Participatory Rural Appraisal (PRA), adalah istilah yang diberikan kepada
pendekatan yang menggunakan metode partisipastif dengan menekankan kepada
pengetahuan lokal dan kemampuan masyarakat untuk membuat penilaian sendiri, menganalisis
sendiri, dan merencanakan sendiri. PRA memfasilitasi proses saling berbagai
informasi (information sharing), analisis,
dan aktifitas antar stakeholders. Meskipun
pada awalnya pendekatan ini digunakan di pedesaan, namun terbukti juga sesuai pada
berbagai kondisi, termasuk untuk masyarakat perkotaan. Pada intinya, tujuan PRA
adalah “.... to enable development
practitioners, government officials, and local people to work together to plan
contextappropriate programs” [1].
PRA, yang
lahir pada 1980-an, dikembangkan dari
konsep “Rapid Rural Appraisal” (RRA) yang merupakan seperangkat teknik informal yang
digunakan praktisi pembangunan di pedesaan untuk mengkoleksi dan menganalisa
data. RRA dikembangkan pada dekade 1970-an dan 1980-an sebagai respon dari
kesadaran bahwa pihak luar (outsiders)
seringkali kehilangan (missing) atau
salah paham (miscommunicating) dengan masayarakat lokal ketika melakukan
kegiatan pembangunan bersama.
Jika ditelusuri
ke belakang untuk mengetahui apa yang mendasari lahirnya RRA dan PRA. Pada
1950-1960 diakui bahwa peran bantuan finansial dan teknologi ke pedesaan yang
berada di bawah program Revolusi Hijau memang mampu meningkatkan produksi, namun
program ini secara relatif lebih dinikmati hanya oleh petani kaya, sehingga menimbulkan kesenjangan yang nyata di
pedesaan. Lalu, pada awal 1970-an juga disadari bahwa program alih teknologi
tak selalu sesuai untuk yang miskin. Ada hubungan yang kompleks antara faktor
lingkungan, ekonomi, sosial, serta budaya. Seharusnya ia dipandang sebagai suatu
sistem yang terintegrasi. Tak mungkin merubah satu elemen tanpa mempengaruhi
elemen lain. Implikasinya, ekonomi yang berkembang di satu desa saling terkait
dengan misalnya bagaimana penduduk memposisikan lingkungan, bagaimana motivasi
hidup mereka, serta nilai-nilai apa yang mereka pegang teguh. Jadi, sistem
harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Dari latar
belakang ini dikembangkan pendekatan Rapid
Rural Appraisal (RRA) yang mengadopsi penelitian etnografi dan antropologi
terapan, dengan memberi perhatian sunguh-sungguh kepada alasan-alasan dan
pandangan hidup penduduk setempat. PRA dapat dikatakan sebagai penyempurnaan
dari RRA. Bagi sebagian orang, beda yang esensial antara PRA dengan RRA adalah:
apakah hasil proses tersebut menjadi milik masyarakat setempat atau belum?
PRA berada dalam
konteks collaborative decision making,
dan merupakan salah satu bentuk community-based
method. Dalam PRA, koleksi dan analisis data dilakukan oleh masyarakat
lokal, sedangkan pihak luar lebih sebagai fasilitator dibandingkan sebagai
pengontrol kegiatan. Pada hakekatnya, PRA adalah suatu pendekatan untuk belajar
bersama (shared learning) di antara
masyarakat lokal dan pihak luar.
- Participasi. Masukan masyarakat lokal dalam aktivitas PRA merupakan
suatu yang esensial, sebagai sesuatu metode yang bernilai dalam penelitian
dan perencanaan, dan sebagai alat untuk mendifusikan pendekatan
partisipatif dalam pembangunan.
- Teamwork. Validitas data yang dihasilkan dari PRA tergantung
dari interaksi informal dan brainstorming
di antara mereka yang terlibat. Data terbaik akan diperoleh bila
dikerjakan oleh satu tim yang melibatkan masyarakat lokal dengan perspektif
dan pengetahuan tentang kondisi wilayahnya, tradisi, serta struktur sosial
setempat; sedangkan pihak luar (expatriates)
melengkapinya dengan mencapurkan berbagai disiplin dan pengalaman.. Suatu
tim yang seimbang akan mampu merepresentasikan keragaman sosial ekonomi,
kultural, gender, dan generasi.
- Fleksibilitas. PRA tidak meyediakan suatu blueprints
untuk pelaksana (practitioners).
Kombinasi teknik yang cocok dalam satu objek yang spesifik, akan
dipengaruhi oleh variabel dan ukuran serta keterampilan tim PRA, tersedianya
waktu dan sumberdaya, dan topik serta lokasi kerja.
- Optimal ignorance. Agar efisien dalam konteks anggaran dan
waktu, harus dikumpulan informasi yang cukup untuk pembuatan rekomendasi
dan keputusan.
- Triangulasi. PRA bekerja dengan data kualitatif. Untuk
menjamin bahwa informasi valid dan dipercaya, tim PRA harus mengikuti
aturan bahwa setidaknya tiga sumber atau metode harus digunakan atau dalam
mempelajari satu topik yang sama.
Ada lima konsep utama yang menjadi tiang PRA
(maupun RRA), yaitu:
- Empowerment. Pengetahuan adalah kekuatan.
Pengetahuan dibangkitkan melalui proses dan hasil riset secara
partisipatif, dan menjadi milik bersama. Jadi, kelompok profesional dari luar tidak dapat memonopoli
pengetahuan tersebut. Kepercayaan diri masyarakat lokal bangkit atau
diperkuat (reinforced) berkenaan dengan validitas pengetahuan mereka.
Pengetahuan luar harus dapat diasimiliasikan dengan pengetahuan lokal.
- Respect. PRA melakukan
proses transformasi diri seorang peneliti menjadi murid (learners) dan
pendengar (listeners), dengan menghargai kemampuan intelektual dan daya
analisis masyarakat lokal. Peneliti harus membuang jauh-jauh sikap
patronasenya yang cenderung mendominasi. Jika si peneliti telah memahami
gaya canda masyarakat setempat, serta sastra dan nyanyiannya, maka berarti
telah mulai mau memahami kultur
setempat.
- Localization. Gunakan secara ekstensif dan kreatif
sumber daya setempat, seberapapun terbatasnya. Perlihatkan sikap berbagi dengan jelas, dan hindari
sikap lebih unggulnya pihak luar.
- Enjoyment. PRA
adalah sesuatu yang fun, hanya dapat dijalankan jika fun, dan memang ia
adalah sesuatu yang fun. Tekanannya bukan kepada “cepat”-nya, namun kepada
”proses”.
- Inclusiveness. Dorong sensitifitas melalui perhatian
yang tinggi pada proses, termasuk perhatian kepada kelompok-kelompok
masyarakat marjinal dan peka, perempuan, anak-anak, orang-orang tua, dan
yang miskin.
Karena tim PRA berbentuk interdisiplin dan
intersektoral, maka PRA menjadi ajang sebuah pengalaman belajar (exercise) yang mensyaratkan pendekatan “learning by doing” dan prosedur yang
transparan. Karena itu, sejumlah pertemuan terbuka perlu dilakukan mulai dari initial open meeting, final meeting, maupun
followup meeting. Beberapa metoda yang
umum digunakan dalam PRA adalah: wawancara semi tersetruktur, diskusi grup
secara terfokus (focus group discussions),
rangking penilaian (preference ranking),
pembuatan peta dan model (mapping and
modeling), dan diagram musim dan histrorik (seasonal and historical diagramming).
Dua kunci
utama PRA adalah analisa secara kolektif serta pendekatan yang baik (good rapport). Metode-metode lapang selengkapnya
adalah: (1) team contract bagi tim untuk
menginep di lokasi, melakukan diskusi malam dan brainstorming pagi; (2) the nigh halt, karena hubungan yang baik
akan terjalin jika tinggal di desa, serta tidur dan makan sebagaimana
masyarakat setempat; (3) work sharing; (4)
penulisan laporan “kasar” secara cepat di lapang (rapid report writing); (5) presentasi bersama; (6) melakukan transect walks dan observasi secara
langsung; (7) pembuatan rangking kesejahteraan dan beberapa peta sosial; (7)
wawancara semi terstruktur; (8) wawancara berantai; (9) pembuatan peta dan
model secara partisipatif; (10) pembuatan kalender musiman dan profil aktifitas
warga; (11) penyusunan sejarah lokal; (12) pembuatan diagram venn dan jaringan;
serta (13) pembuatan matriks dan rangking.
Dalam hal
keorganisasian, adalah suatu yang khas bahwa PRA melibatkan suatu tim yang
bekerja dua sampai 3 minggu, mulai dari workshop
discussions, menganalisa, dan bekerja di lapangan. Beberapa aspek
keorganisasian yang harus dipertimbangkan di antaranya adalah: penyediaan logistik,
training untuk anggota tim jika diperlukan, waktu yang cukup untuk pekerjaan
lapang (untuk penulisan laporan, analisis data, penarikan kesimpulan, dan
pembuatan rekomendasi), laporan terbaik akan dihasilkan bila langsung ditulis
begitu kembali dari lapangan dengan didasarkan kepada catatan dari anggota tim.
Laporan pendahuluan semestinya sudah dikerjakan pada minggu pertama di lapangan,
atau setidaknya sampai akhir masa lapangan, namun laporan final harus
dikerjakan oleh seluruh peserta termasuk seluruh pihak lokal yang terlibat.
Teknik PRA dapat mengkombinasikan sejumlah cara,
tergantung topik yang dipelajari. Pemetaan
modeling adalah teknik yang bagus dipraktekkan di awal kegiatan, karena
melibatkan beberapa penduduk setempat, dan dapat menjadi ajang untuk
menstimulasi dikskusi dan antusiasme penduduk, serta memberikan kepada tim
suatu gambaran menyeluruh terhadap desa. Untuk pembuatan peta transect dapat ditemani dan dibantu
penduduk setempat . Pembuatan rangking akan bagus jika dilakukan di akhir
kegiatan, ketika pendekatan dengan penduduk telah terjalin, karena ini merupakan
informasi yang sensitif. Wawancara individual juga dapat diterapkan untuk
beberapa kelompok masyarakat yang berbeda, dan untuk memperoleh alasan-alasan
yang beragam.
PRA dapat dikatakan sebagai sekuel dari beberapa pendekatan dan metode
yang telah dikembangkan sebelumnya. Salah satunya adalah pendekatan partsisipatif
dalam riset (Participatory Approach =
PA). PA dikembangkan pada dekade 1960-an
dan 1970-an[2],
yang diturunkan dari sistem perencanaan
pada akhir 1930-an dan pasca Perang Dunia II. Konsepnya sangat top down. Paradigmanya berbunyi:
“pembangunan adalah sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk rakyat”. PA lahir
dari fakta, bahwa metode ilmu yang dipakai dalam penelitian ilmu sosial formal
pada akhir 1950-an, yang mengkombinasikan proses pengolahan dengan komputer dan
mengandalkan data kuantitatif memakan biaya besar. Selain itu, ketelibatan stakeholder dalam penelitian rendah. Fakta
lain adalah, tingginya kegagalan pembangunan untuk meningkatkan kehidupan
sebagian masyarakat di negara berkembang. Pembangunan secara partisipatif (Participatory development) muncul
sebagai reaksi dari situasi ini[3].
Pembangunan
yang partisipatif menuntut pendekatan yang juga partisipatif. Maka lahirlah
berbagai metode penelitian partisipatif. Secara umum, metode penelitian
partisipatif dapat diklasifikasikan kepada empat tipe utama yang berbeda dalam gaya
(style) dan etikanya (ethos), yaitu: Participant Observer, Rapid Rural Appraisal
(RRA), Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Action Research (PAR).
Teknik "participant
observer" banyak digunakan dalam penelitian antropologi, dan
kemudian telah diadopsi oleh berbagai disiplin. Teknik ini berusaha memahami
bagaimana masyarakat lokal hidup dan bagaimana
memaknai berbagai data yang terkumpul.
Lalu,
berkembang Rapid Rural Appraisal (RRA) yang berisi sejumlah teknik untuk
melakukan penelitian yang "quick and
dirty" yang ternyata sering memberi hasil yang kurang tepat, namun
masih cukup meyakinkan dari pada dengan teknik riset kuantitatif klasik. Metode
ini lebih ekonomis. Namun kelemahan utamanya adalah karena semua dilakukan
untuk peneliti luar (outside researcher).
RRA merupakan cara yang lebih efisien dan efektif bagi orang luar, khususnya ketika mempelajari masalah pertanian,
yang hanya mungkin dilakukan dengan survei secara luas dengan mengunjungi
desa-desa oleh para “orang kota” (urban
professionals). RRA dikembangkan dari pengalaman penelitian antropologi
sosial di sepanjang 1930-an sampai 1950-an, dengan menekankan kepada pentingnya
untuk memahami situasi lokal, dan pentingnya memperoleh pemahaman yang lebih
luas dari hanya sekedar sekumpulan data statistik. Ia menggunakan pendekatan listening research, dan menciptakan
kombinasi metoda iterative dan
verifikasi, termasuk penerapan prinsip triangulasi.
Prinsip-prinsip dasar RRA (yang
juga dipakai dalam PRA) adalah: (1) menghilangkan bias lokasi, project person, musim, atau sifat
profesional; (2) penghargaan pada masyrakat lokal; (3) belajar dengan cepat,
sehingga fleksibel, exploratory,
interaktif, dan berdaya cipta (inventive);
(4) apresiasi kepada pengetahuan lokal; (5) bukan untuk mencari pengukuran
absolut, tapi cukup trends, skor, dan
rating [4];
(6) menggunakan prinsip triangulasi, baik pada metoda, sumber, maupun
disiplin; (7) mencari keragaman dan sekaligus perbedaan; serta (8) investigasi secara
langsung dari dan dengan masyarakat lokal. Jadi, ini adalah suatu penelitian aksi
[5]
yang berorientasi pada tujuan, yaitu untuk melakukan sesuatu berupa praktek[6].
Terlihat
bahwa antara RRA dan PRA sangat mirip. Seringkali peneliti yang menggunakan metode RRA meyakini bahwa mereka menggunakan
PRA, padahal makna partisipasi terbatas hanya penyediaan informasi oleh
komunitas kepada tim peneliti. Cara sederhana untuk membedakannya adalah: apa
nilai tambah yang diperoleh, dan siapa pemilik produk penelitian tersebut. Jika
penduduk menggambarkan peta karena kita menayakannya, itu adalah RRA. Namun,
jika mereka merasa bahwa peta tersebut milik mereka, dan ingin memilikinya
untuk digunakna sendiri, maka itulah PRA.
Sementara, Participatory Action Research (PAR) merupakan suatu pendekatan yang banyak digunakan para aktifis
yang bekerja untuk memperkuat masyarakat lokal, untuk menghasilkan power politik yang lebih kuat[7].
Efektifitasnya tergantung kepada seberapa jauh kesadaran dan kecakapan politis
mereka untuk bekerja sama dengan pendukung dari luar. PAR menekankan kepada
partisipasi, capability building,
penguasaan pengetahuan dan pemberdayaan. Pendekatan ini sangat menyita
kemampuan intelektual.
*****
[2] http://www.iisd.org/casl/CASLGuide/PRA.htm.,
22 Maret 2005.
[3]
Hal ini dipopulerkan oleh Gordon Conway and Robert Chambers (1992), dan David
Korten (1996). (Dalam http://www.iisd.org/casl/CASLGuide/PRA.htm.
22 Maret 2005).
[4] Atau dapat
dikatakan ia mengutamakan data kualitatif. Istilah “kualitatif” dalam penelitian kualitatif menunjuk kepada suatu
penekanan kepada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur
secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas, ataupun frekwensi.
Kualitatif adalah berupa situasi, objek, proses yang berkaitan dengan baik,
cukup, dan tidak sekedar jawaban yes or
no. Karena sifat datanya yang berbeda, maka penelitian yang menggunakan
data kualitatif sebagai data utamanya, menggunakan penelitian kualitatif.
Realitas sosial merupakan wujud bentukan yang dikontruksi oleh
individu-individu yang terlibat dalam penelitian tersebut, baik penelitinya
maupun pihak yang diteliti. (Dalam: Denzim, Norman K. dan YS Lincoln
(eds). 1994. Handbook of Qualitative
Research. Sage Publication. Hal.4).
[5] Menurut Michael
Argyle. (1957. “The Scientific Study of Social Behaviour”), penelitian aksi haruslah mampu meraih dua
jenis hasil yaitu: (1) untuk membuktikan bahwa suatu aktivitas efektif dalam
meningkatkan output atau mengurangi konflik, dan (2) harus menunjukkan kondisi
yang sesuai menuju tujuan yang ingin diraih. Dasar teorinya adalah Human Relation. (Dalam: Mitchell,
G. Duncan. ed. 1968. A Dictionary of Sociology. Routledge and Kegan Paul,
London).
[6] Beberapa bacaan yang disarankan untuk
memahami RRA misalnya adalah: (1) Chambers, R. 1992. “Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory”. Institute of Development Studies Discussion Paper
311. Sussex :
HELP. (2) International Institute for Environment and Development, Sustainable
Agriculture Program. 1991-present. “RRA
Notes (now titled PLA Notes)”. United Kingdom , (3) McCracken,
Jennifer A., Jules N. Pretty, and Gordon R. Conway. 1988. “An Introduction to Rapid Rural Appraisal for
Agricultural Development”. London :
International Institute for Environment and Development, dan (4) Theis, J. and
H. Grady. 1991. “Participatory Rapid
Appraisal for Community Development”. London : Save the Children Fund.
[7] Berbagai intervensi dilakukan, misalnya World Bank
yang memberi kredit, program Grameen Banks untuk masyarakat miskin, training paralegal berbasis komunitas, pendidikan
pemilihan umum untuk kelompok marjinal, dan lain-lain.