Ketahanan
pangan merupakan satu contoh konsep yang berkembang dari sederhana, luas, dan
kualitatif menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif. Sebagian orang
menyebutnya sebagai konsep yang fleksibel, karena begitu banyaknya definisi
yang digunakan baik dalam dunia penelitian maupun dalam kebijakan. Tidak kurang
sekitar 200 definisi telah dihasilkan dalam publikasi-publikasi ilmiah[1].
Pada
dasarnya, ketahanan pangan (food
security) adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup,
terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya
adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan
berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek
akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek
distribusi.
Konsep
ketahanan pangan dalam paradigma pembangunan muncul sebagai reaksi dari bentuk-bentuk
program bantuan pangan (food aid) sebelumnya. Food
aid adalah satu paradigma dalam pembangunan yang berpandangan bahwa solusi
untuk mereka yang ditimpa kelaparan adalah melalui bantuan pangan. Sedangkan fokus
food security sangat berbeda, bahwa
harus ada mekanisme didalam kebijakan pembangunan untuk memerangi kelaparan dan
kekurangan gizi (malnutrition). Artinya, ketahanan pangan harus sudah
tercakup secara inherent dalam
kebijakan pembangunan nasional, bukan program-program yang reaktif atau program
“pemadam kebakaran”.
Ketahanan
pangan adalah sesuatu yang multikonsep, serta didefinisikan dan diinterpretasi
secara bervariasi. Namun, hasil akhir yang ingin dicapai cednerung lebih
disepakati, yaitu “.... the availability
of adequate supplies at a global and national level; at the other end, the
concern is with adequate nutrition and well-being”[2].
Jadi, yang ingin dituju adalah tersedianya pangan, tercukupinya kebutuhan gizi,
serta tentu saja kesejahteraan. Ketahanan pangan memiliki tiga dimensi, yaitu
ketersediaan (availability), akses (access), dan pemanfaatan (utilization). Bekenaan dengan itu, dalam
mengevaluasi kondisi ketahanan pangan, dua hal pokok yang dipelajari adalah
masalah ketersediaan dan masalah distribusinya.
Konsep ketahanan pangan sudah cukup lama bergulir. Berikut akan
dipaparkan perubahan konsep ketahanan pangan dari masa ke masa secara
kronologis. Perubahan definisi tampaknya selalu mengikuti berbagai event besar.
Pada
dekade 1960-an dan 1970-an, dunia dihadapkan kepada permasalahan pangan, yaitu ketidakcukupan
produksi dihadapkan dengan kebutuhan dari penduduk yang terus bertambah,
terutama di negara-negara berkembang. Dari pertemuan World Food Summit tahun 1974 dikeluarkan definisi, bahwa ketahanan
pangan adalah: “availability at all times
of adequate world food supplies of basic foodstuffs to sustain a steady
expansion of food consumption and to offset fluctuation in production and
prices”[3].
Terlihat disini fokusnya adalah kepada aspek jumlah dan kestabilan suplai
pangan.
Lalu,
pada tahun 1975, melalui suatu konferensi pangan, PBB mendirikan komite
Ketahanan Pangan Dunia (The Committee on
World Food Security), yang bertolak
dari kondisi krisis pangan di berbagai wilayah. Krisis pangan tersebut menyebabkan
fokus ketahanan pangan adalah pada produkstifitas yang cukup.
Namun
konsep ini dirasa kurang tepat, yang terlihat dari definisi FAO tahun 1983,
karena pangan yang cukup di satu negara belum jaminan untuk seluruh warganya.
Ada masalah akses yang lupa dipertmbangkan. Maka konsep ketahanan pangan berikutnya
memasukkan faktor jaminan akses. Disini terlihat perhatian yang berimbang dari
sisi demand dan supply. Tekanannya adalah kepada akses secara fisik dan ekonomi
kepada pangan utama. Definisinya menjadi: “ensuring
that all people at all times have both physical and economic access to the
basic food that they need” [4].
Di
tahun 1986, karena pengaruh laporan Bank Dunia tentang “Poverty and Hunger” [5],
maka konsep ketahanan pangan diperluas lagi dengan memasukkan kemiskinan,
pendapatan, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik. Maka definisi ketahanan
pangan menjadi: “acsess of all people at
all times to enough food for an active, healthy life”.
Pada
periode 1990-an, ketahanan pangan telah menjadi perhatian yang penting, dengan
perhatian mulai dari level individual sampai level dunia. Konsep ketahanan
pangan lalu memasukkan keamanan pangan (food
safety) dan kekurangan protein dan energi (protein-energy malnutrition) yang dibutuhkan untuk hidup yang
aktif dan sehat. Aspek preferensi pangan (food
preferences), sosial dan kultural juga ikut dipertimbangkan. Laporan
Pembangunan Manusia UNDP tahun 1994 mempromosikan konsep human security, dimana ketahanan pangan menjadi salah satu komponen
yang diperhatikan.
Ketahanan
pangan dapat dipelajari mulai dari level individu, rumah tangga, wilayah, nasional,
maupun dunia. Dalam definisi World Food Summit tahun 1996,
disebutkan: “Food security, at the
individual, household, national, regional and global level (is achieved) when
all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe
and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an
active and healthy life” [6].
Pada tingkat
rumah tangga, semakin tinggi aksesnya terhadap pangan, maka tinggi pula ketahanan
pangan rumah tangga tersebut. Ini tercermin dari pangsa pengeluaran RT untuk
membeli makanan. Pangsa pengeluaran tergantung kepada harga, jumlah yang
dikonsumsi, dan pendapatan total RT. Menurut Hukum Working[7],
pangsa pengeluaran pangan terbalik dengan pengeluaran rumah tangga. Jadi,
ketahanan pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran rumah
tangga untuk pangan. Jika pangsanya besar, maka ketahanan pangan berarti
rendah.
The World
Food Summit diadakan di Rome pada bulan November tahun 1996, dengan tujuan untuk memperbaharui komitmen global untuk
memerangi kelaparan. Pertemuan ini melahirkan dua kesepakatan yaitu tentang
Deklarasi Roma untuk ketahana pangan dunia (World
Food Security) dan Rencana Aksi (the
World Food Summit Plan of Action). Deklarasi Roma menyepakati untuk seluruh
anggota PBB untuk menargetkan bahwa pada tahun 2015 akan mampu mengurangi
setengah dari jumlah orang yang kekurangan pangan di dunia. Target ini kemudian
diadopsi pula dalam pertemuan “Millenium
Summit” tahun 2000. Dan dipertegas lagi pada konferensi bulan Juni 2002 di
Roma dengan topik “World Food Summit; Five Years Later”. Dalam rencana aksi
diteteapkan berbagai target baik untuk lembaga pemerintah dan non pemerintah
untuk mencapai ketahanan pangan baik pada level individu, rumah tangga,
nasional, regional, dan global.
Satu konsep dekat dengan ketahanan
pangan adalah “kemandirian pangan”. Kemandirian
apangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan nasional secara mandiri dengan
memberdayakan modal manusia, modal sosial, dan ekonomi yang dimiliki, dan
berdampak kepada peningkatan keidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat.
Ini kurang lebih sama dengan konsep swasembada yang populer pada era Bimas[8].
Bagaimana
cara mencapai ketahanan pangan? Menurut Deptan, ketahanan pangan dapat dicapai
melalui agribisnis. “Komponen dari sistem
ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi; tidak lain
adalah kegiatan usaha berbasis agribisnis. Berdasarkan hal tersebut, maka
peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan pendekatan
sistem agribisnis, yang merupakan rangkaian yang terintegrasi antara subsistem
hulu, usahatani, hilir, dan subsistem jasa” [9].
Ketahanan
pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu kelompok masayarakat secara
keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran tentang ketahanan pangan telah menjiwai
kebijakan pemerintah, maka akan terlihat
dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial dan
budaya masyarakat tersebut. Intinya, sistem dan seluruh kelembagaan dalam
masyarakat tersebut harus memiliki visi untuk mencapai ketahanan pangan. Selama
ini terbukti, bahwa secara umum, negara-negara yang berhasil mengurangi tingkat
kekurangan pangan dicirikan oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan khususnya
peningkatan yang tinggi pada sektor pertaniannya. Selain itu, juga dicirikan
oleh pertumbuhan populasi yang rendah, serta mampu mencapai rangking tinggi
untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) [10].
*****
[1] Maxwell, S. and Smith, M. 1992. “Household
food security; a conceptual review”. Dalam: S. maxwell and TR Frankenberger,
eds. “Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements: A Technical
Review”. New York
and Rome :
UNICEF and IFAD, (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security:
Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO hal 25).
[2] FAO. 2003. “Trade Reform and Food
Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO. Hal 3.
[3] United Nations. 1975. “Report of the World
Food Conference, Rome
5-16 November 1974”. New York
(Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the
Linkages”. Roma, FAO. Hal 27).
[4] FAO. 1983. “World Food Security: a
Reappraisal of the Concepts and Approaches”. Director General’s Report. Rome .
[5] Menurut Laporan FAO, tahun 1998
sekitar 828 juta orang mengalami
kelaparan yang kronis, dan dua milyar
orang menglami kurang pangan karena
kemiskinan.
[6] FAO. 1996. “Rome Declaration on World Food Security and
World Food Summit
Plan of Action.” World Food Summit
13-17 November 1996. Rome .
[7] Working, H. 1943. “Statistical Laws of
Family Expenditure”. Journal American Stat. Association. Vol. 38 (221) March
1943. hal. 43-56.
[8] “Swasembada absolut” adalah apabila
seluruh kebutuhan pangan berasal dari dalam negeri sendiri. Sedangkan “swa
sembada on trend” adalah apabila dalam jangka menengah ketersediaan pangan tetap
cukup, meskipun kadangkala mengimpor, namun diimbangi dengan mengekspor, dan
secara agregat sesungguhnya cukup.
[9] Departemen Pertanian. 2002. Hal. 67.
[10] Dari The State of Food Insecurity in the World 2003. (http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/docrep/006/j0083e/j0083e00.htm,11 Juli 2005).