Meskipun sudah menjadi kata yang sangat umum, namun tak jarang apa yang dimaksud dengan “petani” pun dapat menjadi suatu penyebab terjadinya perdebaan yang tak berujung. Ada dua kata dalam bahasa Inggris berkenaan dengan “petani” yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu “peasant” dan “farmer”. Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani yang subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau modernisasi.
Namun,
permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Dalam bidang ilmu pengetahuan,
ada perdebatan yang cukup dalam tentang bagaimana sesungguhnya antara peasant dan farmer. Cukup berat usaha yang telah dilakukan untuk membangun
pengetahuan apa yang dimaksud dengan peasant
tersebut. Menurut Wolf, seorang antroplog, peasant adalah suatu kelompok masyarakat dengan kegiatan utama
bertani, sebagai bentuk transisi antara masyarakat primitif (tribe) ke masyarakat modern. Tampak
bahwa ia menggunakan pendekatan evolutif dalam pengkategorian ini.
Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani
kecil, penyewa (tenants), penyakap (sharecroppers),
dan buruh tani. Meskipun berada pada level bawah, sesungguhnya mereka lah yang
menggerakkan pertanian. Istilah peasant misalnya
digunakan untuk menamai revolusi petani (peasant revolt) yang terjadi dulu di Eropa. Istilah “peasant revolt” juga digunakan dalam
arti yang luas, yaitu sebagai seluruh
bentuk pelawanan yang datang dari petani.
Pada pengetahuan awal, peasant hanyalah orang-orang yang berusaha dalam pembudidayaan
tanaman dan memelihara hewan yang hidup di pedesaan. Kalangan antropolog
kemudian mncoba mempelajari ciri-ciri pola budaya masyarakat ini. Dari upaya
ini kemudian diketahui bahwa salah satu ciri peasant adalah adanya hubungan patron-klien dalam masyarakatnya.
Para petani kaya adalah patron, sedangkan sebagian besar petani adalah klien
yang ada dalam posisi tersubordinasi [1].
Yang melekat pada peasant adalah sikap kerjasamanya satu sama lain, usahatani
kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri[2].
Saat ini, petani yang berkarakter peasant
masih tetap eksis.
Sesungguhnya sampai saat ini, upaya
mempelajari “apa yang dimaksud dengan petani”, belumlah selesai. Berbagai
perdebatan timbul karena perbedaan dalam metodologi dalam mempelajarinya.
Misalnya perdebatan antara James Scott dan Samuel Popkin. Rasionalitas petani
menurut James Scott adalah moral ekonomi petani yang hidup di garis batas
subsistensi, yaitu mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott
ini merupakan perilaku yang rasional. Namun Samuel Popkin melihat bahwa fenomena
tersebut jangan diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak
saja, sehingga mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Pada
hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang
kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.
Satu gambaran tentang masyarakat petani yang
perlu dipelajari adalah tulisan Chayanov. Menurut Chayanov, ciri khas ekonomi
rumah tangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usahatani
bukan untuk mengejar produksi (ekonomi kapitalis), namun untuk mencapai
kesejahteraan bagi anggota ruma tangga. Dalam bentuk ini, unsur-unsur biaya
produksi dinyatakan dalam unit-unit yang tidak dapat diperbandingkan dengan apa
yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Intinya adalah, bahwa untuk
memahami, menganalisis, maupun mengembangkan petani haruslah bertolak dari
pandangan yang khusus. Jika kita terima pandangan ini, itu berarti kita harus
mengembangkan “ilmu ekonomi pertanian” yang tidak merupakan turunan dari “ilmu
ekonomi industri”.
Secara umum, petani didefinisikan sebagai
orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya
berasal dari sektor pertanian. Namun definisi ini memiliki bias. Dalam
batasan statistik, orang yang bekerja di sektor pertanian minimal satu jam
seminggu, dapat disebut sebagai petani. Selian itu, orang yang tinggal di
pedesaan dan secara psikologis menjadi petani, sering pula disebut sebagai
petani. Akibatnya jumlah petani menjadi sangat banyak. Hal ini merupakan
salah satu penyebab rendahnya produktivitas di sektor pertanian, karena jumlah
petani merupakan faktor pembagi dalam pengukuran produktivitas.
Masalah rendahnya tingkat pendidikan dan
banyaknya tenaga kerja setengah pengangguran menjadikan sektor pertanian
menjadi tidak efisien. Masalah lain adalah banyak program pertanian telah
dilakukan, namun karena usahatani yang dilakukan dibawah skala ekonomi, membuat
petani terpaksa bekerja apa saja karena tidak dapat mengandalkan usahataninya
untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Apa sesungguhnya makna dari “petani”? Petani
umumnya adalah mereka yang menggunakan alam atau tinggal di wilayah hutan. Dalam
batasan masyarakat Eropa, petani adalah mereka yang menggarap tanah sebelum
revolusi industri dan revolusi agraria menyentuhnya.
Selaras dengan makna dari peasant, kita mengenal istilah “petani
subsisten”. Petani subsisten (subsistence farmer) adalah mereka yang “… earns very little from his farming
activities”. Aktifitas usahatani semata-mata adalah untuk konsumsi sendiri. Sisa yang dibawa ke pasar hanya
sedikit, dan hanya memberi sedikit pendapatan. Ia asing dengan pasar, terbatas
terknologinya, dan memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen. Karena pertanian tidak cukup menghasilkan
pendapatan, maka mereka harus mencari usaha lain untuk memenuhi pendapatannya. Satu
hal yang perlu dicatat, bahwa dalam konsep “petani subsisten:, dipercaya bahwa
suatu saat mereka akan meninggalkan
usahatani tersebut jika ada peluang.
Sebagai lawannya, adalah “petani komersial” (commercial farmer). Secara umum mereka adalah “…The commercial farmer earns an
ongoing and primary revenue from his farming business, which forms the major
source of income for the family. He has
access to the technical, financial and managerial instruments to utilise the
global market potential” [3]. Secara ringkas dapat pula didefinisikan
menjadi: “… a person who produces agricultural products
intended for the market”.
Ini jelas
pembagian yang hitam putih, dan hanya dari aspek yang sangat terbatas. Merujuk
pada kalangan antropologi dan sosiologi, kita akan temukan ada banyak ragam
arti “petani” yang pernah dikemukakan. Menurut Kurtz[4],
ada empat dimensi pokok yang diacu dalam
beragam kombinasi oleh pakar berbeda-beda dalam upaya mendefinisikan arti petani
(sebagai “peasant”). Ada lima dimensi
- dan lima kelompok ahli - berbeda yang
digunakan untuk melihat petani, yaitu: yang melihat petani sebagai pengolah
tanah di pedesaan (“rural cultivators”)
dengan berpegang pada “teori pilihan rasional”; dimensi yang melihat “komunitas
petani”sebagai “lawan dari pola budaya “urban”; petani merupakan elemen pokok yang
menghidupi komunitas desa meskipun mereka tersubordinasi oleh kekuasaan luar; dari pengikut Marx yang melihat petani sebagai
pihak yang menguasai dan memiliki tanah; serta para ahli yang mengacu pada keempat
dimensi sekaligus mengikuti teladan Max Weber. Contoh ahli untuk tiap kategori
secara berturut-turut adalah Samuel L. Popkin, Robert Redfield, James C. Scott,
E. Wolf, dan Moore.
Selanjutnya,
Kurtz menyimpulkan bahwa teori “ekonomi moral” tak berlaku dalam kasus modern
atau dimana individualisasi tinggi, adanya transisi ke kapitalisme, dan dimana
struktur komunitas masyarakat sudah lemah. Namun, teori “pilihan rasional” juga
tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas
untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika
masalah “free- riders” tidak signifikasn
mempengaruhi perilaku kolektif. Teori Marx menurut Kurtz juga tak cocok, ketika
struktur kelas agraria kurang
terkonsolidasi, dan dimana transisi ke kapitalisme berorientasi ekspor belum
tuntas dijalankan.
Berapa sesungguhnya jumlah petani yang
diperlukan di Indonesia? Dengan kata lain, berapa jumlah petani yang
dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pangan sekitar 200 juta lebih rakyat
Indonesia? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena selama ini pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan supply bukan
pendekatan demand [5]. Untuk
mengembangkan sumberdaya manusia petani, beberapa agenda yang harus
diperhatikan adalah menetapkan definisi dan kualifikasi petani, lalu menentukan
jumlah petani yang dibutuhkan, membuat rencana pengembangan berdasarkan
jumlah dan kualitas petani, serta menetapkan kriteria dan indikator pengembangan
petani.
Dapat digambarkan beberapa hal tentang
petani, atau sumberdaya manusia di sektor pertanian di Indonesia. Jumlah
petani dengan tingkat pendidikan SD kebawah masih menjadi proporsi
terbesar. Persentase penurunan kelompok petani dengan tingkat
pendidikan SD kebawah ini selama tahun 1992-1997 hanya 2,6 persen, yaitu dari
89,30 persen pada tahun 1992 menjadi 86,70 persen pada tahun 1997.
Sebaliknya kenaikan persentase kelompok pendidikan SLTP, SLTA dan perguruan
tinggi tidak menunjukkan kenaikan secara nyata, meskipun terjadi perbaikan
komposisi tenaga kerja pertanian ke arah yang lebih positif. Jika perekonomian
negara baik, akan banyak petani mencari alternatif pekerjaan yang lebih baik
sehingga terjadi penurunan jumlah petani. Tetapi jika kondisi perekonomian
negara kurang baik (krisis moneter, krisis ekonomi) maka terjadi penambahan
jumlah petani. Dinamika ini akan terjadi secara spontan.
Hari Petani Sedunia diperingati setiap
tanggal 17 April. Tanggal ini sepakat ditetapkan yang bertolak dari suatu
peristiwa di Brazil. Pada tanggal 17
April 1996, di kota Eldorado dos Carajos, telah terjadi pembantaian terhadap
petani yang sedang menuntut hak-haknya. Saat itu aparat keamanan Brasil
memuntahkan pelurunya kepada para demonstran, sehingga 19 orang tewas dan 60
orang luka berat[6].
Tindak kekerasan ini turut mengukuhkan pikiran para ahli dan kalangan gerakan
sosial untuk memperkuat perjuangan pembaruan agraria untuk petani. Tragedi ini
belakangan dijadikan tonggak sejarah gerakan kaum tani se-dunia, dimana La Via Campesina (suatu organisasi gerakan
tani lintas negara) menetapkan tanggal tersebut sebagai International Day of Farmers Struggle[7].
*****
[1] Sebagaimana hasil penelitian James C. Scott
(1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia , Jakarta . 384 hal) di wilayah Vietnam dalam kondisi masyarakat pra-kapitalis.
[2] Nilsson, Stefan. 1997. Bondemyten och
byfrågan. [The farmer-myth and the village-issue]. Thesis (10 credits) at the
Advanced Course in Human Geography.
Supervisor: Ulf Jansson. Language: Swedish.
Supervisor: Ulf Jansson. Language: Swedish.
[3] Committee Definitions Relating
to The Crop Estimates Committee. (www.sagis.org.za/Flatpages/
CEC%20Definitions%20Final.doc, 11
April 2005 ).
[4] Kurtz, M. J. 2000. Understanding Peasant
Revolution: from Concept to Theory and Case in Theory and Society (29:93-124).
Dalam: Sajogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan. Artikel - Th. I - No. 1 -
Maret 2002. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_5.htm.,
11 April 2005 ).
[5] Berdasarkan data Sakernas, jumlah tenaga
kerja pertanian (petani) masih mendominasi hampir separuh dari tenaga kerja
nasional. Mulai tahun 1992 sampai 1997, jumlah petani terus menurun,
namun meningkat lagi tahun 1998. Ini disebabkan karena krisis ekonomi, dimana
sebagian tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian kembali lagi
menekuni bidang pertanian. Jumlah petani berturut-turut untuk angka mutlak dan
persentase terhadap jumlah tenaga kerja nasional mulai tahun 1992 sampai 1998
adalah: 41.160. 615 (53.68%), 39.057.278 (49.31%), 36.851.780 (44.92%),
36.008.095 (42.98%), 35.164.410 (41.03%), 34.555.660 (39.70%), dan 39.474.765
(44.96%).
[6] Usep Setiawan. Deputi Sekretaris Jenderal
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “17 April, Hari Perjuangan Petani Sedunia”.
Copyright Sinar Harapan 2003.
(http://www.terranet.or.id/beritanya.php?id=11639, 21 April 2005 ).
[7] “The
Via Campesina is a
movement of peasant and farm organizations from all the regions of the world
committed to solidarity and determination to move forward in the defence of
people of the land and in the building of better alternatives”. Dalam
majalah “The Activist Magazine”, Wednesday, 20 April, 2005 . (http://www.activistmagazine.com,
21 April 2005 )