Pembangunan di wilayah pedesaan dipandang
perlu dibicarakan secara terpisah, karena selain 80 persen penduduk bumi hidup
di wilayah desa, masyarakat pedesaan
memiliki karakteristik sendiri. Selain
itu, karakteristik sosial ekonomi penduduk pedesaan dan sumberdaya alam yang
medukungnya sangat beragam antar belahan dunia.
Julius Nyerere[1]
mendifinisikan pembangunan pedesaan (rural development) sebagai “
… the participation of people in a mutual learning experience involving
themselves, their local resources, external change agents, and outside
resources. Pembangunan desa bertolak
dari proposisi bahwa mereka tidak dapat membangun dirinya sendiri. Mereka hanya
akan berkembang bila mau berpartisipasi dalam aktifitas yang akan mempengaruhi
kesejahteraan mereka sendiri. Penduduk tak akan berkembang bila hanya
digembalakan seperti layaknya “binatang” ke padang rumput yang baru.
Sebagian kalangan melihat bahwa apa yang
dilakukan dalam pembangunan pedesaan sama luasnya apa yang dimaksud dalam kosep
“community development”. Membicarakan
pembangunan pedesaan akan sampai kepada seluruh masalah yang berada di desa
mulai dari masalah kemiskinan, pengembangan pertanian dengan memproduksi
berbagai komoditas, pembangunan subsektor, kehutanan, gender, keagrariaan, dan permasalahan
sumberdaya air (water resources).
Sebelum
sampai kepada bagaimana konsep dan teori-teori yang berkembang tentang
“pembangunan pedesaan”, maka perlu dipahami dulu: apa itu “desa”? Ini penting karena
pembangunan pedesaan dirumuskan dari makna dan perspektif yang dikembangkan
tentang “desa”. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, “desa” adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sisi keilmuan, ditemukan kecenderungan
bahwa “desa” dalam segala makna dan implikasi dari pemaknaan tersebut, selalu
bertolak dari “perspektif orang kota”.
Orang kota lah yang mendefinisikan apa itu “desa”, orang kota pulalah yang
memikirkannya, dan orang kota pula yang merumuskan apa-apa yang perlu untuk
desa. Pedesaan terpisah secara wilayah maupun pengaruh kekotaan, dan juga dianggap sebagai wilayah yang belum mapan.
Istilah
“rural” dan “rurality” merupakan pendekatan geografis yang mendefinsikan lokasi
dalam hubungannya dengan jarak secara fisik yang jauh dari pusat keramaian,
yaitu kota. Jarak fisik menyebabkan timbulnya
jarak untuk lalu lintas barang dan jasa, serta kesempatan untuk melakukan interaksi
sosial. Rural merupakan suatu yang masyarakat
yang heterogen, dan berbeda-beda dalam berbagai dimensinya, mulai dari aspek demografi,
kemampuan ekonomi, pola pasar tenaga kerja, jasa-jasa yang disediakan,
kesehatan lingkungan, dan berbagai pengukuran subjektif lain, seperti
kesejahteraan (community wellbeing)
dan keterkaitannya (connectedness)
secara internal maupun eksternal.
Dalam mempelajari desa, kalangan sosiologi khususnya
akan memfokuskan kepada bagaimana karakter sosial ekonomi di desa, serta perilaku,
sikap, dan persepsi orang dalam wilayah tersebut yang akan menentukan
aksesibilitasnya untuk pelayanan. James Scott[2]
memandang bahwa masyarakat desa, terutama masyarakat yang dicirikan “pra
kapitalis”, bersifat rasionalitas sosial dengan lebih mementingkan kebersamaan
ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan dijadikan dasar berperilaku
daripada rasionalitas ekonomi. Hal ini menyebabkan pendekatan ekonomi sulit
bekerja, dan penetrasi kelembagaan dan teknologi dari luar dikahawatirkan akan
menimbulkan resistensi.
Desa umumnya diasosiasikan sebagai wilayah
dengan karakter pertanian, meskipun beberapa desa berbasiskan kegiatan
penebangan kayu di hutan, pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, dan bahkan
turisme. Pada beberapa negara maju misalnya, desa
dipandang sebagai “hinterland” atau
“daerah pedalaman” yang perannya sebagai pendukung kehidupan perkotaan. Artinya,
kehidupan di perkotaan adalah utama, sebagaimana keberadaan Negara Kota di
Eropa tempo dulu sebelum lahirnya negara dalam bentuk yang modern seperti ini
(Negara Bangsa). Namun di Indonesia, tampaknya desa diposisikan lebih tinggi
dibandingkan pandangan tersebut. Semenjak dahulu, desa dengan kegiatan agrarisnya
merupakan sumberdaya utama kehidupan kerajaan-kerajaan, dan desa merupakan unit
sosial yang mandiri.
Pada tahun 1965 kita mengenal Undang-undang
Nomor 19 Tentang Desapraja, yang memayungi Desa dengan berbagai bentuk
institusi dengan ciri khasnya yang mengakar pada masyarakat. Namun, tahun 1967 Orde
Baru “membekukan” UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah dan mengganti UU No. 19 Tahun 1965 dengan UU
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Institusi pemerintahan terkecil
(Desapraja) atau Desa yang ada di daerah harus diganti dan diseragamkan menjadi
desa. Institusi-institusi seperti Nagari di Sumatera Barat, Pekon
di Lampung, marga di Sumatera Selatan, Banua di Kalimantan Barat, Huta atau
Kuta di Sumatera Utara atau Kampong di sejumlah daerah Kalimantan selanjutnya
dihapuskan. Desa lantas didefinisikan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Desa digambarkan sebagai suatu kesatuan
masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu
lingkungan, dimana mereka saling mengenal dengan baik. Corak kehidupan relatif
homogen serta banyak tergantung pada alam.
Pembangunan desa adakalanya menjadi mata kulaih
tersendiri yang dipelajari di perguruan tinggi[3]. Ada empat
strategi pembangunan pedesaan yang banyak diterapkan yaitu strategi modernisasi
pertanian, strategi anti kemiskinan, strategi pola baru pertumbuhan dan
strategi land-reform[4].
Namun, kemudian digulirkan pula konsep pembangunan desa yang baru dengan
pendekatan terbalik dibandingkan dengan yang lazim dilakukan selama ini.
Hal-hal yang ditempatkan diurutan terakhir, justru didahulukan, atau “memulai
dari belakang” [5].
Pada tahun 1970-an, program anti kemiskinan
dengan menerapkan strategi kebutuhan pokok, menggulirkan konsep “Integrated Rural Development” (IRD),
dengan aktifitas pada pertanian ditambah sektor sosial (pendidikan, kesehatan,
dan air bersih). Namun tahun 1980, Bank Dunia berdasarkan laporan Blackwood 1988,
mengkritik IRD karena tidak matang, kaku
dalam perencanaan, pemecahan masalah yang tak tepat guna, lemah dalam pemecahan
kemiskinan, dan tak kompetibel dengan manajemen negara berkembang. Atas kritik
tersebut, mulai 1990-an, IMF masuk dengan structural
adjustment-nya, dimana negara harus mundur dari jasa dan sektor pertanian,
dan mengagung-agungkan liberalisasi pasar. Namun, inipun dikritik, karena
terlalu percaya pasar, sehingga perlu koreksi terhadap fenomena “price bias”, dan perlu perbaikan struktur
pertanian dan inovasi pertanian. Kebijakan yang income bias perlu dirubah ke stabilisasi yang basic subsistence, dan sekaligus mengkoreksi kebijakan yang male bias.
Pembangunan pedesaan, menurut sebagian
kelangan merupakan bagian dari ilmu “Pembangunan Wilayah”. Pembangunan wilayah
adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan inter-dependensi dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), manusia (social system) dan lingkungan hidup
serta sumber daya alamnya (ecosystem).
Hal ini diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pembangunan ekonomi, sosial, politik,
budaya maupun pertahanan keamanan yang seharusnya berada dalam konteks
keseimbangan, keselarasan dan kesesuaian.
Konsepsi pembangunan regional, selain menjamin keserasian pembangunan antar-daerah,
bertujuan pula untuk menjembatani hubungan rencana pembangunan nasional dan
rencana pembangunan daerah.
Dari berbagai studi kasus yang didalaminya, Uphoff dan Esman
mendapatkan bahwa ada empat jenis pembangunan pedesaan, yaitu (1) yang berdasarkan
kepada potensi pertanian, (2) yang multi sektoral, (3) yang memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan, dan (4) yang mengandalkan kepada pelayanan
jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Pembangunan pedesaan berdiri di atas paradigma
untuk mengurangi kesenjangan kesenjangan dan kemiskinan. Tujuan adalah untuk
kesejahteraan berupa peningkatan pendapatan atau pengeluaran riel secara rumah
tangga maupun per kaipta. Ada lima tahap untuk pembangunan ekonomi pedesaan,
secara berurutan adalah[6]:
(1) pelajari kondisi atau karakteristik dasarnya yaitu tentang sumberdaya alam,
pasar, pendapatan, dan politik yang eksis; (2) identifikasi teknologi apa yang
sudah dimiliki mereka; (3) komdoitas atau sektor apa yang berpotensi dikembangkan;
(4) identifikasi sifat dan mekanisme keterkaitan ekonomi antar sektor ekonomi
atau jenis kegiatan; serta terakhir (5) pelajari kelambagaan masyarakat yang
ada dan berpotensi dikembangkan.
Pembangunan pedesaan adakalanya bertolak dari
tujuan untuk menghalangi urbanisasi. Urbanisasi adalah suatu gejala dengan
beberapa proses yang saling berbeda, namun saling berkaitan, yaitu[7].:
(1) meningkatnya rasio kepadatan penduduk kota secara relatif terhadap
kepadatan penduduk desa sebagai akibat gerak penduduk dari desa ke kota secara
besar-besaran. (2) Perluasan pengembangan kota sebagai akibat meningkatnya
jumlah penduduk. (3) Merembes dan menyebarnya pengaruh pola perilaku kehidupan
kota ke wilayah di sekitarnya, bahkan ke seluruh masyarakat. (4) semakin
kaburnya batas-batas ciri-ciri budaya antara ”rural” dan “urban” sebagai akibat
dari perembesan pola perilaku tersebut
Di pemerintahan Indonesia dikenal Direktorat Jenderal
Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Lembaga ini diawali tahun 1955 ketika dalam rapat
kerja gubernur disepakati bahwa tugas
pembangunan masyarakat desa memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh
dan perlu ditangani satu instansi. Berdasarkan PP No. 2 tahun 1957, biro PMD
dibentuk di bawah Perdana Menteri. Lalu, lembaga ini berganti nama dan
kedudukan, dan sejak 1968 menjadi Dirjend
di bawah Depdagri. Sejak 1975 sampai 1992, PMD berorientasi kepada peningkatan kualitas
masyarakat, kemampuan produksi, lingkungan wilayah, dan kelembagaan.
Kita juga mengenal tentang “industri pedesaan” (rural industries) [8].
Indusrti pedesaan mencakup seluruh aktifitas industri yang berlangsung di
pedesaan. Sebagian orang menganggap bahwa pembangunan pedesan disamakan dengan
industrialisasi di pedesaan. Industri pedesaan - terutama berupa kerajinan (handicrafts) - dapat menciptakan
lapangan kerja, peningkatan perdapatan, dan mencegah migrasi ke kota. Usaha ini
dibagi atas dua katgeori [9],
yaitu (1) produksi kerajinan pedesaan dan industri tradisional dengan metode
teknik yang sederhana, dan (2) industri manufaktur pedesaan (rural manufacturing industries) berupa
proses merubah sumberdaya menjadi barang industri yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat desa, namun dapat pula dipasarkan ke pasar sekitar. Industri
pedesaan, jelas bukanlah industri sebagaimana di perkotaan[10].
Cirinya adalah bergantung kepada usahatani, manufaktur, penambangan, dan bergantung
kepada pemerintahan lokal setempat.
*****
[2] Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi
Petani: pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta .
[3] Dalam konsep
pembangunan masyarakat desa, dipelajari berbagai tantangan dan strategi
pembangunan masyarakat desa, pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa,
prinsip-prinsip pembangunan masyarakat desa, dinamika dan gerak perubahan
masyarakat, perubahan berencana, kekuatan sosial dalam masyarakat dan
lembaga-lembaga dalam pembangunan masyarakat desa.
[4] Hagul, Peter
(ed). 1985. “Pembangunan Desa dan LSM, Referensi bagi Staf LSM”. Yayasan Dian
Desa, ISBN 979-421-313-6 (191 hlm), Perpustakaan LP3ES, Jakarta .
[5] Lihat buku Chambers,
Robert. 1987. “Pembangunan Desa Mulai dari Belakang” LP3ES, ISBN 979-8015-28-2,
(314 hlm). Perpustakaan LP3ES, Jakarta .
[6] Tambunan, Tulus. 1995. Pola Pembangunan
Ekonomi di Pedesaan. Prisma No. 8 Agustus 1995. Hal 3 – 18.
[7].Wiradi, Gunawan. 2002. Dampak
“dekosentrasi” terhadap Hubungan-Hubungan
Agraria: Suatu Telaah Hipotesis. Seminar Nasional Menggalang Masyarakat
Indonesia Baru yang Berkemanusiaan. Ikatan Sosiologi Indonesia , 28-29 Agustus 2002, Bogor .
[8] Di beberapa negara, bahkan industri
pedesaan diurus oleh satu departemen sendiri. Di India misalnya, dibentuk
Ministry of Small Scale Industries and Agro & Rural Industries.
[9] Mardoukhi, Bayazid. 1993.
“A Study of the Economic & Development Conditions of Rural Industries in Iran ”.
Agricultural Economics & Development: A Research Quarterly With
Affiliations to the Ministry of Agriculture. Autumn 1993, Vol. 1, No. 3. (http://www.irvl.net/IRAN39.HTM, 13 Juni
2005).