Dalam setiap
masyarakat, pria dan wanita berhubungan melalui cara spesifik dengan pola
budayanya yang khas. Analisa gender, yang diindonesiakan menjadi
“jender”, bermula dari kenyataan bahwa
bagian terbesar dari yang dianggap sebagai “peran alamiah” antara pria dan
wanita tidak ditetapkan secara biologis. Namun dari konstruksi sosial yang
tumbuh, diakui, dan sekaligus dipelihara oleh masyarakat tersebut. Sehingga, apa
yang dilakukan sehari-hari atau menjadi kewajiban wanita di satu masyarakat, bahkan satu rumah tangga, tidak persis sama
dengan di rumah tangga lain. Yang sama hanya hamil, melahirkan, dan menyusui. Di
luar itu, variasinya bisa bermacam-macam. Jadi, jender adalah: “culturally and socially constructed roles,
responsibilities privileges, relations, and expectations of women, men, girls,
and boys”.
Jender adalah sekumpulan nilai atau
ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan perempuan. Ia membahas
tentang apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilaukan
oleh laki-laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam kehidupan
keluarga, dalam masyarakat dan bahkan dalam berbangsa[1]. Jender
adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun kultural[2].
Nilai-nilai atau ketentuan jender di atas bisa berbeda-beda pada kelas atau
kelompok sosial yang berbeda. Selain berbeda menurut kelompok kelas dan etnis,
ketentuan jender juga bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu pada masyarakat
yang sama.
Jender berbeda dengan pengertian
jenis kelamin (sex), karena jenis kelamin merupakan kategori biologis
perempuan atau laki-laki. Jenis kelamin merupakan sesuatu yang dibawa sejak
lahir, sering dikatakan sebagai ketentuan dari Tuhan atau kodrat, sehingga hal
ini tidak bisa dirubah atau dipertukarkan satu dengan yang lainnya.
Sejarah
pembedaan jender terbentuk melalui proses yang panjang. Ia berkembang melalui
proses sosialisasi dari generasi ke generasi, yang diperkuat dan dilembagakan
baik secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan, dan bahkan melalui
peraturan-peraturan negara. Akibatnya, sering dianggap bahwa ketentuan jender
merupakan ketentuan yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan
yang sudah sewajarnya. Dalam satu kelompok masyarakat akan ada satu sex gender system[3] yang
cenderung khas, yaitu bagaimana wanita dan pria menjadi perempuan dan laki-laki
dalam masyarakatnya.
Di
Indonesia, pilihan sebutan “wanita” atau “perempuan” merupakan suatu yang
serius. Dengan berbagai pertimbangan, maka yang disetujui dipakai adalah
sebutan “perempuan”. Sebutan “pria dan wanita” cenderung menunjuk kepada jenis
kelamin, namun “laki-laki dan perempuan” untuk membicarakan gender. Demikian
pula dalam literatur berbahasa Inggris: “male
dan female” digunakan untuk
menyebut perbedaan secara biologis, sedangkan “man dan woman” untuk
perbedaan secara sosial.
Ilmu tentang
jender telah berkembang jauh, sehingga memunculkan berbagai istilah baku yang
mengiringinya. Salah satu di antaranya adalah istilah “kesadaran jender” (gender awarreness). Secara sederhana,
seseorang telah dikatakan memiliki kesadaran jender apabila telah
mempertimbangkan bahwa pria dan wanita berbeda peranannya dalam masyarakat. Dan
karena itu, tentu berbeda pula kebutuhannya. Para perencana dan pengambil
kebijakan harus memiliki kesadaran tentang itu.
Kesadaran
jender pada para pengambil kebijakan akan memberi mereka “wawasan jender”. Konsep
wawasan jender didasarkan atas tiga prinsip yaitu efisiensi, kesetaraan dan
sustainabilitas. Pendekatan wawasan jender meliputi komponen analisis yang
terdiri atas analisis konteks pembangunan, analisis stakeholders, analisis
mata pencaharian, serta analisis kebutuhan sumber daya dan kendala. Tingkatan
analisis terdiri atas tingkat makro (nasional dan internasional), tingkat intermediate
(sektor) dan tingkat mikro (masyarakat dan keluarga).
Derivasi
dari kesadaran tersebut, diwujudkan dalam bentuk “pengarusutamaan jender” (gender mainstreaming), yaitu suatu
sikap yang menempatkan jender dalam semua kebijakan, program, dan sektor. Pendekatan ini digunakan untuk
mengintegrasikan kebutuhan dan pengalaman pria dan wanita ke dalam desain,
implementasi, monitoring dan evalusasi kebijakan dan program untuk seluruh
bidang kehidupan (politik, ekonomi, religi, dan sosial).
Alasan pokok
kenapa perhatian terhadap jender dibutuhkan, adalah karena adanya “diskriminasi jender”. Ini merupakan gejala umum di masyarakat
manapun. Diskriminasi jender adalah perilaku yang berbeda dari orang-orang
karena perbedaan biologis. Perbedaan ini menyebabkan ketidakadilan struktur
dalam masyarakat.
Dalam hal
kaitan antara perempuan dengan pembangunan, berkembang berbagai bentuk analisis[4]. Analisi
WID (Woman in Development) berkembang
lebih dahulu, sebagai usaha praktis yang berusaha mengintegrasikan perempuan
dalam pembangunan[5].
Dalam konsep WID diupayakan mengintegrasikan wanita dalam pembangunan, tapi belum
mampu mentransformasikan hubungan yang tidak seimbang yang terjadi di
masyarakat. Lalu berkembang konsep WAD (Woman
and Development) yang berisi ulasan kritis terhadap peranan perempuan dalam
pembangunan, serta pengaruh kebijakan dan proyek-proyek pembangunan terhadap
perempuan. Dan terakhir, muncul konsep GAD (Gender
and Development) yang lebih mempertegas hubungan sosial antara perempuan
dan laki-laki dalam proses pembangunan.
Konsep WID
- dimana
perempuan menjadi fokus perhatian dalam pembangunan - dilandasi oleh pemahaman
bahwa peranan perempuan belum dipertimbangkan dalam proses pembangunan,
perempuan memiliki akses yang kurang terhadap sumber daya, masalah dan
kebutuhan perempuan adalah masalah yang khusus, dan perempuan adalah kelompok
yang sangat memerlukan. Pendekatan WID
memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan perempuan seperti:
kemiskinan perempuan, persoalan perempuan yang khusus, status sosial ekonomi
yang rendah karena perempuan kurang memiliki keterampilan dan akses terhadap
teknologi, serta pekerjaan perempuan di sektor produktif yang kurang mendapat
penghargaan. Program-program untuk mengatasinya antara lain berupa program
pelayanan kesehatan, gizi, pemeliharaan anak, peningkatan keterampilan
perempuan, dan dukungan untuk usaha-usaha ekonomi perempuan.
Pendekatan GAD adalah pendekatan
yang lebih memperhatikan persoalan jender daripada persoalan perempuan secara
terisolasi. Pendekatan pengembangan yang sadar jender memperhatikan bagaimana
hubungan sosial laki-laki dan perempuan terbentuk, yaitu bagaimana laki-laki
dan perempuan memainkan peran yang berbeda; bagaimana perbedaan jender ini
terbentuk oleh faktor-faktor sejarah, etnis, kebudayaan, politik dan sosial
ekonomi; serta sejauh mana kondisi peran jender berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Dalam GAD dibedakan antara kebutuhan perempuan dan kebutuhan jender
(dari perempuan atau juga dari laki-laki). Kebutuhan perempuan adalah kebutuhan
berdasarkan kepentingan biologis, sedangkan kebutuhan jender adalah sesuatu hal
yang memungkinkan perempuan (atau laki-laki) dapat berkembang berdasarkan
posisi sosial dalam masyarakat. Kebutuhan jender dapat bersifat praktis dan juga
strategis [6]. Jadi,
dalam pendekatan jender, selain dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan
kesejahteraan (welfare), juga dilakukan upaya-upaya yang bersifat
pemberdayaan (empowerment). Yang dituju adalah keseimbangan fungsi dan
peranan laki-laki dan perempuan yang lebih kondusif.
Dari
perkembangan konsep-konsep ini, terlihat adanya pergeseran dari kebutuhan
praktis menjadi kepentingan strategis. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengembangkan kesadaran bahwa women, poor
men, dan kelompok yang kurang beruntung lain adalah korban dari struktur
sosial yang berdampak negatif kepada mereka. Dengan menerapkan konsep-konsep
tersebut sebagai pendekatan dalam pembangunan, diharapkan akan tercipta pembangunan
yang lebih adil (equitable) dan
berkelanjutan, yaitu dengan memberdayakan pria dan wanita untuk menciptakan
transformasi sosial dalam kerangka gender
perspective. Dengan bantuan gender
perspective akan terumuskan bagaimana pria dan wanita berpartisipasi,
memperoleh manfaat, dan mengontrol
proyek-proyek pembangunan.
Konsep
penelitian pertanian berwawasan jender diperkenalkan FAO pada tahun 1993 untuk
mendukung sensitivitas jender pada berbagai tantangan pembangunan yang terjadi
sekitar tahun 1990-an. Pengembangan prinsip wawasan jender yang dilakukan oleh
FAO, UNDP dan Bank Dunia mempercepat penyebaran konsep ini, demikian pula
evaluasi terhadap pendekatan program pembangunan wanita melalui Women in
Development (WID) dan Gender and Development (GAD). Pengembangan
konsep ini dilandasi oleh suatu kebutuhan untuk mengetahui bagaimana kebijakan
pembangunan dan program-programnya akan mempengaruhi aktivitas ekonomi dan
hubungan sosial diantara kelompok-kelompok ataupun individu yang ada dalam
masyarakat.
Untuk mempelajari situasi jender
dalam suatu masyarakat dan merumuskan program-program pengembangan yang
memperhatikan isu-isu jender, dilakukan melalui “analisis jender”. Analisis
jender membantu untuk mensistematisasikan pengalaman relasi laki-laki dan
perempuan dalam suatu masyarakat, serta implikasinya bagi kehidupan laki-laki
dan perempuan serta kehidupan masyarakat pada umumnya. Salah satu model alat
analisis yang biasa digunakan adalah Harvard Model yang dikembangkan
oleh Harvard Institute of International Development. Unsur- unsur yang
dianalisis dalam model atau kerangka analisis ini meliputi: analisis profil
peran laki-laki dan perempuan, profil akses & kontrol terhadap sumber daya,
analisis faktor penyebab terjadinya situasi jender yang ada, analisis dampak
situasi jender dan analisis program pengembangan yang berwawasan jender.
Profil peran laki-laki dan perempuan
digunakan untuk melihat: siapa yang melakukan peran produktif, reproduktif dan
kemasyarakatan; kapan dan dimana kegiatan dilakukan, alokasi waktu yang
diperlukan untuk masing-masing kegiatan dan pendapatan yang dihasilkan melalui
keiatan tersebut. Analisis pembagian kerja ini perlu untuk mengidentifikasikan:
(1) kegiatan apa saja yang memiliki potensi untuk dikaitkan dengan program
pengembangan yang akan dilakukan, (2) kapasitas waktu yang dimiliki laki-laki
dan perempuan untuk dilibatkan dalam kegiatan pengembangan, (3) ketidakseimbangan
beban kerja laki-laki dan perempuan, dan (4) ketidakseimbangan hak laki-laki
dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Analisis profil perempuan dan laki-laki
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan digunakan untuk melihat hierarki wewenang
yang ada di satu kelompok masyarakat, ketidakseimbangan peran dalam
lembaga-lembaga yang ada, alasan keterbatasan peran salah satu pihak dalam
lembaga-lembaga tersebut, dan di lembaga mana peran perempuan perlu diperkuat.
Selanjutnya dalam analisis profil
akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada dapat digunakan untuk melihat
siapa yang memiliki peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik berupa tanah,
hutan, modal, peralatan, rumah dan lain- lain; serta sumber daya non fisik berupa
pendidikan, latihan, informasi, jasa-jasa pelayanan dan lain- lain. Analisis
faktor-faktor penyebab terbentuknya situasi jender berguna untuk
mengidentifikasi faktor- faktor penyebab yang dapat dipengaruhi secara langsung
melalui kegiatan proyek dan berguna untuk menyusun asumsi yang akan
mempengaruhi keberhasilan kegiatan proyek.
Khusus untuk
tingkat rumah tangga, salah satu cara pengukuran yang sering dipakai dalam
penelitian-penelitian jender adalah “Analisis Levy” [7], yang
merupakan tokoh strukural fungsional, dengan menelaah fungsi-fungsi keluarga
sebagai sistem dengan fungsi-fungsinya. Aspek-aspek yang diukur adalah: (1)
diferensiasi peranan yang dinalisis dengan ukuran alokasi waktu dan curahan
tenaga, (2) alokasi ekonomi dengan mengukur pendapatan individu terhadap total
rumah tangga, (3) alokasi kekuasaan dengan lima opsi pola pengambilan
keputusan, yaitu oleh suami sendiri, oleh isteri sendiri, suami isteri bersama,
bersama namun pengaruh isteri lebih besar, serta bersama namun pengaruh suami
lebih besar.
Dalam tiap rumah
tangga terdapat pembagian kerja. Perempuan di dalam rumah tangga umumnya
melakukan pekerjaan reproduktif, yaitu
pekerjaan yang tidak langsung menghasilkan dalam bentuk produksi barang
tertentu yang dapat menjadi pendapatan rumah tangga. Contohnya adalah pekerjaan
rumah tangga seperti memasak, mengasuh anak, mengambil air, dan membersihkan rumah. Ini menimbulkan
perdebatan di kalangan para ahli, bagaimana memaknai pekerjaan-pekerjaan
reprodukstif tersebut. Karena itu, bekerja[8] itu
sendiri perlu pula didefinisikan. Menurut Boserup[9], “bekerja”
meliputi lima hal, yaitu: (1) para pelaku yang mempunyai peranan itu
mengeluarkan energi, (2) memberikan sumbangan dalam produksi barang maupun
jasa, (3) menjalin suatu pola interaksi sosial dengan lingkungannya dan
memperoleh status, (4) mendapatkan hasil berupa cash maupun natura, dan (5) mendapatkan hasil yang mempunyai nilai
waktu.
Di negara
berkembang umumnya, wanita merupakan kelompok yang kurang beruntung. Mereka seringkali
mengalami marginalisasi baik di bidang politik, ekonomi, pengetahuan dan
sosial. Demikian pula di bidang pertanian, dimana peran wanita kurang
diperhatikan, meskipun sebagian besar (lebih kurang 60 persen) kegiatan
pertanian dilakukan oleh wanita. Oleh karena itu, perlu suatu metode agar peran
wanita dalam pembangunan menjadi nyata. Intinya, bagiamana agar peran wanita dan pria dilihat sama pentingnya.
Dengan itu diharapkan akan tercapai efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas.
Pembedaan
jender berdampak terhadap pembedaan dalam distribusi kekuasaan antara laki-laki
dan perempuan, yang selanjutnya berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam
akses dan kontrol terhadap pendapatan. Perempuan mengontrol lebih sedikit aset
produktif dibanding dengan laki-laki. Ini berimplikasi kepada kondisi kesehatan
dan gizi perempuan, dan anaknya[10].
Di masa Orba
kita sering mendengar tentang “emansipasi wanita”. “Emancipatio” berasal dari bahasa Latin, yang artinya adalah
“pembebasan”. Gerakan emansipasi wanita
di Eropa menuntut persamaan hak dan kedudukan sosial; sedangkan di Indonesia
menuntut pembebasan dari ketergantungan dengan orang lain, terutama
ketergantugan kepada pria. Pada era 1980-an, negara-negara berkembang dan dunia
internasional secara eksplisit memasukkan isu perempuan ke dalam rencana
pembangunan, bahkan sampai kepada pembentukan badan khusus, misalnya berupa
kementrian khusus [11]. Pembicaraan tentang jender seringkali
bias ke perempuan, sehingga beralih menjadi konsep “feminis”.
Dalam
Laporan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004 juga dilapokan hasil-hsail
pembangunan jender melalui Indeks Pembangunan Jender (IPJ). IPJ mengukur
pencapaian pembangunan manusia dengan memperhatikan disparitas jender, yang indikatornya
sama dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selain IPJ juga ada pengukuran
tentang Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ) dengan didasarkan kepada (1)
partisipasi politik (proporsi perempuan dan laki-laki di parlemen), (2)
partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan dalam pekerjaan profesional,
teknisi, pimpinan, dan tenaga ketatalaksanaan, serta (3) penguasaan terhadap
sumberdaya ekonomi melalui perkiraan penghasilan perempuan dan laki-laki.
*****
[1] Brett,
A. 1991. “Why Gender is A Development? (Dalam Tina Wallace. ed. “Changing
Perceptions: Writing on Gender and Development”. London ).
[2] Faqih,
M. 1996. “Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta .
[3]
Evita, E.U. 1992. “The Political Economy of Gender: Woman and the Sexual
Division of Labour in The Philippines ”.
Part I: Contours of the discussion. Zed Books, New Jersey .
[4]
Saptari, R. dan b. Holzner. 1997. “Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial:
Sebuah Pengantar Studi Perempuan”. Penerbit Grafiti, Jakarta .
[5] Pada tahun 2002, Indonesia merupakan nomor 92 dari
162 negara dalam hal peran perempuan dalam pembangunan (Harian Kompas, 13 Juli
2002).
[6] Moser,
CON. 1989. “Gender Planning in The Third World :
Meeting Practical and Strategic Gender Needs”. World Development.
[7] Lihat misalnya dalam http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1/
exgroles.htm, 12 Agustus 2005.
[8] Istilah bekerja (employed) dalam statistik adalah berumur 10 tahun atau lebih, dan
bekerja setidaknya satu jam selama periode tertentu, baik dibayar maupun tidak.
[9]
Boserup, Ester. 1984. “Peranan Wanita dalam Pembangunan Ekonomi”. Kata Pengantar
oleh Pujiwati Sajogyo. Yayasan Obor Indonesia ,
Jakarta . Judul
asli: “Woman’s role in Economic Development”. Hal xv.
[10] Satu topik lain yang
cukup menyita perhatian adalah tentang “kekerasan terhadap perempuan”. Di
Indonesia telah dibentuk Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan berbadasarkan
Keppres No. 181 tahun 1988.
[11]
Anonim. 1985. “Women in Development: a Framework for Project Analisys”.
Kumarian Press, Inc. Chapter One.