Istilah “sumber daya manusia”, seringkali
dipendekkan menjadi “SDM”, merupakan
terjemahan langsung dari bahasa Inggris “human
resource”. Dua konsep yang dekat dengan ini adalah “human capital” [1]
dan “human labour”. Ketiganya memiliki
banyak kesamaan, dimana manusia lebih dipandang dari kaca mata ekonomi yaitu
peranannya dalam aktifitas ekonomi, dibandingkan banyak sisi lain dari manusia
yang sesungguhnya dapat diperhatikan.
Dalam teori ekonomi klasik, human labour adalah bagian yang ditambahkan kepada lahan untuk memproduksi suatu produk. Namun, dalam teori ekonomi neoklasik, lahan dan tenaga kerja dipisahkan dari kapital berupa fisik, dimana faktor produksi terbagi menjadi tanah, tenaga kerja, dan kapital. Lebih jauh kemudian, kontribusi tenaga kerja dalam satu produksi dibagi menjadi konribusi murni tenaga kerja dan kontribusi dari ingenuity dan skill (sesuatu yang dipelajari). Pengembangan konsep baru terhadap human capital sangat membantu untuk menjelaskan kesenjangan setelah dihitung kontribusi lahan, tenaga kerja dan kapital. Inilah sesungguhnya peran apa yang disebut dengan human capital, beda dengan labour. Dalam konteks inilah pendidikan menjadi penting.
Ekonomi-politik klasik menganggap bahwa produksi barang dan jasa tergantung kepada tanah, modal (capital), dan tenaga kerja (labour). Ekonomi neoliberal tidak seobyektif itu dalam melihat modal dan tenaga kerja; namun lebih subjektif (subjective-voluntarist). Upah dari seseorang bukanlah “harga” dari tenaga kerja yang dijual, tetapi “laba” dari “modal” yang dipunyainya berupa otot, keterampilan, pengetahuan, dan lain-lain.
Satu penjelasan lain menyatakan bahwa “modal manusia” sesungguhnya terdiri dari dua unsur, yaitu berupa ciri genetis bawaan, serta keseluruhan keterampilan yang dicapai dari gizi, pendidikan, latihan, dan lain-lain. Menurut pendapat lain, sumber daya manusia memiliki dua pengertian, yaitu[5]:
Satu, Usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Disini tekananya pada kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa.
Dua, Manusia yang mampu bekerja memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Ini menunjuk kepada manusianya atau orangnya yang mampu bekerja untuk pekerjaan ekonomi. Kemampuan bekerja diukur dengan usia, sehingga menjadi “usi kerja”. Ia disebut sebagi tenaga kerja atau “manpower”, umumnya adalah mereka yang berumur antara 15 sampai 65 tahun.
Salah satu konsep yang dekat, namun berbeda sisi pandang dengan konsep SDM adalah konsep “kualitas manusia”. Konsep ini memandang manusia secara lebih luas. Secara umum kualitas manusia terdiri atas dua hal, yaitu fisik dan non fisik[6]. Secara fisik, menyangkut tentang kebugaran yang berkaitan dengan kesegaran jasmani, kesehatan, dan daya tahan fisik agar terus produktif. Salah satu cara pengukurnanya adalah melalui Physical quality of Life Index (PQLI), yang mengukur kesejahteraan fisik, yaitu usia harapan hidup waktu lahir, angka kesakitan, angka kematian, kemampuan paru-paru (vo max), serta tinggi dan berat badan. Sementara, kualitas non fisik diukur atas dasar [7]: (1) kualitas kepribadian yang mencakup kecerdasan, kemandirian, kreatifitas, ketahanan mental, serta keseimbangan antara emosi dan rasio; (2) kualitas bermasyarakat berupa kesetikawanan, solidaritas, dan keterbukaan; (3) kualitas berbangsa; (4) kualitas spritual berupa religiusitas dan moralitas; (5) wawasan lingkungan; dan (6) kualitas kekaryaan yang berupa aspirasi dan potensi untuk melakukan kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu sebaik-baiknya.
Satu aspek penting pada manusia yang sering dipelajari adalah “etos kerja”. Etos kerja merupakan sikap dasar, sikap hidup, semangat, dan nilai yang ada pada individu dan masyarakat terhadap kerja. Etos kerja merupakan pola bagi (fungsi nilai) dan unsur pendorong (fungsi sikap) untuk mewujudkan perilaku kerja. Ia merupakan wujud ideal serta wujud mentalitas dari manusia bersangkutan. Etos kerja menyangkut sistem nilai yang dianutnya. Dikenal empat konsep etos kerja yaitu: sebagai nilai, sikap dasar dan sikap hidup, terwujud pada perilaku, dan sebagai bentuk respon terhadap lingkungan.
Secara
umum, sumberdaya manusia (human resources) adalah “…. the people who
are ready, willing and able to contribute to organizational goals” [2].
Artinya, tidak semua manusia disebut sebagai sumberdaya manusia walau semuanya
dapat berpotensi sebagai sumberdaya manusia. Hanya mereka yang yang siap,
ingin, dan berkontribusi nyata yang disebut dengan sumberdaya manusia.
Dalam batasan lain, SDM yang dimaknai sebagai
“the persons employed in a business
or organization”, manusia seringkali
disebut sebagai “personnel”. Kita mengenal, bahwa Bagian Human
Resources yang ada dalam satu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan, dengan melakukan
rekruitmen, seleksi, pelatihan, dan program-program peningkatan kapasitas
lainya. Manusia disini hanya dilihat dari sisi apa yang bisa dihasilkannya.
Ibarat ayam, ia hanya dinilai dari berapa telor yang dihasilkannya tiap hari untuk
perusahaan.
Setidaknya ada dua makna pokok
untuk human resources, yaitu yang
tradisional dan yang modern. Pada pengertian tradisional, human resources adalah manusia yang ada dalam perusahaan dan bidang
bisnis lain, yang menunjuk kepada individu-individu dalam perusahaan, berkaitan
dengan rekruitmen, penggajian, pelatihan, dan lain-lain. Pengertian ini datang
dari konsep dalam ilmu ekonomi dan ekonomi politik, yang biasanya menggunakan
istilah “labor”, sebagai satu dari
dua faktor produksi lainnya yaitu tanah dan modal. Ini adalah pemaknaan yang sempit, yang hanya melihat pada
aspek keterampilan dan kemampuan manusia dalam konteks employment. Dalam pengertian yang sederhana ini, manusia hanyalah
faktor produksi dana sekligus komoditas yang cenderung homogen dan dapat dengan
mudah dipindahkan dan dipertukarkan.
Dalam literatur-literatur lama akan ditemukan
bahwa, SDM sama dengan "physical means of production" [3],
sebagaimana mesin dalam sebuah pabrik. Dalam makna ini, manusia hanyalah aset
perusahaan. Ia mudah dipertukarkan (substituable)
dengan mesin misalnya, kalau perusahaan menginginkannya. Ini adalah makna yang
sempit yang hanya berkenaan dengan keterampilan dan pengetahuan yang berguna
atau bernilai eknomi sehingga orang mau menggunakan dan membayarnya.
Analisis
yang lebih modern melihat bahwa manusia (human beings) tak dapat hanya dipandang semata-mata sebagai sumber
daya yang pasif dan bekerja sesuai kontrak belaka. Manusia mestilah dipandang sebagai makhluk
sosial (social beings) yang dicirikan
oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh makhluk lain di bumi
ini, yang menyumbangkan tak semata-mata
sekedar aspek “labor”-nya saja kepada
masyarakat dan peradaban. Ini adalah konsep yang lebih luas yang telah mencakup
kekomplekkan manusia. Manusia tak hanya memiliki tenaga yang upahnya dapat
dihitung berdasarkan jam kerja, namun juga memiliki intellectual capital yang tidak mudah dinilai kontribusinya.
Dalam
perjalanannya sesungguhnya ada debat antara "human
resources" dengan “human capital”,
sebagaimana debat antara “natural resources” dengan “natural capital”. Namun, seringkali
banyak penulis yang tidak sadar tentang perbedaan tersebut, dan menggunakan
kedua istilah tersebut dalam makna yang sama. Dalam teori human development yang berkembang lebih jauh, SDM telah diperdalam dalam konteks social trust sehingga melahirkan istilah
“social capital”, kemampuannya berkomunikasi dan berbagi
sehingga menghasilkan kemampuan “instructional capital”, dan kemampuan kepemimpinan
dan kreatifitasnya sehingga melahirkan “individual capital”.
Dalam
konteks lain, misalnya dalam berbagai buku statistik akan kita temukan, bahwa
“tenaga kerja” (employed) dibedakan
atas 3 macam, yaitu tenaga kerja penuh (full
employed), tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed) dan tenaga kerja yang
belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed)[4].
Dalam ilmu Ekonomi Sumberdaya Manusia dibicarakan
faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan tenaga kerja, permintaan tenaga
kerja, dan pasar kerja. Investasi untuk SDM disebut dengan human capital, yaitu berupa pendidikan, latihan, migrasi, serta
perbakan gizi dan kesehatan. Lihat, disini digunakan istilah “investasi untuk
SDM”, bukannya SDM itu sendiri adalah investasi. Jika bertolah dari istilah “investasi
untuk SDM”, artinya pada masanya ia harus mampu berproduksi sesuai dengan
investasi tadi. Jika SDM dipandang sebagai investasi, maka implikasinya akan
lebih luas.
Salah satu cara pandang yang agak berbeda dan mendapat
perhatian akhir-akhir ini adalah tentang konsep “modal manusia” menurut Hernando de Soto [8].
Menurutnya, manusia dengan kemauan, pikiran dan tenaga adalah modal
pembangunan. Manusia yang memiliki semangat, sehat, dan kreatif, akan menjadi
tenaga kerja produkstif. Ia mengkritik pandangan ekonomi konvensional, dimana
yang dimaksud dengan modal hanyalah uang (cash
money), serta aset lain yang bernilai ekonomi; sedangkan manusia bukan. De
Soto merubah pandangan tadi, sehingga sumberdaya manusia dipandang sebagai
asset, bukan lagi beban (liabilities)
dalam pembangunan. Dalam konsep baru De Soto, manusia merupakan agen-agen aktif
yang mengumpulkan modal, mengekploitasi sumberdaya alam, dan membangun
organisasi-organisasi sosial. Manusia adalah solusi pembangunan, bukan masalah[9].
Bertolak dari konsep “human resources”, satu aspek
penting yang sering menjadi perhatian dalam dunia ekonomi dan bisnis
adalah konsep “pengembangan sumber daya
manusia” (Human Resources Development =
HRD). Salah satu metode yang digunakan disini adalah metode
pendidikan untuk orang dewasa (andragogi) [10].
Metode andragogi bersama-sama dengan penerapan teori social capital dapat berkontribusi untuk mentransformasikan
masyarakat tradisional, melalui lingkungan belajar yang kondusif, penekanan
pada pentingnya social networks,
kemitraan (partnerships), kerjasama,
dan berbagi pengetahuan (knowledge
sharing). Social capital menyediakan
jaringan yang sangat berarti untuk membantu belajar tentang lingkungan kerja sehari-hari.
Pengembangan sumberdaya manusia dimaksudkan
untuk memastikan bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas akan selalu
tersedia. Beberapa kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dapat
dilakukan melalui pendidikan formal, pelatihan dan penyuluhan. Ketiga
faktor ini menentukan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan merupakan peubah
utama dari kualitas sumberdaya manusia. Makin meningkat pendidikan
seseorang, maka kualitas kerjanya (performance) juga
meningkat. Pendidikan mampu memperluas ranah kognitif, ranah afektif dan
ranah psikomotorik seseorang. Dalam paradigma tradisional, sumberdaya
manusia dalam organisasi hanya dianggap sebagai pelengkap saja [11],
sehingga peran utama sumberdaya manusia lebih bersifat sebagai pelaksana
administrasi.
Manusia
terdiri atas tubuh (fisik, jasad, body), jiwa (roh, soul) dan perpaduan tubuh
dan jiwa (nir fisik). Jika pandangan terfokus pada fisik saja, maka
digunakan istilah tenaga kerja, dimana peubah yang diperhatikan adalah masalah gizi,
hari orang kerja (HOK), jumlah jam kerja, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan manusia sebagai input produksi. Namun sesungguhnya, tubuh dan jiwa
tak terpisahkan. Gabungan tubuh dan jiwa disebut nir fisik, berupa akal dan
ingatan yang mengendalikan tubuh, Maka peubah yang diamati disini adalah:
kemampuan, motivasi, kreativitas, inovasi, kekosmopolitan, empati dan
antusiasme. Hal ini merupakan landasan berfikir dalam pengembangan
sumberdaya manusia. Walau saat ini masih bertumpu pada kemampuan (skill) saja dan sedikit pada
pengembangan motivasi.
Faktor
nir fisik terdiri dari kemampuan, motivasi, kreativitas, inovasi,
kekosmopolitan (cosmopolitness), empati, dan antusiasme (semangat atau spirit).
Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan lebih hanya untuk peningkatan kemampuan,
sedangkan pengembangan motivasi, kreativitas, inovasi, kekosmopolitan, empati
dan antusiasme mengarah pada hal-hal yang mendukung kemampuan untuk mencapai
produktivitas kerja yang tinggi.
“Motif” merupakan daya gerak yang mendorong
seseorang untuk berbuat sesuatu. Sementara, “motivasi” adalah kegiatan
memberikan dorongan, membangkitkan motif atau daya gerak kepada diri sendiri
(motivasi intrinsik) atau kepada orang lain (motivasi ekstrinsik) untuk berbuat
sesuatu dalam rangka mencapai suatu tujuan atau kepuasan. Motivasi dapat
meningkatkan produktivitas kerja pegawai secara signifikan, terutama motivasi
intrinsik.
Berbeda
dengan “motif”, “antusiasme” berhubungan dengan dorongan semangat untuk
mencapai sesuatu harapan. Kemampuan yang tinggi didorong oleh semangat
yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja. Tanpa adanya
semangat, orang tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan atau diharapkan.
Sementara, “kreatifitas” banyak dikembangkan dalam kegiatan pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan agar peserta lebih kreatif dalam mengembangkan
sumberdaya yang ada untuk menghasilkan inovasi baru. Petani dan pegawai
yang kreatif dan inovatif tidak akan mengalami masalah dalam bekerja.
Kekosmopolitan mengarah pada pengembangan
wawasan sumberdaya manusia. Seseorang yang berada di satu tempat saja
tentu mempunyai wawasan yang lebih sempit bila dibandingkan dengan orang yang
sering berpindah tempat. Orang yang sering keluar negeri biasanya
mempunyai wawasan yang lebih luas daripada orang yang hanya berada di
Indonesia.
Empati berhubungan erat dengan kemampuan
mengendalikan emosi dalam berkomunikasi dengan orang lain. Empati membuat
adanya tenggang rasa di antara sesama. Dalam bekerja, tidak hanya kecerdasan
otak atau IQ (Intelligence Quotient) yang
dibutuhkan, tapi juga kecerdasan emosional (Emotional
Quotient = EQ)[12],
karena EQ dapat menjembatani celah antara apa yang diketahui dengan apa yang
dilakukan, serta kecerdasarn spritual (Spiritual
Quotient = SQ). Setiap kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dimaksudkan
untuk mengembangkan aspek fisik dan nir fisik yang menyangkut IQ, EQ dan SQ
yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup sumberdaya
manusia.
Lebih
mendasar dari itu, “Etos” adalah sikap mendasar terhadap diri dan dunia yang
dipancarkan hidup [13].
Ia merupakan aspek evaluatif, berkenaan dengan ide, cita, pikiran yang akan
menceritakan sistem tindakan. Sumber yang kuat untuk menghasilkan etos adalah
keyakinan religius. Artinya, kerja dianggap sebagai kewajiban hidup yang
sakral. Yang lebih bernilai adalah “kerjanya”, bukan “hasil kerjanya”. Selain
dari religi, etos juga dapat berasal dari nilai-nilai budaya dan sikap hidup
suatu masyarakat. Jadi, sumber motivasi kerja seseorang dapat berasal dari
agama yang dianutnya, kebudayaan, sistem soisal, kepribadian, dan
lingkungannya.
Satu
istilah yang sering pula hadir ketika membicarakan masalah sumber daya manusia
adalah “Profesionalisme”, yang
berkenaan dengan pekerjaan pelayanan, dan berkembang dalam bidang manajemen
bisnis. Profesionalisme adalah suatu tipe profesi yang mempertunjukkan suatu
kompleks karakteristik untuk berkembang. Elemen utamanya adalah tanggung jawab
individual, aplikasi dari teknik-teknik intelektual, kecenderungan kepada sikap
yang mandiri (self-organization), dan
peningkatan motivasi altruistik. Seseorang akan menjadi profesional apabila
memiliki keterampilan yang didasarkan
pengetahuan teoritis, keterampilan yang membutuhkan training dan pendidikan,
menunjukkan kompetensi dengan melewati test, integritas, terorganisasi, dan
pelayanan kepada pbulik.
Satu cara mengukur sumber daya manusia adalah melalui
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia
tahun 2004[14], nilai NHDR Indonesia berada pada peringkat
111 dari 175 negara. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index = HDI)[15]
meningkat dari 64,3 persen tahun 1999, menjadi 66,0 persen taun 2002. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) bertolak atas 3 dimenasi dasar, yaitu umur yang
panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiganya berturut-turut
diukur melalui tiga indikator, yaitu: (1) Harapan hidup saat lahir atau indeks
harapan hidup, (2) Indeks pendidikan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah, serta (3) Pengeluaran perkapita, untuk mengetahui indeks
pendapatan.
*****
[1] Dalam The New Encyclopedia Britanica Edisi 15 tahun 1987 volume 18
hal. 105-6 ada entry untuk human capital
dalam bagian “Social and Economic
Education”, namun tidak ada untuk kata human
resource.
[3] Dalam konsep ekonomi neoklasik, misalnya
artikel "Investment in Human
Capital" dalam The American Economic Review in 1961 oleh Theodore
Schultz, serta Jacob Mincer and Gary Becker dalam buku “Human Capital” yang dipublikasikan
tahun 1964.
[4] Menurut batasan BPS, tenaga kerja penuh
adalah tenaga kerja yang mempunyai jumlah jam kerja lebih atau sama dengan 35
jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan uraian tugas,
sedangkan tenaga kerja setengah menganggur adalah tenaga kerja dengan jam kerja
kurang dari 35 jam dalam seminggu. Dan, tenaga kerja yang
menganggur (unemployed) adalah tenaga kerja dengan jam kerja nol sampai satu
jam per minggu.
[5] Simanjuntak,
Payaman J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit
fakultas Ekonomi Universitas Indonesia .
138 halaman.
[6] Dahlan, M. Alwi. 1993. Menjabarkan Kulaitas dan Martabat Manusia
dan Masyarakat. Hal. 3-22. Dalam: Sofian
Effendi et al. (eds) 1993. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial
dalam Pembangunan. Gajah
Mada University
Press Cet.2. 700 hal.(hal. 8-10).
[7] Didasarkan kepada indikator yang dikembangkan oleh Kantor Meneg
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, tahun 1983.
[8] Hernando de Soto 2001. Mistery of
The capital: Whay Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. New York : Basic Books.
[9] Hal ini telah dibuktikan oleh
Singapur, Hongkong , Taiwan , dan Jepang. Manusia-lah
yang menjadi kunci kemajuan yang diperolehnya, meskipun mereka lemah dalam
sumberdaya alam.
[10] Rob F. Poell dan Joseph W. M. Kessels.
Andragogy and Social
Capital Theory: The Implications for Human Resource Development. University of Twente , the Netherlands dan Tilburg University HR Studies Department,
the Netherlands .
[11] Cascio WF. 1995. Managing
Human Resources, Productivity, Quality of Work Life and Profit. 4th
ed. NY: McGraw Hill, Inc.
[12] Menurut Patton P. (1998: EQ
(Kecerdasan Emosional) di Tempat Kerja. Jakarta : Pustaka Delaprasata.
Terjemahan dari: EQ (Emotional Intelligence) in
The Workplace), EQ artinya menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai
tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan di tempat kerja.
[13] Geertz, Clifford. Ethos, World View, and The Analisys of Sacred
Symbols. Dikutip dari Taufik Abdullah. 1988. Agama, Etos Kerja, dan
Perkembangan Ekonomi. Hal. 3.
[14] Dalam
Laporan Pembangunan Manusia Indonesia
(The National Human Development Report =
NHDR) tahun 2004, Ekonomi dan Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia . 20
juli 2004. Kerjasama BPS, Bappenas, dan UNDP.
[15] HDI
diciptakan oleh Dr. Mahbub ul-Haq, dalam upaya memperbesar pilihan-pilihan
manusia di semua bidang kehidupan. HDI
sangat economic tools, sangat
fisikal, dan terlalu mereduksi. Hak atas pangan misalnya direduksi menjadi
“konsumsi” dan “daya beli” belaka.