Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan daerah, “Otonomi Daerah” adalah “kewenangan Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan”. Definisi
ini sedikit berbeda dalam UU No. 32
Tahun 2004, dimana Otonomi Daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Perbedaannya
adalah, pada peraturan pertama hanya berupa “kewenangan”, sedangkan pada yang
kedua adalah “hak, wewenang, dan kewajiban”.
Hal paling pokok dalam konteks otonomi daerah
adalah tentang makna “pemerintahan”. Kata “pemerintah” kita ambil dari bahasa
Inggris “government”, padahal makna
keduanya jauh berbeda. Dalam bahasa Inggris, dan bahasa Eropa lain, lembaga
yang wajib mengupayakan kesejahteraan dan pelbagai hajat hidup rakyat adalah “government”, “gouvernement”, “Gouverneur”.
Asal katanya adalah “govern” yang
bermakna menata, mengatur, mengurus kehidupan rakyat banyak. Sebaliknya di
Indonesia, pemerintah asal katanya adalah “perintah”. Maka tak heran sikap menata
dan melayani tertutup oleh sikap memerintah. Dan kita lalu menjadi akrab dengan “instruksi presiden”, “instruksi
menteri”, dan lain-lain.
Dalam bagian “Menimbang” pada UU No.
32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna
filosofis dari prinsip keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada
individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang
melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari
Sang Pencipta[1].
Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom
sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di
dalam dirinya secara optimal. Individu-individu
yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan
akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya, individu-individu
yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan
dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu.
Otonomi daerah adalah kondisi politik yang
memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimiliknya secara optimal. Otonomi diharapkan akan mendorong kemampuan daerah
untuk berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik ekonomi, geogragfis
dan sosial budayanya. Diharapkan perkembangan seperti ini akan dapat mengurangi
kesenjangan antar daerah.
Banyak pihak menginginkan,
otonomi semestinya ditempatkan di level desa. Karena Undang-Undang nomor 5
tahun 1979 tidak mengandung otonomi desa. Dalam aturan tersebut pemerintah desa
tidak bertanggung jawab kepada masyarakat desa, sementara kelurahan merupakan
daerah administratif. Posisi desa menjadi tanggung, karena otonom tidak,
administratif pun tidak.
Pemberian otonomi daerah dari
atas sebagaimana dalam UU Otonomi Daerah, berbeda secara konseptual dengan apa
yang dimaksud dengan otonomi dari bawah. Contohnya sejatinya ada di tingkat
desa. Untuk pemerintahan desa, masyarakat desa lah yang memberikan legitimasi
kepada pemerintahan desa, bukan siapa-siapa. “Nagari” di Sumatera Barat atau
“banjar di Bali berbentuk self contained dan
otonom, dan mampu berdiri sendiri.
Mempelajari otonomi daearah akan
terkait dengan beberapa istilah lain yang sering membingungkan, yaitu
“desentralisasi”, “dekosentrasi”, dan “tugas pembantuan”. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fondasi dan nilai utama
desentralisasi adalah kehendak untuk mengubah dari kultur top down menjadi bottom up.
Mengubah penguasaan pusat yang berlebihan menuju kebebasan lokal yang
sewajarnya. Setiap proses desentralisasi atau otonomi dibarengi atau
dilambangkan dengan penyerahan tugas dan kekuasaan[2] .
Desentralisasi memiliki konotasi
yang positif seperti adanya unsur fleksibiltas, akan adanya pendidikan politik,
akuntabilitas, dan stabilitas politik. Desentralisasi administrasi adalah
pelimpahan wewenang kepada kepanjangan tangannya di daerah, sementara kekuasaan
untuk membuat keputusan masih tetap di pusat. Sementara desentralisasi politik
adalah transfer power atau otoritas dari pemerintah pusat ke komunitas atau
masyarakat lokal. Pada dasarnya pemerintah pusat akan melimpahkan seluruh
wewenangnya, kecuali untuk bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri,
peradilan dan fiskal moneter[3].
Sementara, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu. Dan, tugas
pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa,
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dalam literatur luar, konsep yang dekat
dengan otonomi daerah adalah “local government”.
Menurut Wolman and Goldsmith, Local Government Administration (LGA)[4]adalah:
“…. the government’s ability to have an
independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”.
Sedikit lebih luas, Boyne (1996)[5]
mendefiniskan menjadi: “… powers the ability to innovate,
experiment, and develop policies that can vary by jurisdiction”. Selanjutnya,
Kirlin[6]
merubah “government” menjadi “governance”, dan mendefinisikannya
sebagai “… capacity as the ability to
make and carry through collective choices for a geographically defined group of
people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Kemampuan
pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan yang konstitutional,
pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan infrastruktur
kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur-unsur media massa, asosiasi
kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komunitas [7].
Ada dua pendekatan untuk mewujudkan otonomi
daerah yang didasarkan pada dua proposisi. Menurut pendekatan federalistik [8],
segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,
merumuskan, dan memecahkannya, kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang
tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan
negara-bangsa. Sedang menurut pendekatan unitaristik, seluruh persoalan
pada dasarnya harus diserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk
persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah. UU No.22 thun 1999 tampaknya disemangati oleh
proposisi pertama[9].
Pemberian otonomi berbeda dengan
konsep federasi. Negara federal adalah Holding Country yang terdiri dari
gabungan beberapa negara yang menyerahkan kedaulatannya pada sebuah
pemerintahan terpusat. Otonomi masih berada dalam konsep “negara kesatuan”, dimana semua kebutuhan diurus oleh pusat
dengan jalan atau sistem dekonsentrasi.
Pemikiran tentang konsep hubungan dan peran negara dengan warganegara,
dapat ditelusuri dengan melihat teori kontrak sosial. Sejak abad ke-17, teori
kontrak sosial menjadi acuan tentang bagaimana relasi negara dan warganegara
dikembangkan. Kontrak sosial adalah perjanjian tak tertulis antara negara dan
warganegara menyangkut tugas dan kewajiban negara dan warganya[10]. Telah
lahir banyak sistem dalam konteks relasi ini. Dalam Sistem Kapitalisme, negara menjadi pelindung kapitalis. Bahkan
Marxisme, negara dalam prakteknya adalah alat kelas berkuasa (ruling class),
dimana para pemilik kapital melalui negara juga menguasai politik. Bekenaan
dengan itu, lahirlah teori state monopoly capitalism dimana negara
muncul sebagai kekuatan ekonomi dan aktif secara langsung dalam akumulasi
kapital. Sementara menurut paham
developmentalisme, negara mendapatkan peran dalam pengembangan ekonomi. Sebaliknya,
paham neo-liberalisme tidak ingin
pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi[11].
Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang
dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance, cooperation, dan service;
tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya, terutama kemampuan untuk
pemecahan masalah. Dalam assitance,
pemerintah menjadi pelaksana (executing and
implementing role). Pada cooperation,
peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif. Juga dikenal ada dua pendekatan
pembangunan pelayanan kepada masyarakat (public
services delivery), yaitu pendekatan "kewilayahan", seperti
wilayah provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan kelurahan; dan pendekatan
"sektoral", seperti sektor ekonomi, pendidikan, dan transportasi. Prinsip subsidiari, adalah prinsip untuk mengatur hubungan
antar negara dengan pemerintah. Ringkasnya, prinsip ini menekankan bahwa
keputusan harus diambil di tingkatan pemerintah yang paling terdekat ke
masyarakat [12].
Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan
hal yang penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: untuk memaksimumkan
nilai, sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap
pemerintah, dan sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi efisiensi dapat dicapai. Meskipun
otonomi daerah telah digulirkan, namun bagaimana bentuknya yang lebih sesuai
masih boleh diperdebatkan. Karena
beragamnya persoalan antar wilayah maka tak pendekatan "one solution fits all". Secara
konseptual otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya civil society dan menjamin berjalannya
mekanisme checks and balances antara
pemerintah dengan warganya.
*****
[1] Faisal H. Basri. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas
Brawijaya, Malang .
(http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang_tantangan.pdf.,
22 Maret 2005).
[2] Hasil pemantauan Direktur
Eksekutif Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Dalam harian Kompas, 14
Agustus 2003): pada pertengahan tahun 2003, diketahui bahwa 65 persen dari
3.500 Perda di 250 kabupaten/kota layak dicabut atau dibatalkan. Bahkan Menteri
Keuangan merekomendasikan untuk mencabut 206 Perda, karena dinilai menghambat
ekonomi yaitu memberatkan pengusaha dan lain-lain.
[3] “Memberi Kekuatan Pada Daerah:
Menelaah Konsep Otonomi Daerah Tk. II”. (http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6berita_3.html,
22 Maret 2005).
[4] Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a
Meaningful Analytic Concept,” Urban Affairs
Quarterly 26, 1 (September): 3-27.
[5] Boyne, George A. 1996. “Competition and Local Government: A Public
Choice. Perspective,” Urban Studies 33, 4-5:
703-721.
[6] Kirlin, John J. 1996. “The Big Questions of Public Administration in a
Democracy,” Public Administration Review 56, 5
(September/October): 416-4320.
[7] Jeffrey I. Chapman. 1999. “Local
Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of California”. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper (http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).
[8] Di Indonesia, masyarakat sempat
geger ketika DR. Amien Rais melontarkan gagasan pembentukan negara federal,
sebagai alternatif dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Gagasan yang dilontarkan
sebagai wacana publik ini didukung oleh banyak akademisi. Namun, para politisi,
serta pejabat pemerintah umumnya menolak gagasan federasi ini.
[9] Faisal H. Basri. Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah. Universitas
Brawijaya, Malang. (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang_tantangan.pdf.,
22 Maret 2005).
[10] Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau adalah tiga pemikir yang
mengembangkan pemikiran ideal tentang bagaimana perjanjian peran dan tugas
negara serta kewajiban negara maupun warganegara. Bagi Hobbes, keamanan dan
ketertiban umum hanya mungkin dapat dicapai, jika ada kontrak, dimana
warganegara menyerahkan segenap kekuasaan dan kekuatan individual masing masing
kepada kekuasaan yang terpusat, dan sebagai imbalannya, mereka mendapat
perlindungan pada kehidupan dan harta miliknya. Locke justru menganjurkan
sebaliknya. Biarkan masing-masing individu bebas dan hanya diatur oleh hukum
alam saja. Gagasan ini menjadi landasan demokrasi liberal. Rousseau
menghayalkan suatu kontrak tersebut memerlukan dasar “equalitas” yang penuh dan
partisipasi yang demokratis berdasarkan ekspresi “kehendak umum” (general will). Gagasan Rousseau ini
tetap menjadi pemikiran banyak orang sesudahnya tentang tujuan pemerintah dan
karakteristik dari suatu masyarakat yang ideal.
[11] “Relasi Negara
dan Warganegara”. Majalah: Cidadaun On line. No 19. Minggu III, Desember 2001.
(http://yayasanhak.minihub.org/txt/19/09.html,
24 Maret 2005).
[12] Michael Reid. “Thinking About Local Government -Time to Change the
Paradigm?”. Future Times 1999, Vol 4. (http://www.futurestrust.org.nz., 6 April 2005).