Kata
“empowerment”, yang diindonesiakan
menjadi “pemberdayaan”, berasal dari kata dasar “empower” yang berarti: “to
invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “to equip or supply with an ability”.
Jadi empower adalah tentang hal menguasakan,
memberi kuasa, atau memberi wewenang sehingga menjadi kuasa. Dari konsep
aslinya, “empower” adalah proses
dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang mereka hadapi dan
mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Atau dalam
kalimat lain, empower adalah: “... taking control over their lives,
setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving
problems and developing self-reliance”. Disini terjadi proses dimana
orang-orang didorong dan dibesarkan hatinya
(encouraged) untuk memperoleh
penuh keterampilan, kemampuan, dan kreatifitas.
Istilah
empowerment telah lahir semenjak
pertengahan abad ke-17 dengan makna “to
invest with authority, authorize”. Dalam pengertian umum ia adalah: “to enable or permit”, atau “leading people to learn to lead themselves”.
Dari banyak batasan, ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu, yaitu
suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. (“.... process of enabling or authorizing an individual to think,
behave, take action, and control work and decision making in autonomous ways”).
Seseorang dikatakan telah empowered ketika
misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri.
Pemberdayaan
juga dapat dilakukan terhadap komunitas. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah
“worthy of the best we humans have to
offer”. Pada langkah awal, perlu dibangun visi personal komunitas terhadap greatness (kejayaan dan kebesaran).
Namun, perhatikan keseimbangan antara authonomy dengan dependence. Dengan memehami dependency,
orang menjadi paham tentang struktur, membantu untuk merasa terkoneksi
dengan orang lain, serta membantu kita belajar dari orang lain.
“Kontrol” merupakan inti dalam pemberdayaan. Ada
tiga tahap untuk membangkitkan pemberdayaan dari sisi ini, yaitu: (1) kontrol
dan pengaruh yang dibatasi dari pihak luar, dengan aktifitasnya berupa pembuatan
keputusan-keputusan minor, pemecahan masalah, dan konsultasi terhadap berbagai keputusan
yang akan dibuat; (2) kontrol yang signifikan; serta (3) peningkatan pemberian
otoritas kepada komunitas, dengan semakin sedikitnya kontrol dan adanya
dukungan untuk membuat keputusan sendiri.
Dari sisi paradigma [1],
pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam
Payne[2],
pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and
action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks
to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use
power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan
membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai
dengan keinginan mereka. Intinya tentu saja “kemandirian”. Ini agak beda dengan
“self determination” yang dikenal
dalam Ilmu Kesejahteraan.
Empowerment pada
prinsipnya menunjuk kepada seluruh upaya “…
to increasing the political, social or economic strength of individuals or groups”. Namun, empowerment dimaknai oleh berbagai pihak
dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari sisi ilmu sosiologi, empowerment memberi perhatian kepada upaya mengurangi diskriminasi
sosial untuk mereka karena perbedaan ras, etnik, religi, dan gender. Dari sisi
pembangunan ekonomi, pendekatan empowerment
memfokuskan kepada upaya untuk memobilisasi kemampuan sendiri golongan
miskin, dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk
mereka. Sementara dalam bidang politik,
pemberdayaan adalah perjuangan untuk penegakan hak-hak sipil serta
kesetaraan jender.
Menurut Bank Dunia[3], empowerment adalah “…. the process of increasing the capacity
of individuals or groups to make choices and to transform those choices into
desired actions and outcomes”. Jadi, empowerment
adalah proses untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara individual
maupun kelompok. Masyarakat yang telah
berdaya (empowered) memiliki
kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri.
Pemberdayaan
mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung. Jadi, ia
lebih berorientasi pada proses, bukan kepada hasil. Untuk itu, partisipasi
harus berlangsung misalnya dengan mengadakan debat terbuka terhadap seluruh
tahapan proses. Tujuan filosofis dari ini adalah untuk memberikan motivasi atau
dorongan kepada masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada
dirinya untuk ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu mandiri.
Terlihat bahwa proses pembelajaran dan adanya proses menuju pembuatan perubahan
yang permanen merupakan kunci utama dalam pemberadayaan.
Konsep pemberdayaan merupakan
ideologi yang mewarnai beberapa paradigma pembangunan lain, misalnya untuk
pengembangan civil society. Pada
tataran bernegara disebutkan bahwa, pemberdayaan dimaknai sebagai partisipasi
yang setara antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tampak bahwa ada
kesejajaran dengan civil society, karena ketiganya adalah juga unsur-unsur
pendukung dalam konsep civil society. Lalu, jika dihubungkan dengan konsep
“demokrasi”, maka fokus pemberdayaan dalam proses pembangunan tertuju pada bagaimana
melakukan transformasi alokasi sumberdaya ekonomi secara adil, sehingga mampu
meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat miskin. Untuk
itu, partisipasi lapisan bawah dibutuhkan untuk mewujudkan pemberdayaan di
semua lapisan.
Asumsi-asumsi dasar yang
melandasi dalam aksi pemberdayaan adalah[4]:
- Suatu tindakan individu harus dipandang sebagai upaya untuk memberdayakan
dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur, atau mencari peluang dari
struktur yang ada.
- Partisipasi diposisikan sebagai tindakan sukarela. Partisipasi
merupakan kunci untuk mewujudkan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil
keputusan serta bersedia menanggung resiko.
- Partisipasi sukarela akan mengarah kepada tindakan yang rasional.
- Program atau proyek dukungan dari luar adalah sumber daya
yang langka.
- Kelompok dimaknai
sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus. Kelompok
diharapkan akan menimbulkan sinergi yang lebih besar, karena ia bersifat
inklusif, tanpa hierarkhi, dan menjaga keharmonisan dengan alam.
Menurut Taylor dan Mckenzie[5],
ada tujuh alasan kenapa inisiatif lokal perlu. Dari sisi pemerintah, inisiatif
lokal dibutuhkan karena pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang
memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga lemah. Dari sisi masyarakat
lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum
termanfaatkan, yang dipandang akan lebih
efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan
masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal,
mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan
menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.
Bank Dunia[6]
selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan
hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment,
social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini
menekankan kepada inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari
aktifitas pembangunan, social capital dapat
diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai
alat operasional [7].
Namun, sebagian pihak melihat ketiga konsep ini saling tumpang tindih.
Konsep empowerment mendapat
penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan mereka. Pemahaman tentang
pemberdayaan telah melewati antar waktu dan antar kultur. Di India misalnya,
perempuan berkasta rendah telah merasa diberdayakan ketika mereka diikutkan
dalam pertemuan warga. Di Brazil, yaitu di Porto Allegre, warga merasa diberdayakan
ketika mereka dilibatkan dalam pembuatan keputusan tentang alokasi anggaran
pemerintahan lokal. Dan di AS, pekerja migran merasa diberdayakan ketika mereka
dapat menegosiasikan kondisi tempat kerja dan gaji mereka dengan pemilik
perusahaan tempatnya bekerja.
Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu
atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk
perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat
miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka
sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan
kesehatan kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya
meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil
pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia. Tak
ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen
tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa satu kunci dalam
pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada
informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan
organisasi lokal.
Bidang apa yang dapat digarap dalam pekerjaan pemberdayaan?
Setidaknya ada lima bidang yang dapat digarap, yaitu penyediaan pelayanan
dasar, peningkatan kapasitas pemerintahan lokal, peningkatan kapasitas
pemerintahan nasional, pengembangan pasar yang pro kemiskinan, dan pengembangan
akses untuk bantuan keadilan dan hukum.
Kita juga pernah mendengar tentang
“riset pemberdayaan”. Khusus dalam aktifitas
riset, pemberdayaan baru bisa terjadi jika mereka yang memberi informasi
terbebaskan dari suatu desain riset sepihak (yang dibuat oleh peneliti); dan
mereka dapat menyampaikan pandangan serta nilai-nilai mereka, dan dapat
bertindak dalam cara-cara yang mampu memberi hasil yang lebih baik menurut
mereka. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, para subyek itu seyogyanya diberi
peluang untuk dapat bekerjasama (dengan peneliti) dalam membuat desain kajian
yang memberi tempat pada nilai-nilai yang mereka anut[8].
*****
[1] “Paradigma” adalah konstelasi teori,
pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan
tema pemikiran tertentu. Apa yang dilihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa
yang dianggap masalah, apa masalah yang dirasa bermanfaat untuk dipecahkan, apa
metoda yang digunakan untuk memahaminya dan berbuat. Paradigma juga bermakna
pilihan, sehingga menjadi tegas apa yang ingin dilihat, serta yang tidak ingin dilihat atau tidak
ingin diketahui. Lebih jauh, paradigma yang dipegang menentukan apa yang yang
disebut baik dan buruk, serta adil dan tidak adil.
[2] Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work
Theory. Second Edition. MacMillan Press Ltd., London . Hal. 266.
[3] “Empowerment”. (http://web.worldbank.org,
11 Mei 2005).
[4] Agusta, I.
2002. Assumption of Empowerment at Workplace in Rural Indonesia .
Makalah: The XVth International Sociological Association (ISA) Congress of
Sociology, Brisbane , Australia . 7-13 Juli 2002.
[5] Taylor ,
D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.
[6] Ada
ruang khusus untuk topik-topik pemberdayaan di situs Bank Dunia, yaitu pada www.worldbank.or/empowerment.
Dalam situs ini, empowerment berada
di dalam entry tentang “poverty”.
[7] Social Capital, Empowerment, and Community
Driven Development. (http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EID=482,
11 Mei 2005).
[8] Pendapat Sajogyo (Dalam: Sarman, Muchtar
(ed). 1998. Dimensi Kemiskinan: Agenda Pemikiran Sajogyo. Kata Pengantar
Mubyarto. Pusat P3R-YAE. Bogor .
Edisi terbatas. 121 hal. Hal. 85).