“Partisipasi” adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap
kesalinghubungan di antara stakeholders yang
berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas
dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Secara sederhana, “partisipasi”
dapat dimaknai sebagai “the act of taking
part or sharing in something”. Dua
kata yang dekat dengan konsep “partisipasi” adalah “engagement” dan “involvement”.
Partisipasi
dapat didefinisikan sebagai proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat
dalam seluruh inisitaif pembangunan. Maka, pembangunan yang partisipatif (participatory development) adalah
proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan
substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Dalam bidang politik dan
sosial, partisipasi bermakna sebagai upaya melawan ketersingkiran (opposite of marginality). Jadi, dalam
partisipasi, siapapun dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol
terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi
lebih terlibat dalam pembangunan.
Secara umum, sisi positif
partisipasi adalah program yang dijalankan akan lebih respon terhadap kebutuhan
dasar yang sesungguhnya. Ini
merupakan suatu cara penting untuk menjamin keberlanjutan program, akan lebih efisien
karena membantu mengindentifikasi strategi dan teknik yang lebih tepat, serta
meringankan beban pusat baik dari sisi dana, tenaga maupun material. Namun sisi
negatifnya, partisipasi akan melonggarkan kewenangan pihak atas sehingga
akuntabilitas pihak atas sulit diukur, proses pembuatan keputusan menjadi lambat
demikian pula pelaksanaan, serta bentuk program juga akan berbeda-beda karena
masyarakat yang beragam. Di luar itu, program juga berpeluang untuk diselewengkan
oleh pihak tertentu untuk kepentingan kelompoknya.
Konsep “partisipasi”
terutama dibicarakan dalam konteks dunia politik. Dalam ilmu politik, “partisipasi”
merupakan istilah payung (umbrella term)
yang kemudian memiliki banyak pengertian. Namun, intinya adalah bagaimana keterlibatan publik dalam keputusan politik. Partisipasi
merupakan materi yang esensial untuk terjadinya demokrasi, karena demokrasi
membutuhkan keterbukaan (transparency). Pada akhirnya, tujuan partisipasi adalah
untuk meningkatkan keteguhan diri (self-determination,)
serta terbangunnya kontrol dan inisiatif masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya
untuk pembangunan.
Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda
menurut mereka yang terlibat, misalnya antara pengambil kebijakan, pelaksana di
lapangan, dan masyarakat. Para ahli telah mampu membuat pengklasifikasian
partisipasi. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ada tujuh
karakteristik tipologi partisipasi[1],
yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal. yaitu:
1.
Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk
partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima
pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh
pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran
program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di
luar kelompok sasaran belaka.
2.
Partisipasi informatif. Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian. Akurasi hasil penelitian, tidak
dibahas bersama masyarakat.
3.
Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan
pemecahannya. Belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para
profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai
masukan) untuk ditindaklanjuti.
4.
Partisipasi insentif. Masayarakat memberikan korbanan dan jasa
untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam
proses pembelajaran atau
eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk
melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
5.
Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai
bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada
tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap
menunjukkan kemandiriannya.
6.
Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Cenderung
melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam
proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk
mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil
dalam keseluruhan proses kegiatan.
7.
Mandiri (self mobilization).
Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh
pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan
dukungan teknis serta sumber daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali
atas pemanfaatan sumberdaya yanga ada dan atau digunakan.
Istilah partisipasi digunakan
secara luas dalam literatur-literatur pembangunan, dan dengan beragam
interpretasi[2].
Secara posisional, ia berada dalam range dari suatu kondisi kontrol luar yang
hampir total, lalu pada keterlibatan local
people, sampai kepada bentuk aksi kolektif masyarakat lokal yang menyusun
dan mengimplementasikan rencana mereka sendiri dan absesnnya inisiasi dan
fasilitator dari luar. Ada enam bentuk partisipasi masyarakat lokal yang secara
berururutan semakin baik, yaitu [3]:
Bentuk partisipasi
|
Tipe Partisipasi
|
Peran masyarakat lokal sebagai
|
1. Co-option
|
Tidak ada input apapun dari
masyarakat lokal yang dijadikan bahan.
|
Subjek
|
2. Co-operation
|
Terdapat insentif, namun proyek
telah didesain pihak luar yang menentukan seluruh agenda dan proses secara
langsung.
|
Employees atau subordinat
|
3. Consultation
|
Opini masyarakat ditanya, namun
pihak luar menganalisis informasi sekaligus memutuskan bentuk aksinya.
|
Clients
|
4. Collaboration
|
Masyarakat lokal kerjasama
dengan pihak luar untuk menentukan prioritas, dan pihak luar bertanggung
jawab secara langsung kepada proses.
|
Collaborators
|
5. Co-learning
|
Masyarakat lokal dan luar
saling membagi pengetahuannya, untuk memperoleh saling pengertian, dan
berkejasama untuk merencanakan aksi, sementara pihak luar hanya
memfasilitasi.
|
Partners
|
6. Collective action
|
Masyarakat lokal menyusun dan
melaksanakan agendanya sendiri, pihak luar absen sama sekali.
|
Directors
|
Kontrol dari pihak luar semakin
menurun dari tipe 1 sampai 6, bahkan pada tipe 6 kontrolnya nol. Sebaliknya
potensi untuk keberlanjutan aksi dan rasa kepemilikan lokal semakin meningkat.
Pada tipe 1 sampai 3 potensi keberlanjutannya nol, dan pada tipe 6 potensinya
paling tinggi.
Bagaimana agar
partisipasi berjalan? Secara umum, partisipasi
komunitas hanya akan terjadi apabila tidak ada dominasi oleh elit lokal pada
pemerintahan lokal, dan terjaminnya akuntabilitas. Untuk memperkuat partisipasi,
perlu penumbuhan kesadaran dan pengorganisisasian masyarakat. Komuitas harus
didorong untuk memperkuat proses pengorganisasian mereka sendiri dan mendukung
berbagai inisiatif yang timbul. Pemerintah harus mendorong penciptaan kebijakan
yang mendukung aksi mandiri masyarakat tersebut.
Dalam format partisipasi dapat dilakukan
berbagai upaya misalnya berupa public
hearing, workshop, focus group
discussion (FGD), menyusun kelembagaan untuk wadah penyampaian input dari
publik, adanya media untuk mendiskusikan berbagai isu dan perhatian, dan iklim
yang demokratis. Salah satu upaya menciptakan partisipasi dalam komunitas
adalah melalui proses “Social Learning”,
yang merupakan proses dimana baik individu maupun kelompok-kelompok mendapatkan
pengetahuan baru dan memperoleh perilaku baru (new behaviour) melalui interaksi sesamanya. Beda dengan pelatihan,
maka tekanan pada pendekatan ini adalah pada “perilaku group” yang terjadi
melalui berbagi pengalaman (sharing
experience).
Mengapa
partisipasi dibutuhkan? Yang paling pokok adalah agar terjaminnya pembangunan
yang berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan sangat tergantung kepada
proses sosial (social process). Tiga
aspek utama masyarakat – sosial, ekonomi, dan lingkungan – harus diintegrasikan,
dimana individu dan lembaga saling berperan untuk terjadinya perubahan. Dalam
“Agenda 21” tercantum esensi partisipasi
dalam pembangunan berkelanjutan, dimana partisipasi berada dalam konteks
development co-operation. Ketika
kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di negara, maka pembangunan harus
responsif terhadap rakyat. Dengan kata lain, pembangunan diupayakan menjadi
proses yang bertolak dari community
driven, community led, dan community
owned; sebagai kondisi dasar untuk keberlanjutan.
Partisipasi sebagai alat sudah umum
dibicarakan, namun partisipasi sebagai tujuan masih diperdebatkan. Dalam
konteks pembangunan, partisipasi sudah sangat diterima (fashionable) sebagai alat yang esensial. Partisipasi sebagai
tujuan adalah “supporting people in
articulating and negotiating their interest at the social, institutional, and
policy-making levels in the partner country”. Sementara, partisipasi
sebagai proses, atau sebagai satu prinsip dalam manajemen, adalah observasi
yang melibatkan secara lebih intensif aktor-aktor yang terlibat dalam
menentukan tujuan proyek, cara mengukur, dan proses. Dalam konteks ini, kita
mengenal istilah “manajemen yang partisipatif”, yang tujuannya adalah untuk menjadikan
masyarakat yang partisipatif dan mandiri sebagaimana tujuan dari capacity building.
Dalam
berjalannya waktu, terjadi redefinisi terhadap partisipasi. Dalam praktek
konvensional, seringkali hanya diminta partisipasi masyarakat sebagai donor
atau sukarelawan (voluntary) dalam
pembangunan. Sehingga yang terjadi hanyalah fenomena “partisipasi yang
dibayar”, dimana partisipasi hanya muncul jika ada proyek dengan kucuran dana
dari atas. Dalam tiga dasawarsa belakangan ini telah diperoleh sebuah spektrum
makna dan semangat baru untuk melakukan partisipasi secara berbeda. Konsep partisipasi
komunitas (community participation)
berbeda secara esensial dengan partisipasi politik.
Akhir-akhir
ini telah lahir konvergensi antara hasrat pelibatan masyarakat dalam perumusan
kebijakan dan implementasinya dengan terciptanya good governance. Telah diupayakan mencari berbagai bentuk baru
partisipasi yang bersifat lebih langsung. Intinya adalah bagaimana masyarakat dapat
memperngaruhi pemerintah dan memaksa mereka agar lebih accountable[4].
Ada perubahan bentuk dan tekanan pada demokrasi, sebagaimana tabel berikut[5]:
Dari
|
Menuju
|
Pemanfaat (beneficiary)
|
Warga
nergara (citizen)
|
Diimplementasikan
dalam proyek-proyek
|
Masuk ke
lingkup kebijakan
|
Berbentuk
konsultasi (consultation)
|
Berbetuk
pengambilan keputusan (decision-making)
|
Lebih
sebagai pendekatan (appraisal)
|
Lebih
nyata, karena menekankan pada implementasi.
|
Pada level
mikro
|
Level
maknro
|
Dalam aktifitas riset, juga
dikenal pendekatan partisipatif. Partisipasi
dalam “kajian bersama” diinterpretasikan sebagai upaya untuk menghargai hak
asasi setiap subyek, memberi mereka peluang untuk mengenali dan menyatakan
pilihan dan nilai-nilai mereka, memberdayakan sehingga mampu berkembang menjadi
manusia yang utuh, serta menghindarkan dari kehilangan kedaulatan terhadap
nilai-nilai mereka. Partsisipasi epistemik riset sangat penting, karena[6]:
(1) Validitas proposisi mengenai
pengalaman orang yang dihasilkan oleh suatu kajian diragukan jika tak
punya dasar dalam pengalaman si peneliti; (2) Cara yang paling teliti untuk
mencapai validitas itu adalah jika si peneliti mendasarkan
pernyataan-pernyataannya langsung dari pengalaman sendiri, sebagai sesama
subyek yang siap untuk saling berbagi informasi, dimana pengalaman itu sendiri
mencakup suatu pengetahuan yang berasal dari partisipasinya; dan (3) Hal itu
menjadikan peneliti mengetahui bukan saja bentuk-bentuk luar yang ditampilkan
dalam perilaku orang per orang atau dalam perilaku kolektif, tapi juga mengenal
ikatan-dalam, dampak dan raga, serta kesadaran dari bentuk-bentuk tersebut.
Dikenal pula partisipasi dalam
monitoring dan evaluasi (Participatory
monitoring & evaluation = PM&E), yaitu proses dimana para stakeholders pada berbagai level terlibat dalam kegiatan monev
dalam proyek atau kebijakan tertentu[7].
Ada proses berbagi kontrol terhadap materi
serta dalam proses dan hasil, sehingga aksi yang tepat akan lebih terjamin. Dengan
fokus kepada keterlibatan aktif dari pelaku utama (primary stakeholders), maka tidak hanya akan dapat mengukur secara
tepat keefektifan proyek, namun juga untuk terbangunnya rasa memiliki dan
pemberdayaan untuk pihak penerima (beneficiaries),
membangun akuntabilitas dan transparansi, dan mengambil peran untuk berjalannya
proses yang tepat untuk meningkatkan kinerja dan hasil.
Pendekatan PM&E
tidak lagi sebagaimana monev yang konvensional, dimana ahli dari luar datang
untuk mengukur keinerja berdasarkan indikator yang sudah baku, serta prosedur
dan alat yang standar. PM&E berupaya melibatkan (to
engage) pihak-pihak stakeholders utama
untuk lebih aktif dalam merefleksikan dan mengukur (assessing) kemajuan poyek mereka dan terutama dalam hal pencapaian
hasil. Prinsip utama PM&E adalah: (1)
stakeholders utama adalah partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai sumber
infomrasi, (2) membangun kemampuan masyarakat setempat untuk melakukan
analisa, merefleksikan dan ambil bagian,
(3) terjadinya proses belajar bersama (joint
learning) dari seluruh stakeholders pada
berbagai level, dan (4) adanya komitmen untuk terciptanya proses yang lebih
tepat.
*****
[1] Pretty,
J. 1995. “Regenerative Agriculture: Policies and Practice for Sustainability
and Self-reliance”. London ,
Earthscan. (Dalam: R.
Ramírez. “Participatory Learning and Communication Approaches for Managing Pluralism.
http://www.fao.org/
documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/W8827E/w8827e08.htm., 9 Mei 2005).
[2] Carter, Jane.
1996. “Recent Approaches to Participatory Forest
Resource Assessment”. Rural Development Forestry Study Guide 2. Rural
Development Forestry Network Overseas Developemnt Institute, London . Hal. 3-5.
[3] Dimodifikasi dari Biggs (1989, hal. 3), Cornwall and Jewkes
(1995, hal. 1669) dan Parkes and Panelli (2001, hal. 88). (Dalam: Emma Jakku,
Peter Thorburn and Clare Gambley. “Decision Support Systems for Farm Management:
a Theoretical Framework from the Sociology of Science and Technology”. Tropical Landscapes Program, CSIRO Sustainable Ecosystems, Queensland Bioscience
Precinct, 306 Carmody Road,
St Lucia
QLD 4067. http://www.cropscience.org.au/icsc2004/poster/4/1/1/1219_jakkues.htm, 9 Agustus 2005).
QLD 4067. http://www.cropscience.org.au/icsc2004/poster/4/1/1/1219_jakkues.htm, 9 Agustus 2005).
[4] “Situational
Analysis of CBOs in Georgia :
Participation”. (http://www.psigeorgia.org/undpsa/participation.htm.,
13 Mei 2005).
[5] Andrea Cornwall
and John Gaventa, 2001. “From Users and
Choosers to makers and shapers: repositioning participation in social policy”. IDS
Working Paper 127. (Dalam: “Situational Analysis of CBOs in Georgia :
Participation”. http://www.psigeorgia.org/undpsa/participation.htm,
13 Mei 2005).
[6] Menurut
Sajogyo (Dalam: Sarman, Muchtar. ed. 1998. “Dimensi Kemiskinan: Agenda
Pemikiran Sajogyo”. Kata Pengantar Mubyarto. Pusat P3R-YAE. Bogor . Edisi terbatas. 121 hal. Hal. 85-6).
[7] “Participatory
Monitoring & Evaluation”. (http://lnweb18.worldbank.org/ParticipatoryMonitoringandEvaluation1,
13 Mei 2005).