Makna secara harfiah “agribisnis” adalah ketika bertani
sudah dipandang sebagai sebuah kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Lawannya adalah bertani sebagai subsisten. Dalam
filosofi agribisnis, usaha pertanian perlu dijalankan sebagai mana layaknya
sebuah aktifitas bisnis. Dua kata kuncinya adalah: untung dan efisien. Cara
berpikir bisnis menjadi mutlak, ketika berbagai aktifitas yang esensial yang
berkaitan dengan pertanian sudah dilakukan secara terpisah dan jauh dari sawah
dan ladang (farm). Artinya, jika
tidak mau menggunakan prinsip-prinsip bisnis, maka usaha pertanian apapun akan
bangkrut.
Pengertian yang paling ringkas tentang “agribisnis” adalah “agriculture regarded as a bussiness”. Agribisnis mencakup seluruh
aktifitas mencakup produksi, penyimpanan (storage), distribnusi, dan processing bahan dasar dari usahatani;
serta suplai input dan penyediaan
pelayanan penyuluhan, penelitian, dan kebijakan lain. Agribisnis telah
menjadi bagian dari bentuk ekonomi modern, ketika aktifitas pertanian tidak
lagi semata-mata hanya usahatani (farming).
Banyak aktifitas terpisah dari usahatani yang menjadi faktor penentu
pengembangan sebuah kegiatan pertanian. Pertanian membutuhkan pupuk yang diproduksi
oleh pihak lain di tempat lain, demikian juga dengan produksi benih, kegitaan prosesing,
pergudangan, dan distribusi. Adopsi teknologi dan perkembangan tatanan
masyarakat, telah menyebabkan usahatani menjadi semakin terspesialisasi dan businesslike. Agribisnis mencakup bisnis
banyak bidang, mulai dari usahatani, penyediaan benih, kimia (agrichemicals), mesin pertanian, perdagangan, processing, marketing, and perdagangan seceran (retail sales).
Sebagai sebuah aktifitas bisnis, maka skala menjadi
penting. Karena itu kita mengenal pula salah satu definisi yang menyatakan
agribisnis adalah “Farming engaged in as
a large-scale business operation embracing the production, processing, and
distribution of agricultural products and the manufacture of farm machinery,
equipment, and supplies”. Agribisnis adalah aktifitas pertanian dengan
skala besar, bukan sekala kecil sebagaimana pertanian subsisten (small family farms).
Menurut Davis dan Goldberg [1],
agribisnis adalah rangkaian semua kegiatan mulai dari pabrik dan distribusi
alat-alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produski pertanian,
pengolahan, penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang
yang dihasilkannya. Sistem agribisnis terdiri dari lima subsistem, yaitu: (1)
agribisnis hulu (up-stream agribussiness)
berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi pertanian, (2)
pertanian primer atau disebut subsistem budidaya (on-farm agribussiness), (3) agribisnis hilir (down-stream agribussiness) atau subsistem pengolahan, adakalanya disebut
dengan “agroindustri”, (4) subsistem perdagangan atau tata niaga hasil, dan (5)
subsistem jasa pendukung berupa kegiatan penelitian, penyediaan kredit, sistem
transportasi, pendidikan dan penyuluhan, dan kebijakan makro. Paradigma
agribisnis berdiri di atas lima premis dasar, yaitu bahwa usaha pertanian
haruslah profit oriented; pertanian hanyalah satu komponen rantai dalam
sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi
secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan
sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang
positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis secara intrinsik
netral terhadap semua skala usaha, dan pendekatan sistem agribisnis khususnya
ditujukan untuk negara sedang berkembang [2].
Ada satu pihak yang berpendapat bahwa agribisnis yang
konsepnya dikembangkan di Amerika tersebut, sesungguhnya memiliki tujuan
terselubung, yaitu ingin menguasai sumber-sumber daya negara-negara berkembang
yang tidak mungkin lagi dikuasai dalam bentuk imprealisme seperti dulu.
Penguasaan tersebut adalah dengan menciptakan ketergantungan petani terhadap teknologi-teknologi
baru di bidang pertanian yang dikuasai sepenuhnya oleh negara maju, serta
melalui sistem pasar terbuka antar negara yang tidak akan pernah berimbang dan
adil.
Strategi pembangunan pertanian dengan menerapkan konsep
agribisnis, sesungguhnya terdiri dari 3 tahap perkembangan yang semestinya
terjad secara berurutan: yaitu:
- Agribisnis
berbasis sumberdaya yang digerakkan oleh kelimpahan sumber daya sebagai
faktor produksi (factor-driven),
dan berbetuk ekstensifikasi agribisnis dengan dominasi komoditas primer.
- Agribisnis
berbasis investasi (investasi-driven)
melalui percepatan industri pengolahan dan industri hulu serta peningkatan
sumberdaya manusia.
- Agribisnis
berbasis inovasi (innovation-driven),
dengan kemajuan teknologi. Komoditas bersifat padat ilmu pengetahuan dan
tenaga kerja terdidik, serta nilai tambah yang besar dan pasar yang lebih
luas.
Konsep agribisnis cepat berkembang. Konsep baru tentang
agribisnis tidak lagi melihat sumberdaya alam dan asset sebagai titik tolak,
namun customer. Kekuatan bisnis harus
didasarkan kepada soft asset (tenaga
kerja), bukan lagi hard asset berupa
tanah, mesin dan bangunan. Aktifitas agribisnis tidak lagi harus terkonsentrasi
secara geografis. Penguasaan asset pun sudah berubah dari owning asset menjadi cukup ke control
asset. Jadi, pengusaha agribisnis tidak harus memiliki asset sendiri, namun
yang penting adalah menguasainya ketika diperlukan. Jika sebelumnnya tenaga
kerja dianggap sebagai beban, maka agribisnis ke depan harus memandangnya
sebagai investasi. Pertanian tidak harus dipandang secara sempit sebagai farming belaka, namun lebih kepada proses
produksi dan distribusinya. Tekanan yang sebelumnya diberikan kepada teknologi,
mesti juga harus diubah menjadi ke masalah kelembagaan [3].
Bersamaan dengan itu, perhatian berlebihan kepada “efisiensi” pun sudah harus
dialihkan kepada aspek “lingkungan”.
Di Departemen Pertanian, agribisnis diyakini dapat
menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Karena agribisnis memiliki kemampuan
untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional, mempromosikan
kesejahteraan, pertumbuhan yang berkelanjutan, dan keseimbangan di antara pelaku
maupun wilayah. Agribisnis dan pengembangan sistem agribisnis diyakini sebagai
pendekatan yang paling tepat untuk pembangunan ekonomi di Indonesia[4]. Arah Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis di
Departemen Pertanian menuju empat tujuan yaitu membangun sistem dan usaha
agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis[5].
Agribisnis, baik konsep maupun implementasinya, cukup
banyak dikritik. Pada sebagian pengkritik, agribisnis disejajarkan dengan konsep
“corporate farming”, yang dikontraskna dengan konsep “family farm”. Konotasi negatif ini datang dari filosofi konsep
"business" dan "corporation" yang dikhawatirkan akan
menimbulkan dampak yang khas dari cara berpikir kapitalisme dan korporatisme.
Agribisnis juga dikritik karena dirasa tidak
sesuai dengan petani di Indonesia. Menurut Mubyarto dan Santosa [6], bertani bagi sebagian besar
petani di Indonesia selain untuk memperoleh pendapatan, adalah juga sebuah cara
hidup (way of life atau livehood). Karena itu, petani selain sebagai
homo economicus, juga harus dilihat sebagai homo socius dan homo
religius. Konsekuensi pandangan ini adalah, harus dikaitkannya unsur-unsur
nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem
pertanian. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis, sejalan dengan perubahan
ilmu ekonomi menjadi ideologi, bahkan semacam agama. Ini terjadi
dalam iklim, dimana model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu
meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor
pertanian.
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan
perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun sesungguhnya perlu
beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma tersebut, karena paradigma
tersebut bukanlah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita [7]. Masih sangat banyak petani kita yang
hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi
mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani dengan luas tanah sangat kecil, petani
gurem, penyakap, dan buruh tani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat
berkurangnya perhatian kita kepada mereka, yang kegiatannya tidak merupakan
bisnis. Adalah tidak tepat jika hanya menghitung untung-rugi dan efisiensinya,
namun sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moralitasnya. Jadi, mungkin
agribisnis memang sudah sepantasnya untuk usaha-usaha pertanian yang berskala
besar, misalnya perkebunan swasta, namun tidak
untuk semua petani.
Satu
istilah yang sangat dekat dengan agribisnis adalah “agroindustri”. Agroindustri memiliki banyak makna. Dalam konteks
teknologi, agroindustri adalah “.. a
process of manufacture, preparation, preservation, packaging and
commercialization, makes use of technology” [8]
. Dalam skope sempit, agroindustri adalah sejumlah
aktifitas yang memproduksi material dari barang primer (dari pertanian,
peternakan, kehutanan, dan perikanan), lalu memprosesnya yang dapat mencakup
transformasi dan pengolahan secara fisik atau
kimia, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Dalam pengertian luas,
agroindustri merupakan seluruh aktifitas dalam rangkaian pertanian, sehingga
menjadi sinonim dengan pengertian agribisnis[9].
Secara definisi, agroidustri adalah aktifitas
mentransformasikan bahan baku hasil pertanian menjadi bahan jadi atau setengah
jadi. Disini terlibat kegiatan
pengolahan yang merupakan perubahan fisik dan kimiawi, ataupun perubahan bentuk
dan komposisi. Juga dicakup kegiatan penyimpanan, pengepakan, dan distribusi.
Sebagian kalangan menyebut ini sebagai kegiatan “pasca panen”, meskipun pasca
panen lebih kepada aspek teknisnya saja.
Suatu aktifitas tergolong sebagai agroindustri bila ada
indikasi meningkatknya nilai tambah, menghasilkan produk yang dapat dipasarkan
dan digunakan atau dimakan, meningkatkan daya simpan, serta menambah pendapatan
dan keuntungan produsen. Agroindustri biasanya diklasisfikasi atas empat level
transformasi, yaitu: (1) trasformasi rendah hanya berupa pembersihan dan grading, (2) transformasi menengah yang
melibatkan kegiatan pemotongan, penggilingan, dan pencampuran, (3) transformasi
lanjut dengan adanya pasteurisasi, pemasakan, pengalengan, dehidrasi,
ekstraksi, dan lain-lain, serta (4) transformasi rumit yang menyangkut chemical alteration dan texturization.
*****
[2] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam
Majalah Ekonomi Rakyat Th. II No. 3, Mei
2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm.,
9 Mei 2005)
[3] Dalam konteks ini, dikembangkan satu ide “agribisnis berbasis
komunitas”. Pengusaha (perusahaan agribisnis) dan komunitas petani berinteraksi
secara sinergis melalui kekuatan-kekuatan sosial ekonomi terhadap modal alami,
yaitu modal ekonomi yang dikuasai oleh pengusaha dan modal sosial yang dikuasai
kaum tani. Modal sosial adalah berupa institusi-institusi hubungan produksi
pertanian yang bersifat informal-rasional, misalnya ragam bentuk penyakapan
tanah (land tenancy) dan pengupahan buruh tani. (Sitorus, M.T. Felix dkk. 2001.
“Agribisnis Berbasis Komunitas: Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial”. Diterbitkan
untuk PT Sang Hyang Seri (Persero) Jakarta
dan Pusat Kajian Agraria, LP IPB, Bogor .
Hal 5-6).
[4] Bungaran
Saragih. "Agribusiness System Development as a Prime
Mover of the National Economy". Menteri Pertanian (http://www.deptan.go.id/english/konsep_e/5.5.2.htm.,
9 Mei 2005).
[5] http://www.deptan.go.id/english/konsep_e/5.5.2.htm.,
9 Mei 2005.
[6] Mubyarto
dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik
terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam
Majalah Ekonomi Rakyat Th. II No. 3, Mei
2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm.,
9 Mei 2005).
[7] Mubyarto
dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik
terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam
Majalah Ekonomi Rakyat Th. II No. 3, Mei
2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm.,
9 Mei 2005).
[8] Concept definition: Industry dealing with the supply, processing
and distribution of farm products. (Source: PHC). http://www.isnar.cgiar.org/ppp/demands.htm.,
9 Mei 2005.
[9] Frank
Hartwich, Willem Janssen, and Jaime Tola. “Public-Private Partnerships for Agroindustrial Research: Recommendation from
an Expert Consultation”. (http://www.isnar.cgiar.org/publications/pdf/bp-61.pdf.,
9 Mei 2005).