Istilah “Social Forestry” diindonesiakan menjadi
“perhutanan sosial” atau “kehutanan sosial”. Istilah ini pertama kali digunakan
oleh Wastoby pada kongres kehutanan negara-negara persemakmuran di New Delhi,
India tahun 1968 [1].
Ia mendifinisikannya sebagai ilmu
kehutanan yang bertujuan untuk pemenuhan produksi dan manfaat rekreasi bagi
masyarakat. Definisi ini masih terlalu umum dan kurang akurat untuk menjelaskan
konsep social forestry tersebut. Definisi
FAO juga dirasa terlalu umum, yang menyatakan bahwa social forestry adalah suatu keadaan dimana masyarakat lokal
dilibatkan secara intensif dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan (forest) adalah pertumbuhan yang lebat dari pohon
bersama-sama dengan tanaman lain, yang menutupi suatu areal tanah. Sementara,
ilmu berkenaan dengan studi, pemeliharaan, dan manajemen
hutan disebut dengan “forestry”. Hutan
adalah sebuah ekosistem yang terdiri atas komponen tanaman dan hewan yang
berinteraksi satu sama lain dengan lingkungan fisik. Manajemen hutan mencakup
untuk kayu, air, kehidupan satwa liar, dan rekreasi. Karena kayu menjadi objek
ekonomi yang paling penting, maka forestry
sangat memperhatikan timber
management, konservasi dan rehabilitasi, pemeliharaan, dan pengawasan
kebakaran. Khusus untuk konteks hubungan hutan dengan manusia dikembangkan
dalam konsep “silviculture”. Di
dalamnya tercakup bagaimana membudidayakan dan memelihara tanaman pohon.
Konsep “social
forestry” yang lebih akurat dinyatakan oleh Tiwari (1983)[2].
Ia menyatakan bahwa perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan
atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, di dalam
maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan
melibatkan masyarakat. Pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, sehingga
terjadi keseimbangan dan saling mengisi penggunaan lahan dengan maksud untuk
menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun
masyarakat.
Lalu, definisi
yang dinyatakan oleh Noronha dan Spears pada tahun 1988, menekankan sesuatu
yang baru dalam konsep yang mereka tawarkan, yaitu pentingnya arti kata
“sosial” dalam perhutanan sosial. Konsep ini menekankan perbedaan perhutanan
sosial dengan pengelolaan hutan yang komersil. Makna kata “sosial” disini adalah
bahwa program tersebut melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan aktif
pemanfaat dalam upaya penghutanan kembali dan bersama-sama memanfaatkan
hasil-hasil hutan.
Jadi, keberhasilan
sebuah program social forestry tergantung
pada respon masyarakat yang hidup di sekitar kawasan program. Lebih lanjut
dinyatakan pula bahwa perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang
biasa (dan komersial) dalam tiga hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi
produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian,
terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (non-monetized); (2) Keberhasilan
perhutanan sosial tergantung partipasi langsung pemanfaat; dan (3) Dibutuhkan sikap
dan ketrampilan yang khas dari ahli kehutanan, dimana mereka harus beperan sebagai pelindung hutan terhadap
penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam dan memelihara pohon.
Social forestry menempati posisi yang cukup istimewa dalam
kebijakan pemerintah Indonesia. Ini terlihat dari Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.01/Menhut-II/2004. tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan
atau sekitar hutan dalam rangka Social Forestry. Sesungguhnya masih ada
beberapa perdebatan dan ketidaksepahaman sampai sekarang dalam beberapa hal
dari konsep social forestry[3].
Namun, disepakati bahwa social forestry dijadikan
sebagai jiwa dan payung dari program pemerintah Indonesia[4].
Di
Indonesia, tampaknya konsep social
forestry mulai diintorduksikan pada awal 1990-an. Dari seminar “Social
Forestry and Sustainable Development” di Yogyakarta tahun 1994, dirumuskan
bahwa perhutanan sosial: memberikan perhatian khusus kepada pemerataan
distribusi produksi hasil hutan terutama untuk penduduk lokal; merupakan strategi
pembangunan untuk menstimulasi keterlibatan aktif penduduk lokal; difokuskan
pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping mengelola lingkungan wilayah;
serta ditujukan kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian
dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi
aktif masyarakat.
Paradigma
perhutanan sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehutanan,
yaitu memposisikan rakyat/ masyarakat yang utama dalam pengelolaan, partisipasi
dalam pengambilan keputusan dan pemerataan sosial dan pentingnya peranan sistem
asli masyarakat serta mempertahankan biodiversitas[5].
Terlihat bahwa keikutsertaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, merupakan
suatu hal yang mutlak. Dengan kata lain, masyarakat pedesaaan adalah aktor
utama dalam perhutanan sosial.
Konsep social forestry bertolak dari adanya hubungan
saling ketergantungan antara manusia dan hutan dalam suatu interaksi dalam
sistem kehidupan. Dalam kondisi tekanan terhadap hutan terus terjadi, maka
hutan akan semakin berkurang dan bencana ekologi akan berantai ke sektor-sektor
lain, pada kehidupan masyarakat luas.
Sektor
kehutanan mempunyai kemampuan berpartisipasi nyata dalam pemerataan yang
berekadilan terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dengan
mengajak masyarakat (di dalam dan sekitar hutan) mengelola kawasan hutan.
Social forestry menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama
dengan maksud ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian
hutan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membangkitkan
kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus mempercepat rehabilitasi hutan dengan
menyatukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah di dalamnya [6].
Meningkatkan ekonomi masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan, diibaratkan sebagai dua sisi mata uang.
Pengelolaan
hutan dengan melibatkan peran serta masyarakat, sesungguhnya telah ada pada beberapa
konsep lain. Di antaranya adalah program
hutan kemasyarakatan (HKM) dan hutan masyarakat (KM) atau community
foresty (CF). Perhutanan sosial dapat dilakukan di lahan milik pribadi
masyarakat ("Usaha Hutan Rakyat") maupun di kawasan hutan negara ("Hutan
Kemasyarakatan") [7].
Meskipun masih terdapat ketidaksepahaman konsep, namun disepakati bahwa program
social forestry disesuaikan dengan
kondisi ekologis, sosial, budaya dan ekonomi setempat.
Prinsip-prinsip
dalam implementasi social forestry adalah[8]:
perlu pengembangan kelembagaan; pengakuan terhadap hak kelola masyarakat; perlu kerja sama dan dukungan dari semua
pihak; ada pengakuan akan hak-hak
masyarakat lokal, masyarakat adat dan institusinya; keterpaduan pengelolaan
ekosistem hutan dan pengelolaan sumber daya hutan; kebijakan yang mendukung dan
berpihak pada masyarakat kecil; adanya pembagian manfaat (benefit)
dan keuntungan (profit)
yang jelas dan adil; pengakuan bahwa perhutanan sosial untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat bukan untuk mengatur masyarakat; keadilan dalam pengelolaan
lingkungan dan sumber daya; terjaminnya kesempatan pembagian hasil untuk
memanfaatkan sumber daya kayu dan bukan kayu secara adil dan lestari; ada pengakuan akan akses masyarakat lokal atas
sumber daya hutan yang perlu difasilitasi dengan kebijakan yang memadai
sehingga tidak merugikan salah satu pihak; ada proses devolusi untuk penguatan
kelembagaan dan masyarakatnya; serta desentralisasi kepada pemerintah daerah sampai
dengan tingkat desa dan lembaga adat .
Aktifitas social forestry meliputi seluruh
kegiatan pengelolaan secara komprehensif meliputi penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan.
Untuk itu perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha
dan pemerintah. Satuan komunitas terkecil yang realistis bagi masyarakat di
dalam dan sekitar hutan adalah Pemerintah Desa. Strategi pokok social forestry meliputi pengelolaan kawasan
dan sumber daya hutan, pengembangan kemitraan, dan pengembangan usaha. Dalam
pelaksanaannya, social forestry dapat
diintegrasikan dengan program lainnya seperti ketahanan pangan,
ketenagakerjaan, peningkatan kemampuan usaha berbasis masyarakat dan
sebagainya.
Paradigma yang
menjadi dasar program social forestry [9]
adalah bahwa: fokus kegiatan pengelolaan
hutan pada upaya perlindungan, konservasi dan ekonomi baik di lahan milik
maupun hutan negara secara lestari; aktor utama pengelola hutan adalah
masyarakat; pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan pengawas; pelaksanaan
di lapangan sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing sehingga tidak ada
"cetak Biru" atau uniformitas.
Social forestry tampaknya tetap bertolak dari konsep “agroforestry” yaitu teknik pertanaman
yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian
(palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan[10].
Sesungguhnya pola tanam agroforestry sudah
dipraktekkan sejak dulu, untuk mencapai efisiensi penggunaan lahan. Dari
sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi.
Agroforestry
pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah
yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Pada sebidang
tanah, dapat ditanami sekaligus sengon (Paraserianthes falcataria),
tanaman kopi (Coffea spp) di bawahnya yang memang memerlukan naungan,
dan di lapisan terbawah ditanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis)
yang toleran terhadap naungan. Jadi, dengan agroforestry,
dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi.
Manfaat ganda dari pola agroforestry adalah
peningkatan produktivitas dan sekaligus pemeliharaan lingkungan.
Kerjasama
dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan telah dimulai semenjak
lama. Pada tahun 70-an, diimplementasikan kerjasama antara petani dengan pihak
kehutanan, dimana petani sebagai “pesanggem”
berhak atas bermacam-macam insentif berupa uang, beras atau ternak. Sebagai
pesanggem, petani menggarap tanah di hutan dengan memelihara tanaman kehutanan
dan memiliki hak atas tanaman pertanian yang ditanam olehnya. Kerjasama ini
bertolak atas kondisi ketimpangan yaitu “rich forest, poor people” [11].
*****
[1]
Kartasubrata (2003) Dalam: Kresno
Agus Hendarto. Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah yang Harus Diperhatikan:
Sebuah Tinjauan Teoritis. (www.dephut.go.id.
29 Maret 2005).
[2] Dalam:
Kresno Agus Hendarto. Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah yang Harus
Diperhatikan: Sebuah Tinjauan Teoritis. (www.dephut.go.id.
29 Maret 2005).
[3] Untuk mencari jalan keluarnya, pada akhir tahun 2002 diselenggarakan lokakarya
nasional tentang perhutanan sosial di Cimacan, Puncak, dengan tujuan menyamakan
persepsi dan menyusun kebijakan perhutanan sosial. Sayang sejauh ini tetap
belum ada kesepakatan tentang hal itu.
[4] Bahkan pada
tanggal 2 Juli 2003 Presiden Megawati juga mencanangkan perhutanan sosial
sebagai model pengelolaan hutan masa depan, saat mencanangkan Program Social
Forestry Nasional di Kelurahan Petuk Bukit, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya,
Kalimantan Tengah.
[5] Sanafri Awang. 2003. Fahutan UGM dalam
makalah masukan untuk Departemen Kehutanan pada diskusi Social Forestry, 24
Februari 2003.
[6] Rusli, Yetty. 2003. Social Forestry:
Pokok-Pokok Pikiran. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi Juni 2003.
Didownload dari http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SocFor/Pokok.htm (22
Maret 2005).
[7] Dalam Buku
Panduan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan, yang diterbitkan oleh Ditjen
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial pada akhir tahun 2002.
[8] Tony Djogo. Perhutanan sosial dalam perdebatan. - 4 May 2004 (www.beritabumi.or.id. 29 Maret 2005).
[9] Sanafri Awang. 2003. Fahutan UGM dalam makalah masukan untuk Departemen
Kehutanan pada diskusi Social Forestry, 24 Februari 2003.
[10]
Budiadi. “Agroforestry, mungkinkah
mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan?. Majalah Inovasi Online,
Vol.3/XVII/Maret 2005, Humaniora (http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=70.
11 April 2005 ).
[11] Peluso,
N.L. 1992. Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java.
University of California Press, Ltd., California .