Modernisasi adalah proses menjadi modern, mulai dari hanya sekedar penampilan
dan gaya , atau
lalu menjelma menjadi karakter. Orang modern adalah orang yang mengadopsi
perilaku, ide, dan gaya
modern. Selain pada individu, modernisasi juga dapat terjadi dalam satu
masyarakat, yaitu proses perubahan kondisi dalam masyarakat, dalam satu lembaga
atau lainnya yang berkenaan dengan teknologi dan pengetahuan modern.
Lahirnya konsep “modernisasi” berkaitan dengan lahirnya paham liberalisme
klasik. Konsep modernisasi datang dari pandangan bahwa masyarakat manapun pasti
akan mengalami perkembangan yang berpola “evolusi”. Setiap masyarakat akan
berkembang dari masyarakat barbar menjadi lebih beradab. Mereka akan menjadi
modern yang ditandai dengan ciri lebih sejahtera, lebih kuat, lebih bebas, dan
memiliki standar hidup yang lebih tinggi.
Sesungguhnya setiap kelompok masyarakat memang akan mengalami perubahan.
Namun perubahan yang disebut dengan “modernisasi” memiliki bentuk yang khas.
Tidak seluruh perubahan merupakan modernisasi. Konsep modernisasi yang beredar
selama ini agak berimpit dengan konsep “Westernisasi”.
Sehingga, perubahan yang modernisasi adalah terjadinya perombakan kultur dan
struktur masyarakat yang cenderung mengikuti kultur dan struktur mayarakat Barat.
Modernisasi memang lahir dari Barat. Westernisasi dengan komponen-komponennya
berupa industrialisasi, demokrasi, saintisme, dan ekonomi pasar; adalah jenis
modernisasi yang lazim pada abad ke 20.
Modernisasi adalah istilah yang jadi mode sehabis PD II. Ini berkenaan
dengan munculnya teknologi-teknologi perjalanan ke luar angkasa, nuklir dan
komputer. Padahal mesin uap dan mesin pemintal yang digunakan pada abad ke 18
juga disebut “modern” saat itu. Selain itu, kata “modern” juga berasosiasi
dengan munculnya demokrasi dalam masyarakat, persamaan hak-hak warga negara,
dan hilangnya kerajaan.
Modernisasi adalah tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi
industri di Inggris (1760-1830) dan revolusi politik di Perancis (1789-1794)
yang melahirnya negara bangsa (nation-state),
walaupun ide-ide dasarnya telah lahir jauh sebelumnya. Revolusi Prancis
mendorong tumbuhnya masyarakat dengan prinsip-prinsip demokrasi dan masyarakat
yang lebih egaliter. Sementara revolusi industri di Inggris, yang pada awalnya
hanya penerapan teknik produksi baru, mempengaruhi perlunya nilai dan norma
baru.
Modernisasi dipahami sebagai perubahan dalam segala unsurnya, sehingga melahirkan
bentuk masyarakat yang dicita-citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut
dengan ‘baik’ dan ‘sempurna’[1].
Di dalam perubahan tersebut tercakup apa yang oleh Teori Evolusi disebut
sebagai kemajuan, kemanusiaan, dan sivilisasi.
Sebagai teori, modernisasi lahir tahun 1950-an sebagai respon kaum
intelektual terhadap Perang Dunia Kedua. Modernisasi dianggap sebagai jalan
paling optimis untuk perubahan dunia akibat perang tersebut. Jadi pada
dasarnya, teori modernisasi dikembangkan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
dunia. Pada masa 1950-an, konsep modernisasi sudah menjadi istilah teknis di
Eropa dan AS, yaitu: “sekumpulan proses akumulatif yang saling memperkuat di
bidang modal, teknologi, partisipasi politis, pendidikan, dan sekularisasi
kebudayaan” [2]. Penggunaan teori modernisasi
dikomandoi oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia untuk membendung
penyebaran komunis. Saat itu bersamaan dengan banyaknya negara-negara baru
merdeka dan sedang mencari model pembangunannya. Amerika menawarkan bantuannya
dengan mengirimkan ahli dan sekaligus dananya dibawah payung Program Marshal
Plan.
Dari sisi sejarah, modernisasi adalah suatu jenis perubahan sosial
sejak abad ke 18, berupa kemajuan ekonomi dan politik yang terjadi dalam
beberapa masyarakat perintis, yang lalu disusul oleh masyarakat pengikut. Modernisasi
dimaknai sebagai “sederetan langkah yang
harus dilalui oleh setiap bangsa dalam urutan yang kurang lebih sama” [3].
Modernisasi mencakup bidang yang luas. Karena itu kita mengenal banyak
definisi tentang modernisasi. Menurut Samuel Huntington (1976), modernisasi
bersifat revolusioner, yaitu terjadinya perubahan secara cepat dari tradisional
ke modern, kompleks (melalui banyak cara), sistematik, global (akan
mempengaruhi semua manusia), bertahap, akan mewujud berupa homogenisasi (convergency), dan progresif. Untuk
mengukur modernsiasi, Alex Inkeles telah mengembangkan alat untuk menentukan
tingkat modernitas suatu masyarakat. Dari kacamata evolusi sosial, modernisasi adalah
terjadinya proses diferensiasi, peningkatan penyesuaian diri (adaptasi),
pemasukan, dan generalisasi nilai. Kemodernan dianggap sebagai puncak dari
evolusi sosial.
Perspektif strukural fungsional (tahun 1950-an dan awal 1960-an)
menjadi landasan pengembangan teori modernisasi[4].
Premis dasar metodologis perspektif struktural fungsional adalah, bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang secara
keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Tiap bagian
berperan terhadap keseimbangan sistem secara keseluruhan, dan bahkan
bagian-bagian saling mendukung satu sama lain untuk terciptanya keutuhan
sistem.
Ciri-ciri pokok modernisasi adalah berupa peningkatan sangat tajam
dalam kecepatan dan intensitas penerusan ide-ide dan teknik-teknik dari
masyarakat maju ke masyarakat pengikut. Sebagai perspektif pembangunan,
moderniasi dianut hampir seluruh negara di dunia. Pada akhirnya, modenisasi dan
pembangunan, satu sama lain, memiliki arti yang semakin mendekat (konvergen)[5].
Dalam konsep moderniasi, tradisional dipandang sebagai masalah, karena
itu harus disingkirkan. Tekanan modernisasi ke masyarakat yang tidak siap,
telah menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial, melemahnya solidaritas sosial
tradisional, dan memudarnya nilai-nilai kesukuan. Namun, dalam waktu bersamaan
nilai-nilai pluralisme semakin meningkat. Fokus moderniasi pada dasarnya adalah
manusia, bukan pada struktur dan sistem masyarakat.
Modernisasi juga banyak dikritik, terutama dari kelompok neo-Marxisme
dan kelompok ilmuwan sosial yang tidak percaya kepada adanya satu hukum
universal ilmu sosial. Sebagian bahkan mengkritik, bahwa ada tahayul ideologis
dalam konsep moderniasi yang disebarkan tersebut.
Jika “development” menghasilkan
“ketergantungan”, maka “modernisasi” menghasilkan “keterbelakangan”.
Modernisasi sebagai buah abad ke 19 dan 20 telah melahirkan berbagai problem
pokok bagi kemanusiaan, yaitu: (1) melahirkan ketimpangan; (2) memunculkan
pertanyaan apakah manusia masih makhluk otonom yang bisa bertanggung jawab satu
sama lain?; dan (3) problem rationalization. Pendekatan rasional terhadap ilmu pengetahuan,
pola produksi, serta kontrol atas industri dan kehidupan soial manusia memang
telah banyak menghasilkan manfaat, namun juga telah membuat manusia kurang
bebas dan tergantung kepada proses-proses yang tidak dapat dikontrolnya
(alienasi).
Mulai dasawarsa 1980-an, muncul istilah “post modernisme” [6]. Sampai sekarang masih terus dirumuskan
makna dan batasan tentang ini. Bagi sebagian orang, post modernisme merupakan terminologi,
periodisasi, ataupun gagasan pemikiran yang problematis dan penuh
kontroversi. Post modernisme dalam
perspektif etika (tentang perubahan gaya )
misalnya kerap tumpang tindih dengan perspektif filsafat (kerangka dasar
pemikiran). Sesungguhnya post-modern
sudah dipakai di dunia Barat semenjak tahun 1950-an khususnya di dunia sastra. Baru
semenjak 1970-an mulai populer dalam bidang seni yang lain misalnya arsitektur,
tari, drama, seni lukis, film, dan musik[7].
Post-modern umumnya dipertentangkan dengan “modern”. Dalam konteks
seni, post modern adalah jenis-jenis hiburan populer yang massal, yang
mendukung kebudayaan massa .
Ini dimulai tahun 1960-an, dengan pemberontakan terhadap ide formalisme, yang
dikenal dengan counter culture.
Sebaliknya, kelompok seni yang disebut modern, adalah yang menjaga kemurnian
dengan mengikuti standar formal, dengan tujuan menjaga kebudayaan luhur masa
silam.
Ketika tema post-modernitas masuk dalam alam pemikiran filosofis, maka
batasan tentang post modernisme menjadi tidak lagi sederhana[8].
Pengertian post modernisme lalu merupakan istilah yang sangat longgar dan
sangat ambigu juga Ia memayungi segala aliran pemikiran yang satu sama lain
seringkali tidak persis saling berkaitan. Hal ini datang dari ambiguitas dan
kelonggaran isitilah “modern” itu sendiri[9].
Beberapa ciri post modernisme adalah penolakan terhadap grand narrative, menolak obyektifitas
ilmu pengetahuan, dan menolak pemikiran dikotomis (binary position). Selain itu, ia memberi penekanan terhadap right of different (hak unutk berbeda),
serta gaya
dekonstruksi. Terlihat, post modernisme bermaksud menolak kapitalisme dan
neoliberalism yang ingin menyeragamkan apapun di dunia ini.
*****
[1] Suwarsono dan Alvin Y.So. 1991.
[2] Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat
Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme menurut Jurgen
Habermas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta . (257
hal). Hal.183.
[3] Bendix, Reinhard. 1985. Apa itu
Modernisasi. Bab I (hal 3-31). Dalam: Beling dan Totten. 1985. Modernisasi:
Masalah Model Pembangunan. Penerbit CV Rajawali Jakarta . Cet.2. Judul Asli: Developing Nation: Quest for a Model. Hal. 4.
[4] Hoogvelt, 1985. Hal. 81. Hoogvelt, Ankie
M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Beekembang. Penyadur: Drs. Alimandan.
Rajawali Pers, Jakarta .
285 halaman. Judul asli: “The Sociology of Developing Societies”.
[5] Dube, 1988. Dube , S.C.
1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed
books Ltd., London .
[6] Nietzcshe diduga sebagai “Bapak
Post-Modernisme (Hardiman, 1993. hal. 182).
[7] Hardiman, F. Budi. 1993. hal. 179-232.
[8] Istilah modernisme disejajarkan dengan
strukturalisme, dan post-modernisme sejajar pula dengan post-strukturalis.
Michel Foucault dan Jacques Derrida, adalah dua tokoh Filsuf Perancis sebagai
pendukung post-strukturalisme.
[9] Sugiharto, 1996. Hal. 16. Sugiharto,
Bambang. 1996. Postmodernisme: tantangan bagi filsafat. Penerbit Kanisius, Yogyakarta .