Konsep “Community-Based
Management” (CBM) memberi tekanan kepada “komunitas”. Artinya,
komunitas-lah sebagai pelaku utama dalam pendekatan ini. Semua yang datang dari
luar hanyalah pendukung, hanya untuk membantu. Komunitas didukung melalui
berbagai hal mulai dari penelitian, pengembangan kebijakan, pendidikan dan capacity building, serta mengembangkan networks and linkages.
CBM dapat dilakukan pada komunitas manapun, baik di pertanian, perikanan,
kehutanan, dan lain-lain.
Kenapa komunitas begitu penting? Karena “.... community provides human beings with
the unifying means of elevating the dignity of each person, providing for the
needs and aspirations of all in a group, doing this in harmony with the natural
environment, and making possible the communication and interaction between
other social and political groups”. Begitu besar peran komuitas, karena ia
dapat menjadi representatif kebutuhan individu-individu di dalamnya, dapat
menciptakan keselarasan dengan alam, dan memungkinkan untuk berinteraksi dengan
lembaga-lembaga di luarnya. Suatu komunitas tak akan dapat menutup dirinya
sendiri. Ia harus berinteraksi dan
berkomunikasi dengan komunitas lain, secara lokal maupun global. Ada keterkaitan
yang kuat antara satu komunitas dengan lainnya.
Satu konsep yang dekat dengan CBM adalah adalah Community-Based
Resource Management (CBRM). CBRM adalah suatu pendekatan pembangunan yang
menekankan kepada kesalinghubungan antara manusia dengan segala hal di
lingkungannya. CBRM adalah “… a development
approach that emphasizes the interconnectedness of humans and all other living
beings and their natural environment”. [1]”.
Kerusakan sumber daya alam, akan berdampak kepada kehidupan manusianya. Karena
itu, manusia harus mengontrol aktifitasnya, misalnya dengan selalu menggunakan
sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewal)
dan berkelanjutan. CBRM dimulai dengan pengembangan komunitas (building communities), yang terdiri
atas individu-individu yang paham
tentang ekosistemnya, mengerti tentang tempatnya di dalam ekosistem, dan ingin
bekerja dengan orang lain secara inklusif dan hormat untuk memperbaiki dan
menjaga kesehatan lingkungannya, mencoba untuk menyediakan kehidupan yang
sustain untuk generasi sekarang dan mendatang, serta memiliki komitmen dengan
keadilan sosial (social justice).
CBRM mengintegrasikan ilmu ekonomi, sosial, dan lingkungan dan melihat kepada
berbagai institusi sosial yang ada.
Dari
konsep CBM, lahir pendekatan “Community-Based
Natural Resource Management” (CBNRM) dengan tekanan pada sumber daya alam. CBNRM
adalah “…. an approach of natural resource management by, for and with local
communities with the objectives of improving livelihood and security of local
people, empowering them, and enhancing conservation Efforts” [2]. Pada
prinispnya, CBNRM adalah suatu aktifitas yang menekanakan kepada manajemen
sumberdaya alam oleh, untuk, dan dengan komunitas lokal [3].
Keberlanjutan CBNRM sangat tergantung kepada partisipasi komunitas lokal. Mereka
akan aktif jika mereka mampu melihat keuntungan dengan keterlibatannya dan memiliki
akses (property right) terhadap
sumber daya. Untuk itu, penting untuk memahami pengetahuan lokal masyarakat
setempat, membangkitkan motivasi untuk melakukan konservasi, serta memilih organisasi
lokal yang kuat.
Penduduk
akan terlibat hanya bila mereka melihat keuntungan (tangible benefits) secara kasat mata baik dari siri produk yang akan dihasilkan, jasa yang diberikan, ataupun
pendapatan. Selain itu, mereka mau terlibat bila memiliki kemampuan yang sesuai
dari sisi pengetahuan dan teknologi. Karena itulah, local
indigenous knowledge perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor lain adalah jika ada jaminan untuk dapat
memanfaatkan produk maupun jasa, adanya akses yang terbuka, dan hadinrya
dukungan organisasi lokal.
Dalam
menyusun instrumen kebijakan dan pendekatan, persyaratannya berbeda antar
level. Pada level lokal dan lapang harus
fokus kepada pengembangan sistem manajemen dan bertolak dari kondisi nyata (“real life") penduduk lokal; pada
level menegah (intermediate level),
baik pemerintah maupun NGO harus mampu
menerjemahkan kebijakan menjadi pendekataan pembangunan dalam aktifitas yang
konkret; dan pada level nasional, harus mampu merinci dan mengimplementasikan
kebijakan payung yang tepat.
“Community-Based Management” di Indonesia diterapkan
misalnya di dunia pendidikan menjadi program School-Based Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education. Ketiganya dalam
konteks untuk pengembangan Life Skills.
School-Based Management merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan
pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem. Dalam format ini, kepala
sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional dengan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya (stakeholder sekolah), dianggap memiliki
kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang
dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang
diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Community-Based Education adalah
satu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada
lingkungan kontekstual (ciri, kondisi dan kebutuhan masyarakat) dimana
kelembagaan pendidikan itu berada. Diharapkan orientasi pengembangan program
sekolah akan mampu merefleksikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakat setempat.
Konsep
CBM misalnya juga dapat diterapkan untuk pengawasan kebakaran hutan. Sebagai
contoh, Project Fire Fight South East Asia (PFFSEA) [4]
telah memfasilitasi pembentukan jaringan internasional bagi para peneliti dan
praktisi untuk meneliti, mempromosikan dan mendukung lebih lanjut manajemen
kebakaran berbasiskan masyarakat. Dalam konsep ini penduduk lokal diberikan hak
kontrol tertentu atas sumberdaya-sumberdaya hutan, diatas prinsip demokratisasi
dan desentralisasi. Mengapa melibatkan masyarakat? Karena penduduk lokal
seringkali berada dalam posisi terbaik untuk mengelola dan mencegah kebakaran
pada skala lokal.
Untuk
mengimplementasikan CBM, dapat diawali dengan sebuah focus group discussion yang membahas konsep kerangka kerja atau
model yang umum yang akan digunakan, kisaran
ukuran keberhasilan, serta ragam bentuk intervensi luar yang dibutuhkan. Secara
umum, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah [5]:
(1) tahap masuk ke masyarakat, untuk melakukan persiapan dan penilaian; (2)
perencanaan, termasuk pembentukan kelompok inti, pemilihan lokasi, pembentukan
aturan, penentuan mekanisme pengelolaan dan pengaturan keuangan; (3) penyusunan
perencanaan dan penganggaran; dan (4) implementasi.
Keberhasilan
tidak hanya ketergantungan pada apa yang telah dilakukan pada tingkat desa
tetapi juga pada lembaga yang terlibat dan yang akan mereplikasikan kegiatan
serupa di tempat lain. Faktor-faktor yang akan menjadi kunci di antaranya
adalah: keterampilan dari petugas lapangan yang ditugaskan, pemahaman yang baik
dari pendekatan-pendekatan dari kasus-kasus yang berhasil, dekatnya hubungan lembaga
pendukung di tingkat lokal dengan masyarakat, dan adanya dukungan politik
pemerintah. Dari sisi internal, perlu kepemimpinan organisasi yang cakap,
strategi dan tujuan organisasi yang jelas, sumberdaya manusia dan logistik yang
cukup, pendekatan pengelolaan yang dapat diadaptasikan dalam situasi dan
konteks yang berubah-ubah, harapan-harapan yang wajar terhadap waktu dan usaha
yang diperlukan, serta kelanjutan keterlibatan dengan masyarakat.
Dalam
tahap pra implementasi perlu dibangun capacity
building, serta partisipasi dan sosialisasi
untuk memberikan pemahaman. Kunci pokoknya adalah bekerja penuh dengan
komunitas semenjak dari awal. Secara bertahap, komunitas akan mengambi alih
tangung jawab ketika kapasitasnya juga meningkat. Karena itu, partisipasi dan
dukungan komunitas harus memadai. Untuk itu perlu dilakukan capability building
untuk komunitas. Pelu rasa memiliki masyarakat yang kuat terhadap daerahnya,
pengembangan kapasitas masyarakat, harus menganut pendekatan co-management dimana masyarakat dan
pemerintah secara aktif bekerja bersama, dan adanya pemimpin lokal yang kuat
dan mendukung. Untuk lembaga pendukung dari luar yang terlibat, harus memahami
proses perencanaan partisipatif, mempunyai kepemimpinan yang mendukung dan
punya komitment, memiliki sumberdaya yang cukup dan tenaga pendamping
masyarakat yang terlatih, dan berdomisili di wilayah setempat.
*****
[2] Jay Ram Adhikari. 2001. Community Based Natural Resource
Management in Nepal with Reference to Community Forestry: A Gender Perspective.
Journal of the Environment, Vol. 6 No. 7, 2001. Ministry of Population and
Environment. (http://www.cbnrm.net.
22 Maret 2005).
[4]
Manajemen Kebakaran Berbasiskan Masyarakat (Community Based Fire Management
/CBFiM) (http://www.asiaforests.org/doc/resources/fire/BI_2_indo.pdf.,
6 Mei 2005).
[5] Brian
Crawford, Miriam Balgos dan Cesario R. Pagdilao. 2000. Community-Based Marine
Sanctuaries in the Philippines :
A report on Focus Group Discussion. Coastal Resources Center , University of Rhode Island ,
June 2000. Philippine Council for Aquatic and Marine Research and Development.
(http://www.crc.uri.edu/download/CB_000E.PDF.,
6 Mei 2005).