Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan
salah satu dari beberapa koreksi terhadap “Teori Pembangunan”. Apa yang
dibanggakan dengan “pembangunan” ternyata hanya dirasakan 20 persen penduduk
bumi. Selain itu, terjadi kerusakan yang serius pada sumberdaya alam akibat
eksploitasi yang mengejar keuntungan belaka.
Ide pokok lahirnya konsep “pembangunan
berkelanjutan” (di buku ini saya singkat menjadi “PB”) berasal dari masalah “lingkungan”.
Konsep “berkelanjutan” awalnya merupakan konsep dari kelompok ahli sosial dan ekologi[1],
namun kemudian juga diambil alih oleh orang-orang ekonomi. Ini karena mereka
punya dana dan jaringan untuk mensosialisasikannya dengan cepat. Dalam
konsepnya yang asli, teori ekonomi tidak sejalan dengan ekonomi berkelanjutan,
karena mereka cenderung mengekploitasi alam secara besar-besaran. Koreksi
terhadap pendekatan ini kemudian melahirkan cabang ilmu “ekonomi lingkungan”.
Inti
dari pembangunan berkelanjutan adalah tentang “keberlanjutannya” (sustainable). Dalam batasan formal, “sustain” adalah “the act of one generation saving options by passing them on to the
next generation”. Kata “sustain” bermakna
menopang, menyokong, menahan, dan meneruskan. Sementara “sustainability” adalah “…to leave
future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more”
[2].
Kedua kata ini menunjuk kepada sikap dan perilaku generasi saat ini untuk
mewariskan alam ini dalam kondisi sebaik-baiknya dan seutuhnya untuk generasi
mendatang.
Maka, makna pembangunan berkelanjutan secara
umum adalah “upaya untuk menciptakan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan
peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial,
ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tanpa menimbulkan
dampak negatif terhadap alam”. Dalam konferensi Rio tahun 1994[3]
tercantum: “sustainable development is
development that meets the needs of the present without compromissing the
ability of future generations to meet their own needs”. PB adalah upaya
terencana untuk menjamin kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata
antara generasi sekarang dan yang akan datang. Konsep ini pertama datang dari World Commission on Environment and
Development (WCED) yang dikenal dengan Komisi Brundltland ke PBB tahun
1990. Definsi tersebut terlihat atraktif dan simple, namun tidak mudah dalam
operasionalnya.
Terdapat tiga aspek penting dalam PB, yaitu pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial yang berkelanjutan, dan
pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Tampak, bahwa
ketiganya merupakan revisi terhadap orientasi pembangunan yang terlalu
berlebihan mengejar “pertumbuhan” belaka. Karena PB mengintegrasikan tiga aspek
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) sekaligus, maka juga ada 3 sasaran utamanya,
yaitu: (1) pembangunan sosial, berupa pemberantasan kemiskinan struktural, (2)
pembangunan ekonomi, berupa pola produksi dan konsumsi yang harus diubah ke
arah yang menopang keberlanjutan, dan (3) penyelamatan dan perlindungan ekosistem
agar mampu menopang PB.
Komponen sosial sesungguhnya merupakan bagian
yang penting dalam rumusan PB, selain ekonomi dan ekologi [4].
Jadi, selain perhatian kepada “lingkungan”, PB juga bepusat pada “manusia”.
Menurut Emil Salim [5],
pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan
manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan menyerasikan
sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. PB menjaga keseimbangan antara
kebutuhan manusia untuk meningkatkan hidupnya di satu sisi, dengan pemeliharaan
sumberdaya alam dan ekosistem di sisi lainnya. Jadi, pertumbuhan ekonomi tetap
berjalan, namun bersama-sama dengan proteksi terhadap kualitas lingkungan. Satu
sama lain harus saling bersinergi. Agar lingkungan tetap terjaga, maka manusia jangan mengambil lebih dari apa yang
dia berikan ke alam.
Menurut Ignas Kleden[6],
PB didefinisikan sebagai jenis pembangunan yang di satu pihak mengacu kepada
pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumberdya manusia secara optimal, dan di
pihak lain atau di saat yang sama, memelihara keseimbangan optimal di antara
berbagai tuntutan yang belum tentu sejalan terhadap sumber-sumber daya
tersebut. Ringkasnya adalah, bagaimana membangun tanpa merusak sumber daya[7].
Meskipun sudah disepakati secara formal,
implementasi PB dihadapkan kepada sejumlah hambatan. Pada peringatan lima tahun KTT Rio de Janeiro
tahun 1997, dirumuskan berbagai faktor-faktor penghambat PB, yaitu: (1)
globalisasi ekonomi dan perdagangan yang terlalu cepat, (2) sikap yang menganggap
sumberdaya lingkungan masih sebagai faktor eksternal dalam pembangunan, (3)
pola produksi dan konsumsi yang tidak ramah lingkungan, (4) proyek-proyek
pembangunan ekonomi yang mengabaikan nilai-nilai lokal, hak-hak komunitas, dan
menolak partisipasi, (5) Negara-Negara Utara tidak membantu finansial dan
teknologi untuk Negara-Negara Selatan, (6) pertumbuhan ekonomi diidentikkan
sebagai tingkat peradaban, (7) masih menjalankan ideologi developmentalis, dan
(8) WTO dijadikan alat kepentingan ekonomi negara maju, dan mengambat ekonomi
masyarakat negara berkembang dengan isu lingkungan (memiliki standar ganda).
Salah satu konsep turunan dari PB misalnya adalah
“sustainability community development”.
Dalam kaitan dengan komunitas, maka proses pembangunan harus didasarkan atas nilai-nilai
kemanusiaan (human values), pembelajaran
secara aktif (active learning), komunikasi
dan partisipasi (shared communication and
participation); yang berjalan dalam sistem yang cair yang mengintegrasikan
antara belajar dan bekerja, dan menjadi bagian kultural dan lingkungan.
Ada lima elemen prinsip yang harus
dipertimbangkan untuk tercapainya keberlanjutan yang disingkat menjadi “lima E”,
yaitu[8]:
1.
Economy. Aktifitas ekonomi yang selaras
dengan kemampuan alam. Pembangunan ekonomi harus mampu memproteksi dan
meningkatkan kondisi sumberdaya alam melalui perbaikan manajemen, teknologi,
efisiensi, dan perubahan gaya hidup.
2.
Ekology. Strategi pembangunan ekonomi
harus memahami kapasitas ekosistem yang ada.
3.
Equity.
Harus terjamin akses yang seimbang antara untuk pekerjaan, pendidikan,
sumberdaya alam, dan pelayanan untuk semua orang.
4.
Education. Seluruh warga dan
kelembagaan-kelembagaan memperoleh informasi yang cukup dan komprehensif khususnya
untuk perilaku-perilaku yang memperngaruhi keberlanjutan. Juga harus
dikembangkan kurikulum yang interdisiplin untuk membuka kesempatan pelajar memahami
tentang PB.
5.
Evaluation. Identifikasi kunci-kunci
keberlanjutan yang mengukur arah dan besar dampak dari aktifitas sosial dan
ekonomi terhadap sumberdaya alam dan human
system. Ini akan menyediakan feedback
yang memungkinkan untuk melakukan koreksi terhadap apa yang sedang berjalan
menuju keberlanjutan.
Konsep PB merupakan salah satu prinsip pokok
dalam merumuskan Millenium Goals[9]
memiliki delapan program, yaitu: (1) penghapusan kemiskinan yang ekstrim dan
kelaparan, serta mengurangi setengah jumlah penduduk miskin yang hidup kurang
dari satu dollar AS per hari; (2) akses terhadap pendidikan dasar; (3) mempromosikan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian
balita; (5) peningkatan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan
penyakit menular lain; (7) menjamin keberlanjutan lingkungan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program-program tiap negara untuk
menghambat kerusakan sumberdaya alam[10];
dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan, dengan terus
mengembangkan pasar terbuka dan sistem finansial, termasuk komitmen untuk good governance, pembangunan dan
pengurangan kemiskinan.
Bagiamana
mengukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan? Pembangunan berkelanjutan
bukanlah suatu kondisi harmoni yang diam, namun merupakan sebuah proses evolusi
yang sedang berlangsung, dimana manusia mengambil peran sebagai pelaku
pembangunan, yang berupaya memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengkompromikan
dengan kemampuan generasi selanjutnya untuk juga memenuhi kebutuhannya.
Yang harus
diingat adalah bahwa, PB merupakan masalah pilihan sosial (social choice), yaitu pilihan-pilihan yang dilakukan oleh
individu, keluarga, komunitas, berbagai organisasi dalam masyarakat sipil, dan
pemerintah. PB juga merupakan proses dua arah. Ringkasnya, PB mengikat kita
semua untuk memperhatikan jangka panjang dan memperhatikan tempat kita dalam
ekosistem. Ini membutuhkan refleksi yang terus menerus terhadap berbagai bentuk
aktifitas manusia. Ia membutuhkan perspektif baru bagaimana melihat dunia,
yaitu perspektif yang mampu menjembatani bebagai ide dan disiplin baik
kontemporer maupun tradisional yang
sebelumnya tidak sejalan.
Sebagai panduan, dalam “The Bellagio
Principles”
tercantum prinsip-prinsip untuk menilai keberhasilan PB, yaitu[11]:
1.
Guiding Vision and Goals. Untuk tahu bahwa ada kemajuan
dalam pembangunan berkelanjutan, maka perlu visi yang jelas tentang apa itu
pembangunan berkelanjutan dan tujun yang akan dicapai dari visi tersebut.
2.
Holistic Perspective. Perlu pemahaman terhadap sistem
secara keseluruhan, dan juga bagian demi bagian dari sistem tersebut. Perlu
pertimbangan baik dari sisi
kesejahteraan sosial, ekologi, ekonomi. Dan juga paham konsekwensi positif dan
negatif dari sistem ekologi dan manusia, dalam konsep finansial maupun bukan.
3.
Essential Elements. Pertimbangkan kecukupan namun
juga disparitas secara tepat antara kebutuhan sekarang dengan generasi
mendatang, berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, konsumsi berlebih dan
kemiskinan, human rights, dan akses
terhadap pelayanan. Pertimbangkan pembangunan ekonomi dengan aktifitas non
pasar yang berkontribusi terhadap peradaban manusia.
4.
Adequate Scope. Pahami dari dimensi waktu dan
keruangan.
5.
Practical Focus. Batasi isu-isu untuk
dianalisis, juga jumlah indikator, lakukan standarisasi, dan perbandingan
indikator.
6.
Openness. Susun metode dan data yang dapat
digunakan dan diakses oleh semua pihak, buat pertimbangan ilmiah dan sumsi yang
eksplisit, serta interpretasinya.
7.
Effective Communication. Buat desain yang sesuai dengan
kebutuhan pengguna, gambarkan melalui indikator dan berbagai alat yang
memudahkan untuk pembuat keputusan, dan
gunakan bahasa yang sederhana, terstruktur, dan jelas.
8.
Broad Participation. Raih keterwakilan yang luas sehingga dapat
mewakili kalangan grass-roots, kaum
profesional, kelompok teknik dan sosial, termasuk golongan pemuda, perempuan,
dan indigenous people.
9.
Ongoing Assessment.
Kembangkan kemampuan untuk melakukan pengulangan pengukuran untuk
mempelajari kemajuan, adapatif dan responsif terhadap perubahan dan hal-hal
yang tak terduga, karena sistem bersifat kompleks dan seringkali berubah. Lakukan
adaptasi terhadap tujuan, kerangka kerja, dan indikator berdasakan
temuan-temuan baru di lapangan.
10.
Institutional Capacity. Agar penilaian kontinyu, maka
tegaskan tentang dukungan dan tangung jawab berbagai pihak untuk tugas ini,
sediakan lembaga khusus untuk melakukan pengumpulan data, memelihara data, dan
mendokumentasikannya. Akan lebih baik jika dukung kemampuan kelembagaan lokal
untuk melakukannya sendiri.
*****
[1] Ekologi berasal dari “oikos”, bahasa Yunani, yang berarti “tempat
tinggal, kediaman, rumah, atau rumah tangga”. Ekologi merupakan suatu ilmu
tentang makhluk hidup tidak sebagai individu, tapi sebagai anggota dari
jaringan organisme yang kompleks dan saling terkait satu sama lain, termasuk
manusia. Atau dapat juga disebut dengan studi tentang relasi dan interaksi di
antara berbagai organisme, baik spesies yang sama maupun dengan yang berbeda,
serta dengan lingkungannya. Semua organisme saling terkait erat, dalam satu
interaksi yang saling tergantung secara luas. Pada perkembangannya, kemudian
dikenal tiga kelompok menjadi ekologi binatang, ekologi tumbuhan, dan ekologi
manusia. Ekologi menolak “Teori Lingkungan” yang cenderung antroposentris,
dimana manusia dilihat sebagai makhluk yang terpisah di luar dan di atas alam.
[2] Serageldin, Ismail. 1996. Sustainability
and The Wealth of Nations: First Step in an Ongoing Journey. Environmentally
Sustainable Development Studies and Monogrpah Series No. 5. Washington DC :
World Bank. Hal .3.
[3] Brundtland Commission. 1987. World Commission
on Enviromental and Development 1987. Our Common Future. New York : Oxford University
Press. Hal 43.
[4] Cernea misalnya merasa perlu dimasukkannya
komponen sosial selain ekonomi dan ekologi. (Michael M. Cernea. 1993. The
Sociologist’s Approach to Sustainable Development. Dala: Ismail Serageldin dan
Andrew Steer. eds. 1993. Making Development Sustainable: From Concepts to
Action. Paper Series No. 2, World Bank.)
[5] Brata, Suwandi. (ed) 1992. Pembangunan
Berkelanjutan. Mencari Format Politik. PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan
SPES, Jakarta .
[6] Brata,
Suwandi (ed). 1992. Pembangunan Berkelanjutan. Mencari Format Politik. PT
Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan SPES, Jakarta .
[7] Makna dan implementasi pembangunan
berkelanjutan dapat berbeda antara wilayah. Penelitian Bruce Mitchell (1994.
“Sustainable Development at The Village level in Bali , Indonesia ”.
Human Ecology an Interdisciplinary Journal. Vol. 22 no. 3 September 1994 . (pp. 189-211) di Bali menemukan, bahwa apa yang disebut dengan pembangunan
berkelanjutan adalah adanya keseimbangan antara kekuasaan pemerintah pusat dan
lokal, serta penerapan budaya tradisional yang menekankan kerjasama, konsensus,
serta keseimbangan. Dalam Bali
Sustainable Development Project (BSDP), kontinuitas sumberdaya alam dipandang
sebagai pendukung dasar kehidupan, kontinuitas sumber daya kebudayaan, serta kontinuitas produksi.
Kebudayaan memiliki peran ganda, sebagai kelembagaan yang harus dijaga karena
mengandung nilai-nilai kelestarian terhadap lingkungan, sekaligus sebagai
sumber ekonomi bagi sebagian penduduknya dalam industri turisme.
[8] “Sustainabilty Development
Features:Definitions”. (http://www.gdrc.org/sustdev/definitions.html.,
11 Mei 2005).
[9] http://www.un.org/millenniumgoals/.,
11 Mei 2005.
[10] Mengurangi setengah dari orang-orang yang
tidak akses ke sumber air minum yang sehat dan berkelanjutan, serta berupaya mencapai
peningkatan kehidupan yang signifikan terutama untuk penduduk di daerah kumuh
pada tahun 2020.
[11] Peter Hardi and Terrence Zdan. 1997.
“Assessing Sustainable Development: Principles in Practice”. The International
Institute for Sustainable Development, Canada . (http://www.iisd.org/pdf/bellagio.pdf., 11
Mei 2005).