Ada
tiga istilah yang satu sama lain berdekatan, namun adakalnya juga saling
dipertukarkan. Ketiganya itu adalah “ekonomi rakyat”, “ekonomi kerakyatan”, dan
“Ekonomi Pancasila”. Semuanya berasal dari ilmuwan Indonesia, sebagai upaya mencari
bentuk konsep ekonomi alternatif yang dirasa lebih sesuai di Indonesia, dan
sebagai bentuk kritik terhadap teori-teori ekonomi dari Barat. Ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok
untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak
memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Ilmuwan
ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, bukan sebagai ”homo
moralis” atau ”homo socius”. Ini terjadi
karena ilmu ekonomi diajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik dan
matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Meskipun judul
bab ini adalah “ekonomi kerakyatan”, namun ketiganya dibahas dalam bab ini.
Banyak kritik yang dialamatkan
terhadap ilmu ekonomi. Kritik terhadap ekonomi ortodoks yang paling keras misalnya
datang dari Paul Ormerod [1],
yang menyatakan “tidak ada sebuah model
ekonomi yang bisa dipakai dimana saja”. Para forecaster telah beralih ke pendekatan judgmental adjustmenst (perkiraan pribadi) dari model-model ekonomi
makro lama. Lebih jauh ia menyarankan:
“Ekonomi pelu menggunakan analisis ex-post, yaitu
mempelajari setelah sebuah persitiwa tejadi. Yaitu seperti paleontologi (ilmu
tentang fosil), astronomi dan klimatologi; yang teorinya dibangun dari
data-data yang dikumpulkan secara nyata bertahun-tahun”.
Intinya, ilmu ekonomi
harus dikembangkan secara induktif. Untuk Indonesia, ini jelas sangat relevan.
Karena sejarah ekonomi Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sehingga
membutuhkan bangun teori yang spesifik pula. Aspek inilah yang ditangkap oleh
para ekonom Indonesia, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan “ekonomi
kerakyatan”, “ekonomi rakyat”, ataupun “ekonomi Pancasila”.
Istilah “ekonomi rakyat”
pertama dirintis oleh Bung Hatta, untuk menunjuk kepada sektor kegiatan ekonomi
orang kecil (wong cilik) yang sering
kali disebut sebagai sektor informal. Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) [2]
menulis artikel berjudul “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”, sedangkan Bung Karno 3
tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis
nasib ekonomi rakyat sebagai berikut: “Ekonomi
Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan” [3].
Belakangan, tambahan “sektor informal” ini dikritik
banyak pihak. Sektor ekonomi rakyat tidak sama dengan sektor informal,
karena sektor informal cenderung diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak
berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”.
Secara umum, ekonomi rakyat adalah suatu bentuk ekonomi
yang pelakunya adalah masyarakat banyak yang dicirikan dengan pemilikan sumber
daya dan keterampilan yang rendah, namun harus dimanajemen secara efisien,
menguntungkan, dan berdaya saing. Cirinya adalah masyarakat banyak sebagai
pelakunya, bukan sebagai tenaga kerja, tapi sebagai pemilik. Karakteristik yang
lain adalah harus menggunakan sumber daya ekonomi setempat, dan nilai tambahnya
pun kembali kkepada masyarakat tersebut. Jadi, disini terlihat ada kandungan kemandirian,
kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.
Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan
ekonomi orang kecil (wong cilik),
yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan
hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting
dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut
sektor informal, “underground economy”, atau “ekstralegal sector”.
Pada awalnya istilah “ekonomi rakyat” sudah lama muncul,
namun karena dianggap berkonotasi komunis diganti menjadi “ekonomi
kerakyatan”. Istilah “ekonomi
kerakyatan” secara resmi dicantumkan dalam Ketetapan MPR yaitu Tap Ekonomi
Kerakyatan No. XVI tahun 1998. Istilah ini semakin mantap dengan masuk pada
berbagai produk hukum dan kebijakan, misalnya dalam UU No. 25/2000 tentang
Propenas [4].
Dari banyak istilah di atas, Mubyarto lebih memilih
istilah “ekonomi rakyat” karena dirasa lebih jelas dan tak akan membingungkan.
Penggunaan kata “rakyat” selama ini sudah dikenal misalnya dalam istilah
“perkebunan rakyat”, “pertanian rakyat”, “perikanan rakyat”, dan “perumahan
rakyat” [5].
Akhir-akhir ini, istilah “ekonomi
rakyat” tampaknya diganti dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang
berasal dari istilah Small and Medium Enterprises (SME).
Pada prinispnya, ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi
rakyat, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan
menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem
ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak hanya dikerjakan
oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan
kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD
194). Artinya, ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa
depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan “aturan main etik” bagi semua
perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi [6].
Sementara itu, “Ekonomi
Pancasila” juga digulirkan salah satunya oleh Mubyarto[7],
sebagai lawan dari konsep kapitalisme liberal. Menurutnya, adalah keliru
memisahkan masalah ekonomi dari politik dan budaya. Kritis moneter, misalnya,
tak cukup hanya diterangkan dari sisi ekonomi saja. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi mungkin sudah menggembirakan dari sisi ekonomi, namun belum memperhitungkan
apakah di dalamnya ada kesenjangan, inefisiensi, dan lain-lain. Mubyarto
melihat bahwa ekonomi ortodoks (atau ekonomi neoklasik) terlalu berlebihan
dalam menggunakan matematika, dan seolah lupa bahwa ia adalah ilmu sosial. Ia
mengajukan “ekonomi kelembagaan”, “ekonomi moral”, “ilmu sosial-ekonomi” atau
“sosionomi” sebagai alternatif dan perangkat untuk mengembangkan ilmu
ekonomi yang lebih tepat Indonesia.
Dalam penjelasan Mubyarto, ekonomi Pancasila
selengkapnya adalah: Sila 1 bermakna bahwa roda ekonomi digerakkan oleh
rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Sila 2 adalah kehendak untuk mewujudkan
kemerataan sosial (egalitarian) sesuai dengan asa kemanusiaan. Sila 3,
nasionalime menjiwai ekonomi. Sila 4, koperasi adalah soko guru, bentuk konkret
dari usaha bersama. Sila 5, imbangan perencanaan di atas dan desentralisasi.
Sedikit berbeda, dari
sisi pandang Sri Edi Swasono[8]
misalnya, Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berorintasi kepada sila-sila
Pancasila dengan orientasi kepada: (1) sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan adanya etika moral agama, bukan materialisme, (2) sila kedua Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab dengan tidak mengenal pemerasan, (3) sila ketiga
Persatuan Indonesia dengan mengedepankan kekeluargaan, kebersamaan, gotong
royong tidak saling mematikan, bantu membantu antara yang kuat dan lemah,
nasionalisme dan patriotisme ekonomi, (4) sila keempat Kerakyatan dengan
mewujudkan demokrasi ekonomi, mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang
banyak, serta (5) sila kelima dengan persamaan, kemakmuran masayarakat
dijadikan tujuan utama bukan orang seorang. Dalam konteks ini, keadilan sosial
merupakan titik tolak, mekanisme pengontrol, dan bahkan tujuan pembangunan
nasional.
Sistem Ekonomi Pancasila
mencakup kesepakatan ”aturan main etik” sebagai berikut: (1). Ketuhanan yang maha
esa = perilaku setiap warga negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial,
dan moral; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab = ada tekad seluruh bangsa
untuk mewujudkan kemerataan nasional; (3) Persatuan indonesia = nasionalisme
ekonomi; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan = demokrasi Ekonomi; dan (5). Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia = desentralisasi dan otonomi daerah.
Pada hakekatnya, sistem Ekonomi
Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan
keadilan sosial bagi rakyat. Ia memihak pada pengembangan pertanian rakyat,
perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang
berperspektif Pancasila memihak pada kebijakan untuk pengurangan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan petani. Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main”
kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi
yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila [9].
Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat
nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung
Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan.
Menurut ekonom-ekonom UGM, ekonomi pancasila mengacu pada kelima silanya sebagai berikut [10]: (1)
Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan
moral; (2) Ada kehendak kuat warga
masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya
dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial; (3) Semangat
nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi, dengan urgensi untuk terwujudnya perekonomian
nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri; (4) Demokrasi Ekonomi berdasar
kerakyatan dan kekeluargaan dengan eksisnya koperasi dan usaha-usaha kooperatif
yang menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat; (5) Keseimbangan yang
harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi
ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan
masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud
kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi
kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi
dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.
Dari uraian di atas, ekonomi kerakyatan, ekonomi rakyat, ataupun ekonomi
Pancasila adalah suatu sistem ekonomi yang demokratis. Pengertian
demokrasi ekonomi termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945
yang berbunyi:
Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau
tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat
yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup
orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu
harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Sekarang mari kita beranjak ke dunia nyata. Jika ekonomi
rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus diteliti secara mendalam apa yang menyebabkan ketidakberdayaan
tersebut. Ekonomi rakyat
menjadi kerdil, terdesak, dan padam, tampaknya karena sengaja disempitkan,
didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, yang dipegang
langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada
segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat. Maka, cara yang paling mudah
memberdayakan ekonomi rakyat
adalah menghapuskan sistem monopoli. Cara lain yang juga sudah sering dianjurkan
adalah melalui pemberdayaan melalui
pemihakan pemerintah kepada
petani dan pelaku ekonomi lemah lainnya.
Tekanan dalam ekonomi rakyat adalah pada kegiatan
produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh
pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena
buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau
perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha
Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi
rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut
sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu
ekonomi perusahaan.
*****
[1] Paul
Ormerod dalam bukunya “The death of Economics” (tahun 1994) mengatakan bahwa
ramalan ekonomi yang bersandar kepada matematika linear tak cocok. Pandangan
ekonomi ortodoks yang menggunakan pandangan dunia idealistik dan mekanistik
sudah tumpul. Unit usaha ekonomi sebagai individu yang tersisolasi, tidak
tepat. Intinya, apa yang disebut “rasional” oleh ekonomi ortodoks sudah tidak
tepat.
[2] Mubyarto. “Capre/Cawapres
dan Ekonomi Rakyat”. Makalah Seminar Publik “Peningkatan Kualitas dan
partisipasi Politik Rakyat dalam Pemilu” Yogyakarta ,
1 Juli 2004. Artikel dalam majalah Ekonomi Rakyat dan Reformasi Kebijakan, Juli 2004. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm.,
14 april 2005 ).
[3] Soekarno. 1930.
“Indonesia
Menggugat”. 1930. Hal. 31.
[4] Mubyarto.
2002. “Ekonomi Rakyat Indonesia ”.
Artikel Th. I No. 1,
Maret 2002. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm.,
14 april 2005).
[5] Istilah
yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang
terjajah, disebut Bung Karno sebagai “kaum marhaen”.
[6] Mubyarto.
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika. Makalah
disampaikan pada Pertemuan I Seminar Pendalaman Eknomi Rakyat, YAE-Bina
Swadaya, di Financial Club, Jakarta 22 Januari 2002.
[7] Ini
digulirkan oleh Mubyarto dalam buku “Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia ”
(tahun 1981).
[8] Sri-Edi
Swasono. 1983. Membangun Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Indonesia .
Dalam Swasono, 1983 (ed). Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di
dalam Era Orde Ekonomi Indonesia .
UI-Press, Jakarta .
hal. 145.
[9] Mubyarto.
Pakar Ekonomi Kerakyatan. Makalah Kuliah Umum Ekonomi Pancasila di Universitas
Negeri Semarang
(UNNES), Semarang ,
9 Januari 2003, berjudul: “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila Di Tengah
Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia”. (http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/mubyarto/index.shtml.,
14 april 2005 ).