Culture berasal dari bahasa Latin “colere” yang berarti “to cultivate”. Dalam makna yang
paling dasar, “culture” (yang
diindonesiakan menjadi “kultur”, “kebudayaan”, atau “budaya”) merupakan segala
sesuatu yang ada di alam ini yang bukan disediakan oleh alam (nature). Jadi, ringkasnya, dunia ini hanya terbagi atas dua hal saja, yaitu: culture dan nature. Pengertian seperti ini tampak jelas pada kalangan
antropologi, dimana “kebudayaan” menurut mereka adalah segala sesuatu hasil
karya dan cipta manusia yang merupakan hasil kreasi manusia untuk kehidupannya.
Kebudayaan diberi definisi yang sangat
banyak, karena banyaknya aspek yang membentuk kebudayaan dan juga beragamnya pendekatan
untuk memahaminya. Banyak cabang ilmu berkembang yang mempelajari kebudayaan,
misalnya[3]: cultural
philosophy yang mempelajari aspek filsafat dari satu kebudayaan, cultural processes yang mempelajari
aspek epistemologi kebudayaan, serta cultural
anthropology dan cultural ecology
yang mempelajari aspek antropologi kebudayaan. Dari dimensi sosiologi dikenal cultural sociology yang mempelajari
struktur sosial dan elemen-elemen kebudayaan, dan cross-cultural comparative studies yang mempelajari dari sisi
ekonomi. Sementara itu, ilmu politik biasanya mempelajari kaitan kebudayaan
dengan pembangunan. Selain itu juga dipelajari aspek semiotic-linguistic
yang memperdalam kebudayaan sebagai gudang simbol (signs), aspek philological yang
mempelajari literatur, aspek psikologi mempelajari perbandingan kebudayaan
dan kognitif, aspek aesthetic mempelajari seni (termasuk visual, teater, dan musik), cultural heritage dan cultural history yang mempelajari
sejarahnya; serta studi media yang mempelajari televisi, video, dan internet di
tengah masyarakat. Dinamika masyarakat kontemporer dipelajari secara khusus
melalui Cultural Studies yang saat ini telah menjadi bidang sendiri dan
banyak diminati.
1. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
noma-norma peraturan, dan sebagainya. Ini disebut sebagai “wujud idel
kebudayaan” yang sifatnya abstrak (ideofact),
sehingga tak dapat diraba dan difoto, karena ia berada di dalam kepala-kepala
atau dalam pikiran manusia.
Semenjak
akhir 1990-an di Indonesia mulai ramai pembicaraan tentang “multikulturalisme”.
Ini merupakan paham yang mengedepankan kesetaraan dalam perbedaan. Multikulturalisme
adalah suatu relasi pluralitas yang didalamnya terdapat problem
mayoritas-minoritas, ada perjuangan pengekauan eksistensial, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice). Ia mengangkat sebuah ideologi
yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan
masyarakat. Bukan keanekaragaman suku bangsa yang diutamakan, tapi lebih kepada
keanekaragaman kebudayaan. Individu dilihat sebagai refleksi dari kesatuan
sosial dan budaya, dimana mereka menjadi bagian darinya. Pada akhirnya akan
dicapai kesederajatan secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Jadi, multikulturalisme
adalah kata sifat, yaitu sikap normatif atas fakta keragaman (multikultural). Sikap
ini sangat dibutuhkan Indonesia, karena kita memiliki 25 rumpun bahasa, lebih
dari 250 rumpun dialek, dan lebih dari 400 kelompok etnik atau suku bangsa,
serta 5 agama resmi ditambah kepercayaan[6].
Sementara
itu, “pluralisme” adalah pandangan yang menghargai kemajemukan, penghormatan
terhadap sang lain yang berbeda (others),
membuka diri terhadap warna-warni keyakinan, kerelaaan untuk berbagi (sharing), keterbukaan untuk saling
belajar (inklusivisme), keterlibatan untuk mencari persamaan-persamaan (common belief), dan menyelesaikan
konflik-konflik. Gerakan Neo-pluralisme dimulai
dengan gerakan anti kemapanan di Eropa tahun 1970-an, berupa Punk, Hippies, Underground, Skinhead,
Bohemian, dan lain-lain. Disini terjadi peralihan isu-isu lama dari agama,
suku, dan ras; menjadi isu-isu tentang gender, subkultur, ekologi, dan budaya
populer.
Sejak 1970-an telah
timbul diskusi untuk memadukan antara culture
dengan development, yang juga menjadi
agenda UNESCO. Ini datang dari kenyataan bahwa model
pembangunan yang diciptakan banyak menghasilkan ketidakpuasan, terutama karena
terlalu sempitnya mendefiniskan pembangunan hanya kepada sesuatu yang visual,
yaitu pembangunan irigasi, pabrik, rumah, serta produksi makanan dan minuman. Kebudayaan
memang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, namun mensyaratkan perlunya
menggeser paradigma dari statis culture yang memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang statis menuju ke progressive
culture.
Pembangunan dapat pula dipandang
sebagai sebuah strategi kebudayaan. Disini dilakukan pengembangan budaya
melalui berbagai institusi yang ada pada level negara dan masyarakat. Pendidikan
merupakan kunci dalam implementasinya. Pembangunan dengan menggunakan strategi
kebudayaan dapat dimaknai sebagai “… that
set of capacities that allows groups, communities and nations to define their
futures in an integrated manner”.
Soedjatmoko
pernah membahas, bahwa pembangunan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah kebudayaan
(economic development as cultural problem)
[7].
Disini kebudayaan diartikan sebagai pertautan etika kerja dan nilai-nilai
kerjasama. Menjadikan kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi
telah dibahas mendalam dalam ilmu sejarah, antropologi, dan sosiologi. Misalnya
Gunnar Myrdal yang pada tahun 1960-an membandingkan antara “negara lembek”
dengan “negara keras”. Negara lembek adalah negara yang kaya sumberdaya alam
namun gagal dalam pembangunan, seperti Brazil dan Indonesia. Sedangkan negara keras adalah negara
posisinya tidak strategis dan juga miskin sumberdaya alam namun sukses, yaitu Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Salah satu bentuk pembangunan
kultural (cultural development) yang
populer adalah community cultural development (CCD)[8],
atau dapat kita indonesiakan menjadi pembangunan komunitas berbasis kultural.
CCD didasarkan kepada kerangka untuk memahami bahwa ada ketidaksepahaman di
antara mereka yang terlibat dalam pembangunan, baik sebagai subjek maupun
objek. Titik tolak dalam CCD adalah community development. Namun, CCD lebih
dari community development, karena
ada tambahan unsur seni (art) di
dalamnya.
Ini merupakan pendekatan yang unik, karena
semua pihak dituntut untuk bekerja secara kreatif dengan komunitas menurut sifat
dan kondisi mereka, dalam permasalahan mereka, melalui praktek-praktek
kebudayaan. Akan terjalin kolaborasi secara setara antara artis dan pekerja
kebudayaan (cultural workers) dengan
komunitas, yang mengintegrasikan seni
dan kebudayaan dalam komunitas. Praktek CCD ditandai dengan keterlibatan
komunitas di berbagai level, dalam manajemen proyek, dalam pengembangan ide-ide
kreatif, dan dalam penciptakan kerja seni. Kadangkala ini berkenaan dengan
pemecahan masalah secara kreatif, dan penggunaan seni untuk membuat
permasalahan terlihat berbeda[9].
“Nilai”
(values) berkenaan dengan standar
penghargaan yang dianut bersama oleh anggota suatu masyarakat. Ia merupakan konsep-konsep abstrak dalam diri manusia,
tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Jadi, nilai adalah ide dan gagasan tentang hal-hal yang
berharga, namun abstrak. Nilai berfungsi sebagai
pedoman terhadap pembentukan norma, serta yang lebih rendah lagi berupa hukum
dan aturan-aturan. Di Indonesia selama ini, nilai-nilai yang hilang misalnya adalah
rasa takut bersalah, rasa malu, dan rasa takut pada hukum. Sementara, untuk
pembangunan ekonomi kita membutuhkan nilai persaingan, serta nilai stratgei,
nilai tahan uji, dan nilai-nilai wirausaha. Mental bangsa Indonesia menurut
Koentjaraningrat adalah suka menerabas, tidak dispilin, tidak berorientasi ke
masa depan, tidak hemat, dan tidak menghargai mutu. Kemudian Mochtar Lubis
menambahkan pula mental penuh tahayul, feodal, dan munafik.
Nilai-pun
dapat diklasifikasikan atas nilai ideologis, nilai strategis, dan nilai
instrumental atau operasional. Berkenaan dengan ini, “pembangunan berbasis
nilai” adalah pembangunan seluruh aspek baik aspek ekonomi, politik, fisik, dan
sosial budaya; yang dilandasi oleh nilai-nilai tertentu .
Nilai yang dianut suatu bangsa tidak berdiri sendiri, namun dalam suatu
konteks, yaitu dalam sistem pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya. Nilai budaya
ada dua yaitu pandangan hidup yang stabil, idealis dan independen; dan nilai
praktikal yang menjelma menjadi etos kerja.
Sistem nilai adalah pengikat segala kegiatan agar lebih bermakna,
bermartabat, dan memberi perspektif terhadap masa depan.
Istilah “norma” (norm) berasal dari bahasa Latin “norma” yang bermakna
sebagai “penyiku atau pengukur, aturan atau kaidah” ("angle
measure" atau (lawlike) "rule"). Dalam sosiologi,
“norma” atau “norma sosial” diartikan sebagai pola berperilaku yang diharapkan
untuk situasi tertentu dalam sebuah
masyarakat. Norma atau adakalanya
disebut “kaidah”, adalah aturan sosial, patokan perilaku yang pantas, atau
tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Norma berisi daftar tentang
perilaku-perilaku buruk yang dilarang, dan perilaku-perilaku baik yang
dianjurkan.
Norma memiliki tingkatan. Pada level
yang lebih rendah adalah “cara” (usage),
yang menunjuk suatu perbuatan yang lebih menonjol dalam hubungan antar
individu, misalnya cara minum seseorang yang mengeluarkan bunyi. Berikutnya
adalah “tata kelakuan” (mores), yaitu
ketika kebiasaan meningkat dan diterima sebagai norma-norma pengatur. Tata
kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan
sebagai alat pengawas. Jika dilanggar, sanksinya lebih kuat. Selanjutnya,
meningkat menjadi “kebiasaan” (folkways),
yaitu ketika perbuatan diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang merupakan
bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut [11].
Etika (ethics), berasal dari bahsa Yunani
ethos, yang maknanya adalah “kebiasaan” atau “watak”. Etika menunjuk kepada dua hal yaitu: (1) berkenaan
dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut manusia (etika
sebagai cabang filsafat), dan (2) pokok dalam displin ilmu itu sendiri, yaitu
nilai-nilai hidup dan hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Contoh etika
misalnya adalah tidak menepati janji. Pelanggarannya kurang serius dibanding
moral (misalnya perbuatan bejat).
Etika dapat
disebut sebagai kualitas moral, yaitu “motivation
based on ideas of right and wrong”. Jadi, etika adalah istilah umum yang menerangkan moralitas. Di dunia
filsafat, perilaku etika adalah tentang apakah itu benar atau salah. Dalam
analisis filsafat, etika dibagi atas tiga yaitu: metaetika (metaethics), etika normatif (normative
ethics) dan etika aplikasi (applied
ethics).
*****
[1] Koentjaraningrat. 1992. “Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta . Cetakana ke limabelas. 151 hal. Hal
1-2.
[2] Koentjaraningrat. 1992.
[3] “Cultural Concepts: or the Reality of Virtuality”. Research Institute
for Austrian and International Literature and Cultural Studies. Cultural
Studies and Europe . (http://www2.ville.montreal.qc.ca/ocpm/pdf/PD05/4lEN.pdf.,
11 Mei 2005).
[4] Koentjaraningrat. 1992. Hal
5-6.
[5] Inilah yang dikhawatirkan M.
Hatta, dimana korupsi menjadi kebudayaan di
Indonesia .
[6] Menurut M. Yunus Melalatoa
(1995. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Depdikbud, Jakarta ), ada 400 sampai 500 etnis di Indonesia .
[7] Kajian antropologi ekonomi di Indonesia
untuk sekian lama lebih berfokus pada perdebatan antara aliran substantivis dan
aliran formalitas. Aliran substantivis menyatakan bahwa ada konteks kultural
yang mewarnai bahkan melandasi kegiatan ekonomi masyarakat. Sementara aliran
formalis mempercayai bahwa berbagai konsep dan teori ilmu ekonomi dapat
digunakan untuk menjelaskan gejala ekonomi dalam masyarakat (Dalam:
Barfield, T. ed. 1997. “The Dictionary of Anthropology”. Oxford : Blackwell Publishers Inc).
[8] http://www.ccd.net/about/theory.html,
22 Maret 2005.
[9] Model ini tidak memiliki panduan
model yang baku ,
karena proses-lah yang dipakai untuk merefleksikan apa yang sesungguhnya ingin
dicapai. Proses CCD mungkin akan mencakup: (1) penamaan dan pengidentifikasikan
terhadap isu, nilai visi, kriteria untuk sukses, jaringan dan kesempatan; (2) perencanaan dan
penelitian untuk menemukan solusi, arah, dan pendekatan; (3) pengembangan
keterampilan untuk art production, bekerja
secara kolaborasi, dan manajemen proyek; (4) monitoring dan evaluasi terhadap
kemajuan, proses, dan hasil; (5) pengembangan sumberdaya untuk mendapatkan
pendanaan, mitra, networks, informasi,
dan ahli (expertise); dan (6) audience
development untuk memperoleh advokasi, promosi, dan penumbuhan kesadaran (awareness-raising).
[10] Negara Korea bangkit melalui tiga nilai
penting yang menjadi basis pembangunannya, yaitu kerajinan (diligence), kemandirian (self
reliance), dan gotong-royong (cooperation).
[11] Soekanto, Soerjono. 1999.
Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru, Cet. 28. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta .