Makna hakiki tentang membangun, terjemahan dari kata “development”, adalah: “menjadikan lebih baik”, atau “general improvement in the standard of living”. Dari batasan yang tampak sederhana ini, lalu berkembang menjadi konsep yang paling banyak diperdebatkan. Sepanjang paruh kedua abad ke 20 ini, konsep “pembangunan” terus menerus dimaknai ulang, diukur, dinilai, dikritik, disempurnakan dan dibuatkan konsep tandingannya. Selain dibicarakan, ia juga menjadi jiwa seluruh gerak pemerintahan di seluruh dunia. Inilah konsep yang paling ramai dibicarakan dan diperhatikan, sehingga ada yang menyebut abad ke 20 sebagai “The Age of Development”.
“Pembangunan” telah berkembang jauh dari hanya sekedar konsep, namun telah menjadi
visi, teori, dan juga proses. Dalam dunia ilmu, selain sebagai konsep dan
teori, juga berkembang menjadi satu metodologi penelitian. Konsep “pembangunan”
yang banyak dibicarakan adalah konsep yang diciptakan oleh negara maju yang
dipelopori Amerika, untuk digunakan di negara-negara dunia ketiga. Konsep
ilmiahnya telah bercampur dengan konsep ekonomi politik tersebut.
Konsep pembangunan, dalam makna keilmuan, pertama kali lahir dari
ilmu biologi, yaitu Teori Evolusi. Karena itu, salah satu pengertian development disamakan dengan evolution, yaitu “a progression from a simple form to a more complex one” [1].
Dari ilmu biologi yang memperhatikan sebuah organisme ini, kemudian
dikembangkan untuk sebuah masyarakat. Sehingga masyarakat yang disebut
mengalami proses pembangunan adalah masyarakat yang berkembang dari
kesederhanaan menjadi terdiferensiasi dan kompleks dalam segala aspeknya [2].
Salah satu ilmuwan yang mengajarkan secara luas teri evolusi
adalah Herbert spencer (1820-1903). Ia mencoba menerangkan semua fenomena di
alam, termasuk masyarakat, berdasarkan hukum evolusi materi yang bertahap. Ia
menyatakan bahwa masyarakat tidak terlepas dari proses evolusi, dimana dalam
setiap tahapnya terjadi proses penyatuan dan pengintegrasian. Arahanya seragam, yaitu terjadinya perubahan dari yang serba
sama ke keadaaan berbeda. Teori evolusi merupakan inspirasi utama terhadap
teori modernisasi.
Gagasan “development” dalam arti
ekonomi politik, mulai pada 20 Januari 1949, saat Presiden Amerika,
Harry S. Truman, mengumumkan kebijakan luar negerinya untuk menjawab penolakan
dunia ketiga kepada kapitalisme, dan
sekaligus jawaban ideologis terhadap Uni Sovyet [3].
Terlihat, bahwa development dari sisi
ini dilontarkan demi Perang Dingin, untuk membendung sosialisme di dunia
ketiga. Dapat dikatakan, jika perang dingin sudah usai, maka development pun mestinya usai dengan
sendirinya. Namun faktanya, gagasan development
bersama-sama dengan modernisasi menjadi pilar utama kebijakan bantuan dan
politik luar negeri AS yang dipayungi oleh Foreign
Assistance Act of 1966.
Bekembangnya konsep pembangunan sehingga menjadi Teori Pembangunan,
dibangun melalui kalangan ilmuwan. Beberapa ilmuwan yang utama misalnya adalah Rostow (dengan
teori “The Five Stage Scheme”),
McClelland, dan Inkeles. Selain ilmuwan, pemakaian teori pembangunan pada
tingkat negara, bahkan menjadi sebuah ideologi (ideologi developmentalis),
adalah hasil kerjasama yang padu antara teknokrat, intelektual di
perguruan-perguruan tinggi, dan bahkan para lembaga non pemerintah. Konsep ini sangat
berkembang karena menggunakan jaringan lembaga dana, universitas, lembaga
riset, dan badan perencanaan pembangunan.
Sesuai dengan konfigurasi di dunia keilmuan, maka dikenal pula dua
model utama pembangunan, yaitu “model kapitalis” dan “model sosialis”. Kaum
developmentalis yakin bahwa negara maju yang kapitalis adalah bentuk ideal dari
sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Pembangunan ekonomi merupakan
syarat bagi demokrasi. Industrialisasi akan melahirkan kekayaan, dan
kesenangan, maka kemudian orang akan mau berpartisipasi dalam politik, dan
ujungnya kebebasan melahirkan demokrasi. Pembangunan bermakna sebagai
industrialisasi, yaitu pergeseran aktifitas produksi dari semula dominan bidang
pertanian dan produksi barang mentah, ke
aktifitas industri.
Pembahasan awal teori pembangunan adalah tentang “Teori
Pertumbuhan” yang merupakan pandangan ekonomi orthodok yang melihat pembangunan
adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan standar kehidupan yang diukur
dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, secara umum indikator pembangunan[4]
dilihat dari tingkat urbanisasi, melek huruf, sirkulasi surat kabar dalam masyarakat,
demokrasi politik dari sistem multi partai dan penggantian pemerintahan secara
teratur dengan pemilu, kebebasan berusaha, sekularisasi (“rasionalitas” sebagai
norma perilaku yang dominan), tingkat mobilitas sosial, diferensiasi mata
pencaharian, perkembangan organisasi-organisasi
sukarela, serta badan peradilan yang independen.
Dari kalangan pengkritik, berpendapat bahwa development hanyalah bungkus baru dari kapitalisme, dan merupakan
manifestasi ideologi modernisasi. Ia tidaklah netral, tapi memiliki “ideologi
kontrol”. Investasi padat modal, berupa modal asing serta ahli asing dan
teknologi dari luar, akan menimbulkan kemudian ketergantungan modal dan
teknologi, sehingga akan melahirkan Teori Ketergantungan.
Salah satu bentuk tanggung jawab pembangunan yang diusung Amerika
adalah program Marshal Plan, yang berupa bantuan. Fenomena bantuan lahir sejalan dengan berkembangnya era
pembangunan di dunia yang menggejala semanjak berakhirnya perang duia kedua.
Bagi negara-negara Eropah bantuan tersebut merupakan kelanjutan pengaruhnya
terhadap negara-negara bekas koloninya, sebagai tanggung jawab moral. Bagi
Amerika serikat, yang tidak memiliki koloni, bantuan dalam Marshal Plan
merupakan upaya memperkuat dominasinya di dunia internasional sekaligus untuk
melokalisir pengaruh sosialis. Namun, Uni Sovyet juga meakukannya[5],
sehingga terjadilah “perang bantuan”.
Bantuan juga menimbulkan dampak negatif. Hasil bantuan Bank Dunia
dengan donor dan tenaga ahlinya, misalnya fokus kepada pembangunan fisik dan
mengabaikan keembagaan, sehingga lemah dan tak terjamin kelanjutannya[6].
Pembangunan juga telah mengambil biaya sosial yang mahal, misalnya hilangnya
pengetahuan lokal (indigenous knowledge)[7], disebabkan pendekatan yang
sentralistis, top down, dan seragam.
Di Indonesia, pembangunan diterapkan misalnya dengan upaya untuk
mewujudkan Delapan Jalur Pemerataan, yang merupakan penjabaran dari Trilogi
Pembangunan. Delapan jalur dimaksud adalah pemerataan dalam hal: (1) pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan; (2)
kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian
pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
(7) penyebaran pembangunan; dan (8) kesempatan memperoleh keadilan.
Amartya
Sen, pemenang Nobel Eknomi tahun 1998, menyatakan bahwa pembangunan sarat
dengan cucuran darah, keringat, dan air mata, serta identik dengan kekejaman,
juga pemborosan sumber daya yang highly
inefficient. Permasalahan ini salah
satunya berasal dari fenomena state monopoly capitalism, karena terlalu
besarnya peran negara dalam modernisasi dan pembangunan.
Pembangunanisme
juga sering disebut sebagai era Neo Kolonialisme, di mana penjajahan tidak lagi
dilakukan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Meskipun
negara-negara Dunia Ketiga merdeka secara politik, namun dominasi negara-negara
bekas penjajahnya tetap dilanggengkan melalui kontrol teori dan proses sosial.
Dalam kondisi ini, pembangunan menjadi bagian dari media dominansi.
Setelah tigadasawarsa, teori modernisasi (klasik) mulai menunjukkan
kegagalannya. Reaksi dari para ilmuwan, berupa Teori Ketergantungan, berasal fakta
lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga
terhadap negara maju. Konsep trickle down
effect tidak berjalan, sehingga timbullah ketimpangan dan kemiskinan. Teori
ini tergolong radikal, dimana negara-negara dunia ketiga disarankan untuk melepaskan
diri, melakukan revolusi sosial, dan menganut sikap politik dengan model
pembangunan yang berdiri sendiri (self-reliance
model). Salah satu tokohnya adalah Andre Gunder Frank yang mengatakan bahwa
keterbelakangan (development of
underdevelopment) bukan sesuatu yang alami, namun tercipta dari sejarah
panjang dominasi kolonial, karena menerapkan model satelit-metropolis.
Konsep “dependencia”
dipelopori oleh Cardoso, yang dimunculkan tahun 1970-an. Dua ketergantungan
utama yang tampak adalah ketergantungan teknologi dan kapital. Dalam relasi
kerjasama yang eksploitatif tersebut, yang meraih untung hanya elit bisnis dan
politik. Karena itulah perlu pembebasan (liberation).
Teori modernisasi yang menjadi ideologi pembangunan dikritik oleh
neo-Marxisme dan kelompok ilmuwan sosial yang menolak adanya bentuk universal
ilmu sosial. Mereka mengembangkan Teori Modernisasi Baru (Neo-modernisasi) yang
memandang bahwa kekayaan tradisi tidak lagi sebagai penghalang. Selain itu, lebih
memperhatikan aspek historis dan faktorn ekstern dan konflik [8].
Permasalahan utama kegagalan teori pembangunan adalah karena ideologi
pembangunan yang kita anut bersifat “a
narrow Western capitalist ideology of development” yang sempit. Pembangunan
dimaknai sebagai perkembangan eknomi an sich, yaitu produksi barang dan jasa
dari masayarakat, dengan indikator pendapatan, GNP, GDP, dan lain-lain. Seluruh
indikator ini seharusnya baru “means”,
belum menjadi “aims” untuk mewujudkan
pembangunan yangh sejati.
Meskipun banyak dikritik, namun konsep dan istilah “pembangunan”
masih merupakan hal yang dipakai sampai saat ini. Kesepakatan baru tentang
pembangunan telah dihasilkan, tampak dengan lahirnya Millenium Development Goals[9].
Semenjak tahun 1990-an, PBB melakukan beberapa konferensi
internasional untuk merumuskan strategi pembangunan global dalam rangka
peningkatan kesejahteraan. Dimulai tahun 1992 konferensi tentang lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan di Brazil yang dikenal dengan Rio
Conference. Lalu tahun 1994 di Cairo tentang kependudukan (International conference on population and Development), tahun
1995 di China tentang gender dan pemberdayaan perempuan, dan 1995 di Kopenhagen
tentang Pembangunan Sosial. Puncaknya adalah di New York pada bulan September tahun
2000, yaitu Millenium Development Summit (MDS) tentang arah dan strategi
pembangunan global untuk abad 21.
*****
[1] Dalam literatur luar, istilah
pembangunan dekat misalnya dengan kata-kata evolution, evolvement, growth, progress, change, buildup, enlargement, increase, improvement, dan progress. Dalam bahasa Indonesia, Talizudhu Ndaraha.
(1990: Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka
Cipta) mengumpulkan berbagai kata yang sinonim dengan pembangunan, yaitu:
pertumbuhan, rekonstruksi, modernisasi, westernisasi, perubahan sosial,
pembebasan, pembaharuan, pembangunan bangsa, pengembangan, dan pembinaan.
[2]
Sebenarnya gagasan yang menggunakan proses evolusi untuk menerangkan masyarakat
sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Namun biolog Charles Darwin lebih
dikenal sebagai pencetus teori evolusi, dengan idenya tentang pembentuk
evolusi, yaitu mekanisme seleksi alam. (Sanderson, StephenK. 1993. Sosiologi
Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Edisi kedua. Rajawali Pers,
Jakarta).
[3]
Mansour Fakih. 1995. Tradisi dan Pembangunan: Suatu Tinjauan Kritis. Hal.
440-450. Analisis CSIS Tahun XXIV No. 6 Nov-Des. 1995.
[4]
Merupakan Compilation of Indicators of
Development (Dalam: Hoogvelt, Ankie M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang
Berkembang. Penyadur: Drs. Alimandan. Rajawali Pers, Jakarta. 285 halaman.
Judul asli: “The Sociology of Developing
Societies”. Hal 99).
[5]
Andrew Webster. 1984. Introduction to the Sociology of Development. MacMillan,
Cambridge.
[6]
Arturo Israel (1990: Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank
Dunia. LP3ES, Jakarta) dari pengalaman program-program Bank Dunia di Afrika dan
Asia.
[7]
Michael R. Dove (1985: Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam
Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta), misalnya melihat dari berubahnya
perladangan berpindah di masyarakat Bima.
[8]
Norman Long. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. PT Bina Aksara, Jakarta.
[9] Sekjen PBB pada lampiran Millenium Development Goals
menyatakan: “the millenium development
goals, particularly the eradication of extreme poverty and hungers, cannot be
achieved if questions of population and reproductive health are not squarely
adressed. And that means stronger efforts to promote women’s right, and greater
investment in education and health, including family planning”.