Menurut World Bank[2], social capital adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Namun, SC tidaklah sederhana hanya sebagai jumlah dari seluruh institusi yang ada, namun ia adalah juga semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Dalam SC dibutuhkan adanya “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dand common sense tentang tanggung jawab bersama; sehingga masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka.
Melihat banyaknya pendapat tentang SC, maka ada ahi yang mendefinisikannya secara sederhana sebagai “kerukunan dan kerjasama yang sinergestik”. Selain itu, juga tampak bahwa ada 2 pendapat dimana posisi SC. Pertama, SC melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Kedua, SC juga dapat dilihat sebagai karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu yang terlibat interaksi sosial. Jadi, SC tidak dalam jaringan, namun pada individu-individunya.
Bagaimana mengukur social capital? Meskipun belum ada kesepakatan, namun ada dua pendekatan untuk mengukurnya. Kita dapat melakukan sensus dengan menghitung jumlah grup atau kelompok sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat. Dan kedua, dapat juga dengan pendekatan survey, dengan mengukur derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam masyarakat (level of trust and civic engagement).
Satu konsep lain yang dekat dengan SC adalah konsep “Kualitas Masyarakat”. Menurut Dahlan[12], kualitas masyarakat perlu untuk mewujudkan kemampuan dan prestasi bersama. Hal ini mencakup ciri-ciri yang berhubungan dengan kelangsungan masyarakat itu sendiri. Kualitas masyarakat ditelaah atas beberapa kelompok dengan detail sebagai berikut:
Penggunaan istilah “social capital” masih lebih populer dibandingkan padanannya dalam
Bahasa Indonesia “modal sosial”. Dapat
dikatakan, konsep social capital (untuk
selanjutnya disingkat menjadi “SC”) merupakan
sumbangan ahli sosial untuk melengkapi konsep “human capital” yang sudah sangat umum, terutama di kalangan ilmu
ekonomi dan pembangunan. Menurut saya, SC merupakan kritik terhadap pendekatan
individual otonom yang merupakan karakter utama ilmu ekonomi terhadap
masyarakat, dan manusia dipandang sebatas sebagai capital belaka. Sebelum munculnya social capital, telah dikenal berbagai bentuk kapital yaitu natural capital, financial capital, physical capital, human capital, dan human made
capital (atau producced assets).
Semenjak dahulu telah berkembang berbagai
pengertian tentang SC. Literatur pertama yang banyak dikutip tentang SC adalah artikel
klasik James Coleman tahun 1987. Semenjak itu SC telah menjadi konsep yang
terorganisir dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial. Karena SC dikembangkan baik
oleh kalangan ekonomi dan non-ekonomi, maka SC ada dalam pengertian ekonom dan
non-ekonom pula.
Konsep social capital dapat diterapkan untuk
upaya pemberdayaan masyarakat. World Bank memberi perhatian yang tinggi dengan
mengkaji peranan dan implementasi SC khususnya untuk pengentasan kemiskinan di
negara-negara berkembang. Paham yang dikembangkan oleh World Bank dengan
menggunakan SC didasari oleh asumsi berikut[1]:
1.
SC berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial, dan politik;
dan meyakini bahwa hubungan sosial (social
relationships) mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja. Sebaliknya,
pasar dan negara juga akan membentuk bagaimana SC di masyarakatnya.
2.
Hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong kefektifiafan dan
efisiensi baik perilaku kolektif maupun individual.
3.
SC dalam satu masyarakat dapat diperkuat. Untuk itu dibutuhkan
dukungan sumber daya tertentu.
4.
Agar tercipta hubungan-hubungan sosial dan kelembagaan yang baik, maka anggota masyarakat mesti
mendukungnya.
Luas
jangkauan konsep yang dikembangkan tentang SC bervariasi antar ahli. Konsep
yang paling sempit dikemukakan oleh Putnam[3],
yang memandang SC sebagai seperangkat hubungan horizontal (“horizontal associations”) antar orang. Menurutnya, SC berisi social networks (“networks of civic
engagement”) dan norma yang mempengaruhi produktifitas suatu masyarakat.
Konsep yang lebih luas disampaikan oleh Coleman[4]
yang mendefinisikan SC sebagai “a variety
of different entities, with two elements in common: they all consist of some
aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors —
whether personal or corporate actors — within the structure”. Konsep ini memasukkan hubungan-hubungan
horizontal dan vertikal sekaligus, serta juga
perilaku di dalam dan antara seluruh pihak dalam masyarakat.
SC
sesungguhnya memiliki kontribusi penting dalam pembangunan, khususnya agar
tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pada konsep awal pembangunan
berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan baru terbatas pada natural
capital, physical atau or produced
capital, dan human capital. Lalu disadari bahwa ketiga kapital tersebut baru
menjelaskan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi. Satu
mata rantai yang hilang (the missing
link) adalah social capital[5].
Istilah “kapital” sesungguhnya sangat berbau
ekonomi. Pengertian ini mempengaruhi bagaimana kalangan ekonom mamaknai SC. Dalam
pengertian yang mendasar menurut kalangan ekonomi, SC berperan dalam mekanisme
alokasi sumberdaya. Dalam ilmu ekonomi, SC pada tingkat mikro untuk
memfungsikan pasar, dan pada level makro untuk pertumbuhan ekonomi. SC terlihat
dari bagaimana institusi, legal
frameworks, dan peran pemerintah dalam organisasi produksi mempengaruhi
kinerja ekonomi makro. Dalam konteks ini, menurut Fukuyama, SC adalah kemampuan
orang untuk bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam group dan organisasi. Lebih
jauh dari itu, menurut Francis Fukuyama, SC juga diperlukan untuk reformasi
pemikiran ekonomi yang dipakai saat ini (second
generation economic reform).
Jika dicermati lebih jauh, khususnya dari
kalangan sosiologi, akan tampak bahwa elemen utama dalam SC mencakup norms, reciprocity, trust, dan network[6]. Dalam literatur ilmu politik, sosiologi, dan
antropologi, SC adalah “.. the set norms, networks, and organization
through which people gain access to power and resources that are instrumental
in enabling decision-making and policy formulation” [7].
Selanjutnya, menurut Robert Putnam[8],
SC adalah: “similar to the notions of
physical and human capital, the term social capital refers to featurs of social
organization – such as network, norms, and trust that increase a society’s
productive potenstial”. Menurut pendapat sosiolog lain, SC adalah “social stucture that facilitate certain
actions of actors within the structure”. Ini sejajar dengan konsep “social collectivities” dari Amitai
Etzioni.
Dengan definsi ini, trust, network, dan civil
society adalah sesuatu yang lahir dari adanya SC, bukan SC itu sendiri.
Dengan mempelajari ketiganya maka kita
dapat memprediksi SC yang ada di masyarakat tersebut.
SC dalah bahan baku utama terbangunnya civil society. SC tercipta dari ratusan
sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri
pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia pelengkap institusi. Ia bukan milik
organisasi, pasar, ataupun negara. SC merupaka fenomena yang tumbuh dari bawah,
yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan atas prinsip “... trust, mutual reciprocity, ans norm of
action”. SC tidak dapat
diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas
masyarakat (ataupun organisasi) untuk
membentuk asosiasi dan jaringan baru.
Jadi, social
capital juga terlihat sebagai sesuatu yang “sangat sosial”. Ia hadir karena
adanya kontrak sosial. Yaitu persetujuan antara sesama warga atau kelompok
tentang asas-asas tertentu berkenaan dengan kehidupan bersama dalam masyarakat.
Kontrak tersebut mengikat secara legal, dan dipegang teguh sebagai komitmen
moral.
Banyak perbedaan batasan antar ahli tentang
SC. Beberapa penulis menekankan pentingnya trust,
sebagian social network, dan behavioral norms; namun ada yang menekannya
ketiganya sekaligus. Robert Putnam adalah contohnya. Ia menekan ada 3 elemen utama
dalam SC, yaitu: rasa saling percaya (trust),
norma yang disepakati dan ditaati (social
norms), serta jaringan sosial (social
network).
Pengertian trust secara sederhana adalah: “willingness
to take risk”. Yaitu interaksi-interaksi
yang didasari perasaan yakin (sense of
confidence), bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana diharapkan, dan
akan saling mendukung. Atau, setidaknya orang lain tak akan bermaksud
menyakiti. Jadi, ada perasaan aman dalam berinteraksi (perceived safety) dengan orang. Perasaan ini memiliki wilayah
jangkauan (“radius of trust”) yang
didefinisikan sebagai: “the circle
of people among whom cooperative norms
are operative”.
Tentang trust,
menurut Francis Fukuyama[9],
kehidupan ekonomi tergantung kepada ikatan moral kepercayaan sosial, yang
memperlancar transaksi, memberdayakan kreatifitas perorangan, dan menjadi
alasan kepada perlunya aksi kolektif. Ia merupakan ikatan tidak terucap dan
tidak tertulis. Amerika Serikat contohnya, sesungguhnya didukung oleh keeratan (cohesivenness) civil society dan
kekuatan komunitasnya, tidak hanya individualisme melulu. AS, Jerman dan Jepang
adalah contoh negara yang civil society-nya
berkembang, institusi sosial berperan besar, dan trust dalam masyarakatnya tinggi. Di sisi lain, Cina, Perancis dan
Italia merupakan contoh negara yang melakukan ekonomi dengan trust yang rendah.
Tentang norma, dapat dibedakan mulai dari
norma resiprositas antara dua teman, sampai kepada yang lebih mendasar,
misalnya norma keagamaan. Social norms menyediakan kontrol sosial
yang efektif. Ia tidak tertulis, namun menjadi panduan untuk menentukan apa
pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu
perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat. Kaitan dengan ini, maka
masyarakat dengan SC tinggi terlihat dengan rendahnya angka kriminal dan sedikitnya
jumlah kebijakan formal. Namun jika SC rendah, dimana social norms-nya sedikit, maka kerjasama antar orang hanya dapat
berlangsung di bawah sistem hukum dan regulasi yang formal.
SC menuntut partisipasi dalam jaringan,
resiprositas, trust, social norm, sifat keumuman pemilikan (the common), dan sikap warga yang
proaktif. SC hanya akan tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi.
Artinya, interaksi bukan suatu accounted
exchange sebagaimana dalam kontrak bisnis, tapi kombinasi antara sifat
altruis jangka pendek dengan harapan keuntungan dalam jangka panjang. Suatu
kebaikan saat ini dipercaya akan dibalas pada waktu yang tak diduga nanti dalam
bentuk yang lain.
Satu ciri lain dalam SC yang tinggi adalah
banyaknya “the common”, dimana
sumberdaya menjadi milik umum (shared
ownership). Sumber-sumber daya fisik dipahami sebagai “owned by no-one, used by all”. Ini hanya berjalan ketika trust hadir, dan sekaligus diimbangi
dengan sanksi yang ketat.
SC juga menuntut keaktifan warga, dimana yang
dibutuhkan adalah people as creators, not
as victim. Secara umum, ada delapan elemen yang berbeda dalam SC, yaitu
partisipasi pada komunitas lokal, proaktif dalam konteks sosial, perasaan trust dan safety, hubungan ketetanggaan (neighborhood
connection), hubungan kekeluargaan dan pertemanan (family and friends connection), toleransi terhadap perbedaan (tolerance of diversity), berkembangnya
nilai-nilai kehidupan (value of life),
dan ikatan-ikatan pekerjaan (work
connection).
SC dapat dipahami pada level mikro melalui
studi kasus. Dalam hal ini, dapat kita pelajari peranan SC dalam memfungsikan
keteraturan sosial (social order)
bersama-sama dengan perasaan bersama dan sikap berbagi (sense of belonging and shared behavioral norms)[10].
Namun di tingkat meso dan makro, misalnya negara, SC dapat dipelajari dengan melihat
variabel-variabel kunci sosial ekonomi yang biasa dihasilkan oleh lembaga
statistik. Pada tingkat negara, berapa banyak SC yang dimilikinya, dapat
diidentifikasi dari dua negara dengan sumberdaya alam yang sama, namun berbeda
kinerja eknominya. SC adalah yang membuat kinerja ekonominya berbeda tersebut.
Sebagian ahli menganalogkan SC sebagai “sinergi”
yang dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat yang bersinergi tinggi adalah
masyarakat yang bekerjasama dengan kuat, sementara masyarakat bersinergi rendah
cenderung individualistis[11].
1.
Perihal kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari keserasian
sosial, kesetiakawanan sosial, disiplin sosial, dan kualitas komunikasi sosial.
2.
Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan
akses untuk partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana
dan prasarana komunikasi politik, serta keberadaan media massa.
3.
Kehidupan kelompok.
4.
Kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran
institusi dan kualitas, kemampuan institusi menumbuhkan kemandirian masyarakat
dan menjalankan fungsi yang baik, kualitas pemahaman terhadap hak dan kewajiban
tiap orang, struktur institusi yang terbuka, dan mekanisme sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya
kemasyarakatan secara berkelanjutan.
Satu konsep yang dekat dengan SC yang
sejak dulu menjadi salah satu perhatian ilmuwan khususnya untuk masyarakat
pertanian adalah konsep “hubungan patron-klien” (patron-client relationship)[13].
Ini merupakan hubungan dua pihak (diadik), antara dua orang secara individual yang bersifat
asimetris. Pihak patron (tuan atau majikan) menyediakan perlindungan dan
jaminan sosial, sedangkan klien memberikan tenaganya baik di pertanian maupun di rumah.
*****
[1] The World Bank.1998. ”The Initiative on Defining, monitoring and
Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”.
Social Capital Initiative Working Paper No. 2. The World Bank, Social
Development Family, Environmentally and Socially Sustainable Development
Network. June 1998. (Dalam http://www1.worldbank.org/prem/poverty/scapital/wkrppr/sciwp2.pdf.
9 Mei 2005).
[2] The World Bank.1998. ”The Initiative on Defining, monitoring and
Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”.
Social Capital Initiative Working Paper No. 2. The World Bank, Social
Development Family, Environmentally and Socially Sustainable Development
Network. June 1998. (Dalam http://www1.worldbank.org/prem/poverty/scapital/wkrppr/sciwp2.pdf.
9 Mei 2005).
[3] Putnam, R. 1993. “The Prosperous Community — Social Capital and
Public Life.” American Prospect (13):
35-42. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
[4] Coleman, J. 1988. “Social Capital in the Creation of Human
Capital.” American Journalof Sociology 94. (Supplement) S95-S120. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
[5] Grootaert, C. 1997. “Social Capital: The Missing Link?” in Expanding
the Measure of Wealth: Indicators of Environmentally Sustainable Development.
Environmentally Sustainable Development Studies and Monographs Series No. 7. Washington , DC :
The World Bank. (Dalam The World Bank. 1998. Hal 5-7).
[6] Subejo. 2004. Peranan Social Capital dalam Pembangunan Ekonomi:
Suau Pengantar untuk Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia .
Majalah Agro Ekonomi Vol. 11 No.1 Juni 2004. hal 79.
[7] Serageldin, I. and C. Grootaert.
1997. “Defining Social Capital: An Integrating View.” Paper presented at
Operations Evaluation Department Conference on Evaluation and Development: The
Institutional Dimension. Washington ,
DC : The World Bank.
[8] Dalam buku “Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern
Italy. 1993”.
[9] Terdapat dalam buku “Trust: The Social Virtues and The Creation of
Prosperity” terbit tahun 1995.
[10] Satu kondisi yang menegatifkan nilai SC adalah “konflik”. Menurut
bahasa Latin, conflictio berarti saling bertentangan atau berlawanan. Konflik
adalah suatu keadaan jika dua pihak dalam waktu bersamaan terdapat dua tendensi
perilaku atau lebih. Ada
tiga bentuk penting dalam konflik, yaitu konflik intrapersonal, antar personal,
dan kelompok.
[11] Masyarakat bersinergi rendah dapat berupa narcisme yaitu cinta berlebihan kepada diri sendiri sehingga rawan
melahirkan korupsi, nepotisme dan lain-lain; sedangkan yang altruis
mendahulukan orang, walau berbasiskan individualisme.
[12] Dahlan, M. Alwi. 1993. Menjabarkan Kulaitas dan Martabat Manusia
dan Masyarakat. Hal. 3-22. Dalam: Sofian
Effendi et al. (eds) 1993. Membangun
Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Gajah Mada University Press Cet.2. 700 hal. (Hal
16).
[13] Lihat misalnya dalam buku Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia , Jakarta . 384 hal; dan
Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. LP3ES, Jakarta .
369 hal. Keduanya diangkat dari penelitian pada masyarakat pedesaan pra
industri di Vietnam