Objek pengorganisasian petani dalam menjalankan usaha
pertanian didekati dengan konsep dan teori “lembaga” dan “organisasi”. Penggunaan
istilah ”institution” pada literatur
berbahasa Inggris, ataupun istilah ”lembaga” dan ”kelembagaan” dalam literatur
berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak memperoleh pengertian
yang sama antar ahli,
demikian pula dengan konsep ”organization”
[1]. Kekeliruan
yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution”
menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai
”organisasi”.
“Lembaga koperasi” misalnya menunjuk pada koperasi sebagai sebuah organisasi,
berkaitan misalnya dengan aspek kepemimpinan dalam koperasi dimaksud,
keanggotaannya, dan kapasitas keorganisasiannya.
Penyebabnya adalah karena banyak pihak yang menulis
tentang objek ini namun tidak mengembangkan konsep dan teorinya. Ketidaksepakatan ini
dinyatakan oleh Uphhof (1986: 8) bahwa: “What contstitutes an ‘institution’
is a subject of continuing debate among social scientist….. The term
institution and organization are commonly used interchangeably and this
contributes to ambiguity and confusion”. Richard Scott yang telah merangkum
seluruh perkembangan teori kelembagaan juga menemukan hal serupa. Scott (2008:
vii) menyatakan bahwa: “The existing
literature is a jungle of conflicting conceptions, divergent underlying
assumptions, and discordant voices”. Ia menemukan penggunaan asumsi yang
berbeda dan penuh pertentangan satu sama lain. Sementara, Soemardjan dan Soemardi
juga mengakuinya. “Belum terdapat istilah
yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk
menterjemahkan istilah Inggris ‘social
institution’……. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ …..
ada pula yang ‘bangunan sosial’” (Soemardjan dan Soemardi, 1964; 61).
Penggunaan istilah ”institution” dan ”organization” dalam literatur berbahasa Inggris sering kali juga
tidak konsisten (lihat Horton dan Hunt, 1984). Sebagian mendefiniskan social
institution yang mencakup aspek organisasi, sebaliknya ada yang memasukkan
aspek-aspek lembaga dibawah topik social organization. Para
ahli menggunakan entry istilah yang berbeda, namun membicarakan hal yang
sama [2].
Dalam hal konsep, setidaknya ada
empat bentuk cara pembedaan antara lembaga[3] dan
organisasi, yakni sebagai tradisional dan modern[4] asal
pembentukannya dari bawah dan atas (Tjondronegoro, 1999: 22), berbeda level
namun dalam satu kontinuum (Uphoff, 1986: 8; Huntington, 1965: 378), dan
pembedaan dimana organisasi merupakan elemen dari lembaga[5]. sebagaimana ahli ekonomi kelembagaan (Douglass C. North[6] dan
Lionel Robbins [7]) dan
pendekatan kelembagaan baru (new
institutionalism) (Scott, 1995;
2008). Kedua objek tersebut pada awalnya berbaur lalu kemudian menjadi
terpisah [8]. Ini
karena penulis bersangkutan hanya mengenal satu kata saja dalam menerangkan
fenomena sosial: institution saja, atau organization saja[9].
Studi mengenai lembaga dan analisis bagaimana lembaga
mempengaruhi individu dalam masyarakat dimulai kalangan sosiologi abad ke-19
dan 20 misalnya Max Weber dalam studi birokrasi dan bagaimana birokrasi
mempengaruhi cara berprilaku masyarakat (Weber, 1914). Perhatian terhadap
lembaga cukup konstan dari masa ke masa meskipun menggunakan berbeda istilah
(Scott, 2008: 8). Melalui pendekatan
teori perilaku (behavioural theory)
dan teori pilihan rasional (rational
choice theory), studi kelembagaan menjadi
lebih mikro dan individual.
Dalam dekade sosiologi klasik, Spencer misalnya melihat
masyarakat sebagai sebuah sistem organis yang terbentuk oleh proses waktu.
Sementara bagi Sumner, lembaga berisi konsep (ide, notion, doktrin, interest)
dan sebuah struktur (Sumner
dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67), sementara Cooley melihat pada
kesalinghubungan antara individu dengan lembaga dalam konteks self dan structure. Perilaku individu terbentuk atau terpengaruh oleh
lembaga tempat dimana ia hidup (Scott, 2008: 10). Dalam kurun ini pula,
Durkheim menjelaskan masyarakat dengan
memberi perhatian terhadap lembaga yang menghasilkan keteraturan kolektif yang
didasarkan pada tindakan-tindakan rasional (Durkheim, 1965) Bagi Durkheim,
lembaga sosial adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan
otoritas moral (Dalam Scott, 2008: 12).
Kelembagaan juga dipandang
sebagai suatu konsep kultural (cultural concept), dimana Gillin dan
Gillin mendefinisikan kelembagaan sebagai: “A Social institution is a
functional configuration of cultural patterns (including actions, ideas,
attitudes, and cultural aquipment) which possesses a certain permanence and
which is intended to satisfy felt social
need” [10].
Lembaga juga berkaitan
dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan), atau cara
bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of
behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup.
Sebagaimana menurut Hebding et al. (1994), lembaga sosial merupakan
sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk
mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai penting. Jika
masyarakat ingin survive, maka lembaga sosial harus ada. Keluarga
misalnya, merupakan institusi sosial pokok yang mempertemukan kebutuhan sosial
yang dinilai vital.
Norma sebagai pembentuk perilaku
banyak menjadi perhatian kalangan sosiologi klasik, misalnya Weber dan Parsons.
Menurut Parsons lembaga adalah ”sistem
norma yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu
semestinya” (Scott, 2008: 14-15). Nilai dan norma juga merupakan aspek yang
dikaji oleh Durkheim (dalam Suicide, tahun 1968). “ …. Social integration
and individual regulation through consensus about morals and values”. Demikian pula dengan Soekanto (1999: 218) yang menyebut
bahwa lembaga adalah sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan
atau diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks ini pula Sumner
atau Cooley memaknai lembaga sebagai “established norm” (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75),
demikian pula dengan Hamilton yang memaknainya dengan “…. a complex normative pattern that is widely accepted as binding in
particular society or part of a society” (dalam Johnson, 1960). Sementara Uphoff (1992) mendefinisikan lembaga sebagai “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving
some socially valued purpose”.
Pada
perkembangan yang lebih baru, beberapa sosiolog memberikan perhatian pada
pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu di tengah masyarakat. Bourdieu misalnya,
melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa
kelompok menekankan kerangka pengetahuan
dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap
pihak lain (Ritzer, 1996; Perdue, 1986). Demikian pula dengan Berger dan
Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan realitas sosial yang memandang
bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern
of conduct) untuk mencapai kebutuhan (end).
Sementara, studi tentang organisasi diawali dengan studi
tentang birokrasi oleh Weber (Colignon, 2009), lalu Robert Merton yang dengan
kerangka kerja Weber membangun teori lebih rendah (middle range theory), dan dilanjutkan Selznick dengan menggunakan
teori struktural fungsional dan membangun pendekatan kelembagaan lama (old institutional). Selznick menekankan
pentingnya kontrol norma (normative
controls) yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi (internalized) aktor dan menekannya dalam
situasi sosial (social situations).
Pendekatan kelembagaan baru terhadap
organisasi dimulai dari usaha Meyer and
Rowan (tahun 1977) yang membangun dari pendekatan kelembagaan Selznick. Mereka
mempelajari “ ……how organizational
decision making is shaped, mediated, and channeled by normative institutional
arrangements (DiMaggio, 1991).
Dalam konsep yang paling
umum, istilah organisasi sosial (social organization) diartikan sebagai
kesalinghubungan antar bagian, yang dinilai esensial bagi tercapinya suatu
kesatuan sosial, baik pada satu grup kecil, komunitas, maupun masyarakat yang
lebih luas (Mitchell,
1968: 172-3).
George C. Hommans dalam The Human Groups, tahun 1950, dengan tekanan
pada sistem sosial menyatakan bahwa social organization merupakan “……
the interrelated parts of social system
are interaction, and sentiment” (Mitchell, 1968: 173).
Menurut Beals et al., (1977), struktur sosial merupakan fokus pokok ketika
membicarakan organisasi sosial. Penggunaan kata “struktur’ merupakan perluasan dari konsep struktur yang
biasa digunakan dalam mengkaji masyarakat, yang berkenaan dengan status,
posisi, peran, serta label. Analisa tentang struktur digunakan dalam
membicarakan grup primer, face to face group, maupun grup sekunder,
perbedaannya terletak pada bagaimana keanggotaan dicapai, apa yang anggota
lakukan, bagaimana keputusan dibuat, seberapa tingkat keformalannya, dan seberapa
hierarkhisnya.
Semenjak tahun 1980-an, kalangan sosiologi organisasi
telah menyadari pentingnya kajian teoritis dan keefektifan organisasi sebagai
grup. Hal ini mendorong tumbuhnya pendekatan-pendekatan baru, dimana terjadi
perubahan perspektif dari organisasi individual kepada jaringan antar
organisasi, termasuk bagaimana relasi organisasi dengan negara. Pendekatan “organization-state approach”
mempelajari bagaimana relasi organisasi dengan pasar dan negara dalam hal
materi dan ide. Dalam kajian ini juga dipelajari bagaimana negara dengan
aktor-aktor sosial merundingkan hak-hak kepemilikan (property rights), struktur pemerintah (governance structures), dan aturan pertukaran yang berperan dalam
menentukan lingkungan pasar market
environment) terhadap berjalannya organisasi.
Saat ini, disadari bahwa kinerja organisasi selain
dipengaruhi oleh norma dan harapan (expectations),
juga oleh teknologi dan pasar (Colignon,
2009). Perusahaan swasta misalnya menghadapi sekaligus tekanan pasar dan
persoalan legitimasi. Menghadapi kondisi ini digunakan pendekatan majemuk (multiple approaches). Pendekatan
jaringan organisasi (organizational
networks) digabungkan dengan persoalan “fields”
serta relasi dengan negara (state-organization
relations) (Casey, 2002: 4-5). Masyarakat modern dicirikan oleh kehidupan berorganisasi [11].
Interaksi
antara Teori Kelembagaan (Institutional
Theory) dan Organisasi melahirkan Teori
Kelembagaan Baru (New Institutionalisme
Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan organisasi mulai
berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu
dengan tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan ranah
organisasi (organization fields).
Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber dengan teori
birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap organisasi, Herbert Simmon yang
berkerjasama dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri
rasionalitas pada organisasi, Selznick yang mempelajari teori kelembagaan
terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23),
serta Victor Nee dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) yang mempelajari hubungan antara proses
formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings) [12].
Pertautan ini menurut Nee dan Ingram (1998) berasal dari
teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam konteks kelembagaan baru
berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui
aturan-aturan (rules), norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan
dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah
penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive),
dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial.
Dasar pendekatan mikro terhadap teori kelembagaan (microfoundations of Institutional Theory)
relatif sejalan dengan ini. Dalam pandangan mikro ini, dipelajari bagaimana
individu memposisikan dirinya dalam relasi sosial dan memahami konteks yang
melingkupinya, serta bagaimana orang-orang dalam organisasi menjaga dan
mentransformasikan kekuatan-kekuatan kelembagaan dalam praktek hidup
sehari-hari (Powell dan Colyvas, 2008). Melalui kacamata mikro ini akan dapat
menjelaskan kondisi makro. Sumbangan lain diberikan Battilana (2006), dimana
studinya dengan menggunakan analisis pada tingkat individual (dengan kerangka
Bourdieu), sesuatu yang selama ini diabaikan kalangan kelembagaan baru;
mendapatkan bahwa posisi sosial individu merupakan satu variabel kunci dalam memahami
bagaimana mereka dapat menjadi seorang institutional
entrepreneurs dalam satu tekanan kelembagaan.
Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism” dengan menolak
model aktor rasional dari ekonomi klasik. Menurut Scott (2008: 36), teori
kelembagaan baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan
baru dalam mempelajari sosiologi organisasi [13]. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta
fenomenologi dan etnometodologi. Ada 3 unsur yang disebut dengan pilar (pillar)
yang membangun lembaga yakni aspek regulatif, normatif, dan aspek
kultural-cognitif [14].
Sebagaimana ditunjukkan di atas, baik dalam dalam
literatur berbahasa Inggris maupun Indonesia, ditemui berbagai ketidaksepakatan
dan ketidakkonsistenan penggunaan istilah. Ketidakkonsistenan dalam literatur
berbahasa Indonesia terjadi antara istilah ”lembaga”, ”kelembagaan” dan
”organisasi” Penggunaan istilah
”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan
terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institutional” dalam literatur berbahasa Inggeris. Kekeliruan
yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution”
menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai
”organisasi”. Menghadapi berbagai
kekeliruan dan ketidaksepakatan ini, dilakukan perumusan rekonseptualisasi
sebagaimana matriks berikut.
Dengan demikian, ”lembaga” adalah
terjemahan langsung dari ”institution”,
dan organisasi adalah terjemahan langsung dari ”organization”. Keduanya merupakan kata benda. Sementara
”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”,
yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga”. Demikian
pula dengan ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”) yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang
berhubungan dengan organisasi” [15].
Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang, semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru (new institionalism), maka ada tiga bagian pokok yang ada dalam lembaga (selengkapnya disampaikan dalam Lampiran). Pertama, aspek normatif. Beberapa kalangan sosiolog yang menyebut bahwa norma sebagai penentu pokok perilaku individu dalam masyarakat adalah Durkheim, Parsons, Sumner dan Cooley, Selznick, Soekanto, serta Uphoff. Parsons menyebutkan bahwa ”sistem normalah yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008: 14-15), sementara Durkheim (dalam Suicide, tahun 1968) menyebut bahwa “ …. social integration and individual regulation through consensus about morals and values”, Soekanto (1999: 218) menerjemahkan lembaga sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan atau diwujudkan dalam hubungan antar manusia; Sumner dan Cooley memaknai lembaga sebagai “established norm”, demikian pula dengan Uphoff (1992) yang mendefinisikan lembaga sebagai “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving some socially valued purpose”. Selznick menekankan pentingnya kontrol norma (normative controls) yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi (internalized) aktor dan menekannya dalam situasi sosial (social situations).
Norma merupakan komponen pokok dan paling awal dalam
lembaga. Karena itulah, para ahli yang berada di sisi ini sering mengklaim
sebagai telah melahirkan “genuine
institutionalism”. Pada prinsipnya, norma (how things should be done) akan menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan melahirkan tanggung
jawab dalam kehidupan aktor di masayarkat. Norma memberi pengetahuan apa tujuan
kita, dan bagaimana cara mencapainya. Norma bersifat membatasi (constraint) sekaligus mendorong (empower) aktor. Kompleks norma pada
hakekatnya menjelaskan apa kewajiban bagi aktor (supposed to do). Bagi sebagian kalangan, lembaga yang menjadikan
norma sebagai objek pokoknya disebut dengan “normatif instistution” atau “historical
institutioanlism”
Kedua, aspek
regulatif. Aspek ini terutama datang dari kalangan sosiolog yang banyak
memperhatikan perilaku ekonomi, sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan
aliran “rational choice institusionalism”.
Binswanger dan Ruttan (1978) berada di sisi ini yang menyebut lembaga
sebagai “ … the set of behavioral rules that govern a particular pattern of
section and relationship”, Sejalan dengan ini, Nee (2005) dalam konteks
analisa kelembagaan (institutional
analysis) juga menyebut hubungan antara proses formal dan informal pada
lingkungan kelembagaan (institutional
settings) [16]. Portes (2006)
juga menyebut lembaga sebagai “.. they
are the set of rules (formal or informal), governing relationships among role
occupants in social organizations ….”.
Dalam objek ini terkait perihal rule setting, monitoring, dan sanksi-sanksi. Lembaga diukur dari
kapasitasnya untuk menegakkan aturan, misalnya melalui mekanisme reward and punishment. Aturan ditegakkan
melalui mekanisme informal (folkways)
dan formal (melalui polisi dan pengadilan). Aturan bersifat represif dan
membatasi (constraint), namun juga memberi kesempatan (empower) terhadap aktor. Menghadapi
kompleks aturan ini, maka aktor berupaya memaksimalkan keuntungan. Karena
menjadikan regulasi sebagai objek pokoknya, lembaga jenis ini seringpula
disebut dengan “kelembagaan regulatif”.
Ketiga, aspek
kultural-kognitif. Tokoh-tokoh yang menjadikan ini sebagai aspek penting
lembaga adalah Geertz, Douglass, Berger, Goffman, Bourdieu, Meyer, DiMaggio,
Powel, dan Scott. Inti dari objek kultural-kognitif ini adalah pada makna (meaning). Fokus dalam kultural-kognitif
adalah pada bagaimana kehidupan sosial menggunakan kerangka makna dan bagaimana
makna-makna diproduksi dan direproduksi. Dalam konteks ini diperhatikan proses
sedimentasi dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif melalui proses
interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal.
Bourdieu misalnya, melalui perjuangan simbolik,
mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas
sosial terhadap pihak lain (Ritzer,
1996; Perdue, 1986). Sementara Berger dan Luckmann (1976) yang fokus pada
penciptaan realitas sosial memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai
kebutuhan (end). Realitas sosial
adalah konstruksi manusia sebagai produk interaksi sosial, dimana individu
bertindak sesuai persepsinya terhadap dunia sosial. Tumbuhnya perhatian pada
objek pengetahuan (cognitive) dalam
kajian lembaga merupakan penyumbang utama lahirnya Teori Kelembagaan Baru.
Berdasarkan tiga objek ini, maka “lembaga” dapat
dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang
menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi
aktor [17]. Fungsi lembaga
adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan (order) dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah. Demikian
pula untuk petani, lembaga memberikan pedoman bagi petani dalam menjalankan
aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam bidang agribisnis. Berbagai norma yang
hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi
menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya
(kultural-kognitif). Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, namun juga
menyediakan berbagai kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang ia
sukai [18].
Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and obligatory dari kehidupan sosial (Blom-Hansen 1997) dan memberi
kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989;
Scott 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang
merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks
masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan
sosial yang hidup.
Sementara, dari pendekatan sosiologi ekonomi, Victor Nee (Nee, 2003, 2005: dan Nee dan Swedber,
2005) menyusun Teori Kelembagaan Baru pada Sosiologi Ekonomi (The New Institutional Economic
Sociology) dengan
mengkomparasikannya (dan mengkritik) dengan pemahaman ekononomi kelembagaan baru
(New Institutional Economic). Dalam konsep ekonomi, aktor bertindak
didasari oleh pertimbangan rasional dan mendasarkan pada utilitas
individualnya. Jika dalam ekonomi individu bersifat otonom, sementara dalam sosiologi ekonomi dipahami bahwa
individu sangat memperhatikan hubungan dengan individu lain dalam tindakannya.
Sebagaimana Semelser dan Swedberg (2005), bahwa relasi aktor dan posisi aktor
dalam struktur sosial merupakan hal yang penting dalam
proses-proses sosialnya.
Dalam teorinya
Nee (2005) menjelaskan bagaimana lembaga (institution)
berinteraksi dengan jaringan sosial (social network) dan norma-norma
sosial dalam mengarahkan tindakan-tindakan ekonomi. Ia menyatakan bahwa aktor ekonomi bukanlah laykanya atom yang lepas dari
konteks masyarakat, bukan pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial. Tingkah
laku aktor melekat pada realitas relasi sosial. Norma-norma
yang ada akan berinteraksi dengan aturan formal (formal rules) dalam merealisasikan kepentingan individu. Pada intinya, Nee (2005) mengemukakan adanya mekanisme integrasi
hubungan formal dan informal pada setiap level kausal, yakni pada tataran mikro
(individu), meso (kelompok ataupun organisasi), dan tataran makro berupa
lingkungan kebijakan (policy environment). Keinginan individu untuk memaksimalkan keuntungan dibatasi
oleh adanya ketidakpastian, informasi
tidak simetris dan kemampuan kognitif yang tidak sempurna (Nee, 2005).
Aturan tersebut berada dalam sebuah arena yang terkonstruksi secara sosial (socially
constructed), dimana setiap individu mengidentifikasikannya dalam kerangka
mencapai kepentingan dan tujuannya. Disini, aktor dipersepsikan sebagai makhluk yang aktif.
Menurut
Nee (2005: 55) lembaga adalah sistem dominan dari elemen-elemen yang bersifat
formal dan informal seperti; kebiasaan, kesepakatan-kesepakatan, normanorma,
dan kepercayaan yang dibagi bersama (shared beliefs), dimana para aktor
mendasarkan tindakannya ketika memenuhi kepentingan-kepentingannya. Lembaga
adalah struktur-struktur sosial yang menyediakan pedoman untuk tindakan
bersama, dengan cara mengatur kepentingan masing-masing orang dan memperkuat
hubungan antar mereka. Menurut Nee (2005) lembaga merupakan sebuah sistem
dominan dari elemen formal dan informal yang saling berhubungan seperti
kebiasaan (customs), kepercayaan yang dianut bersama (shared belief),
konvensi (conventions), norma (norms), aturan (rules),
dimana aktor melandasi perbuatannya ketika memenuhi kepentingan-kepentingan
mereka. Aktor
mencakup individual maupun organizasi.
Aspek
formal dan informal saling berhubungan dan menjadi dasar bagi perilaku ekonomi
manusia. Aspek formal berupa peraturan formal dari negara, sedangkan aspek
informal berupa norma, nilai agama (shared belief), jaringan sosial (social
network), kelekatan sosial (social embededdness) sesuai konteks
sosial-budaya tertentu. Sementara organisasi merupakan cetak biru (blueprint)
struktur sosial yang memiliki peran-peran (roles), misalnya perusahaan
dan asosiasi nirlaba [19]. Lembaga adalah sebuah social structures yang menyediakan peluang untuk melakukan tindakan
kolektif dan memfasilitasi organisasi dan aktor (interests of actors). Lingkungan kelembagaan (institutional environment) adalah “ ... the formal regulatory rules monitored and enforced by the state
that govern property rights, markets and firms—imposes constraints on firms
through market mechanisms and state regulation, thus shaping the incentives
structure. .... shape the incentive
structure for organizations and individuals, and thereby the contexts in which proximate
mechanisms operate “ (Nee, 2003: 25). Pada gambar 2 hal 26, digambarkan bahwa
lingkungan kelembagaan memberikan
kerangka kelembagaan (institutional
framework) yang lalu mempengaruhi
kelompok sosial dan individu.
Tentang
aktor, Nee (2003) menyebutkan bahwa “actors
are motivated by interests and preferences, often formed and sustained within
such groups” (p.27). Aktor bersifat
rasional, yang bertindak dengan berpedoman kepada norma-norma untuk
kesejahteraannya (“welfare-maximizing”
norms). Tindakan aktor bergantung kepada sturktur yang memberi peluang (the incentives structured) dalam
lingkungan kelembagaannya [20]. Mekanisme ini memungkinkan aktor
untuk bekerjasama dalam kelompok-kelompok dan memungkinkan aktor untuk
terlibat dalam tindakan kolektif dan
mencapai tujuan-tujuan kelompoknya. Mekanisme tersebut berupa penghargaan dan
kepuasan yang ditunjukkan dari kesuksesan kelompoknya mencapai tujuan. Norma mengkoordinasi para aktor di dalamnya.
Nee
and Swedberg (2005) menyebut pentingnya
konsep ketertarikan (interests). Ini merupakan suatu kekuatan yang memotivasi dan
menggerakkan individual, yang dapat berupa ide maupun materi. Karena itu, interest merupakan konsep pokok dalam
lembaga. Seorang individu akan merealisasikan ketertarikan pribadinya (self-interest), dengan mengikuti aturan
umum atau preskripsi untuk bagaimana ia mencapainya. Namun, individual dapat
pula untuk tidak mengikuti model kelembagaan (institutional model), meskipun ia sadar akan mendapat sanksi. Nee
mengembangkan apa yang ia sebut sebagai aktor yang bebas (independence of the actor), dimana ia memaknai lagi aturan (“orienting oneself to rules”) lebih dari
pada sekedar mengikutinya (“following
rules”). Pemikiran ini
lebih kurang sejalan dengan penjelasan pada pilar kultural kognitif pada Scott
(2008). Ketertarikan
pribadi merupakan motivasi utama
tindakan (self-interest as motivation for
action). Sehingga yang eksis sesungguhnya bukan “institutions per se” tetapi adalah “institutions
in action”. Mekanisme kelembagaan (institutional mechanisms) membentuk “ .... the incentive structure for
organizations and individuals, and thereby the contexts in which proximate mechanisms operate and interests are
realized” (Nee and Swedberg, 2005: 801).
Selanjutnya, dalam hal konsep ”organisasi”, organisasi merupakan elemen dari
lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan
Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36), dalam Teori
Kelembagaan Baru digunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi
organisasi. Proses kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur
organisasi dan perilaku. Teori Kelembagaan Baru, tidak sebagaimana ”old institutionalism”, menyediakan jalan
untuk melihat organisasi pada masyarakat kontemporer [21].
Konsep dan Teori Organisasi dalam Pendekatan Kelembagaan Baru
Keberadaan organisasi sangat tergantung pada lingkungan
kelembagaannya, sebagaimana dijelaskan Meyer and Rowan (1977), Selznick,
DiMaggio (1991), dan Colignon (2009). Hal ini sejalan pula dengan konsep
Bourdieu tentang ”field’ (arena
sosial) sebagai konsep yang sangat berguna untuk meletakkan lokus proses
kelembagaan yang paling baik untuk membentuk organisasi. (Scott, 2008: 16)
Organisasi merupakan sebuah decision making unit (sebagaimana Binswanger dan Ruttan, 1978),
tempat aktor berinteraksi secara lebih intensif untuk menjalankan aktifitas
mencapai beberapa tujuan yang telah didefinisikan secara lebih tegas. Dalam
dunia pertanian, organisasi, sebagaimana Scott (2008), terdiri atas beragam
level, mulai dari level internasional sampai dengan grup-grup kecil (individual organization), misalnya
kelompok tani dan koperasi-koperasi pertanian.
Organisasi juga menjadi wadah untuk mengelola sumber
daya. Dalam konteks relasi dengan negara, pendekatan “organization-state approach” telah lama mempelajari bagaimana
relasi organisasi dengan pasar dan negara dalam hal materi dan ide. Dalam
kajian ini juga dipelajari bagaimana negara dengan aktor-aktor sosial
menegosiasikan hak-hak kepemilikan (property
rights), struktur pemerintahan (governance
structures), dan aturan pertukaran yang berperan dalam menentukan
lingkungan pasar (market environment)
terhadap berjalannya organisasi. Kehadiran negara dan pasar merupakan ciri
masyarakat modern, dan ”organisasi adalah
ciri masyarakat modern” (Casey, 2002:
4-5) [22].
Organisasi merupakan arena sosial dimana tindakan
rasional berlangsung (Selznick dalam Scott, 2008: 21). Perilaku dalam
organisasi pasti rasional, karena pilihan-pilihan dibatasi dan dipandu oleh
aturan-aturan (Scott, 2008; 25). Adanya organisasi akan mempercepat tercapainya kestabilan perilaku. Ini merupakan
jiwa dasar dari pelembagaan [23]. Nee (2005) juga
sejalan dengan ini, dimana menurutnya lingkungan kelembagaan dikristaliasi pada
organisasi.
Adanya organisasi akan membantu untuk menyederhanakan dan
mendukung pembentukan keputusan individu. Aktivitas bertani tetap bisa berjalan
tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah memberi cukup pedoman dan
kesempatan. Namun, dalam organisasi perilaku akan lebih tertata, lebih terpola,
sehingga lebih bisa diprediksi pula. Pendekatan kelembagaan baru paling tepat
digunakan dalam mempelajari organisasi, karena ia telah menjadi prespektif yang
pokok dalam memahami tindakan-tindakan ekonomi, dimana ia lebih banyak
perhatian pada konteks sosial (Portes, 2006; Nee, 2005) [24].
Objek “oganisasi” tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
pemikiran teori kelembagaan. Organisasi adalah aktor dan sekaligus bentuk social form yang dipandang lebih efektif
dalam kehidupan sosial. Semenjak tahun 1980-an, kalangan sosiologi organisasi
telah menyadari pentingnya kajian teoritis dan keefektifan organisasi sebagai
grup. Hal ini mendorong tumbuhnya pendekatan-pendekatan baru, dimana terjadi
perubahan perspektif dari organisasi individual kepada jaringan antar
organisasi, termasuk bagaimana relasi organisasi dengan negara.
Saat ini, disadari bahwa kinerja organisasi selain
dipengaruhi oleh norma dan harapan (expectations),
juga oleh teknologi dan pasar (Colignon,
2009). Perusahaan swasta misalnya menghadapi sekaligus tekanan pasar dan
persoalan legitimasi. Menghadapi kondisi ini digunakan pendekatan majemuk (multiple approaches). Pendekatan
jaringan organisasi (organizational
networks) digabungkan dengan persoalan “fields”
serta relasi dengan negara (Casey, 2002: 4-5).
Interaksi
antara Teori Kelembagaan (Institutional
Theory) dan Organisasi melahirkan Teori
Kelembagaan Baru (New Institutionalisme
Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan organisasi mulai
berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu
dengan tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan
organisasi (organization fields).
Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber dengan teori
birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap organisasi, Herbert Simmon yang
berkerjasama dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri
rasionalitas pada organisasi, Selznick yang mempelajari teori kelembagaan
terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23),
serta Victor Nee dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) yang mempelajari hubungan antara proses
formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings)[25].
Pertautan ini menurut Nee dan Ingram (1998) berasal dari
teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam konteks kelembagaan baru
berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui
aturan-aturan (rules), norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan
dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah
penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive),
dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial. Powell dan
DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new
institutionalism” dengan menolak model aktor rasional dari ekonomi klasik.
Sementara menurut Scott (2008), akar teoritisnya berasal dari teori kognitif,
teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi[26].
Adanya organisasi akan membantu untuk menyederhanakan dan
mendukung pembentukan keputusan individu. Dalam dunia pertanian misalnya,
aktivitas bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga
sesungguhnya telah memberi cukup pedoman dan kesempatan. Namun, dalam
organisasi perilaku akan lebih tertata, lebih terpola, sehingga lebih bisa
diprediksi pula. Pendekatan kelembagaan baru paling tepat digunakan dalam
mempelajari organisasi, karena ia telah menjadi prespektif yang pokok dalam
memahami tindakan-tindakan ekonomi, dimana ia lebih banyak perhatian pada
konteks sosial (Portes, 2006; Nee, 2005) [27].
Pendekatan kelembagaan baru (neo-institutional
approach) yang dimulai oleh Meyer and Rowan tahun 1977, memandang bahwa strukur
organisasi merupakan hasil dari lingkungan teknik dan ekonomi (“organizational structure is the result of
technical and economic contingencies in the environment”). Organisasi lahir
dan hidup untuk memenuhi harapan normatif (normative
expectations) dari lingkungannya. Tekanannya disini adalah bagaimana
keputusan organisasi dibuat, dimediasi dan disampaikan oleh seperangkat
kelembagaan normatif (DiMaggio 1991).
Pendekatan kelembagaan dipandang lebih sesuai untuk
organisasi dalam masyarakat (public
sector organizations) karena lebih sensitif terhadap harapan normatif dan
legitimasi. Dari kalangan ekologi populasi, Hannan and Freeman (1977) dan
Aldrich and Pfeffer (1976) mempelajari kuatnya relasi antara berbagai bentuk
organisasi (organizational form)
dengan penekanan pada dampak lingkungan terhadap daya hidup organisasi.
******
[1]
Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak
selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institution” dalam literatur berbahasa
Inggris. Contohnya, ”kelembagaan” sering
digunakan untuk menyebut organisasi petani pengguna air di Bali yaitu”subak”,
padahal dalam literatur berbahasa Inggris subak biasanya disebut sebagai ”nonformal organization”.
[2] Soekanto
(1999) dan Hebding dan Glick (1994: 301-2) misalnya hanya mengenal istilah
isntitusi yang disebutnya dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial dan
tidak mengenal sub bab organisasi sosial secara khusus. Untuk organisasi dengan
pembahasan tentang grup, kelompok, dll. Sedangkan Ralph et. al (1977:. 423-4)
mengenal istilah social organization
dan tak menjadikan institusi atau istilah yang sinonim dengannya sebagai bab
atau sub bab. Ini tidak cukup untuk menyimpulkan, bahwa insitusi dikenal di
sosiologi sedangkan organisasi dikenal di antroplogi, namun hanya menunjukkan
bahwa tiap penulis menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut objek yang
sama.
[3]
Literatur berbahasa Indonesia
biasanya menggunakan kata “kelembagaan”, karena mereka menggunakan “lembaga”
sebagai sebutan lain untuk “organisasi”.
[4] “Some institutional
manifestations are indigenous or diffuse and thus are difficult to adress in
terms of technical or financial assistance, so we are focusing on
organizational structure or channels which have been, or could be, more readily
institutionalized” (Uphhof, 1986. Hal. 8). Juga Horton, Paul B. dan Chester L.
Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww-Hill Book Company; Sidney, Tokyo ,
dan lain-lain. Hal. 211.
[5] Dari kacamata
ekonomi, Binswanger dan Ruttan mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution
is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular
pattern of section and relationship. An organization is generally seen as a
decision making unit – a family, a firm, a bureau – that exercise control of
resources….. the concept of institution will include that of organization”
(Binswanger, Hans P. dan VW.
Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology,
Institutions and Development. The Johns
Hopkins University
Press, Baltimore
and London .
Hal. 329).
[6]
Douglass C. North. “Prize Lecture:
Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993 . (http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html.,
27 April 2005 .
[7]
Lionel Robin. “Understanding Institutions: Institutional Persistence and
Institutional Change”. hhttp://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/
events/2004/20031222t0946z001.htm., 27 April 2005 .
[8]
Perubahan ini misalnya dapat ditelusuri pada Mitchell, G. Duncan (ed). 1968.
hal 172-3, dan di bawah entry social institution dan social
organization.
[9]
Perhatikan dua definisi berikut antara yang menggunakan social institution dengan
yang menggunakan social organization. Objek yang dilihat sesungguhnya
sama, namun menggunakan dua kata yang berbeda. Sumner memasukkan aspek struktur
ke dalam pengertian kelembagaan: “An institution consist s of a concept
(idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework,
or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in
prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds the concepts and furnishes instrumentalis for
bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interaest of
men in society” (W.G. Sumner. 1906 Folkways. Ginn and Co., Boston . Hal. 53-4. Dalam Soemardjan dan
Soemardi, 1964. hal. 67. Juga dalam Mitchell, 1968. hal. 99). Sebaliknya
Cooley dalam buku Social Organization
yang terbit tahun 1909, memasukkan objek mental dalam pembahasannya tentang
grup primer. Ia menyatakan: “…. his view of social organization as the
‘diferentiated unity of mental or social life’….. mind and one’s conception of
self are shaped through social interaction, and social organization is nothing
more than the shared activities and understanding which social interaction
requires” (Mitchell, 1968: 173).
[10]
John L. Gillin dan J.P Gillin. 1954. Cultural Sociology. The Mac Millan Book
Company, New York. hal. 313-320. Dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964.
hal. 67.
[11] Casey mengikuti pemikiran Alain Touraine , yang memandang
kehidupan masyarakat modern sebagai: “
….. society conceived as rationally organized around a central system of
institutional and behavioural regulation”.
[12] Vicki D. Alexander dari
University of
Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998.
The New Institutionalism in Sociology. Russell
Sage Foundation: New York .
xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[13] Richard Scott
merumuskan lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and
cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning
to social life” (Scott, 2008: 48).
[14] Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran
sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman
(1979).
[15] Ini serupa dengan kata ”kepresidenan” yang bermakana
segala hal yang berhubungan dengan presiden, dan ”kehutanan” yang bermakna
sebagai hal-hal yang berhubungan dengan hutan. Dalam kamus, tambahan suffix –al
dalam bahasa Inggris menjadikan kata asal yaitu kata benda menjadi kata sifat.
Namun, dalam tata bahasa Indonesia, saya merasa lebih sesuai bahwa kelembagaan,
keorganisasian, kepresidenan, dan kehutanan adalah ”kata benda abstrak”, bukan
”kata sifat”.
[16] Vicki D.
Alexander dari
University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New
Institutionalism in Sociology. Russell
Sage Foundation: New York .
xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[17] Scott merumuskan
lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive
elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning
to social life” (Scott, 2008: 48).
[18] “Institutions do not just constrain options;
they establish the very criteria by which people discover their preferences”
(DiMaggio and Powell 1991:11).
[19] Sebuah lembaga (institution) adalah “ a system of
interrelated informal and formal elements—custom, shared beliefs, conventions,
norms, and rules—governing social relationships within which actors pursue and
fix the limits of legitimate interests. (Nee, 2003: 22). Sementara pada Nee and Swedberg (2005: 797)
definisinya adalah “An institution may be
conceptualized as a dominant system of
interrelated informal and formal elements—customs, shared beliefs, norms, and rules—which
actors orient their actions to when they pursue their interests. In this
view, institutions are dominant social structures which provide a conduit for
social and
collective action by facilitating and structuring the interests of actors and enforcing principal agent relationships”.
[20] Nee juga menggunakan konsep
keterlekatan (embeddedness), yaitu: ”....the nature and structure of
social relationships have more to do with governing economic behavior than do
institutional arrangements and organizational form”. (Nee, 2003: 27)
[21] “It is my strong conviction that
institutional theory provides the most promising and productive lens for
viewing organizations in contemporary society” ( Scott, 2008: viii).
[22] Casey mengikuti pemikiran Alain Touraine, yang memandang kehidupan masyarakat modern sebagai: “ ….. society conceived as rationally
organized around a central system of institutional and behavioural
regulation”.
[23] Menurut Scott, 2008: 22-23: ”Organization
vary in their deggre of institutionalization”, dimana ia menjadi wadah atau
kendaraan untuk melekatnya nilai-nilai.
[24] Menurut Nee (2005: 49),
kelembagaan baru “integrating social relations and institutions,
highlighting the mechanisms that regulate the manner in which formal elements
of institutional structures (distal) and informal social organization of
networks and norms (proximate) facilitate, motivate, and govern economic
action”.
[25] Vicki D.
Alexander dari
University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New
Institutionalism in Sociology. Russell
Sage Foundation: New York .
xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[26] Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran
sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman
(1979).
[27] Menurut Nee (2005: 49),
kelembagaan baru “integrating social relations and institutions,
highlighting the mechanisms that regulate the manner in which formal elements
of institutional structures (distal) and informal social organization of
networks and norms (proximate) facilitate, motivate, and govern economic
action”.