Penyuluhan
pertanian (agricultural extension)[1]
diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan
keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki
kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian
adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki
kemampuan intelektual yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang
memadai dan mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk
dirinya dan keluarganya. Seluruh
aktifitas penyuluhan berpedoman pada azas pokoknya yaitu “menolong petani agar
ia mampu menolong dirinya sendiri” [2].
Dalam
pengertian umum, penyuluhan pertanian adalah “… the application of scientific research and new knowledge to agricultural practices through farmer education” [3].
Tujuan
utama penyuluhan adalah “…to assist farming families in adapting their
production and marketing strategies to rapidly changing social, political and
economic conditions so that they can, in the long term, shape their lives
according to their personal preferences and those of the community” [4].
Selain penyuluhan
pertanian, juga dikenal “Ilmu Penyuluhan Pembangunan”, yaitu “suatu displin
ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk,
bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan
kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang mengakibatkan
kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi baik” [5].
Sebagai sebuah ilmu, konsep dan teori “penyuluhan pertanian” saat ini telah
meminjam pula konsep-konsep dari ilmu pendidikan, psikologi, psikologi sosial,
antropologi, sosiologi, manajemen, ekonomi, kesehatan, serta tentu saja ilmu
pertanian.
Ada tiga hal
yang menjadi objek untuk dirubah dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan
(aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik).
Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan, yaitu
bertambahnya perbendaharaan informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya
sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki[6].
Pertanian adalah pencampuran pengetahuan dan keputusan bagaimana
faktor-faktor tanah, air, iklim, dan kapital didayagunakan. Penyuluhan
pertanian memformulasikan dan mendiseminasikan pengetahuan, dan mengajar petani
untuk menjadi manajer di usaha nya sendiri (competent
decision makers). Karena itulah,
penyuluhan berperan penting dalam
pembangunan pertanian. Ia menjadi bagian dari sistem, yakni sebagai aktor yang
mempengaruhi petani dalam membuat keputusan.
Ada banyak pihak yang berperan dalam terbentuknya Agricultural Knowledge System (AKS),
yaitu peneliti, pemerintahan, organisasi petani, NGO, lembaga pelatihan petani,
dan media. Tugas penyuluhan adalah
meningkatkan interaksi antara aktor dalam AKS, sehingga petani memiliki akses
yang optimum terhadap informasi apapun
yang diduga akan dapat membantu meningkatkan kondisi sosial dan
ekonominya. Jadi, penyuluhan merupakan sentra dari sistem AKS tersebut, karena
ia menjadi fasilitator di antara pelaku AKS[7].
Dengan menjalankan fungsi mediasi ini secara terfokus, maka kesalinghubungan
akan lebih baik.
Salah satu
teori tentang penyuluhan yang terkenal adalah “Teori Adopsi Inovasi”. Teori ini
bertolak berdasarkan waktu yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi. Rogers[8]
mengelompokkan para adopters (penerima inovasi) ke dalam lima kelompok besar
secara berturut-turut dari yang tercepat, adalah: kelompok inovator (inovators), kelompok pelopor (early adopters), kelompok pengikut dini
(early majoryti), kelompok pengikut
akhir (late majoryti), dan terakhir
adalah kelompok kolot (laggards).
Pada
awalnya, istilah “extension” datang
dari program di perguruan tinggi di Inggris untuk pengembangan ilmu baru di
masyarakat, yang kemudian diadopsi di bidang pertanian, kesehatan, dan
lain-lain. Karena diadopsi oleh banyak pihak, maka pelayanan penyuluhan
akhirnya menjadi aktifitas utama dalam pengembangan ekonomi pedesaan.
Penyuluhan pertanian akhirnya memiliki beberapa peran mulai dari upaya
mempromosikan ide baru, penyampaian informasi, dan membangun kapasitas di
antara berbagai kelompok masyarakat yang tidak terbatas hanya untuk petani.
Fungsi utama
penyuluh pertanian adalah sebagai mata rantai (change agent linkage) antar pemerintah sebagai change agency dengan masayarakat petani
sebagai client system-nya. Agar dapat
menjalankan tugasnya, seorang penyuluh harus menguasai metoda penyuluhan dengan
baik serta mengerti sosiologi dan psikologi, untuk menyadarkan kebutuhan petani
[9].
Penyuluh selain harus tahu ilmu dan teknologi pertanian, juga harus menguasai
teknik penyuluhan dengan baik. Semuanya ini adalah bekal agar penyuluh dapat
memposisikan diri sebagau “kawan yang yang memberi dorongan bekerja” [10].
Ada dua tipe aktifitas penyuluhan, yaitu yang
berorientasi sektoral (Sector-Oriented
Extension) dan yang lebih ke
konsultasi (Management Counseling).
Penyuluhan berorientasi sektoral misalnya berupa promosi komoditas, promosi
penggunaan input tertentu, promosi penggunaan kredit pertanian, dan promosi
pembangunan berkelanjutan berbasiskan sumberdaya alam (Sustainable
Management of Natural Resources). Sementara, penyuluhan yang lebih bersifat konsultasi
dapat terjadi pada: (1) aktifitas di usahatani (farm level); (2) pada community
level dengan meningkatkan kondisi kehidupan komunitas melalui pengembangan
program pertanian dan kelembagaan yang relevan; dan (3) mengembangkan program
kemandirian (self-help initiatives)
dengan mepromosikan struktur sosial, organisasi sosial, memotivasi, dan
meningkatkan kesadaran.
Tugas-tugas
seorang penyuluh pertanian selengkapnya adalah[11]:
(1) menyebarkan informasi pertanian yang bermanfaat, (2) mengajarkan
keterampilan dan kecakapan bertani dan lain-lain yang lebih baik, (3)
memberikan rekomendasi berusahatani dan lain-lain yang lebih menguntungkan, (4)
mengikhtiarkan fasilitas-fasilitas produksi dan usaha yang lebih menguntungkan
dan menggairahkan, serta (5) menimbulkan swadaya dan swadana dalam usaha
perbaikan dalam usahatani.
Penyuluh
pertanian di Indonesia memegang peranan yang sentral ketika pelaksanaan Program
Bimas dahulu. Menurut Badan Pengendali Bimas, tugas-tugas yang diemban Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) dalam Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) adalah[12]:
menyelenggarakan berbagai demonstrasi perbaikan usahatani bersama petani,
membuat dan melaksanakan rencana kerja, membuat laporan untuk bahan evaluasi
tugas dan pemecahan masalah, membina kelompok tani dan Kontak Tani, membantu
terselenggaranya kegiatan petani dalam usahatani, mengumpulkan data untuk bahan
penyuluhan pertanian, membantu pengadaan sarana dan informasi yang diperlukan,
mengadakan penilaian kegiatan hasil penyuluhan pertnaian di daerahnya,
menyebarkan informasi pertanian, mengajarkan pengetahuan, menyampaikan
rekomendasi perbaikan usahatani, mengembangkan
swakarya/swadana petani dan mengupayakan dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak, serta membuat catatan keadaan dan kejadian penting di daerah kerjanya.
Secara
keorganisasian, cikal bakal lembaga penyuluhan pertanian di Indonesia, adalah
pendirian Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) tahun 1948. Lembaga ini tidak
hanya bergerak dalam pertanian, namun melayani seluruh kebutuhan masyarakat
sekitarnya, bahkan termasuk untuk pengembangan kesenian dan budaya setempat. Tenaga penyuluh secara khusus
diangkat mulai pada awal tahun 1970-an, dalam program Bimas untuk
menyebarluaskan teknologi intensifikasi pertanian yang dikemas dalam “Panca Usahatani”
ke tengah masyarakat.
Selama ini di Indonesia, telah terjadi perubahan sosok kemampuan
penyuluh. Sebelum era kemerdekaan, dikenal mantri-mantri pertanian yang memiliki
kemampuan spesialis dalam komoditas tertentu. Pertama penyuluh diangkat tahun
1970, ia masih spesialis (monofalent), lalu berubah menjadi
generalis (polivalent) pada tahun
1974, namun semenjak tahun 1991 menjadi monovalent
lagi. Lalu, semenjak tahun 1996 menjadi monovalent
tapi juga sekaligus polivalent.
Semenjak tahun 1970-an, World Bank telah mempromosikan dan membiayai
program yang dikenal dengan “Metode Latihan dan Kunjungan” (Training and Visit System) yang dipendekkan menjadi Metode LAKU.
Metode ini memberi tekanan kepada pengorganisasian penyuluhan. Disiplin dalam
bekerja (rigid work) dan jadwal kerja merupakan pedoman kerja
sekaligus alat untuk memonitornya. Hubungan dengan lembaga penelitian bersifat
formal, dan melakukan kontak secara teratur. Dengan membuat pemetaan kerja dan
jaringan kerja dengan baik, maka banyak petani dapat diraih. Petugas penyuluh
menerima pelatihan secara reguler dan berkosentrasi kepada permasalahan yang
nyata di lapangan.
Ini didasarakan organisasi tunggal yang
berjenjang, dimana semua pelakunya adalah pegawai pemerintah. Namun ini
dipandang kurang efisien, mahal, tak mampu dibiayai dalam jangka lama, dan
sangat tergantung kepada kondisi politik yang ada. Ini juga kurang melibatkan
petani, karena petani hanyalah penerima pasif informasi yang diturunkan. Dalam program Bimas, Insus dan Supra Insus di
Indonesia, juga digunakan pendekatan LAKU, dimana seorang PPL bertugas pada
satu Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) yang berisi 16 kelompok tani
(Wilkel). PPL dalam satu kecamatan berada dalam satu Wilayah Kerja Balai
Penyuluhan Pertanian (WKBPP)[13].
Penyuluhan konvensional banyak
menuai kritik. Hadirnya sosok penyuluh “kebetulan” bersamaan dengan ramainya
Revolusi Hijau, sehingga kritik terhadap
revolusi hijau dianggap juga merupakan tanggung jawab dari penyuluh. Revolusi
Hijau dikritik karena menghasilkan polusi kimia berlebihan, penyeragaman
komoditas, memperbesar ketergantungan petani, dan sering paket-paket yang
disampaikan tidak cocok dengan kebutuhan petani. Metode LAKU dikritik karena meskipun efektif untuk mengatasi kelemahan
pengetahuan petani dan petugas, namun kurang berperan terhadap pengentasan
kemiskinan dan peningkatan peranan wanita. Karena itu dibutuhkan sistem yang
lebih fleksibel.
Ke depan,
penyuluhan pertanian diharapkan tidak hanya membuat petani mampu berproduksi,
tetapi harus berproduksi secara mandiri, dan sekaligus mampu mencapai
kesejahteraan keluarganya. Jadi,
penyuluh tidak hanya sebagai delivery
system bagi informasi dan teknologi pertanian untuk peningkatan produksi, tapi harus menjadi sistem yang berfungsi
menciptakan pertanian sebagai suatu usaha yang menguntungkan bagi petani. Penyuluh
mesti lebih berorientasi agribisnis.
Berbagai
pendekatan telah dikembagkan untuk memperbaiki penyuluhan, misalnya berupa Gerakan
Campesino-a-campesino di Amerika Tengah, sekolah lapang (farmer field school) di Asia Tenggara, pendekatan “Problem Census” di Asia Selatan, dan
program fasilitasi informasi di Afrika[14].
Semua ide ini mempromosikan petani dan masyarakat desa lain sebagai principal agents of change di
komunitasnya. Petani tak hanya menjadi kunci
untuk akses bagi jasa yang diberikan penyuluh profesional maupun petani (petani
maju atau Kontak Tani), namun mereka membuat keputusan-keputusan manajemen dan
melakukan berbagai kegiatan penyuluhan sendiri. Penyuluhan pada
prinsipnya tidak hanya dapat dilakukan oleh petugas pemerintah. Kalangan
agamawan, perusahaan komersial, dan organisasi petani juga dapat menjadi
penyuluh.
******
[1] Di beberapa negara istilah “agricultural extension” diganti dengan “extension education”, sementara di tempat lain menjadi “development communication”; tentunya
dengan penekanan yang berbeda.
[2] Sumintareja, Samedi. 1987. Memantapkan Penyuluhan Pertanian di
Indonesia. Makalah Lokakarya Penyuluhan Petanian, di Subang , Jawa Barat, 4 – 6
Juli 1987.
[3] Sebagian kalangan tidak menyetujui penggunaan kata
“pendidikan” dalam kalimat “pendidikan luar sekolah” tersebut, karena menurut
mereka dalam prakteknya hanya berupa “penerangan” yang bentuknya searah.
[4] “Agricultural Extension”. SDC
Swiss
Agency for Development and Cooperation Sector Policy. 1997. (http://www.infoagrar.ch, 11 Mei 2005).
[5] Pendapat Margono Slamet (dalam Hubeis, AVS; P.
Tjitropranoto; dan W. Ruwiyanto. 1992. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad
XXI. PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. hal. 24).
[6] Yustina, I. dan A. Sudrajat (eds). 2003. Membentuk
Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Didedikasikan kepada Prof. Dr. H. R. Margono Slamet. IPB Press, Bogor. Hal 20-21.
[7] “Agricultural Extension”.
SDC Swiss
Agency for Development and Cooperation Sector Policy. 1997. (http://www.infoagrar.ch, 11 Mei 2005).
[9] Prodjosuharjo, Mudjijo.1987. Makalah Pembahasan:
Memantapkan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Makalah Lokakarya Penyuluhan
Petanian, di Subang , Jawa Barat, 4 – 6 Juli 1987.
[11] Menurut Salmon Padmanagera (dalam Gunardi. 1980.
Kumpulan Bahan Bacaan Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Institut Pertanian Bogor , Bogor ).
[12] Sutjipta, Nyoman. 1982. Hubungan Pelaksanaan Sistem
LAKU dan Keberhasilan PPL Melaksanakan Tugasnya di Bali. Fakultas Pasca
Sarjana, IPB, Bogor .
[13]
Untuk kalangan penyuluh berdiri organisasi PERHIPTANI (Perhimpunan Penyuluhan
Pertanian Indonesia) yang merupakan organisasi profesi.
[14] Farmer-led
extension: Concepts and practices. Edited by Vanessa Scarborough, Scott
Killough, Debra A Johnson and John Farrington. 214 pp. paperback. Published
1997 by Intermediate Technology
Publications, London .
ISBN 1 85339 417 3. (http://www.mamud.com/farmer-led_extension.htm,
11 Mei 2005).