Korupsi adalah fenomena yang
sangat luas yang dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, dalam berbagai
bentuk dan berbagai level. Ini adalah penyakit sosial yang faktanya sangat
mempengaruhi hasil-hasil pembangunan. Karena itulah, kita perlu tahu apa itu
korupsi. Korupsi oleh para perencana, pengambil kebijakan, dan pelaksana
pembangunan telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap efektifitas
pembangunan tersebut.
Istilah “korupsi” berasal dari
Bahasa Latin, corruptio, yang berarti
“pembusukan, kerusakan, kemerosotan, dan penyuapan”. Satu kata lagi yang agak
dekat adalah “corrumpere” yang
bermakna “merusak”. Secara umum, koupsi adalah gejala dimana para pejabat
badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka sehingga terjadi penyuapan,
pemalsuan, pemotongan bantuan, penggelembungan (mark up) anggaran, dan lain-lain. Apapun istilahnya, pada pokoknya
korupsi adalah perilaku mengambil uang negara secara tidak syah, bagaimanapun
jalannya.
Dalam kamus,
“corruption” bermakna sebagai “degrading, immoral acts or habits”. Korupsi
juga dapat dimaknai sebagai “lack of
integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position
of trust for dishonest gain”. Koruptor adalah mereka yang tidak memiliki
integritas dan kejujuran, dan menggunakan jabatannya untuk memperoleh
pendapatan haram. Salah satu definisi tentang
korupsi berasal dari Vito Tanzi, yang mengatakan bahwa: “Corruption is the intentional non-compliance with the arm’s-length
principle aimed at deriving some advantage for oneself or for related
individuals from this behavior” [1].
Menurut
World Bank, korupsi adalah pembohongan publik untuk memperoleh keuntungan
pribadi(“the abuse of public for private
gain”). Korupsi dilihat atas dampaknya kepada publik dan penyalahgunaannya (abuse) jabatan para pejabat publik. Selain
itu, korupsi juga dilihat dalam relasinya dengan kekeliruan pengelolaan negara
serta kepada berjalannya sistem pasar.
Menurut Alatas[2],
ada tiga tipe fenomena korupsi, yaitu berupa penyuapan (bribery), pemerasan (extortion),
dan nepotisme. Dari berbagai variasi bentuk-bentuk perilaku korupsi yang kita
kenal, benang merahnya sama, yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di
bawah tujuan-tujuan privat dengan melanggar norma-norma tugas dan kesejahteraan
yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang
kejam atas setiap konsekwensi yang diderita oleh publik.
Korupsi berbeda dengan perilaku kriminal,
mal-administrasi, atau mis-manajemen. Satu ciri khusus korupsi yang membedakan
dengan kejahatan lain adalah adanya “kesepatan” yang melibatkan lebih dari satu
orang. Semua pihak yang terlibat sepakat untuk berbuat kecurangan. Karena itu,
kecurangan ini mesti ditutupi, sesuai dengan ciri penting berikutnya, yaitu
“keserbarahasiaan”, meskipun kadang-kadang dilakukan di depan umum. Dalam
korupsi dilibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik meskipun tidak
melulu berupa uang, menyelubunginya dengan berlindung dibalik hukum, melibatkan
mereka yang punya kuasa terhadap keputusan-keputusan, mengandung penipuan,
suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, melibatkan fungsi yang kontradisktif,
dan melanggar norma tugas.
Dalam literatur-litertur, korupsi begitu
dibenci. Karena itu tidak aneh jika dari berbagai teori, konsep, maupun ulasan
tentang korupsi selalu dipenuhi oleh berbagai ungkapan-ungkapan baru yang serba
negatif. Tiap orang berlomba mencarikan kata-kata baru yang lebih lugas, tajam,
dan keras untuk mengungkapkan “kejengkelannya” dalam mendefiniskan korupsi.
Menurut Schoorl[3]
korupsi adalah “… penggunaan kekuasaan
negara untuk memperoleh penghasilan, keuntungan, atau prestise perorangan, atau
untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan
cara yang bertentangan dengan UU atau norma akhlak yang tinggi”. Bentuk-bentuk
perilaku korupsi mencakup penipuan, sogok, mark
up, kontrak fiktif, serta tata buku yang tidak benar. Menurut definisi
Schoorl, dalam koteks korupsi sesungguhnya sudah tercakup nepotisme.
Bagaimana korupsi tumbuh? Menurut Marcell
Manss, seorang antropolog Perancis, korupsi adalah suatu bentuk perubahan dari “cultural gift” kepada “cultural of exchange”. ”Gift” (pemberian)
adalah suatu kebiasaan yang umum terdapat dalam masyarakat. Suatu pemberian
mengandung unsur sosial. Ada tiga serangkai perilaku yang tak terpisahkan dalam
“pemberian”, yaitu memberi, menerima, dan membalas. Tujuan pemberian adalah
untuk meningkatkan solidaritas. Perilaku ini memiliki nilai yang ambigu, dan
tidak mau dikalkulasikan dan digantikan
dengan uang. Begitu suatu pemberian dinilai dengan uang, maka hilanglah nilai
sosial intrinsiknya, dan ia jatuh derajatnya hanya sekedar menjadi komoditas
pasar. Jadi, pemberian hanyalah sekedar
pertukaran materi yang memiliki aliansi sosial, bukan kesepakatan konstraktual.
Pemberian yang saling berbalas tersebut
sangat berbalikkan dengan suap. Orang melakukan suap bukan karena niat untuk
membina suatu hubungan sosial belaka. Suap sudah menjadi pertukaran pasar yang
mengikat secara soial, sehingga tidak lagi berbentuk aliansi sosial.
Untuk mempelajari korupsi, kita akan
menemukan kesulitan masalah metodologisnya. Tidak sebagaimana riset terhadap
aspek lain, untuk mempelajari korupsi pada satu kantor misalnya, kita tidak
akan bisa memperoleh data dan informasi dengan wawancara, analisa statistik, memerika
buku catatan dan dokumen, dan lain-lain. Koruspi adalah transaksi yang tidak
jujur, yang sangat dijaga kerahasiaannya. Karena itu, kita hanya dapat
mengamati fenomena itu beserta efek-efeknya dan dengan mengumpulkan
keterangan-keterangan rahasia.
Seiring perkembangan, pihak yang melakukan
korupsi semakin meluas. Jika dulu hanya
pejabat negara yang melakukan dan mendapat sorotan, pada perkembangan terakhir
para pengusaha juga dikaitkan, yaitu mereka yang mendapat fasilitas dari negara
secara langsung atau tidak namun tidak amanah terhadap kepercayaan tersebut[4].
Apa sesungguhnya penyebab korupsi? Lord Acton
seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge yang hidup di abad
19, menyatakan satu postulat yang sangat terkenal, yaitu: “power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.
Intinya adalah, bahwa sesungguhnya tiap orang memiliki potensi untuk melakukan
korupsi, dan mereka yang memiliki peluang, karena itu lantas berkuasa, akan
melakukannya. Jadi, korupsi tidaklah semata-mata karena gaji yang kecil.
Faktanya, sebagian besar uang yang dikorupsi ada pada mereka yang paling
berkuasa, yang umumnya tidak bergaji kecil.
Bagamanapun, gaji rendah memang menjadi salah
satu penyebab. Namun, korupsi semakin meruyak ketika gaji yang rendah ditambahi
lagi dengan lemahnya pengawasan, godaan dari pihak luar, serta kerancuan
menilai “hadiah” sebagai ucapan terima kasih. Satu pendorong lagi adalah karena
pengawasan pers dan publik yang lemah, yang biasanya terjadi pada birokrasi
yang tertutup.
Dalam pandangan ekonomi dikenal
principle-agent theory. Teori ini
didasarkan asumsi bahwa korupsi adalah akibat dari ketakseimbangan informasi
antara penguasa dan birokrasi. Dari kacamata ekonomi, tiap individual akan
mencari kesejahteraannya sendiri. Sebagai pelaku ekonomi, tiap orang berupaya terlibat
dalam proses rent-seeking, yaitu proses
menciptaakan dan mendistribusikan nilai tambah.
Di Indonesia, korupsi telah memiliki sejarah
yang panjang, sehingga sunguh-sungguh sudah mengakar. Pada masa feodalis
misalnya, pejabat menilep uang upeti
dari pancen tanah yang semestinya
diserahkan ke raja. Selanjutnya pada zaman VOC, para pejabatnya juga suka
memotong keuntungan VOC dengan memotong setoran. Perilaku ini terus berlanjut
sampai ke era Orde Baru dan entah sampai kapan.
Korupsi di Indonesia juga bertolak dari politik
birokrasi yang mewarisi kultur politik kerajaan Mataram. Masyarakat yang
disebut cacah, secara berjenjang
dipimpin oleh penepuluh, penatus, dan
penewu untuk mobilisasi perang. Sudah
menjadi kebiasaan cacah memberi caos (pemberian) kepada penatus, dan seterusnya bertingkat ke
atas. Dalam setiap jenjang selalu ada pemotongan. Inilah cikal bakal korupsi,
yang kemudian diperparah lagi oleh birokrasi patrimonialisme.
Secara umum, ada tiga tahap korupsi di
Indonesia[5],
yaitu:
1.
Tahap awal, korupsi bersifat legal dan politik. Runtuhnya VOC
tahun 1799 adalah karena salah urus dan korupsi. Korupsi menjadi fatsoen
politik, yaitu masalah keadilan antar para maling. Upeti saat itu disebut dengan
“hernsdienst”.
2.
Tahap orde Baru. Pada masa ini ramai pungli, kongkalingkong
pejabat dengan pengusaha, jual beli jabatan, dan komersialisasi jabatan ketika
pejabat menjadi komisaris perusahaan-perusahaan.
3.
Tahap ketiga, ketika politik menjadi komoditas. Ketika ekonomi
sulit, maka jabatan menjadi mata dagangan yang strategis. Karena kemacetan
seluruh sistem, maka politik menjadi satu-satunya komoditas yang mendatangkan
uang. Terjadi gejala democratic
corruption, yaitu ketika korupsi dilakukan secara bersama-sama secara
meluas. Korupsi berjamaah.
Bagaimana membenahi korupsi? Dalam masyarakat
yang patenalistik, maka pembenahan dapat dimuai dari atas. Meskipun
sesungguhnya korupsi bersifat top down dan
bottom up. Kuncinya adalah pembenahan
birokrasi[6],
melalui pembenahan organisasi, penerapan sistem punishment pada manajemen kepegawaian, dan keterbukaan sehingga
dapat diawasi publik.
Korupsi
sudah menjadi perhatian dunia, karena itu merasa perlu ditetapkan “Hari Korupsi
Sedunia” yang jatuh setiap tanggal 9 Desember. Indonesia sudah punya Undang-Undang
No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta telah pula
membentuk berbagai lembaga di tingkat nasional maupun daerah. Hukum tentang korupsi pertama di Indonesia secara
yuridis ada dalam Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam aturan ini,
korupsi didefinisikan sebagai “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara”.
*****
[1] “Corruption: Concepts, Types, Causes, and
Consequences”. Economic Reform: Feature Service. Center for International
Private Enterprise. March
21, 2005 . (http://www.cipe.org/pdf/publications/fs/032105.pdf.,
11 april 2005).
[2] Alatas, Syed Hussein. 1975. Sosiologi
Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. LP3ES, Jakarta 77 hal. Hal.12-14.
[3] Schoorl, J.W. 1988. Modernisasi: Pengantar
Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT Gramedia, Jakarta . Hal. 175.
[4] Menurut perhitungan lembaga Transparancy
International (TI), korupsi di Indonesia
selalu dalam taraf terburuk dan tak pernah berubah. Pada tahun 1998, Indonesia
merupakan negara terkorup nomor enam dari 85 negara, dengan skor 2,0 dari skala
0-10 (terburuk sampai terbaik). Posisi ini relatif tetap dari tahun ke tahun,
baik skornya maupun posisinya dibandingkan negara-negara lain yang disurvey.
Tahun 2002 skor Indonesia
adalah 1,9 dengan posisi nomor tujuh
terburuk dari 102 negara. Penelitian TI
adalah melalui wawancara dengan para ekpert asing yang bekerja di satu negara.
[5] Emmanuel Subangun. “Tiga tahap Sejarah
Korupsi di Indonesia”. Kompas 8 Juli 2002.