Munculnya konsep “pembangunan sosial” (social development) merupakan salah satu dari sekian bentuk
koreksi terhadap kelemahan konsep pembangunan dengan paradigma pertumbuhan (growth) yang memiliki economic bias. Namun, “pembangunan sosial”
bukan by product dari pembangunan
ekonomi, karena masalah ini perlu ditangani secara khusus. Pertumbuhan ekonomi
penting, namun tidak cukup untuk pembangunan sosial. Permasalahannya adalah
bagaimana kebijakan-kebijakan ekonomi dapat memberikan keuntungan bagi banyak
orang. Untuk itu perlu diperhatikan masalah kualitas dan proses distribusi dari
pertumbuhan ekonomi tersebut. Jadi, perlu keseimbangan pertumbuhan ekonomi
dengan pembangunan sosial, khususnya pada investasi pada manusia dengan tekanan kepada kualitas hidup manusia.
Paradigma pembangunan sosial terletak pada konsep
“kebutuhan dasar”. Untuk mencapainya, pembangunan sosial mensyaratkan perubahan
kelembagaan dalam banyak aspek, mencakup sosial, ekonomi, dan politik. Menurut
salah satu batasan, pembangunan sosial adalah “planned institutional change including social, economic, and political
change for the welfare of nation as a whole”.
Yang dimaksud dengan pembangunan
sosial disini bukanlah daftar tanggung jawab dan aktifitas yang disandang oleh
Departemen Sosial, sebagaimana Departemen Sosial di Indonesia misalnya. Konsep
ini jauh lebih mendasar. Dalam pembangunan sosial manusia adalah kepentingan
yang utama, dengan tujuan terjaminnya keadilan dan kebebasan sehingga
terwujudnya masyarakat yang harmonis. Dengan pembangunan sosial akan diperoleh peluang
dan kehidupan yang standar untuk semua, serta perhatian yang serius kepada
hak-hak warganegara untuk diperhatikan (be
nourished), akses terhadap perumahan, keamanan, dan akses untuk bekerja. Sebagai
contoh, suatu program
bantuan bagi orang miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, tidak hanya
sekedar memberi kesempatan untuk memperoleh penghasilan, namun juga perlu terjaminnya
akses terhadap pelayanan publik untuk pendidikan, kesehatan, perumahan,
transportasi dan air bersih.
Menurut Moeljarto[1],
ada tiga kategori makna pembangunan sosial, yaitu: (1) Pembangunan sosial
sebagai pengadaan pelayanan masyarakat, yang lalu melahirkan program yang
berbasiskan strategi caritas (charity
strategy); (2) Sebagai upaya
terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi dengan adanya
pelibatan pribadi dan pembebasan dirinya sendiri, tidak hanya sekedar
penyediaan pelayanan; dan (3) Sebagai upaya terencana untuk meningkatkan
kemampuan manusia untuk berbuat dan menghilangkan ketergantungannya. Makna yang
ketiga ini merupakan konsep yang paling ideal. Untuk mewujudkan tujuan ideal
tersebut, partisipasi merupakan bagian integral dari prosesnya yang tidak dapat
diabaikan.
Pada 1970-an, dikembangkan model pembangunan
ekonomi yang memadukan dengan program pengurangan kemiskinan, misalnya model
redistribusi dengan pertumbuhan yang dikembangkan oleh Bank Dunia, dan Model
Bacchue dari ILO mengenai strategi pemenuhan kebutuhan dasar. Model ini
menggunakan pendekatan kebutuhan pokok (The
Basic need Approach). Ini merupakan teori pembangunan yang baru untuk
mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Proposisinya adalah bahwa
kebutuhan pokok tidak mungkin dapat dipenuhi jika mereka masih berada di bawah
garis kemiskinan, serta tidak memiliki pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan
yang lebih baik. Dengan demikian, tiga sasaran utama nya adalah membuka
lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat.
Gagasan tentang kebutuhan dasar manusia
pertama diajukan di Forum Konferensi Kesempatan Kerja Dunia (World Employment Conference) oleh ILO
tahun 1976 di Jenewa. Namun, konsep pembangunan sosial menjadi semakin penting
semenjak diselenggarakannya World Summit
for Social Development pada tanggal 6-12 Maret 1995 yang menghasilkan The Copenhagen Declaration and Programme of
Action. Salah satu konsep lain yang lahir dari pemikiran tersebut adalah
konsep “people centered development”,
dimana manusia diposisikan sebagai pusat
pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan dari implementasi konsep ini akan menuju
kepada isu-isu penegakan keadilan (egnity),
lingkungan yang sustainable,
kemiskinan, lapangan kerja, pengurangan pengangguran, dan integrasi sosial[2].
Sejalan dengan kritik terhadap pendekatan
yang melulu kepada ekonomi dalam Teori Pembangunan, muncul penilakan terhadap konsep
GNP, dan lahirlah indikator Human Development Index (HDI). HDI mengukur
kemampuan dasar yang harus dimiliki tiap-tiap individu unatuk dapat
berpartisipasi di masyarakat, yaitu
kemampuan untuk dapat mencapai hidup yang panjang dan sehat, kemampuan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan, dan kemampuan untuk dapat akses kepada
sumber-sumber yang diperlukan dalam rangka hidup yang layak. Dalam HDI ada tiga
komponen pokok yang diperhatikan, yaitu angka harapan hidup saat lahir (life expectancy of birth), tingkat
pendidikan (educational attainment) yang
terbagi menjadi adult literacy dan primary and secondary enrollment ratio,
serta pendapatan (income). Nilai
maksimum indeks HDI adalah 1. HDI dimuat dalam laporan Human Development Report yang diterbitkan UNDP setiap tahun semenjak
tahun 1990. Isu yang dikedepankan selalu berubah-rubah dalam tiap laporan. Berbagai
isu yang pernah diangkat selama ini misalnya tentang Gender-related Development Index (GDI), Gender Empowerment Measure (GEM), dan Human Freedom Index (HFI).
Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia[3],
ditekankan prinsip “putting people first”.
Human Development Report (HDR) diterbitkan oleh UNDP semenjak tahun 1990 yang meliputi
tiga hal, yaitu akses terhadap
pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar dan sanitasi, serta usia harapan
hidup. Indikator sosial terdiri atas 3 aspek, yaitu usia harapan hidup, angka
kematian balita per 1000 kelahiran hidup, dan angka melek huruf. Disini juga
dicantumkan pencapaian pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang mencakup keamanan
pangan, kesehatan dasar, pendidikan dasar, dan rasa aman.
Satu konsep yang paling dekat dengan
pembangunan sosial adalah konsep “kesejahteraan
sosial” (social welfare). Ia
merupakan konsep moral yang merefleksikan preferensi terhadap nilai-nilai. Karakteristiknya
adalah pemberian bantuan sebagai sebuah jaring pengaman (sfatey net), bersifat sementara, dan penyembuhan (curative) dari situasi sosial yang sedang
berlangsung.
Ada dua pandangan terhadap konsep social welfare yaitu pandangan residual dan
pandangan institutional. Menurut model residual, masalah kelas yang tak
beruntung (unfortunate classes) dapat
diperbaiki melalui kebajikan kelas menengah dan atas. Social welfare merupakan garis terdepan untuk masyarakat modern,
yang bersama lembaga lain akan mencapai masyarakat yang lebih baik. Sementara dalam
pendekatan institutional atau developemntal, social welfare dipandang sebagai cara untuk menghadapi masyarakat
industri modern. Ia dianggap sebagai sesuatu yang normal dan diterima sebagai
jalan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Menurutnya, masalah sosial berakar dari
struktur sosial, dan karena itu perlu dilakukan perubahan sosial yang mendasar.
Landasan hukum untuk Indonesia adalah UU no 6
tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kesejahteraan Sosial. Dalam Pasal 2 ayat 1
disebutkan: “Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial materiil maupun sprituil yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga
negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan
Pancasila” [4].
Di Indonesia juga digulirkan program “Jaminan Sosial” (socal security). Secara
konseptual, ini merupakan mekanisme untuk pendistribusian sumber-sumber daya
serta untuk mengurangi kondisi ketidaksamaan (inequality), serta mengatasi massalah-masalah kemiskinan dan ekses
negatif dari pembangunan. Social security adalah “a government program that provides economic assistance to persons
faced with unemployment, disability, or agedness, financed by assessment of
employers and employees”. Social
security merefer kepada konsep social welfare berkenaan dengan perlindungan sosial (social protection), asuransi (social insurance), perlindungan
terhadap pendapatan (income maintenance),
dana pensiun, ketakmampuan dan pengangguran, dan bantuan dalam bidang kesehatan
serta relasi dalam kerja industri. Pada intinya,
social security berkenaan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar (basic security) berupa
jaminan pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Jaminan sosial dicantumlah dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, Pasal 22 dan 25. Tiap
negara berbeda dalam hal sejarah perkembangan, prosedur administrasi,
perundangan-undangan, serta institusi yang mengaturnya. Dalam dalam Dokumen
1942 ILO tertulis bahwa: “ jaminan bahwa masyarakat diberikan perlindungan,
melalui organisasi pemerintah dari resiko-resiko tertentu”. Standar minimum
jaminan sosial ILO Konvensi nomor 102
tahun 1952 merinci definisi formal jaminan sosial atas sembilan bidang, yaitu:
jaminan pelayanan kesehatan, orang-orang sakit, orang yang tidak bekerja,
orang-orang jompo, kecelakaan kerja, keluarga, ibu-ibu melahirkan, penyandang
cacad, serta janda dan anak yatim piatu. Dalam konteks ini tidak dicakup jaminan
sosial dari luar pemerintah, semisal dari keluarga, tetangga, dan
institusi-institusi lain.
Secara naluriah, masyarakat telah mengembangkan
dirinya sendiri, dan punya mekanisme sendiri terhadap jaminan sosial. Di Jawa
misalnya ada sambat- sinambat, di
Sulsel dikenal assitulung-tulungeng,
di Sulut mapalus, masohi di Ambon, serta metetulungan dalam sekka suka duka yang berbasis di komunitas Banjar untuk di Bali. Pada
waktu Jawa berbentuk desa komunal, hal ini ditanggung oleh para tetua desa, dimana
semua warga dijamin kecukupan hidupnya. Dengan berlandaskan prinsip ini, pada zaman
Tanam Paksa ketika lahan semakin sempit, maka setiap orang tetap memperoleh
pekerjaan pada lahan yang tersedia, sehingga melahirkan apa yang disebut
Clifford Geertz dengan kemiskinan berbagi (shared
poverty)[5].
Namun, dengan invansi nilai-nilai individualisme dan kapitalisme bersamaan
dengan terjadinya polarisasi sosial, maka ikatan ini melemah sehingga warga
desa kehilangan sandarannya, dan sebagian terpaksa melarikan diri ke kota.
Jaminan sosial merupakan instrumen untuk
pemerataan pendapatan dan untuk memobilisasi dana masyaraat. Prinsip-prinsipnya
adalah perlunya solidaritas sosial dari seluruh lapisan karena kepesertaanya
meliputi seluruh masyarakat, bersifat nirlaba dalam konteks good governance, investasi dana mengacu
prinsip-prinsip yang aman, melalui mekanisme asuransi sosial dan prinsip hukum
bilangan banyak (the law of large
numbers), dan bedakan dengan bantuan sosial yang umumnya berupa program-program
anti kemiskinan. Beberapa negara yang menganut welfare state [6]
yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai
menerapkan asuransi sosial. Alasannya adalah karena jaminan melalui bantuan
sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat merencanakan
kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi
sosial dapat merupakan tabungan nasional, sehingga adanya jaminan sosial nasional
dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Konsep kesejahteraan dan jaminan sosial
dengan segala bentuk aksinya dapat dipandang sebagai mekanisme-mekanisme untuk
mengimbangi berbagai ekses negatif dari penerapan paham kapitalisme dan
liberalisme. Pada akhirnya konsep-konsep ini melahirkan bentuk “Negara Kesejahteraan” (welfare
state). Negara kesejahteraan adalah “a
social system whereby the state assumes primary responsibility for the welfare
of its citizens, as in matters of health care, education, employment, and
social security”. Konsep ini mulai dikembangkan dan diterapkan pada periode
1945 sampai ke tahun 1970-an, ketika pembangunan sedang marak-maraknya, yang juga disertai
oleh berbagai bentuk penyakit sosial.
[1] Moeljarto, V. dan S. Prabowo. 1997. Bidang
Pendidikan dan Kesehatan Dalam Pembangunan Sosial. Hal. 41-66. Analisis CSIS
tahun XXVI No. 1 Jan-Feb 1997.
[2] Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan
sosial, sebuah konferensi tahun 1995 menyepakati antara negara industri dan
berkembang untuk mengalokasikan 20 persen anggaran nasional dan 20 persen dari
bantuan luar negeri, yang dikenal dengan
Official Development Assitance (ODA) untuk program-program pemenuhan
kebutuhan dasar manusia.
[3] The
National Human Development Report ( NHDR) tahun 2004 diberi judul “Towards a New Consensus: Democracy and
Human Development in Indonesia ”.
Kerjasama BPS, Bappenas, dan UNDP.
[4] Adi, Isbandi R. 2003. Pemberdayaan,
Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas. LP Fakultas Ekonomi UI, Jakarta . Edisi Revisi
2003. 354 hal.
[5] Geertz, Clifford. 1983. Involusi
Pertanian: Poses Perubahan Ekologi di Indonesia. Terjemahan S. Supomo. Kata
Pengantar: Sajogyo. Bhratara Karya Aksara. Jakarta .
[6] Mohammad, Kartono. Mantan Ketua Umum
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
(PB IDI). Sistem Jaminan Sosial Nasional dan "Welfare State" Kompas,
16 Juni 2004. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/16/opini/1076462.htm,
14 april 2005 ).