Istilah “civil
society” di Indonesia diterjemahkan menjadi beberapa istilah dengan sedikit
perbedaan antar kata tersebut, yaitu “masyarakat sipil”, masyarakat warga”,
“masyarakat kewargaan” atau “masyarakat madani” [1].
Konsep civil society (seringkali saya
pendekkan menjadi “CS”) saat ini sedang banyak mendapat banyak perhatian, dan
tampak masih pada tahap berkembang. Berbagai indikatro-indikator baru masih
ditambahkan, sehingga kadangkala ada menimbulkan ketidaksamaan di antara para
ahli.
Konsep CS merupakan kasus yang menarik, karena telah
mengalami perubahan yang sangat ekstrim terhadap makna konsep ini. Konsep yang
belaku sekarang berbeda dengan konsep murninya (genuine). Pada awalnya, melalui istilah “societas civilis” dari
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan Romawi; CS identik dengan negara. Namun, kini justeru
sebaliknya, karena CS adalah kekuatan yang mencoba mengimbangi terlalu
perkasanya negara.
Jadi, awalnya CS berbentuk sekularisme, yaitu
penentangan ilmuwan terhadap kekuasaan gereja yang absolut di abad pertengahan.
Namun akhir abad 18, CS merupakan komponen penting yang keberadaannya seajar
dengan negara, seiring dengan pemikiran Hegelian yang membagi dunia sosial atas
3 komponen, yaitu: keluarga, civil
society, dan negara. Dalam konsep Hegel saat itu, CS memiliki
ketergantungan kepada negara.
Namun kini, CS bermakna sebagai “kemandirian aktifitas
warga masyarakat berhadapan dengan negara dengan mewujudkan nilai-nilai
keadilan, persamaan, pluralisme, dan kebebasan”. Keberadaan civil society adalah untuk melindungi
individu terhadap kesewenang-wenangan negara, atau terhadap hegemoni negara dan
pasar. Pemerintah tidak bertindak ideal yang semestinya berada pada posisi
irisan antara diagram venn yang memuat tiga lingkaran yaitu CS, negara (state), dan pasar. Harapan negara
sebagai kekuatan moral tidak terwujud.
Di antara dua lembaga tersebut, CS lebih dihadapkan
kepada negara, bukan pasar; karena politik-lah yang menjadi bidang utama CS,
bukan ekonomi. CS dicirikan dengan keterlibatan masyarakat dalam proses
pengembailan keputusan politik di tingkat supra struktur. Dengan hadirnya
CS, aktivitas politik diharapkan akan
bersifat luas dan transparan. Partisipasi dalam politik adalah kata kunci CS.
Dari perubahan-perubahan makna yang dialaminya, maka ada
yang mengelompokkan pandangan terhadap CS atas pandangan tradisional dan
modern. Kaum tradisionalis mendefinikan CS sebagai masyarakat sipil yang
berasal dari budaya Barat, sebagai counter
balancing terhadap negara dan sebagai alat kontrol negara. Karena negara
bukanlah institusi yang “baik hati”. Sebaliknya, bagi kaum modernis, CS adalah “masyarakat
madani” dengan berpola pada masyarakat Madinah
zaman nabi. Itulah prototipe ideal masyarakat yang demokratsis,
egalitern berkeadilan, dan beradab. Pada konsep ini, masyarakat bukan “lawan” negara,
namun sebagai komplemen atau suplemen terhadap negara. Secara prinsip,
masyarakat in mendahului konsep Declaration
of Human Rights tahun 1948 oleh PBB.
Menurut Alfred Stepan, CS adalah arena tempat berbagai
gerakan sosial (himpunan ketetanggan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan
kelmpok intelektual) serta orang sipil dari semua kelas (ahli hukum, wartawan,
serikat buruh, dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam satu
himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan
memajukan berbagai kepentingan mereka. Karaketristik
CS adalah (1) masyarakat melakukan gerakan politik secara kolektif dengan
partisipasi yang luas, (2) terdapat fase perkembangan yang bersifat on going process di tingkat grass root politic, dan (3) gerakan CS
fokus pada praksis politik yang mengacu pada gerakan yang transparan, untuk
selanjutnya lalu merambah ke negara.
Tujuan akhir dari CS
adalah masyarakat bermoral, sadar hukum, beradab, memiliki tatanan sosial yang
baik, teratur dan progresif. Begitu tinggi harapan yang diberikan kepada CS.
Melalui CS diharapkan terbangun masyarakat yang beradab, terbuka, yang terdiri
dari kemajemukan, kreatif-dinamis, berseni budaya, partisipatif, dan
bertanggung jawab yang mengabdikan diri kepada bonnum commune. Demokrasi yang dijalankan pada masyarakat lebih
murni, tulus, dan bertanggung jawab. CS diharapkan mampu menuju communion of communities, yaitu
masyarakat yang rukun, adil, harmonis, dan sejahtera.
Dalam beberapa hal, konsep CS punya semangat yang sama
dengan “pemberdayaan”. CS hanya akan berkembang bila menerapkan prinsip
subsidiaritas, yaitu: apa yang bisa diurus dan diselesaikan kelompok yang lebih
kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada, maka kelompok yang lebih besar
(negara) tidak usah ikut campur.
CS merupakan konsep besar dan penting, karena itu banyak
ahli yang bicara tentang CS. Bagi Habermas, CS adalah the free public spheres, tempat dimana semua orang boleh ngomong
apa saja. Terbangunnya CS, menurut Paulo Freire, membutuhkan critical mass, yaitu sekelompok orang yang mengembangkan satu
peradaban masyarakat madani (keswadayaan), dengan semangat demokratisasi dan
penghargaan kepada HAM, dan semangat kekuasaan yang distributif. Jadi, CS
membutuhkan masyarakat sekuler dan rasional.
Menurut Antonio Gramsci,
CS merupakan weapon of the weak. CS
perlu untuk penyeimbang dari kekuatan negara. Meskipun bergerak di wilayah
politik, namun CS mengandalkan pada kekuatan moral. Globalisasi ekonomi
dikawatirkan akan menyebabkan kematian demokrasi, karena rakyat ditelantarkan
oleh negara, sibuk melayani kapitalis. Gramsci paling sering menyuarakan, bahwa
negara telah menjadi alat kepentingan kaum borjuis kapitalis untuk menghegemoni
dan menindas masyarakat. Ditambah dengan kecenderungan komersilisasi berlebihan
media massa, maka CS menghadapi dua tantangan: represif negara dan pasar yang
dikendalikan struktur kapitalisme global.
Korporasi transnasional selain menggusur produk lokal, mematikan
kearifan lokal, merusak budaya lokal, dan eksploitasi ekonomi, juga mengurangi
kemandirian warga. Globalisasi yang mengusung rezim pasar telah mengambil
gagasan CS ini untuk menjinakkan resistensi rakyat, menjadi relasi yang berpola
neoliberal.
Istilah civil society biasanya berkaitan dengan
organisasi dan aktifitas warga negara dalam seluruh level [2].
Masyarakat Civil Society berbentuk sebagai suatu konfigurasi yang terdiri dari
organisasi non pemerintah, media massa, institusi ilmiah dan lain-lain. Seluruhnya
berada dalam satu jaringan. Masyarakat tersebut beroperasi dalam situasi “… communication as a human right, the
global information commons as a counterpart for the commercial use of
information, freedom of expression, privacy, a participatory communications
model, the central role of local communities and support for community-based
initiatives” [3].
Bagi Wignyosoebroto, CS yang diindonesiakannya menjadi
“masyarakat warga” merupakan “suatu
masyarakat ideal yang di dalamnya hidup manusia-manusia partisipan yang
masing-masing diakui sebagai warga-warga yang kedudukan mereka serba setara dan
sama dalam soal pembagian hak dan
kewajiban” [4]. Masyarakat
yang dibangun di atas kekuatan partisipatif-yang karena itu juga sungguh
dilandasi voluntarisme para warganya.
Bagaimana sejarah awal terbentuknya CS? Sebutan civil society pada awalnya dulu
diberikan kepada sekelompok penduduk kota yang otonom dan tak tersentuh
kekuasaan penguasa-penguasa feodal. Mereka hidup dalam enklave-enklave
bertembok yang disebut city atau burough (Inggris), burg atau Buerg (Belanda
dan Jerman), cite atau bourge (Perancis). Mereka yang tergolong
les citoyen atau the citizens ini berstatus sebagai civilian alias “preman” ( = orang yang meredeka) [5].
Ini terjadi di Eropa abad 17-18. Sebagai warga yang otonom, mereka eksis dengan
mengandalkan topangan partisipatif warga-warganya yang berkepercayaan diri dan
karena itu juga berkemandirian, berkeswasembadaan, dan berkeberdayaan, yang
oleh sebab itu pula selalu mampu bersikap dan berpeilaku otonom, tanpa dapat
didominasi dan dihegemoni begitu saja oleh sembarang bentuk kekuasaan negara. Karena
kemandirian dan keberdayaaannya itulah mereka mampu mengimbangi dan mengontrol
kekuatan dan kekuasaan negara. Ini lalu
berubah seiring perubahan “negara kota” menjadi “negara bangsa”. Rakyat yang
berdaulat.
Ide tentang CS telah memperoleh perhatian yang besar
dalam bidang politik dan pembangunan, terutama kaitannya dengan fenomena
gelombang demokratisasi, yang dimulai dari Amerika Latin dan Eropa Timur, yang
lalu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Dalam konteks normatif, CS
diperkirakan ikut berperan kepada gejala pembatasan keperkasaan negara (limiting authoritarian government), memperkuat
pemberdayaan, mengurangi dampak destruktif sistem pasar, mendorong
akuntabilitas politik, dan meningkatkan kualitas dan inklusifitas pemerintahan.
Bersamaan dengan terjadinya pembatasan peran negara, terjadi peningkatan
kesadaran untuk peran organisasi sipil dalam pengelolaan sumberdaya bersama dan pelaynan sosial.
Civil society telah dipelajari dari berbagai bidnag
ilmu. Sebagai konsep politk, CS berakar dari tradisi liberal-demokratis Anglo-America, dimana institusi sipil dan aktifitas politik
merupakan komponen esensial sebagai prasayarat untuk menerapkan “… principles of citizenship, rights,
democratic representation and the rule of law”. Sebagai konsep sosiologi, CS dipandang
sebagai pihak intermediasi antara negara di satu sisi dengan masyarakat di sisi
lain. Sebagai intermediasi, maka elemen pembentuk CS adalah berbagai organisasi
dan asosiasi yang terpisah dari negara, otonom, terbentuk secara sukarela
dengan anggotanya yang bebas dan terlindung untuk mewujudkan “….their interests, values or identities “ [6]. Bagi kalangan ahli sosial umumnya,
konsep CS memiliki potensi untuk didefinisikan secara lebih solid dan
konstruktif, sehingga dapat berperan dalam merekonstruksi masyarakat apa yang
disebut dengan tatanan masyarakat modern.
Ahli ekonomi politik klasik, sepeti John Stuart Mill dan
Adam Smith memandang CS sebagai “….. a
realm of virtuous freedom, both economic and personal, and contrasted it with
the evils of the state”. Dari kelmpok Neo-Marxist, Antonio Gramsci mengatakan
bahwa civil society sebagai “…. place
where the state operates to enforce invisible, intangible and subtle forms of
power, through educational, cultural and religious systems and other
institutions” [7].
Civil
Society telah memiliki banyak arti bagi tiap orang. Bagi sebagian kalangan, CS merupakan
wujud dari “the third leg” sebagai
alat sosial dari dua kekuatan pokok yaitu negara dan pasar. CS mencakup
berbagai sektor nirlaba, serta juga relasi keluarga, ketetanggaan (neighborhood), dan dalam komunitas.
Di
Malaysia, populer istilah “masyarakat madani”. Ciri masyarakat madani adalah
modern, berdaulat, komunikatif, adaptif terhadap lingkungan, swadaya tinggi,
dan berideologi multikulturalisme termasuk dalam hal jender. CS di Indonesia
mulai ramai dibicarakan tahun 1990-an,
yang dikontraskan dengan militer. Permasalahan yang dihadapi Indonesia, adalah
paradoks antara kemajemukan dan kesatuan. Masalah CS kita adalah masyarakat
dengan berbagai latar belakang, serta tatanan dan komposisi sosial yang
majemuk, ketidakadilan sosial, perebutan kekuasaan, dan lain-lain.
Untuk
Indonesia, dengan realitas pluralis, maka yang dibutuhkan adalah sikap inklusif. Maka, bentuk konkretnya bisa
berupa kelompok-kelompok lintas komunitas, lintas agama, lintas kultural,dan
lintas partai. Resistensi terhadap pluralisme merupakan hambatan untuk mewujudkan
CS. Jadi, CS berprinsip pluralis-inklusif. CS akan terwujud bila tiap orang
menunaikan tugas dan kewajibannya, serta mendapatkan imbalan yang adil. Untuk
mewujudkannnya dibutuhkan “civil ethics”
yang merupakan pertanggungjawaban moral.
Di
Masyarakat Islam, CS yang dinamai dengan “masyarakat Madani” ada sejak abad ke
–13 dengan terbentuknya masyarakat Islam dan adanya lembaga keulamaan. Di
Indonesia, bentuk masyarakat madani
adalah ketika berdirinya Syarekat Islam dan Muhamadiyah tahun 1912. Di
kalangan Islam, masyarakat madani punya empat definisi yaitu: identik dengan
masyarakat Madinah semasa nabi, sama dengan peran nabi sebagai kepala negara,
identik dengan kelas menengah muslim kota, dan masyarakat yang beradab.
*****
[1] Madani
berasal dari Madaniyyah yang bermakna “peradaban”, sementara civil dari civility juga “peradaban”. Kata civilis
atau civis dalam bahasa Yunani
sama dengan kewargaan. “Madani” dalam bahasa Arab adalah kata sifat dari
Madinah sebagai kota
secara umum, atau peradaban.
[2] Situational
Analysis of CBOs in Georgia :
Concepts http://www.psigeorgia.org/undpsa/concepts.htm.
13 Mei 2005.
[3] WSIS and
Civil Society: A Backgrounder (http://www.digitalopportunity.org/article/view/65050.,
13 Mei 2005).
[4]
Wignyosoebroto, Soetandyo. 2000. Masyarakat Warga: Perkembangan dalam Sejarah
dan Permasalahan Teoritiknya. Jurnal Sosiologi Indonesia No. 4 tahun 2000. Hal.
48.
[5]
Wignyosoebroto, Soetandyo. 2000. Hal. 48-9.
[6] Untuk lebih
dalam dapat mempelajari Gordon White. “Civil Society, Democratization and
Development: Clearing the Analytical Ground”. Democratization, Autumn, 1994. Hal. 375-390.
[7] Jon Van
Til. “Building Social Capital and Growing Civil Society”. Winter 2001 Monday
Night Lecture Series. (http://www.pendlehill.org/Lectures%20and%20Writings/von_til.htm.,
13 Mei 2005).