“Koperasi” berasal dari Bahasa Latin “cooperere”. Dalam bahasa Inggris “cooperation” maknanya adalah “bekerja sama”, dimana co = bersama, operation = bekerja, dan to
operate = berusaha. Pengertian koperasi secara ekonomi adalah kerjasama
para anggota untuk memenuhi kebutuhan bersama. Istilah “koperasi” di Indonesia secara
legal pertama dikenal dalam Undang-Undang No. 79 tahun 1958, yang merubah kata
“kooperasi” menjadi “koperasi”.
Meskipun koperasi sudah dikenal di seluruh belahan dunia, namun bentuk
dan cara operasinya berbeda-beda. Di Indonesia, gagasan koperasi tampaknya
sudah ada semenjak tahun 1896, ketika seorang pamong praja, Patih R. Aria
Wiriaatmaja di Purwokerto, mendirikan bank untuk membantu pada pegawai untuk melepaskan
diri dari pinjaman uang dari lintah darat.
Dalam UU No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian
disebutkan: “ Koperasi Indonesia adalah
organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau
badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Batasan
ini sedikit berbeda dalam UU No. 25
tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pada Pasal 1 disebutkan: ”Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan”.
Menurut The International Cooperative Alliance (ICA) [1],
koperasi adalah: “…an autonomous association of
persons united voluntarily to meet their common economic, social,and cultural
needs and aspirations through a jointly owned and democratically controlled
enterprise. Selain itu, koperasi
juga dimaknai sebagai “embody the values of selfhelp, self-responsibility,
democracy, equality, equity and solidarity. In the tradition of their founders,
co-operative members believe in the ethical values of honesty, openness, social
responsibility and caring for other”.
Koperasi modern yang eksis saat ini,
dasar-dasarnya berakar dari koperasi di Eropa, Jepang, dan Amerika. Semenjak abad
ke 19, koperasi pedesaaan sudah dikenal yang umumnya menyediakan kredit,
menjual sarana produksi, menjamin pemasaran, dan pelayanan pendidikan bagi
anggotanya.
Kita mengenal adanya tujuh prinsip
utama koperasi [2],
yaitu: keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, manajemen demokratis,
partisipasi ekonomi anggota, otonom dan independen, bertujuan untuk pendidikan,
kerjasama dengan koperasi-koperasi lain, dan memberi perhatian kepada komunitas
setempat[3]. Prinsip-prinsip
ini selaras dengan ide-ide yang mendorong lahirnya
koperasi yakni: adanya solidaritas, demokrasi, kemerdekaan, altruisme,
keadilan, kemajuan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Sistem masyarakat
yang berjalan merupakan lingkungan yang penting, karena koperasi hanyalah
sebagai satu lembaga bentukan atau merupakan subsistem dari masyaarkat
tersebut.
Koperasi berbeda dengan organisasi usaha pada umumnya. Meskipun
menurut prinsip-prinsip koperasi (cooperative
principle) atau sendi-sendi dasar koperasi, masalnya dalam UU No. 12 tahun
1967, koperasi dapat berupa organisasi masyarakat atau perusahaan (enterprise). Perbedaannya adalah[4]: dari
segi organisasi adalah anggotanya merupakan orang-orang dengan kepentingan
sama, anggota bebas keluar masuk, dan kekuasaan di rapat anggota bukan pada
pemilik usaha. Tidak sebagaimana di perusahaan yang pemimpinnya
sentralistis, pada koperasi dikenal “tri
tunggal kepemipinan” yang terdiri rapat anggota, pengurus, dan manajer. Pengurus
bukan penguasa mutlak. Pengelolaan usaha pada dasar pada koperasi dilakukan
secara terbuka, tidak tertutup sebagaimana dalam perusahaan swasta.
Perbedaan ini timbul, karena tujuan usaha koperasi adalah untuk memenuhi kebutuhan
anggota, bukan mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya. Karena itulah
di koperasi tidak dikenal “keuntungan”, namun “sisa hasil usaha”. Kemajuan
usaha anggota yang diutamakannya. Kemajuan anggota berarti kemajuan bagi
koperasi. Kalau kemudian kooperasi memperoleh kemajuan pula, itu sifatnya
sekunder. Selain itu, antar koperasi akan mengadakan koordinasi dan integrasi, secara
horizontal maupun vertikal; bukan persaingan.
Keberadaan koperasi di Indonesia dipengaruhi oleh struktur ekonomi
makro. Pada tahun 1950-an misalnya, koperasi berada dalam suasana ekonomi
liberal. Namun, semenjak 1960-an, bersamaan dengan program pemenuhan pangan
nasional, maka koperasi banyak dijadikan alat politik dan untuk pendistribusian
bantuan pemerintah. Agar mampu menjalankan perannya, maka koperasi didukung
dengan berbagai fasilitas, yang berakibat rendahnya kemandirian koperasi. KUD
semula dibangun untuk peningkatan produksi dan kesejahteraan masyarakat. Inpres
No. 2 tahun 1978 lalu memperluas perannya untuk juga sebagai penjaga kestabilan
harga pangan. KUD kemudian terlibat dalam penyediaan kredit, penyediaan
saprodi, pengolahan dan pemasaran, dan kegiatan ekonomi lain[5]. Dalam
bentuk yang tradisional, lumbung desa dapat dianggap sebagai sebuah koperasi
dalam bentuk manajemen yang berbeda. Namun, bukan berarti bahwa koperasi
merupakan transformasi dari lumbung desa.
Mohammad Hatta merupakan Bapak Koperasi di Indonesia. Pada Hari
Koperasi tanggal 12 Juli 1951, ia menyatakan bahwa:
“ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas dasar kekeluargaan, sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945.
Maka asas kekeluargaan itu ialah koperasi. Selanjutnya juga ditegaskan, bahwa
dalam ekonomi yang berlandaskan koperasi maka produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua, dibawah kepemilikan anggota masyarakat untuk kemakmuran
masyarakat, bukan orang-seorang. Disini terlihat, bahwa jiwa koperasi tersebut
memiliki kesejajaran setidaknya dari sisi semangat dengan konsep “ekonomi
kerakyatan”.
Lebih jauh Hatta menyebutkan, bahwa koperasi tidak saja menjadi
wadah ekonomi, tetapi juga sebagai sarana pendidikan bagi
masyarakat. Pada tahap-tahap awal kemerdekaan, koperasi bahkan menjadi alat
perjuangan nasionalisme, dengan memupuk solidaritas sosial tanpa membedakan
suku, agama, dan status sosial.
Kita seringkali mendengar bahwa “koperasi adalah soko-guru
perekonomian”. Menurut Sri Edi Swasono[6], sokoguru adalah tulang pungung
perekonomian. Artinya, semangat kebersamaan dan asas kekeluargaan harus hadir
dalam setiap aktifitas ekonomi, bahkan juga harus ditumbuhkan untuk lembaga
swasta. Kebersamaan terlihat dari buruh-buruh yang memiliki saham diperusahaan
tempatnya bekerja, sedangkan sikap kekeluargaan muncul ketika karyawan membuat
koperasi karyawan. Koperasi adalah sokoguru, bukan salah satu[7].
Dalam pengertian kuantitatif, ia merangkum seluruh aspek kehidupan sosial
ekonomi yang sifatnya menyeluruh dan substantif makro, tidak hanya
parsial-mikro.
Mengapa koperasi harus
sebagai soko guru? Dengan koperasi menjadi soko guru, maka[8]:
(1) akan mampu menyadarkan kepentingan bersama dan menolong diri sendiri,
dimana organisasi ekonomi diarahkan untuk melawan penindasan asing; (2)
menampung, mempertahankan, memperkuat identitas dan budaya bangsa; (3) wadah
yang tepat untuk membina golongan ekonomi kecil; (4) ia dapat hidup dalam
bangun-bangun usaha non-koperasi; dan (5) untuk merealisasikan ekonomi
Pancasila.
Koperasi merupakan badan ekonomi yang berwatak sosial. Untuk
meujudkan ini, maka unsur-unsur dasar ideologinya haruslah berupa: keswadayaan,
kesetiakawanan, demokrasi, kekuatan ekonomi, kebebasan yang bertanggung jawab,
keadilan, tidak mementingkan diri sendiri, dan komitmen kepada kemajuan sosial.
Ini dapat diwujudkan apabila tercipta “demokrasi ekonomi”, dimana tiga unsur
penting (negara, swasta, dan koperasi)
saling menghargai.
Dalam UU No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian,
pasal 4 disebutkan bahwa fungsi koperasi adalah: sebagai alat perjuangan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, alat pendemokrasian ekonomi
nasional, salah satu urat nadi perekonomian, dan pembina masyarakat untuk
memperkokoh ekonomi bangsa.
Salah satu sisi lemah koperasi di Indonesia adalah, karena rendah dalam
efisiensi dan melulu bersandar kepada “kesadaran” atau kurang menggarap rasionalitas
ekonominya. Sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial, perlu seimbang
aktivitas ekonomi dengan sosial. Namun untuk kelangsungan hidupnya harus
memandang diri sebagai organisasi ekonomi, yaitu harus mandiri secara ekonomi.[9]
Koperasi menempati kedudukan yang
sangat penting dalam peta pemikiran ekonomi Bung Hatta[10]. Ia
tidak hanya memandang koperasi sebagai bangun perusahaan yang ideal pada
dataran mikro, tetapi sekaligus juga sebagai sumber inspirasi dalam
mengembangkan sistem perekonomian Indonesia pada dataran makro. Koperasi adalah
model ideal susunan perekonomian Indonesia, pada tataran makro maupun mikro.
Pemikiran ini diadopsi pada Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, yang dengan tegas
menetapkan ''usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan'' sebagai prinsip
dasar susunan perekonomian Indonesia. Dalam pasal tersebut, koperasi secara
tegas dinyatakan sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan prinsip ''usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan''.
Sepanjang sejarah terlihat, koperasi
berada dalam berbagai sistem perekonomian. Di RRC misalnya, koperasi dipakai
sebagai model transisi dalam proses transformasi sistem feodal ke sistem
sosialis. Koperasi sesungguhnya lahir di negara kapitalis, yang dimaksudkan
sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis. Koperasi modern lahir di Inggris
pada awal abad 19, akibat revolusi industri yang menyengsarakan kaum buruh.
Jadi ia lahir sebagai penyeimbang kejamnya dunia industri yang menerapkan
ideologi kapitalisme.
Karena lemahnya perkembangan koperasi di Indonesia, maka timbul
kesan “sepele” padanya. Padahal, sesungguhnya terdapat tujuan dan perjuangan
yang maha besar di balik konsep “koperasi”. Koperasi bertujuan mengganti
persaingan bebas yang menjadi dasar bangunan kapitalisme dengan kerjasama. Namun,
ia pun dapat menjadi salah satu subsistem dalam sistem kapitalis. Koperasi
sesungguhnya memiliki keinginan yang kuat untuk menghilangkan corak
individualistis dan kapitalistis dari ekonomi kapitalisme. Dengan memilih koperasi,
sesungguhnya juga dimaksudkan sebagai titik tolak untuk membangun sebuah
masyarakat demokratik dan egaliter dalam arti yang sebenarnya. Dalam ilmu
koperasi, manusia dipelajari tidak hanya sebagai homo-ekonomikus, yang rasional dan selalu mengejar untung sebesar-besarnya,
serta selalu mengejar kepuasan
maksimum dalam mengkonsumsi.
Terlihat bahwa koperasi tidak semata
koperasi. Ia begitu perlu diperjuangkan, karena koperasi merupakan bentuk
perlawanan terhadap sistem ekonomi dan sistem politik. Selain itu koperasi
dapat menjadi agen pembangunan pedesaan yang potensial. Sikap ini nyata
semenjak 1990-an, dimana World Bank [11] sebagai
contoh, bersikap bahwa melalui pengembangan koperasi dapat dicapai peningkatan
ketahanan pangan, serta mendorong keterlibatan pembuat kebijakan untuk
pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Koperasi juga dapat menjadi agen
dalam pengurangan kemiskinan (poverty
alleviation).
PBB menetapkan tanggal 1 Juli 1995
sebagai “International Day of
Cooperatives”, dalam konteks peranan
koperasi dalam pembangunan eknomi dan sosial.
Sementara itu, The United States Agency for International Development
(USAID) berpendapat bahwa: “…cooperation
can increase technology use, speed market penetration, attract investment,
facilitate contract enforcement, and achieve more favorable policies”.
Sementara organisasi buruh ILO menekankan peranan koperasi “…in freedom of
association, democracy, and provision of services to the socially excluded and
in areas neglected by the state and private sector (ILO 2004) [12].
Jadi, tidak hanya dalam pemikiran-pemikiran “kuno”, bahkan pada abad ke 21 ini
sekalipun, koperasi tetap masih menjadi kebutuhan dan diyakini mampu berbuat
banyak bagi pembangunan[13].
*****
[1] “Old Concepts Revisited: Are Cooperatives the Way Forward for
Smallholder Farmers to Engage In International Trade?”. Disertasi pada London
School of Economics & Political Science University of London”. (http://www.coopdevelopmentcenter.coop/Anaylsis/AlishaMyersdissertation.pdf.
13 Mei 2005).
[2] International Cooperative Organization
(ICA). 2004. (http://fotw.fivestarflags.com/int-ica.html.
13 Mei 2005). Organisasi ICA lahir di Genewa tahun 1895, sebagai
organisasi yang independen, sebagai perwakilan seluruh lembaga koperasi
sedunia. Anggotanya adalah organisasi di tingkat nasional maupun internasional,
untuk semua sektor termasuk pertanian, perbankan, simpan pinjam, industri,
asuransi, perikanan, perumahan, pariwisata, maupun koperasi konsumen.
Anggotanya lebih dari 200 organisasi pada lebih dari 100 negara, dengan total
keanggotaan lebih dari 700 juta orang.
[3] Pada Pasal 5 UU No. 25 tahun 1992, disebutkan bahwa koperasi
melaksanakan prinsip sebagai berikut: keanggotaan bersifat sukarela dan
terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha
dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing
anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, dan kemandirian.
[4] Suwandi, Ima. 1982. “Koperasi: Organisasi Ekonomi yang Berwatak
Sosial”. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. 226 halaman. Hal 15.
[5] Dari sisi kuantitas, koperasi cepat tumbuh di Indonesia. Pada tahun
1927 baru ada satu koperasi, lalu tahun 1950 telah menjadi 1.155 unit, dan pada
tahun 1982 telah lebih dari 20 ribu unit, dimana lebih kurang 4.500 unit
merupakan Koperasi Unit Desa (KUD).
[6] Swasono, Sri-Edi. 1983. “Membangun Koperasi Sebagai Soko Guru
Perekonomian Indonesia”. (Dalam: Swasono. 1983 (ed). Mencari Bentuk, Posisi,
dan Realitas Koperasi di dalam Era Orde Ekonomi Indonesia. UI-Press, Jakarta.
Hal 146).
[7] Swasono. 1983. Hal 149-150.
[8] Swasono. 1983. Hal 150-151.
[9] Suwandi, Ima. 1982. Hal 3.
[10] Dalam tulisannya “Ekonomi
Rakyat Dalam Bahaya” (1934), Bung Hatta memprotes karena pemerintah
penjajah hanya memikirkan kepentingan onderneming (perkebunan-perkebunan
besar) yang terkena dampak depresi dunia sejak 1929, dan sama sekali tidak
memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang juga terpukul yang justru lebih
parah oleh depresi dunia yang sama. (Hatta, M. 2002. “Ekonomi Rakyat dalam
Bahaya. Dalam Daulat Rakyat Buku 2. Terbitan Khusus Satu Abad Bung Hatta,
Yayasan Hatta, Jakarta. Hal 243).
[11] Terjadi peningkatan pengeluaran untuk pengembangan kapasitas
organisasi pedesaan dari 26% di tahun 1997 menjadi 62 % di tahun 2001. (World
Bank. 2004. http://www.coopdevelopmentcenter.coop/Anaylsis/AlishaMyersdissertation.pdf.,
13 Mei 2005).
[12] “Old Concepts Revisited: Are Cooperatives the Way Forward for
Smallholder Farmers to Engage In International Trade?. Disertasi pada London
School of Economics & Political Science University of London”. (http://www.coopdevelopmentcenter.coop/Anaylsis/AlishaMyersdissertation.pdf.
13 Mei 2005).
[13] Saat ini telah sangat dimudahkan untuk membentuk koperasi. Dalam UU
No.25/1992 pasal 6, disebutkan syarat pembentukan untuk Koperasi Primer adalah
sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang , sedangkan untuk untuk Koperasi
Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi.