih ditujukan kepada penataan pemukiman, lokasi perniagaan, dan untuk tranportasi; sedangkan untuk wilayah pedesaan berisi tentang dimana lokasi pertanian, perkebunan, areal untuk konservasi sumber daya alam, dan lain-lain. Konsep tentang konsolidasi tanah dalam arti luas misalnya diadopsi menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada wilayah propinsi maupun kabupaten dan kota.
Pertanian merupakan aktifitas paling pokok yang berkaitan dengan agraria[7]. Dalam konteks pembangunan pedesaan dan pertanian, maka persoalan tentang tanah merupakan masalah pokok agraria. Ada empat permasalahan agraria di Indonesia secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-perundangan, penguasaan yang timpang, konflik penguasaan dan penggunaan [8], serta degradasi sumber daya alam [9]. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik penguasaan, lahan kritis dan marjinal, tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan  semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan antar petani.
Pembangunan pertanian di Indonesia, yang diwujudkan dalam payung Revolusi Hijau, adalah sebuah strategi pembangunan pertanian tanpa landreform. Dalam Revolusi Hijau hanya dibicarakan tentang “penggunaan dan pengmanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.
Meskipun di Indonesia, implementasi landreform masih terkendala, namun pembangunan pertanian harus jalan terus. Selain berbagai aspek yang sudah dicakup dalam Revolusi Hijau, masih banyak hal lain yang sesungguhnya dapat dilakukan. Salah satunya adalah dengan penataan “bagi hasil” yang lebih adil. Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah ”tenancy”, yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah yang bukan milik si penggarap. Dalam pengertian ini tercakup sewa dan bagi hasil sekaligus. Orangnya disebut tenant atau share cropper, sementara owner crooper adalah petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Di AS dikenal istilah cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil.

Secara umum, “bagi hasil” adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa Belanda disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia[10]. Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua  unsur produksi (modal dan kerja), dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan “sewa”, dalam bagi hasil  si pemilik tetap memegang kontrol usaha.

Bagi hasil dikenal di seluruh daerah di Indonesia[11]. Di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua;  di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya. Pemerintah telah berupaya mengendalikan bagi hasil melalui UU Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No. 2 tahun 1960 untuk pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk perikanan. Namun, kedua peraturan ini hampir tidak ada penerapannya sampai sekarang karena berbagai alasan.
Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih besar. Khususnya dalam asumsi bahan yang dibeli bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.

*****




[1] Berasal dari tulisan SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi “Menelusuri Pengertian Istilah Agraria, Bogor, 1 Oktober 2001 (mimeo) yang dikutip oleh Sitorus (2002: 27).
[2] Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria. (hal 25-40). Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds). 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Yayasan Akatiga, Bandung. Hal. 28. Juga dalam Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal 312-313. (Dalam: S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta).
[3] Atas dasar aspek penguasaan ini, dilakukan pelapisan sosial atas hak milik  atas tanah. Maka misalnya dikenal pembagian atas lapisan atas jika lebih luas dari 0,5 ha, lalu lapisan menengah, sempit atau gurem jika kurang dari 0,5 ha, dan lapisan buruh dan petani tak bertanah (tuna kisma). (Dalam  Pujiwati Sajogyo. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta dan BKKBN, Jakarta).
[4] Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
[5] Wiradi, Gunawan. 1984. Hal 313.
[6] Wiradi, Gunawan. 1984. Hal 314.
[7] Keputusan Presiden No. 169 tanggal 26 Agustus 1963 tentang tanggal lahirnya UUPA No. 5 tahun 1960, menetapkan tanggal 24 September sebagai “Hari Tani Nasional”.
[8] Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya  Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta  kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan.
[9] Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR No.IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
[10] Terdapat dalam hukum Hammurabi pada lebih kurang 2300 SM. (Dalam: Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.).
[11] Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
*****