Pada hakekatnya,
kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak dulu, dan mungkin
akan terus menjadi persoalan sampai nanti. Belum ada rumusan maupun formula
penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna sampai sekarang.
Namun pemahaman konsep ini penting, sebagai upaya untuk merumuskan lagi konsep,
indikator, serta strategi pengentasannya di masa depan. Membicarakan
konsep sangat penting, karena dari konsep dapat dikembangkan batasan
kemiskinan, lalu memilih metoda untuk mengukurnya, dan lebih jauh kepada
paket-paket kebijakan dan program apa yang akan dihasilkan dan
diimplementasikan.
Secara umum,
“miskin” adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan
tenaga, mental, dan fikirannya dalam kelompok tersebut. Menurut Mahatma Gandhi,
“kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk
yang paling buruk”. Sedang menurut Amartya Sen, “orang jadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan
karena tidak memiliki sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan
menurutnya adalah “akses”, yaitu akses ke pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur.
Banyak sekali definisi yang telah
diciptakan tentang kemiskinan. Hasil dari American
Episcopal Conference[1],
merumuskan bahwa ada 3 makna kemiskinan, yaitu: (1) kemiskinan nyata yang lahir
karena ketidakadilan, manipulasi, dan kekerasan; (2) kemiskinan karena
seseorang dianggap bukan manusia (non
persons), kehilangan hak hidup, dan kebebasan menentukan pilihan; dan (3) kemiskinan rohani, yaitu kehilangan
kesadaran spritual dan rasa solidaritas dengan sesama, terutama terhadap yang
miskin dan butuh pembebasan.
Kemiskinan mendapat perhatian bukan semata karena kemiskinan itu saja. Ia menjadi penting,
karena kemiskinan memiliki korelasi
sangat kuat dengan berbagai masalah sosial, terutama masalah kriminalitas dan
penyakit. Kefakiran menjadi sumber kekafiran.
Ada
berpuluh-puluh cara pengukuran kemiskinan, karena kemiskinan dilihat sebagai fenomena
yang multi dimensi[2].
Kemiskinan dapat diukur sebagai absolut ataupun relatif. Kemiskinan absolut
terlihat dari kehidupan yang dibawah minimum, atau di bawah standar yang
diterima secara sosial, dan kekurangan nutrisi. Menurut Copenhagen Declaration, kemiskinan absolut adalah: "a
condition characterised by severe deprivation of basic human needs, including
food, safe drinking water, sanitation facilities, health, shelter, education
and information". Sementara
kemiskinan relatif dilihat dalam perbandingannya dengan segmen yang lebih atas.
Kemiskinan juga didekati dari sisi
objektif dan subjektif. Objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan
kepada pendekatan kesejahteraan (the
welfare approach), sedangkan subjektif pada penilaian masyarakat setempat [3].
Dalam Laporan Pembangunan Indonesia (LPMI) tahun 2004, Indeks Kemiskinan
Manusia (IKM) diindikasikan dengan kemungkinan tidak bertahan hidup sampai umur
40 tahun, angka buta huruf, dan persentase penduduk yang tidak akses pada air
bersih, sarana kesehatan, dan jumlah balita yang kurang gizi.
Bank
Dunia memberi batasan bahwa "extreme
poverty" adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari
1 dollar AS per hari, dan "poverty"
jika kurang dari 2 dollar AS per hari[4].
Dalam batasan ini, Bank Dunia hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual.
Biro Pusat Statistik
membuat batas garis kemiskinan yang membedakan untuk masyarakat kota dan desa.
Sebagai contoh untuk tahun 2001, garis batas untuk kota adalah dengan
pendapatan Rp. 100.011 per bulan dan desa Rp. 80.382 per bulan. Lebih detail
lagi, Sajogyo[5]
membagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per tahun setara
dengan nilai tukar beras. Berturut-turut untuk wilayah desa dan kota adalah:
(1) miskin = 320 kg dan 480 kg, (2) sangat miskin = 240 kg dan 360 kg, serta
(3) melarat = Rp. 180 kg dan 270 kg.
Ukuran kemiskinan
juga berbeda antar waktu. Tahun 1969/1970 pernah diterapkan untuk pedesaan
Jawa, miskin adalah apabila pendapatan Rp. 1000,-/orang/bulan, sedangkan di
perkotaan Jawa adalah Rp. 1250/orang/bulan [6].
Pada Program Keluarga Sejahtera
sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang
sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong
Pra Sejahtera dan Sejahtera I. BKKBN mengkategorikan semua rumahtangga
di Indonesia dalam lima kategori kesejahteraan, yakni: Keluarga Pra Sejahtera,
Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Kelauarga Sejahtera III, dan
Keluarga Sejahtera III plus. Klasifikasi menurut BKKBN tersebut dibuat
berdasarkan beberapa indikator. Keluarga miskin adalah keluarga yang tidak
dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari,
serta tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, dan
bepergian. Selain itu, bagian terluas rumahnya berlantai tanah, dan tak mampu
membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
Pada umumnya, batasan kemiskinan dibangun
dari kebutuhan konsumsi untuk hidup secara sehat bagi manusia dewasa. Menurut golden standard, tiap orang butuh 2.300
kcal/hari. Jika konsumsi kalori seseorang kecil dari 70 persen, maka ia tergolong
miskin. Namun, menurut FAO dan WHO, kebutuhan manusia agar dapat hidup normal cukup
1.600 kcal/hari ditambah 40 gram protein. Beda lagi dengan keduanya, menurut
BPS hanya 2.100 kcal/ hari.
Komite Penanggulangan Kemiskinan
menyatakan bahwa ada empat dimensi pokok kondisi kemiskinan di Indonesia, yaitu
kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan, serta
ketidaberdayaan. “Keluarga miskin”
adalah apabila tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: paling kurang
sekali seminggu makan daging, ikan, dan telur; sekali setahun seluruh anggota
keluarga memperoleh paling kurang satu setel pakaian baru; dan lantai rumah
paling kurang 8 m2 per penghuni. Dan disebut “keluarga miskin sekali” jika
tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: pada umumnya seluruh anggota
keluarga makan dua kali sehari atau lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di
rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian; serta bagian lantai terluas bukan dari
tanah.
Berdasarkan level kemiskinan, kita mengenal ada tiga
kategori kemiskinan, yaitu: (1) Kelompok yang paling miskin (destitute),
yaitu yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, tidak
memiliki sumber pendapatan, dan tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan
sosial; (2) Kelompok miskin (poor), yang
memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun masih memiliki akses
terhadap pelayanan sosial dasar; dan (3) Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini memiliki kehidupan yang lebih
baik, namun mereka rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya.
Apa penyebab
kemiskinan? Kemiskinan - dan penyebab serta kemudian pendekatan untuk
memperbaikinya - dapat dilihat pada
level individu, keluarga, komunitas, maupun negara. Kemiskinan pada level individu
dipercaya karena perilaku, pilihan, atau
kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya. Penyebab kemiskinan dapat
karena faktor keluarga dimana si miskin hidup; faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola
hidup, serta pola pembelajran dan prinsip berbagi dari komunitasnya; faktor
luar misalnya karena peran kebijakan pemerintah atau karena strukutur eknomi
yang tidak adil; dan penyebab struktural, dimana kemiskinan merupakan hasil
dari struktur sosial.
Pada sebagian kalangan, yang melihat sebagai
isu politik, kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah yang
melahirkan ketidakadilan sosial dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh
pendidikan. Ada banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan.
Setidaknnya ada dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal
dan sosial demokrat[7]. Secara garis besar, para pendukung
neo-liberal[8]
berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh
kelemahan-kelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan.
Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas
sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara
langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Negara hanya turun tangan apabila
keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan tidak mampu
lagi menangani. Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) merupakan contohnya.
Sebaliknya, menurut kaum sosial demokrat[9],
pasar bebas hanya akan menghasilkan kemiskinan dan dan eksploitasi. Mereka memandang
bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural.
Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber
kemasyarakatan. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas,
namun kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang
paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara
kesejahteraan agar lebih manusiawi.
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan
merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan.
Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu
menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan
pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar;
melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya,
kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi,
kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara mestinya harus berperan dalam
menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi
kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Untuk itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat
institusional (melembaga), misalnya berupa program jaminan sosial. Pemberian
tunjangan pendapatan atau dana pensiun misalnya, dapat meningkatkan kebebasan
karena dapat menyediakan penghasilan dasar sehingga orang akan memiliki
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan
(dependency). Sebaliknya, bagi kaum
neoliberal, strategi penanganan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan
yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan.
Untuk menanggulangi kemiskinan, salah
satunya kita dapat bertolak dari apa sesungguhnya kebutuhan manusia. Dalam
konsep ADB (1999), ada 3 hierarkhi kebutuhan, yaitu (1) kebutuhan survival
berupa makanan, gizi, kesehatan, air bersih, sanitasi, dan pakaian; (2) kebutuhan
security berupa rumah, kedamaian,
adanya sumber pendapatan dan pekerjaan; dan (3) kebutuhan untuk mencukupi pendidikan
dasar, partisipasi, perawatan keluarga, dan psikososial. Berbagai aksi yang
dapat dirancang untuk mengurangi kemiskinan adalah melalui pendidikan,
industrialisasi, dan berbagai bentuk program social welfare.
Dasar program penanggulangan
kemiskinan di Indonesia terdapat pada UUD 1945 pasal 34 (amandemen ke IV, 10
Agustus 2002), yakni:
Ayat 1:
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Ayat 2:
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Ayat 3:
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dalam UU No. 5 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), ada 4 strategi
penanggulangan kemiskinan, yaitu: (1) Penciptaan kesempatan (create opporunity) melalui pemulihan
ekonomi makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum; (2) Pemberdayaan
masyarakat (people empowerment)
dengan peningkatan akses kepada sumber daya ekonomi dan politik; (3)
Peningkatan kemampuan (increasing
capacity) melalui pendidikan dan perumahan; (4) Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang
menderita cacad fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan
korban konflik sosial.
Timbulnya kesadaran
kemiskinan di tingkat dunia mulai pada awal 1970-an, dimana meskipun dicapai
kemajuan ekonomi di suatu negara, namun warganya masih ada yang miskin. Sejak
tahun 1970-an itulah kemudian dikenal program-program khusus untuk kemiskinan.
Ada kesadaran, bahwa program yang tidak spesifik untuk kelompok yang miskin,
tidak dapat diakses oleh masyarakat miskin, atau tidak menguntungkannya,
sehingga ketimpangan semakin besar. Dalam perjalanannya terjadi perubahan isu
dari pemberantasan kemiskinan (poverty
alleviation) menjadi pengurangan kemiskinan (poverty reduction).
Untuk melakukan pemberantasan
kemiskinan, maka harus tegas dulu bagaimana kemiskinan kita maknai. Aapakah kemiskinan
hanya dilihat secara sempit sebagai “income
yang rendah”, atau lebih luas sebagai “kegagalan memperoleh kemampuan
(=ketakmampuan)”?. Apakah kemiskinan hanya untuk yang sudah kronis, ataukah
yang temporal juga? Apakah kemiskinan berkaitan dengan ketidakadilan (inequity), ataukah kerawanan terhadap
banyak hal dan social exclusion (penyingkiran
atau pemarjinalan)?.
Di Indonesia [10],
pemberantasan kemiskinan didekati melalui berbagai cara. Pendekatan melalui
pembangunan wilayah misalnya berupa bantuan-bantuan dalam paket Inpres Desa Tertinggal
(IDT). Penetapan desa tertinggal didasarkan atas 22 variabel [11],
di antaranya adalah tipe LKMD, jalan utama, jarak ke kecamatan, pola nafkah,
pengusahaan lahan pertanian, fasilitas (pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan
pasar), kepadatan penduduk, sumber air minum, bahan bakar, jamban, penerangan
umum, tempat ibadah, pengusahaan ternak, pemilikan TV dan telepon, dan jumlah
rumah tangga pertanian.
*****
[1] CELAM di Meddelin, tahun 1968. On
Poverty 9.
[2] Chambers, R. 1995. “Poverty and
Livelihoods: Whose Reality Counts?” IDS Discussion Paper 347, 1995.
[3] Renata Lok-Dessallien. “Review of
Poverty Concepts and Indicators”. (http://www.undp.org/poverty/publications/pov_red/Review_of_Poverty_Concepts.pdf.
11 Mei 2005).
[4]Dengan standar tersebut, maka 21
persen populasi dunia tergolong sebagai extreme poverty, dan lebih dari setengah
populasi dunia tergolong miskin pada tahun 2001. (http://www.developmentgoals.org/Poverty.htm#percapita.,
11 Mei 2005).
[5] Sajogyo. 1977. Golongan Miskin
dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa. Majalah Prisma No. 3 Maret 1977. Hal.
10-17.
[6] Menurut Data Susenas , tahun 1969/1970,
jumlah warga miskin di desa adalah 32,6 persen, dan dikota 40,1 persen. Secara
rata-rata di Indonesia adalah 33,4 persen.
[7] Edi Suharto. “Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung .
Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial”.
(http://www.policy.hu/suharto/makIndo15.html.
11 april 2005).
[8] Teori neo-liberal berakar pada
karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart
Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat
adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith “The Wealth of Nation” (1776), dan
Frederick Hayek “The Road to Serfdom”
(1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas
laissez faire, yang oleh Cheyne O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai
ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s
intervention in the economy”.
[9] Didasarkan kepada analisis Karl
Marx dan Frederick Engels. Menurut pendukung sosial demokrat: “a free
market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and
exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality
and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne,
Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave. 1998. Social Policy in Aotearoa
New Nealand: A Critical Introduction, Auckland :
Oxford University Press. Hal 91 dan 97).
[10] Empat contoh program anti
kemiskinan di Indonesia, misalnya adalah (1) Instruksi Presiden mengenai Desa
Tertinggal (IDT); (2) Program Pembangunan Keluarga Sejahtera melalui Tabungan
Keluarga Sejahtera (Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra); (3)
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K); dan (4 Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan
(PPK).
[11] Tiap indikator diberi skor 1
sampai 3, sehingga akan diperoleh nilai total antara 22 sampai dengan 66.
Sebuah desa tergolong tertinggal bila memiliki nilai lebih rendah dari 32. pada
tahun 2000 tercatat ada 28.376 desa tertinggal di Indonesia . Sementara menurut
kriteria BPS, ada 27 varabel untuk desa, dan 25 variabel untuk kota dalam
penetapan Desa Tertinggal.