“People-centered development” mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “pembangunan berdimensi kemanusiaan”. Namun, penulis lebih banyak menemukan literatur-literatur yang menerjemahkannya menjadi “pembangunan berdimensi kerakyatan” [1]. Istilah “kemanusiaan” jelas lebih universal, sedangkan istilah “kerakyatan” lebih politis dan menunjuk kepada relasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
Pembangunan berdimensi kerakyatan (penulis
pendekkan menjadi “PBK”) lahir sebagai antitesis dari konsep dan teori pembangunan
yang berorientasi produksi, dan menganut paham modernisasi dan industrialisasi.
Pendekatan dalam PBK bertolak dari teori proses belajar dan menghargai
inisiatif dari bawah. Inisitaif kreatif dari rakyat merupakan sumber daya
pembangunan yang utama, dan memandang kesejahteraan material dan spritiual
sebagai tujuan akhir. Dalam PBK dikembangkan usaha-usaha swadaya dan sektor
tradisional, karena sektor ini menjadi sumber utama kehidupan sebagian besar
orang miskin. Konsep PBK memiliki dimensi yang lebih sempurna dan manusiawi. Menempatakan
manusia pada pembangunan dan aktifitas ekonomi secara langsung akan efektif
untuk memenuhi kebutuhan manusia[2].
Salah satu buku yang populer tentang ini
adalah buku Robert Chambers: “Rural Development: Putting the Last First (1983).
Pendekatan yang salah dalam memahami masyarakat desa, menyebabkan orang-orang
luar telah salah pula dalam strategi pembangunannya. “Ignorant
and stupid poor people are often the creation of ignorant and stupid
outsiders…The evidence speaks for itself. Again and again and again, observers
have remarked on the toughness, application and ingenuity of the poor”.
Konsep pembangunan berdimensi kerakyatan
berkembang secara gradual mengikuti bubarnya perang dingin. Saat ini konsep
tersebut telah menjadi konsep sentral pada berbagai konferensi internasional
yang mengangkat isu pembangunan, seperti United
Nations Conference on Environment and Development (the Earth Summit) di Rio
de Janeiro tahun 1992, dan The International
Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo tahun 1994.
Mengapa
konsep “people-centered development"
telah berkembang begitu luasnya? Sesungguhnya pembangunan dalam 50 tahun ini telah
memberi hasil yang nyata, yang didukung oleh kemajuan ilmu dan teknologi;
sehingga angka kematian bayi menurun, rata-rata harapan hidup meningkat, dan revolusi
hijau juga telah mampu meningkatkan produksi pangan. Namun, penderitaan dan kemelaratan
adalah juga hal yang nyata. Cukup banyak orang-orang yang tidak akses ke
lembaga pelayanan kesehatan, anak-anak yang tidak berkesempatan mengenyam
pendidikan, penyakit mematikan, serta korban dari konflik rezim di negaranya
sendiri.
Beberapa
negara menghapai persoalan yang serius, berupa ketimpangan yang kaya dan miskin, masalah pendidikan dan kesehatan, serta polusi lingkungan karena industrilaisasi. Ini
jelas karena cepatnya proses globalisasi dan akibat tak langsung dari aktifitas
di negara-negara industri. Karena itulah masalah ini perlu ditangani pula dalam
skala global. Bertolak dari fakta ini, komunitas internasional mulai memberi
perhatian kepada individu, menjembatani hubungan antar negara dan antar pemerintah, dan menggelar diskusi
sehingga lalu melahirkan konsep "people-centered
development" [3].
Konsep
PBK tidak hanya tentang bagaimana sebuah negara merumuskan kebijakan
pembangunannya dengan menjadikan rakyatnya sebagai pertimbangan utama, tidak
hanya sebatas ukuran PDRB. Namun, konsep PBK juga terlibat dalam perbaikan
hubungan antara negara maju dan berkembang, karena di sanalah titik pangkal
persoalannya. Dalam agenda The New
Development Strategy yang dideklarasikan oleh The Development Assistance Committee (DAC) pada bulan Mei 1996[4],
ditekankan kepada pentingnya kemitraan baru ("new
global partnership"), dimana negara industri dan maju akan bekerjasama
sebagai rekan dan bekerja keras untuk terget-target tertentu. Termasuk target
pengurangan kemiskinan, aksesibiltas terhadap pendidikan dasar, dan penurunan
kematian bayi. Inilah ide pembangunan berdimensi kerakyatan yang direfleksikan
dalam strategi DAC.
Secara filosofis, PBK berupaya menciptakan peradaban
baru[5].
Dunia saat ini sedang menuju post-modernisasi, dan PBK memfasilitasi transisi
ini. Ini merupakan “lawan” dari bentuk-bentuk pembangunan yang sudah dikenal
dengan misi modernisasi dan eropanisasi dunia selama ini. Artinya, prinsip-prinsip
yang diusung PBK berlawanan dengan prinsip peradaban Euro-America yang ditolaknya.
Dengan menerapkan konsep PBK, artinya kita menolak
konsep kesejahteraan yang menyingkirkan manusia keluar dari tanahnya sendiri,
lalu menjadi tenaga kerja bayaran atau buruh belaka. Konsep antroposentis juga
ditolak, yang memandang bahwa kemajuan dan pembangunan mesti dihasilan dengan
mengekploitasi berlebihan kepada alam, dan manusia adalah penguasan alam ("lords
and possessors of nature"). Selain itu, konsep ini menolak
pemisahan ekonomi dan moral, dan percaya bahwa ekonomi harus memiliki
pertanggungjawaban moral. PBK tampaknya memiliki banyak kesejajaran dengan
konsep “ekonomi kerakyatan”, yang berpendapat bahwa keadilan ekonomi hanya akan
tercipta dengan tumbuhhnya produsen-produsen kecil, dalam iklim saling bekerjasama,
dan komunitas pekerja yang memiliki usahanya sendiri.
Korten dan Sjahrir[6]
(1988) menyampaikan bahwa ada tujuh perbedaan pembangunan yang berpusat pada
rakyat dengan pembangunan yang berpusat pada produksi, yaitu:
1.
Pusat perhatiannya tidak pada sistem produksi dan kelancarannya,
namun pada rakyat dan kesejahteraannya.
2.
Lebih memilih pertanian dan pedeaan daripada industri dan
perkotaan.
3.
Pemilikan aset tidak terpusat, namun terdistribusi di antara
banyak pelaku ekonomi.
4.
Lebih menekankan kepada penggunaan sumberdaya manusia yang optimal
daripada penggunaan modal yang optimal.
5.
Lebih menghargai keanekaragaman dan daya adaptasi
kelompok-kelompok lokal daripada meraih keuntungan internasional.
6.
Menggunakan sistem ekonomi tertutup, dimana manusia dan lingkungan
merupakan variabel endogen.
7.
Dalam pengembangan ekonomi menggunakan perpektif teritorial, bukan
perspektif fungsional.
Ada keinginan, agar orientasi pembangunan
ekonomi perlu diubah dari strategi neoliberal menjadi kerakyatan. Strategi
pembangunan kerakyatan ini akan meningkatkan partisipasi produktif masyarakat
pada semua tahap pembangunan. Peningkatan partisipasi produktif ini
mensyaratkan peningkatan penguasaan masyarakat terhadap modal, baik itu modal
material (material capital), modal
kemanusiaan (human capital) maupun
modal kelembagaan (institusional capital).
Dengan semakin tinggi tingkat penguasaan masyarakat terhadap modal, akan
semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengawasi pembangunan.
Bukan berarti strategi PBK tidak memperhatikan
prinsip efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi dalam strategi pembangunan
kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi
keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan pula
aspek kualitatif, kuantitatif, keuangan dan non-keuangan serta kesinambungan
pembangunan. Artinya, selain bersifat demokratik, politik PBK juga sangat
mementingkan wawasan lingkungan. Strategi pembangunan kerakyatan lebih kepada
keadilan, partisipasi dan kesinambungan pembangunan; dibandingkan kepada pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas. Untuk menunjang strategi PBK, perlu desentralisasi
pengelolaan keuangan negara kepada pemerintah daerah, redistribusi pemilikan
lahan pertanian kepada para petani penggarap dan masyarakat adat, mendorong
pendirian serikat buruh dan yayasan dana pensiun pada setiap perusahaan swasta
ukuran besar, mendorong penciptaan pemerintah yang bersih dan transparan dan
pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang kegiatan.
Ada tiga syarat yang dibutuhkan untuk
mengaplikasikan PBK[7],
yang berurutan dari level terendah ke level tertinggi, yaitu: Pertama, Global Governance harus dibatasi, sehingga perhatian ekonomi global
akan lebih imbang dengan prioritas masyarakat lokal dibawah pemerintahan yang
demokratis dan akuntabilitas. Kondisi pemerintahan global saat ini dikuasi The Bretton
Woods (World Bank, IMF and WTO) yang
meletakkan kepentingan perusahaan dan ekonomi di atas perhatian terhadap
lingkungan.
Kedua, kebijakan nasional, terutama di
negara-negara kaya harus berorientasi
untuk mendukung konsep PBK, dan pembangunan lingkungan berkelanjutan (ecologically sustainable development). Ketiga, ekonomi lokal yang mandiri, yang
mengunakan sumber daya lokal untuk pengembangan ekonomi mereka, sebagai
instrument untuk mencapai struktur keuangan yang berdimensi kerakyatan (people-centered monetary). Pada
prinsipnya, konsep PBK berupaya mengembalikan kontrol sumber daya kepada
orang-orang dan komunitas setempat untuk
digunakan untuk sesuai kebutuhann mereka. Ini akan menumbuhkan tanggung jawab,
sehingga akan lebih menjamin keberlanjutan.
Selanjutnya,
dikenal ada tiga prinsip dasar PBK[8],
yaitu: (1) kedaulatan ada di tangan manusia, dan ia adalah aktor sosial positif
yang akan melakukan perubahan, (2) masyarakat setempat harus memiliki kontrol
penuh kepada sumbedaya di sekitar mereka, memiliki akses kepada informasi yang
relevan, dan mampu mempengaruhi sehingga tercapainya pemerintahan nasional yang
bertanggungjawab, serta (3) siapapun yang membantu masyarakat harus
mempertimbangkan bahwa mereka berpartisipasi untuk agenda masyarakat itu
sendiri, bukan sebaliknya. Nilai keterlibatan pihak luar dihitung dari seberapa
jauh mereka telah mendorong kapasitas masyarakat setempat untuk menentukan masa
depan mereka sendiri.
Terlihat bahwa,
PBK merupakan suatu pergeseran yang mendalam, dari konsep “the service delivery system” kepada situasi yang menghargai
kreatifitas dan kekuatan masyarakat lokal dengan memposisikan sumberdaya dan
kekuatan masyarakat lokal itu sendiri untuk masa depan mereka yang baru [9].
Jelaslah, bahwa masuknya dimensi
manusia dalam konsep “pembangunan” bukanlah merupakan sekedar tambahan belaka
dalam debat tentang pembangunan. Itu adalah
suatu perspektif yang seluruhnya baru, dan suatu jalan yang revolusioner untuk mempertanyakan
kembali pendekatan konvensional kita terhadap konsep pembangunan. Dengan perubahan
cara berpikir ini, peradaban manusia dan demokrasi berpeluang untuk mencapai
sesuatu tonggak peradaban yang lain (another
milestone)[10]. PBK adalah bentuk terbaik dari
pembangunan [11].
Ketika masyarakat ditempatkan pada pusat dari program-program pembangunan, maka
level tertinggi dari harkat kemanusiaan akan dicapai, pada tingkat pendapatan
berapapun. Ini merupakan tema pokok yang jadi perhatian UNDP yang dibukukan
dalam The Human Development Report tahun
1990.
Pada perkembangannya kemudian lahir beberapa
konsep turunan dari PBK, yaitu “pembangunan pertanian yang berdimensi
kerakyatan”, “pembangunan ekonomi berdimensi kerakyatan”, dan “pembangunan
pedesaan berdimensi kerakyatan” Pembangunan pertanian berdimensi
kerakyatan, dapat diartikan sebagai
pembangunan pertanian yang memihak petani. Maka komponen penting dalam konteks
ini adalah tentang “SDM petani”. Petani yang menjadi perhatian, bukan aktifitas
maupun hasil pertaniannya. Petani adalah pelaku utama dan subjek pembangunan.
Ia menjadi ”prime mover” dari
pembangunan pertanian.
Pembangunan ekonomi berdimensi kerakyatan (people-centered economic development = P-CED)
merupakan pendekatan pembangunan ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan perusahaan (“… places people at the center of
enterprise development”). Keuntungan perusahaan tidak dapat diukur dari
keuntungan berupa uang belaka, namun seberapa banyak manusia di dalamnya
memperoleh keuntungan dari perolehan perusahaan. Ringkasnya, “…net profit is redefined in human terms
rather than pure quantitative analyses which remove human and social concerns
in the name of profit” [12].
Dalam pembangunan pedesaan, salah satu bentuk
pendekatan P-CED, adalah menyediakan kredit mikro untuk menciptakan usaha-usaha
baru. Dengan menciptakan satu usaha yang memberi keuntungan, akan menyediakan
kepada keterjaminnan sosial masyarakat setempat berupa pangan, perumahan, dan
pakaian. Kuncinya adalah, P-CED akan lebih fokus untuk menciptakan usaha baru
daripada menggunakan bantuan untuk usaha yang berjangka pendek. Strategi ini
akan memberi solusi jangka panjang dengan menggunakan modal tradisional
sebagai sumberdaya investasi. Dampak dari investasi tersebut adalah semakin
tidak tergantung kepada bantuan pendanaan dari luar.
*****
[1] Misalnya adalah Korten , D.C.
dan Sjahrir (eds). 1988. “Pembangunan Berdimensi Kerakyatan”. Yayasan Obor Indonesia , Jakarta .
[2] Terdapat dalam The Copenhagen Declaration yang diadopsi pada The World Summit for Social Development tahun 1995.
[3] New Development Starategy
towards the 21st Century - Aiming for People-centered Development. (http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1996/c_1.html.,
8 april 2005 ).
[4] "Shaping the 21st Century: The
Contribution of Development Co-operation" adalah judul yang diberikan pada
agenda DAC tersebut.
[5] James Robertson. “People-Centered
Development: Prinsiples for a New Civilization (http://www.converge.org.nz/pirm/new_civl.htm,
8 april 2005 ).
[6] Korten ,
D.C. dan Sjahrir (eds). 1988.
[7] James Robertson. (http://www.converge.org.nz/pirm/new_civl.htm,
8 april 2005 ).
[8] David C Korten. 1990. “People-Centered
Development”.Getting to the 21st Century – voluntary action and the global
agenda; Bookmark, ISBN 971 569 005 X. (http://www.srds.co.uk/slrc/slrc009.htm.,
8 april 2005).
[9] The Hunger Project Online Briefing
Program People-Centered Development
Page 3. 24 (http://www.thp.org/sac/unit3/people.htm,8 April 2005 ).
Page 3. 24 (http://www.thp.org/sac/unit3/people.htm,
[10] “The human dimension of development is
not just another addition to the development dialogue. It is an entirely new
perspective, a revolutionary way to recast our conventional approach to
development. With this transition in thinking, human civilization and democracy
may reach yet another milestone (Mahbub ul Haq, United Nations Development
Program).
[11] “People-centered development is
best”. United Nations Development Programme's 'Human Development Report 1990.
Special Section - Future of the Global Economy: Challenges of the 90s. UN
Chronicle; September 01, 1990 .
(http://static.highbeam.com/u/unchronicle/september011990/peoplecentereddevelopment.,
8 April 2005 ).
[12] Eade, Deborah. “People-Centered Development as a Social Development Concept”. Capacity Buiding an Approach to People-Centered Development.
Publisher Oxfam.