Pertanian adalah suatu kegiatan produksi biologis untuk menghasilkan berbagai kebutuhan manusia, termasuk sandang, pangan, dan papan. Produksi tersebut dapat dikonsumsi langsung maupun jadi bahan antara untuk diproses lebih lanjut. Dalam batasan ilmiah, pertanian (agriculture), adalah suatu ilmu dan aktifitas yang memproduksi tanaman dan ternak dari sumbe daya alam. (”…science and practice of producing crops and livestock from the natural resources of the earth”). Pada literatur berbahasa Inggris kita juga mengenal “farming” yang sering kali diterjemahkan menjadi “usaha tani”. Secara umum, farming adalah “the science, art, and business of cultivating soil, producing crops, and raising livestock”.
Pertanian awal pada masyarakat
yang masih nomaden adalah dengan berburu binatang, menangkap ikan, dan
mengumpulkan makanan yang jatuh dari pohon. Lahirnya pertanian komersial di
Abad Pertengahan didorong oleh peningkatan komunikasi, revolusi komersial, dan
peningkatan penduduk kota di Eropa barat, sehingga merubah dari pertanian
subsisten ke komersial. Pada pola ini, teknologi menjadi sumber pertumbuhan
produksi pertanian. Ketika pertanian sudah berkembang menjadi aktifitas yang
semakin kompleks, maka berkembang berbagai aktifitas tersendiri, sehingga
misalnya kita mengenal bidang-bidang agronomi, hortikultura, entomologi, peternakan, mesin-mesin pertanian (agricultural engineering), permasalahan
kesuburan tanah, dan ekonomi pertanian.
Bertani juga berkaitan dengan
masalah pertanahan (landholding) atau
agraria. Ini menjadi titik masuknya masalah pertanian ke dalam dunia politik. Politik pertanian
kemudian juga berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri. Ada dua model
pendekatan politik pertanian, yaitu [1]:
(1) Model yang bersifat analisis teknis-ekonomi. Pada sisi pandang ini,
pertanian dikalkulasikan dalam konteks untung rugi, sehingga indikatornya
adalah hasil produksi, nilai produksi, beban biaya pembangunan, kebutuhan investasi,
dan lain-lain. (2) Model yang bersifat kelembagaan. Disini kelembagaan menjadi
perhatian dalam alokasi sumberdaya, dan menjadi orientasi kegiatan pembangunan
atau investasi. Kelembagaan menjadi variabel penentu kegiatan secara keseluruhan.
Dalam buku-buku pelajaran di sekolah
seringkali disampaikan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris. Berdasarkan karakteristik sumber daya alam
dan masyarakatnya, serta “posisi” dalam tatanan ekonomi dunia, semestinya
memang pertanian merupakan leading sector
pembangunan. Akan tetapi, tampaknya
perhatian terhadap pertanian belum memadai. Hal ini disebabkan paradigma bahwa
kemajuan suatu negara diindikasikan oleh berapa proporsi pendapatan
masyarakatnya dari sektor industri dan jasa. “Model
pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor
industri dan ‘menurunkan’ sumbangan sektor pertanian” [2].
Satu kesalahan yang pokok yang dilakukan
Indonesia selama ini adalah karena pembangunan sektor pertanian “disamakan”
dengan sektor-sektor lain [3].
Semestinya didasarkan atas kondisi dan kebutuhannya, sehingga pembangunan
pertanian harus dirancang sebagai sesuatu yang khas Indonesia. Perlindungan
kita kepada petani sendiri lemah. Amerika Serikat contohnya, telah mengeluarkan
Agricultural Adjustment Act tahun 1933 sebagai suatu bentuk perlindungan
terhadap keunikan pertanian. Demikian pula dengan Jepang. Inilah salah satu
paradoks pembangunan, karena negara-negara maju yang mengandalkan sektor industri,
justeru sangat memproteksi petani dan pertaniannya.
Revolusi
hijau (green revolution) merupakan payung pembangunan pertanian yang
berlangsung di berbagai belahan dunia sepanjang paruh kedua abad ke 20. Revolusi hijau adalah peningkatan
produktifitas pertanian dengan menerapkan teknologi, yaitu penggunaan benih
unggul (high-yield varieties), peningkatan
dosis dan ragam jenis pupuk dan obat-obatan, mekanisasi pertanian, dan berbagai
teknik lain. Dengan menggunakan teknologi secara efisien, diharapkan dapat dicapai
peningkatan produksi dan produktifitas. Jadi,
dalam revolusi hijau terjadi perubahan pola budi daya tanaman dengan
tekanan kepada efisiensi. Tujuannya adalah untuk membantu negara-negara berkembang mencukupi
kebutuhan pangannya karena tekanan penduduk yang masih terus meningkat.
Revolusi hijau dimulai ketika Rockefeller Foundation dan pemerintah Mexico mendirikan The Cooperative Wheat Research and
Production Program untuk peningkatan produksi pertanian, tahun 1944. Keberhasilan
produksi gandum di Mexico ini, lalu diikuti dengan pengembangan program di
India dan Pakistan, dan diklaim telah mampu
menyelamatkan 1 milyar orang dari kelaparan. Program ini terutama berkembang
di benua Afrika dan Asia, yangmarak pada tahun 1960-an. Seorang ahli yang
merancang sekaligus menjadi pelaku aktif revolusi hijau adalah Prof. Norman Borlaug, yang untuk usahanya ini dianugerahi hadiah Nobel
tahun 1970.
Menurut
FAO, revolusi hijau telah mengajarkan kepada petani sedunia bagaimana
pentingnya inovasi teknologi sehingga berhasil memberikan keuntungan bagi petani
melalui peningkatan efisiensi usaha tani dan pendapatan. Peningkatan
produktivitas, standar kehidupan, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
akibat revolusi hijau telah mengangkat jutaan orang dari belitan kemiskinan [4].
Meskipun
demikian, revolusi hijau juga banyak menuai kritik. Kritik tersebut terutama
datang dari pemerhati lingkungan, yaitu tentang menurunnya keragaman
biodiversitas (biodiversity) dan kualitas pangan, ketergantungan kepada
bahan bakar fosil yang meningkat, serta penggunaan bahan kimia berlebihan untuk
pupuk, pestisida, dan herbisida. Akibat pada lingkungan adalah peningkatan
polusi karena sisa bahan kimia tersebut di air dan tanah, degradasi lahan
karena penggunaan terus menerus, irigasi intensif, matinya mikroorganisme tanah
karena kimia berlebihan, dan erosi tanah. Kritik dari sisi sosial, adalah terjadinya
ketimpangan, karena usahatani skala kecil tidak mampu bersaing dengan usahatani
skala besar yang lebih efisien. Selain itu, juga terjadi ketergantungan yang
tinggi terhadap input luar usahatani seperti benih, pupuk dan obat-obatan.
Ketergantungan ini bahkan terjadi pada skala makro, yaitu tergantungnya negara
berkembang terhadap negara produsen input usahatani tersebut yang umumnya
adalah negara-negara maju.
Di Indonesia seluruh teknologi revolusi hijau
disatukan dalam paket “Panca Usahatani”. Revolusi hijau di Indonesia
diimplemantasikan dalam program Bimas (Bimbingan Massal) yang merupakan suatu
sistem yang diciptakan untuk program intensifikasi dan ekstensifikasi oleh pemerintah
untuk meningkatkan produksi pangan. Dalam struktur Bimas terdapat kelembagaan
penyuluhan, teknologi, kredit [5],
dan koperasi untuk penyampaian input sarana produksi. Berkat revolusi hijau,
tahun 1984 Indonesia diakui telah berswasembada beras oleh Food and Agriculture
Organization (FAO). Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu
penggunaan teknologi, penerapan kebijakan harga baik
untuk sarana produksi dan hasilnya, serta adanya dukungan kredit dan
infrastruktur dari pemerintah.
Bersamaan dengan kritik terhadap
revolusi hijau, juga banyak kritik terhadap Program Bimas. Gerakan Bimas dinilai
gagal meningkatkan kesejahteraan petani secara keseluruhan karena terlalu
berorientasi kepada peningkatan produksi. Meskipun seringkali dikatakan bahwa
teknologi bersifat netral, namun manfaat terbesar diperoleh petani berlahan
luas dan pemilik tanah, dan menyingkirkan petani kecil dan buruh tani. Selain
itu, program Bimas mahal. Program ini mungkin rugi, jika dikalkulasikan antara
perolehan manfaat dengan biaya ekonomi dan sosial yang telah dikeluarkan. Kerusakan
lingkungan juga terjadi, khususnya pada air dan tanah karena penggunaan
pestisida dan pupuk yang tidak terkendali.
Berdasarkan pelajaran dari kelemahan revolusi
hijau, maka kemudian bergulir konsep “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”. Kerusakan
sumber daya alam, terutama degradasi kesuburan tanah akibat eksploitasi
berlebihan, akan mengancam kelangsungan produksi pertanian. Namun, jika
dipelajari dari aspek yang mendasar, sumber utama kekeliruan pembangunan
pertanian adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan
pendapatan (GDP dan GNP), namun tidak disertai pemerataan dan keadilan sosial. Meskipun
di satu sisi dicapai peningkatan produksi, namun jika jumlah penduduk miskin
tidak menurun, maka secara keseluruhan
pembangunan pertanian pun akan terancam.
Sejalan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan, satu konsep lain yang digulirkan “pertanian organik”. Pertanian organik (organic agriculture) adalah "…..
a holistic production management system which promotes and enhances ecosystem
health, including biological cycles and soil biological activity” [6].
Istilah pertanian organik merujuk kepada
proses yang menggunakan metode-metode yang sangat menghargai aspek lingkungan,
mulai dari tahap produksi. Ia tidak semata-mata memikirkan produksi, namun mempertimbangkan
keseluruhan sistem untuk memproduksi sampai dengan mengantarkan ke konsumen. Pertanian organik
didasarkan atas prinsip meminimalkan penggunaan input luar (external inputs), serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida
buatan. Ia menginginkan untuk meminimalkan polusi udara, tanah, dan air. Perhatian
utamanya adalah kepada “kesehatan manusia” dan “produktifitas pangan”.
Jadi, dapat dikatakan, melalui pertanian
oragnik sesungguhnya terkandung keinginan untuk mandiri. Artinya, ada keinginan
untuk lepas dari ketergantungan terhadap produsen berbagai input sarana
produksi yang dikuasai perusahaan-perusahaan kapitalis dunia. Jadi secara
filosofis, pertanian organik merupakan salah satu media untuk melawan keperkasaan
liberalisme-kapitalis-globalisasi.
Di Indonesia, selepas program Bimas, telah beberapa konsep pembangunan pertanian
digulirkan. Dua di antaranya adalah corporate
farming dan agropolitan. Corporate
Farming adalah model konsolidasi pengelolaan usahatani dengan
tujuan meningkatkan efisiensi, yaitu dengan penyatuan manajemen usaha sehingga
dapat memenuhi skala ekonomi untuk dikelola secara modern dan menerapkan
teknologi maju. Ini merupakan suatu bentuk kerjasama ekonomi sekelompok
petani dengan orientasi kepada agribisnis [7].
Sementara,
agropolitan merupakan
satu bentuk yang memadukan konsep pembangunan wilayah dengan pembangunan
pertanian, dimana kegiatan pertanian
sebagai basis pembangunan wilayah. Dalam satu unit agropolitan dilakukan pewilayahan
komoditas yang menghasilkan satu komoditas utama dan beberapa komoditas
penunjang sesuai dengan karakteristik alam dan manusianya. Pada pusat
pertumbuhan dibangun aktifitas agroindustri, sementara wilayah pedesaan
didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang diorganisasikan dalam wadah
koperasi, atau dalam perusahaan kecil dan menengah. Kunci keberhasilan
pembangunan Agropolitan adalah dengan memberlakukannya sebagai suatu unit
otonom mandiri, yang secara ekonomi mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan pertaniannya sendiri, dan terintegrasi secara sinergik dengan
keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya.
Secara umum, pembangunan pertanian perlu
merubah paradigma dari sekedar memproduksi komoditas ke peningkatan
kapabilitas, cara-cara baru agar mampu menghasilkan produk yang berkarakter the best commodity, yaitu unggul, lebih
baik, lebih bercitra, dan dengan input yang sedikit[8].
Hanya dengan strategi inilah pertanian Indonesia mampu bersaing dalam pasar
global.
*****
[1] Mubyarto. 1983. “Politik Pembangunan
Pedesaan”. Hal 58-59.
[2] Mubyarto dan Awan Santosa. “Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan: Kritik Terhadap paradigma Agribisnis”. Majalah
Ekonomi Rakyat, Th. II No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm, 31 maret 2005).
[3] Pakpahan, Agus dkk. (7 penulis). 2005.
“Membangun Pertanian Indonesia :
Bekerja Bermartabat dan Sejahtera”. Diterbitkan oleh Himpunan Alumni IPB. 207
halaman. Maret 2005 Cet. II. Hal 30-1.
[4] Persentase populasi yang menderita
kekurangan pangan di dunia menurun selama 30 tahun terakhir sejak Revolusi
Hijau dicetuskan, yaitu dari 28 persen pada periode 1969-1971 menjadi 17 persen
pada tahun 1999-2001. Penurunan persentase kekurangan pangan tertinggi
disumbang oleh wilayah Asia Pasifik, yaitu dari 42 persen menjadi 16 persen.
Penurunan yang kecil terjadi di Amerika Latin dan Karibia.
[5] Kredit berasal dari bahasa Latin “credere” yang artinya percaya atau kepercayaan. Credit = dia percaya kepada. Artinya,
suatu pinjaman adalah atas dasar kepercayaan. Pihak yang memberi disebut
kreditor, dan pihak yang menerima disebut debitor. Makna “kepercayaan” ini lalu menjadi bias, karena dalam
pengertian umum, kredit adalah adalah pemberian uang, barang, atau jasa kepada
orang yang perlu dengan syarat dibayarkan kembali dalam waktu yang ditentukan.
Dari sisi hukum, suatu perjanjian disebut kredit jika pihak yang satu
memberikan kelonggaran kepada pihak lain untuk menunda pembayaran hutangnya.
Jadi disini, yang ditekankan adalah “waktu”, bukan “bunga”.
[6] Menurut batasan The Codex Alimentarius
Guidelines for the Production, Processing, Labelling and Marketing of
Organically Produced Foods. (Dalam” Nadia El-Hage Scialabba and Caroline Hattam
(eds). “Organic agriculture, environment and food security”. Environment and
Natural Resources Service Sustainable Development Department. (http://www.fao.org/documents/show
cdr.asp?url_file=/ DOCREP/ 005/Y4137E/y4137e00.htm, 14 April 2005).
[7] Petani dirdorong ke luar usahatani ke
pekerjaan non-farm dan off-farm. Di Deptan konsep ini
digulirkan tahun 2000, namun kemudian banyak menuai kritik. Percobaan di
beberapa lokasi tampaknya kurang memberi hasil yang menggembirakan, sehingga
tidak lagi menjadi isu di tingkat pengambil kebijakan.
[8] Pakpahan, Agus dkk. (7 penulis). 2005.
“Membangun Pertanian Indonesia :
Bekerja Bermartabat dan Sejahtera”. Diterbitkan oleh Himpunan Alumni IPB. 207
halaman. Maret 2005 Cet. II. Hal 62.