Jumat, 22 Agustus 2008

Buku "30 Konsep Penting Pembangunan Pedesaan dan Pertanian"

Advokasi

Pada mulanya, istilah “advokasi” merupakan salah satu aktifitas khas dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government Organization (NGO). Pada perkembangannya kemudian, advokasi juga dilakukan oleh kalangan lain di luar LSM, misalnya perguruan tinggi dan kesatuan-kesatuan masyarakat lokal.
Advokasi adalah “…..a strategy that is used around the world by non-governmental organizations (NGOs), activists, and even policy makers themselves, to influence policies”. Pada prinsipnya, advokasi adalah suatu proses yang bersifat strategis dan mengarahkan berbagai kegiatan yang dirancang dengan cermat kepada berbagai kelompok kepentingan (stakeholders) dan pembuat kebijakan. Perjuangan advokasi diarahkan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan kebijakan baik berupa undang-undang, peraturan, program, ataupun sistem anggaran yang merupakan wewenang di tingkat tertinggi berbagai institusi pemerintah, publik, maupun swasta. Pemerintah merupakan institusi yang paling sering dituju dalam suatu advokasi, karena ia merupakan lembaga tertinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan terkuat secara ekonomi dan politik.
Makna paling pokok dari advokasi adalah “pembelaan”. Jika kita telusuri melalui kamus, akan ditemukan bahwa   “advocacy” adalah sebuah kata benda yang identik dengan “support” (=dukungan atau pembelaan)[1]. Lengkapnya adalah: suatu bentuk  pendukungan yang aktif; terutama berupa tindakan membela atau membantah terhadap sesuatu hal (biasanya kebijakan pemerintah),  seperti suatu penyebab masalah, gagasan, atau kebijakan[2].  Dalam kamus, kata “advocacy” sinonim dengan advancement, aid, assistance, backing, campaigning for, championing, defense, encouragement, justification, promotion, promulgation, propagation, proposal, recommendation, upholding, dan urging.
Advokasi merupakan seni untuk mempengaruhi orang per orang, atau pengambil kebijakan secara kolektif, atau penentu kebijakan; untuk mempengaruhi perubahan yang positif dalam satu isu atau situasi.  Tujuan akhirnya adalah perubahan kebijakan itu sendiri. Untuk itu isu perlu diidentifikasi secara spesifik, sehingga aksi bisa dirancang secara sistematis.
Gerakan advokasi penting setidaknya untuk tiga hal, yaitu (1) menciptakan kebijakan baru ketika dibutuhkan namun belum ada, (2) mereformasi kebijakan yang telah ada namun dinilai atau berpotensi merugikan, berbahaya, dan tidak efektif, serta (3) menjamin bahwa kebijakan yang baik akan diimplementasikan dan didukung secara cukup. Tampak, bahwa aspek yang paling pokok disini adalah masalah perubahan kebijakan (policy change).
Lebih jauh, advokasi dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, khususnya ketika diyakini bahwa otoritas untuk tercapainya kesejahteraan tersebut berada di tangan para pembuatan kebijakan  yang berada di atas level rumah tangga. Secara lebih luas, advokasi adalah sebuah strategi untuk melengkapai usaha-usaha memperkuat kapasitas kemandirian (capacity for self-help) masyarakat, memberikan bantuan dan dukungan dalam kondisi khusus, dan penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuknya.
Advokasi pada umumnya terkait dengan masalah hukum dan keadilan. Namun turunannya dapat menjadi berbagai permasalahan umum, misalnya berupa masalah kesehatan masyarakat, kekerasan terhadap wanita, ketidakadilan pada kelompok minoritas,  pendidikan, masalah kaum muda, lingkungan, ekonomi, serta pengembangan komunitas dan hak-hak masyarakat adat.
Advokasi berupaya mempengaruhi pengambil kebijakan, yang membuat hukum dan peraturan, mendistribusikan sumber daya, dan berbagai keputusan lain yang mempengaruhi hidup masyarakat. Tujuan utama advokasi adalah untuk menghasilkan kebijakan, mereformasi kebijakan, dan menjamin suatu kebijakan diimplementasikan. Pembuat kebijaksanaan adalah para pejabat atau mereka yang mempunyai kuasa politis formal, tetapi dapat juga berupa para pemimpin di sektor swasta  yang keputusan dan perilakunya  akan mempengaruhi masyarakat.
Untuk mendefinisikan apa itu advokasi dengan baik, maka dapat dengan memahami beberapa ide kuncinya[3].  Pertama, advokasi adalah tentang kegiatan mempengaruhi (influencing). Yaitu mempengaruhi kebijakan politik. Sebagian orang pada awalnya mungkin memaknai advokasi sebagai tindakan konfrontasi dan melawan pemerintah; padahal bukan. Ia bukanlah semata-mata konfrontasi. Ada banyak pendekatan yang dapat dipilih, misalnya pendekatan publik atau khusus, dengan kerjasama (engagement) atau bahkan konfrontasi, atau berkoalisi dengan pihak lain.
Kedua, advokasi adalah proses yang disengaja dan menyertakan tindakan yang disengaja. Karena itu, sebelum mengimplementasikan strategi advokasi harus jelas siapa yang dituju untuk dipengaruhi dan apa kebijakan yang ingin dirubah. Advocay is the deliberate process of influencing those who make policy decisions.
Ketiga, sesungguhnya pembuat kebijakan (pemerintah, swasta, dan lain-lain) dapat melakukan berbagai bentuk keputusan. Yang perlu diingat adalah bahwa pembuat kebijakan adalah juga manusia secara individual, tidak semata-mata sebuah lembaga, meskipun ia representasi dari lembaganya. Advokasi berupaya mempengaruhi sikap, pengetahuan, dan tindakan individu-individu dari mereka yang menyusun hukum dan peraturan, mereka yang mendistribusikan sumberdaya, dan yang memiliki otoritas untuk mempengaruhi kesejahteraan orang banyak. Maka, advokasi berisi tentang pengiriman pesan kepada mereka tersebut, dan berbagai upaya untuk mempengaruhi mereka.
Apa yang bukan merupakan advokasi? Jika orang bicara advokasi, itu artinya ia tidak sedang bicara tentang “penyuluhan”. Dalam penyuluhan objeknya adalah rumah-rumah tangga, yang diupayakan untuk dirubah perilakunya dalam  bertani atau kesehatan. Yang paling berbeda dengan advokasi adalah, karena penyuluhan didesain untuk mempengaruhi keputusan di level individual dan rumah tangga, bukan keputusan di level pengambil kebijakan (policy makers) yang mempengaruhi rumah tangga tadi.
Advokasi juga bukan kampanye publik untuk merubah praktek-praktek yang khusus, misalnya bagaimana memasyarakatkan penggunaan kondom. Advokasi memang juga mempengaruhi publik untuk merubah cara pandangnya terhadap suatu kebijakan. Kampanye advokasi untuk masalah AIDS dapat dengan mempromosikan dan meminta dukungan dana untuk program penaggulangan AIDS atau kebijakan yang lebih manusiawi untuk mereka yang menderita AIDS.
Mengapa perlu advokasi? Karena faktanya, kebijakan yang dibuat pemerintah memang memberi pengaruh yang nyata kepada kehidupan banyak orang. Policy makers greatly influence the livelihoods of the poor through their decisions and actions [4]. Untuk masalah kemiskinan misalnya, diperlukan kebijakan yang inovatif, karena dengan pendekatan “normal” hasil yang diperoleh kurang efektif. Kebijakan yang tidak segmentatif pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh mereka yang tidak miskin.
Advokasi dapat menjadi alat yang sangat berguna. Ia sangat membantu untuk pekerjaan-pekerjaan pemberian jasa pelayanan kepada masyarakat, capacity building, dan bantuan teknik untuk mendukung peningkatan hidup rumah tangga dan komunitas miskin, untuk penghilangan diskriminasi, dan mencegah  penderitaan dan kematian-kematian yang sia-sia. Namun, advokasi dapat dimulai dengan sebelumnya mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku individual dan rumah tangga. Program keamanan pendapatan (livelihood security) misalnya, akan berjalan apabila menggunakan pendekatan yang holistik dengan mempertimbangkan berbagai pelaku baik di sektor swasta maupun publik yang berkontribusi kepada masalah tersebut. Hasil yang nyata akan terasa apabila kita dapat mempengaruhi kebijakan dan program dari institusi yang kuat (powerful institutions).
Dalam kegiatan advokasi dibicarakan apa yang menjadi dasar suatu kebijakan, bagaimana mendukung perubahan kebijakan secara berkelanjutan, dan mendiskusikan strategi untuk mempromosikan kebijakan dan perubahan sistem. Perlu diperhatikan bagaimana merencanaan strategi advokasi secara baik, juga pengembangan kepemimpinan, menyusun agenda advokasi, dan strategi baru untuk mendukung diri anda dan pekerjaan tersebut. Dalam advokasi perlu diperkuat kapasitas kepemimpinan, dan kemampuan mengembangkan jaringan untuk menghasilakan keadilan sosial (social justice). Adalah penting merencanakan langkah awal (preliminary steps) dan mengembangkan inisiatif untuk advokasi, sebelum sampai kepada pengembangan strategi advokasi, pengembangan pesan (developing messages), menjalin network, dan mengembangkan taktik advokasi [5].
Agar sistematis, maka langkah-langkah aksi perlu dijalankan dengan baik dan berurutan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam advokasi adalah[6]: (1) merumuskan isu, (2) merumuskan tujuan jangka panjang dan tujuan-tujuan strategis, (3) menentukan sasaran advokasi, (4) membangun dukungan, (5) mengembangkan isu atau pesan, (6) memilih saluran-saluran komunikasi, (7) menggalang dana, (8) implementasi, (9) pengumpulan data, serta (10) monitoring dan evaluasi.
Demonstrasi, sebagai salah bentuk advokasi, merupakan salah satu cara menyampaikan kehendak atau tuntutan walau keefektifannya sangat bervariasi. Namun, dalam advokasi sesungguhnya tekanannya lebih diutamakan kepada pengorganisasian gerakan secara baik, sehingga menjadi efektif. Demontrasi secara terbuka hanyalah salah satu opsi metode yang dapat digunakan.
Beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mempengaruh keputusan dari pembuat kebijaksanaan, misalnya adalah dengan mendiskusikan permasalahan secara langsung dengan mereka, menulis di media, atau memperkuat kemampuan organisasi lokal untuk mendukung. Advokasi merupakan satu pilihan sebagai strategi program untuk mengurangi kemiskinan. Ia cocok ketika kita memang ingin mempengaruhi kebijakan yang menjadi sumber dari terjadinya kemiskinan dan diskriminasi tersebut.
Advokasi biasanya dimulai dengan membangun pengikut (constituencies), yaitu  sekelompok pendukung yang diorganisasikan yang mendukung ide advokasi. Karena advokasi berada di ranah publik (public domain), maka kita harus mempertimbangkan bagaimana cara pandang masyarakat setempat, dan memahami bagaimana keputusan dibuat dalam konteks yang khas. Agar efektif, penggagas advokasi juga harus paham bagaimana menseleksi isu advokasi, paham struktur dan kultur masyarakat setempat, dan paham pula bagaimana  cara kerja lembaga politik setempat.

*****




[1] Roget's New Millennium™ Thesaurus, First Edition (v 1.1.1) Copyright © 2005 by Lexico Publishing Group, LLC. All rights reserved.
[2] “The act of pleading or arguing in favor of something, such as a cause, idea, or policy; active support”. (Dalam: The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition Copyright © 2000 by Houghton Mifflin Company. Published by Houghton Mifflin Company. All rights reserved).
[3] Sprechmann, Sofia dan Emily Pelton. 2001. Advocacy Tools and Guidelines: Promoting Policy Change. January 2001. A Resource Manual for CARE Program Managers (www.careusa.org/getinvolved/advocacy /tools/english_01.pdf8 April 2005).
[4] Sprechmann, Sofia dan Emily Pelton. 2001.
[5] Sprechmann, Sofia dan Emily Pelton. 2001.
[6] Kirana, Chandra.  2000. Perencanaan Strategi Komunikasi Advokasi: Manual untuk Fasilitator. Adaptasi dari buku “Networking for Policy Change: an advocacy training manual” oleh The Policy Project.  

Agraria

Agraria merupakan salah satu konsep yang penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namu demikian, konsep ini masih diliputi oleh berbagai ketidaksepahaman di antara para ahlinya. Ketidaksepahaman tersebut sedikit banyak menyumbang pula kepada terhambatnya implementasi konsep tersebut, khususnya di Indonesia.
Secara etimologi, agraria berasal dari bahasa Latin “ager” [1] yang berarti (a) lapangan (b) pedusunan, sebagai lawan dari perkotaan, dan (c) wilayah; tanah negara. Kata lain yang dekat adalah “agger”, yang artinya adalah (a) tanggul penahan/pelindung, (b) pematang, (c) tanggul sungai, (d) jalan tambak, (e) reruntuhan tanah, dan (f) bukit. Dari pengertian ini, tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “pedusunan”, “bukit” dan “wilayah’ jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di “pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia[2].
Pengertian ini sesungguhnya sudah berupaya diadopsi dalam produk-produk hukum di Indonesia, walaupun sebagian besar orang beranggapan bahwa agraria hanya berkaitan dengan masalah “tanah”. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa agraria adalah “seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ....”. Selanjutnya, dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, juga dinyatakan bahwa agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jelas, bahwa agraria tidaklah semata-mata tanah. Juga bukan semata-mata masalah fisik, karena ada aspek sosial, ekonomi, dan politik di dalamnya.
Salah satu aspek penting dalam agraria adalah tentang “pemilikan” dan “penguasaan” [3]. Pemilikan merupakan status hukum antara seseorang dengan sebidang tanah, sedangkan penguasaan lebih kepada aspek ekonomi yaitu akses pemanfaatan seseorang terhadap sebidang tanah. Namun, ada yang membedakannya menjadi:  pemilikan merupakan penguasaan formal, sedangkan penguasaan merupakan penguasaan efektif. Konsep ini dikembangkan dari “land tenure”  dan “land tenancy”.
“Tenure” berasal dari Bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti “memelihara”, “memegang”, dan “memiliki”. Maka, land tenure adalah hak atas tanah atau penguasaan tanah, atau tepatnya tentang status hukum dari penguasaan tanah (hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan juga kedudukan buruh tani). Saementara, land tenancy lebih kepada pendekatan eknomi, yaitu menyangkut tentang penggarapan tanah[4].
Pemikiran yang berkembang di tingkat dunia selama ini telah menyepakati, bahwa negara-negara berkembang sudah saatnya melaksanakan kebijakan pembaruan agraria secara sungguh-sungguh.  Asumsi dasar yang melandasinya adalah, karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil merupakan instrumen yang esensial untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan terutama di pedesaan. Pemikiran ini sudah muncul semenjak Konferensi oleh FAO yang bertajuk “World Conference on Agrarian Reform and Rural Development” tahun 1979. Dalam pertemuan ini, pembaruan agraria merupakan hal yang mendesak dan dilabeli status: “keharusan”. 
Dalam konteks agraria, dua konsep penting yang paling sering menjadi perhatian adalah “Reforma Agraria”  dan “landreform”. “Reforma agraria”, atau pembaruan agraria, berasal dari kata “agrarian reform”. Dalam salah satu tulisannya, Wiradi[5] menyatakan: ”Ada yang mengatakan bahwa land reform adalah sebagian dari agrarian reform, ada yang mengatakan sebaliknya, dan ada yang berpendapat bahwa kedua istilah itu sama saja”. Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi, dimana redistribusi tanah tidak diutamakan. Namun dapat pula dengan menitikberatkan kepada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, dengan sasaran utama adalah redistribusi tanah.
Di Indonesia, tampaknya yang dianut adalah bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform. Artinya, landreform dipakai untuk sekitar redistribusi tanah, sedangkan agrarian reform kepada pengertian yang lebih luas dan komprehensif, menyangkut berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian[6].
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point yang ditulis tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama bicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya.
Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring dalam pembaruan agraria. Namun sayangnya, sebagian besar pihak hanya tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform.
Dari berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. Landreform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian “soil”, yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria - atau pembaruan agraria - tidaklah semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain, sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan sekumpulan aktifitas bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya.
Struktur permasalahan agraria di Indonesia, serta apa yang dapat dilakukan pada masing-masing aspek tersebut disajikan pada tabel berikut.

Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya
Masalah yang dihadapi saat ini
Aktifitas Pembaruan Agraria yang relevan

Aspek Landreform

Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan adat), tekanan demografis,   kondisi ekonomi (mis. lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain.


o  Konflik penguasaan dan  pemilikan  secara vertikal dan horizontal
o  Inkosistensi hukum (antara UUPA dan “turunannya”)
o  Ketimpangan penguasaan dan pemilikan
o  Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis
o  Ketidaklengkapan dan inkosistensi data
o   

o  Penetapan objek tanah landreform
o  Penetapan petani penerima
o  Penetapan harga tanah dan cara pembayaran
o  Pendistribusian tanah kepada penerima
o  Perbaikan penguasaan, (mis. perbaikan sistem penyakapan)
o  Penertiban tanah guntay (absentee)

Aspek Non-Landreform

Dibentuk oleh faktor geografi, topografi,  kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global,   tekanan demografis,   ketersediaan teknologi,  ketersediaan kredit,     keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain


o  Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis
o  Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal
o  Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah
o   

o  Berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah
o  Pembangunan infrastruktur
o  Peningkatan produktifitas tanah
o  Perbaikan sistem pajak tanah
o  Pemberian kredit usahatani
o  Penyuluhan dan penelitian
o  Penyediaan pasar pertanian
o  Pengembangan keorganisasian petani


Salah satu bentuk kegiatan dalam reforma agraria adalah “konsolidasi tanah”.  Secara umum, konsolidasi tanah adalah penguatan nilai dan fungsi tanah sebagai hasil penataan bentuk, luas, dan letak dari banyak bidang tanah dari banyak pemilik pada satu lokasi, sehingga menjadi tertib dan teratur yang mendukung pemanfaatan tanah secara efektif dan efisien sesuai potensinya. Dalam kegiatan ini juga dilengkapi dengan barbagai prasarana, sarana, dan fasilitas. Konsolidasi tanah di wilayah perkotaan lebih ditujukan kepada penataan pemukiman, lokasi perniagaan, dan untuk tranportasi; sedangkan untuk wilayah pedesaan berisi tentang dimana lokasi pertanian, perkebunan, areal untuk konservasi sumber daya alam, dan lain-lain. Konsep tentang konsolidasi tanah dalam arti luas misalnya diadopsi menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada wilayah propinsi maupun kabupaten dan kota.
Pertanian merupakan aktifitas paling pokok yang berkaitan dengan agraria[7]. Dalam konteks pembangunan pedesaan dan pertanian, maka persoalan tentang tanah merupakan masalah pokok agraria. Ada empat permasalahan agraria di Indonesia secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-perundangan, penguasaan yang timpang, konflik penguasaan dan penggunaan [8], serta degradasi sumber daya alam [9]. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik penguasaan, lahan kritis dan marjinal, tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan  semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan antar petani.
Pembangunan pertanian di Indonesia, yang diwujudkan dalam payung Revolusi Hijau, adalah sebuah strategi pembangunan pertanian tanpa landreform. Dalam Revolusi Hijau hanya dibicarakan tentang “penggunaan dan pengmanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.
Meskipun di Indonesia, implementasi landreform masih terkendala, namun pembangunan pertanian harus jalan terus. Selain berbagai aspek yang sudah dicakup dalam Revolusi Hijau, masih banyak hal lain yang sesungguhnya dapat dilakukan. Salah satunya adalah dengan penataan “bagi hasil” yang lebih adil. Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah ”tenancy”, yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah yang bukan milik si penggarap. Dalam pengertian ini tercakup sewa dan bagi hasil sekaligus. Orangnya disebut tenant atau share cropper, sementara owner crooper adalah petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Di AS dikenal istilah cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil.

Secara umum, “bagi hasil” adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa Belanda disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia[10]. Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua  unsur produksi (modal dan kerja), dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan “sewa”, dalam bagi hasil  si pemilik tetap memegang kontrol usaha.

Bagi hasil dikenal di seluruh daerah di Indonesia[11]. Di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua;  di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya. Pemerintah telah berupaya mengendalikan bagi hasil melalui UU Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No. 2 tahun 1960 untuk pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk perikanan. Namun, kedua peraturan ini hampir tidak ada penerapannya sampai sekarang karena berbagai alasan.
Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih besar. Khususnya dalam asumsi bahan yang dibeli bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.

*****




[1] Berasal dari tulisan SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi “Menelusuri Pengertian Istilah Agraria, Bogor, 1 Oktober 2001 (mimeo) yang dikutip oleh Sitorus (2002: 27).
[2] Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria. (hal 25-40). Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds). 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Yayasan Akatiga, Bandung. Hal. 28. Juga dalam Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal 312-313. (Dalam: S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta).
[3] Atas dasar aspek penguasaan ini, dilakukan pelapisan sosial atas hak milik  atas tanah. Maka misalnya dikenal pembagian atas lapisan atas jika lebih luas dari 0,5 ha, lalu lapisan menengah, sempit atau gurem jika kurang dari 0,5 ha, dan lapisan buruh dan petani tak bertanah (tuna kisma). (Dalam  Pujiwati Sajogyo. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta dan BKKBN, Jakarta).
[4] Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
[5] Wiradi, Gunawan. 1984. Hal 313.
[6] Wiradi, Gunawan. 1984. Hal 314.
[7] Keputusan Presiden No. 169 tanggal 26 Agustus 1963 tentang tanggal lahirnya UUPA No. 5 tahun 1960, menetapkan tanggal 24 September sebagai “Hari Tani Nasional”.
[8] Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya  Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta  kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan.
[9] Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR No.IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
[10] Terdapat dalam hukum Hammurabi pada lebih kurang 2300 SM. (Dalam: Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.).
[11] Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
*****

Agribisnis

Makna secara harfiah “agribisnis” adalah ketika bertani sudah dipandang sebagai sebuah kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Lawannya adalah bertani sebagai subsisten. Dalam filosofi agribisnis, usaha pertanian perlu dijalankan sebagai mana layaknya sebuah aktifitas bisnis. Dua kata kuncinya adalah: untung dan efisien. Cara berpikir bisnis menjadi mutlak, ketika berbagai aktifitas yang esensial yang berkaitan dengan pertanian sudah dilakukan secara terpisah dan jauh dari sawah dan ladang (farm). Artinya, jika tidak mau menggunakan prinsip-prinsip bisnis, maka usaha pertanian apapun akan bangkrut.
Pengertian yang paling ringkas tentang  “agribisnis” adalah “agriculture regarded as a bussiness”. Agribisnis mencakup seluruh aktifitas mencakup  produksi,  penyimpanan (storage), distribnusi, dan processing bahan dasar dari usahatani; serta  suplai input dan penyediaan pelayanan penyuluhan, penelitian, dan kebijakan lain. Agribisnis telah menjadi bagian dari bentuk ekonomi modern, ketika aktifitas pertanian tidak lagi semata-mata hanya usahatani (farming). Banyak aktifitas terpisah dari usahatani yang menjadi faktor penentu pengembangan sebuah kegiatan pertanian. Pertanian membutuhkan pupuk yang diproduksi oleh pihak lain di tempat lain, demikian juga dengan produksi benih, kegitaan prosesing, pergudangan, dan distribusi. Adopsi teknologi dan perkembangan tatanan masyarakat, telah menyebabkan usahatani menjadi semakin terspesialisasi dan businesslike. Agribisnis mencakup bisnis banyak bidang, mulai dari usahatani, penyediaan benih, kimia (agrichemicals), mesin pertanian, perdagangan, processing, marketing, and perdagangan seceran (retail sales).
Sebagai sebuah aktifitas bisnis, maka skala menjadi penting. Karena itu kita mengenal pula salah satu definisi yang menyatakan agribisnis adalah “Farming engaged in as a large-scale business operation embracing the production, processing, and distribution of agricultural products and the manufacture of farm machinery, equipment, and supplies”. Agribisnis adalah aktifitas pertanian dengan skala besar, bukan sekala kecil sebagaimana pertanian subsisten (small family farms).
Menurut Davis dan Goldberg [1], agribisnis adalah rangkaian semua kegiatan mulai dari pabrik dan distribusi alat-alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produski pertanian, pengolahan, penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang yang dihasilkannya. Sistem agribisnis terdiri dari lima subsistem, yaitu: (1) agribisnis hulu (up-stream agribussiness) berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi pertanian, (2) pertanian primer atau disebut subsistem budidaya (on-farm agribussiness), (3) agribisnis hilir (down-stream agribussiness) atau subsistem pengolahan, adakalanya disebut dengan “agroindustri”, (4) subsistem perdagangan atau tata niaga hasil, dan (5) subsistem jasa pendukung berupa kegiatan penelitian, penyediaan kredit, sistem transportasi, pendidikan dan penyuluhan, dan kebijakan makro. Paradigma agribisnis berdiri di atas lima premis dasar, yaitu bahwa usaha pertanian haruslah profit oriented; pertanian hanyalah satu komponen rantai dalam sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang [2].
Ada satu pihak yang berpendapat bahwa agribisnis yang konsepnya dikembangkan di Amerika tersebut, sesungguhnya memiliki tujuan terselubung, yaitu ingin menguasai sumber-sumber daya negara-negara berkembang yang tidak mungkin lagi dikuasai dalam bentuk imprealisme seperti dulu. Penguasaan tersebut adalah dengan menciptakan ketergantungan petani terhadap teknologi-teknologi baru di bidang pertanian yang dikuasai sepenuhnya oleh negara maju, serta melalui sistem pasar terbuka antar negara yang tidak akan pernah berimbang dan adil.

Strategi pembangunan pertanian dengan menerapkan konsep agribisnis, sesungguhnya terdiri dari 3 tahap perkembangan yang semestinya terjad secara berurutan: yaitu:
  1. Agribisnis berbasis sumberdaya yang digerakkan oleh kelimpahan sumber daya sebagai faktor produksi (factor-driven), dan berbetuk ekstensifikasi agribisnis dengan dominasi komoditas primer.
  2. Agribisnis berbasis investasi (investasi-driven) melalui percepatan industri pengolahan dan industri hulu serta peningkatan sumberdaya manusia.
  3. Agribisnis berbasis inovasi (innovation-driven), dengan kemajuan teknologi. Komoditas bersifat padat ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik, serta nilai tambah yang besar dan pasar yang lebih luas.

Konsep agribisnis cepat berkembang. Konsep baru tentang agribisnis tidak lagi melihat sumberdaya alam dan asset sebagai titik tolak, namun customer. Kekuatan bisnis harus didasarkan kepada soft asset (tenaga kerja), bukan lagi hard asset berupa tanah, mesin dan bangunan. Aktifitas agribisnis tidak lagi harus terkonsentrasi secara geografis. Penguasaan asset pun sudah berubah dari owning asset menjadi cukup ke control asset. Jadi, pengusaha agribisnis tidak harus memiliki asset sendiri, namun yang penting adalah menguasainya ketika diperlukan. Jika sebelumnnya tenaga kerja dianggap sebagai beban, maka agribisnis ke depan harus memandangnya sebagai investasi. Pertanian tidak harus dipandang secara sempit sebagai farming belaka, namun lebih kepada proses produksi dan distribusinya. Tekanan yang sebelumnya diberikan kepada teknologi, mesti juga harus diubah menjadi ke masalah kelembagaan [3]. Bersamaan dengan itu, perhatian berlebihan kepada “efisiensi” pun sudah harus dialihkan kepada aspek “lingkungan”.
Di Departemen Pertanian, agribisnis diyakini dapat menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Karena agribisnis memiliki kemampuan untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional, mempromosikan kesejahteraan, pertumbuhan yang berkelanjutan, dan keseimbangan di antara pelaku maupun wilayah. Agribisnis dan pengembangan sistem agribisnis diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat untuk pembangunan ekonomi di Indonesia[4]. Arah Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis di Departemen Pertanian menuju empat tujuan yaitu membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis[5].
Agribisnis, baik konsep maupun implementasinya, cukup banyak dikritik. Pada sebagian pengkritik, agribisnis disejajarkan dengan konsep “corporate farming”, yang dikontraskna dengan konsep “family farm”. Konotasi negatif ini datang dari filosofi konsep "business" dan "corporation" yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang khas dari cara berpikir kapitalisme dan korporatisme.
Agribisnis juga dikritik karena dirasa tidak sesuai dengan petani di Indonesia. Menurut Mubyarto dan Santosa [6], bertani bagi sebagian besar petani di Indonesia selain untuk memperoleh pendapatan, adalah juga sebuah cara hidup (way of life atau livehood). Karena itu, petani selain sebagai homo economicus, juga harus dilihat sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah, harus dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis, sejalan dengan perubahan ilmu ekonomi menjadi ideologi, bahkan semacam agama. Ini terjadi dalam iklim, dimana model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian.
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun sesungguhnya perlu beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma tersebut, karena paradigma tersebut bukanlah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita [7]. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani dengan luas tanah sangat kecil, petani gurem, penyakap, dan buruh tani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita kepada mereka, yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Adalah tidak tepat jika hanya menghitung untung-rugi dan efisiensinya, namun sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moralitasnya. Jadi, mungkin agribisnis memang sudah sepantasnya untuk usaha-usaha pertanian yang berskala besar, misalnya perkebunan swasta, namun tidak  untuk semua petani.
Satu istilah yang sangat dekat dengan agribisnis adalah “agroindustri”. Agroindustri memiliki banyak makna. Dalam konteks teknologi, agroindustri adalah “.. a process of manufacture, preparation, preservation, packaging and commercialization, makes use of technology” [8] . Dalam skope sempit, agroindustri adalah sejumlah aktifitas yang memproduksi material dari barang primer (dari pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan), lalu memprosesnya yang dapat mencakup transformasi dan pengolahan secara fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Dalam pengertian luas, agroindustri merupakan seluruh aktifitas dalam rangkaian pertanian, sehingga menjadi sinonim dengan pengertian agribisnis[9].
Secara definisi, agroidustri adalah aktifitas mentransformasikan bahan baku hasil pertanian menjadi bahan jadi atau setengah jadi.  Disini terlibat kegiatan pengolahan yang merupakan perubahan fisik dan kimiawi, ataupun perubahan bentuk dan komposisi. Juga dicakup kegiatan penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Sebagian kalangan menyebut ini sebagai kegiatan “pasca panen”, meskipun pasca panen lebih kepada aspek teknisnya saja.
Suatu aktifitas tergolong sebagai agroindustri bila ada indikasi meningkatknya nilai tambah, menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan digunakan atau dimakan, meningkatkan daya simpan, serta menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Agroindustri biasanya diklasisfikasi atas empat level transformasi, yaitu: (1) trasformasi rendah hanya berupa pembersihan dan grading, (2) transformasi menengah yang melibatkan kegiatan pemotongan, penggilingan, dan pencampuran, (3) transformasi lanjut dengan adanya pasteurisasi, pemasakan, pengalengan, dehidrasi, ekstraksi, dan lain-lain, serta (4) transformasi rumit yang menyangkut chemical alteration dan texturization.

*****





[1] Davis, J. dan R.Goldberg. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard University, Boston, USA.
[2] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II  No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005)
[3] Dalam konteks ini, dikembangkan satu ide “agribisnis berbasis komunitas”. Pengusaha (perusahaan agribisnis) dan komunitas petani berinteraksi secara sinergis melalui kekuatan-kekuatan sosial ekonomi terhadap modal alami, yaitu modal ekonomi yang dikuasai oleh pengusaha dan modal sosial yang dikuasai kaum tani. Modal sosial adalah berupa institusi-institusi hubungan produksi pertanian yang bersifat informal-rasional, misalnya ragam bentuk penyakapan tanah (land tenancy) dan pengupahan buruh tani. (Sitorus, M.T. Felix dkk. 2001. “Agribisnis Berbasis Komunitas: Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial”. Diterbitkan untuk PT Sang Hyang Seri (Persero) Jakarta dan Pusat Kajian Agraria, LP IPB, Bogor. Hal 5-6).
[4] Bungaran Saragih. "Agribusiness System Development as a Prime Mover of the National Economy". Menteri Pertanian (http://www.deptan.go.id/english/konsep_e/5.5.2.htm., 9 Mei 2005).
[6] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II  No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005).
[7] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II  No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005).
[8] Concept definition: Industry dealing with the supply, processing and distribution of farm products. (Source: PHC). http://www.isnar.cgiar.org/ppp/demands.htm., 9 Mei 2005.
[9] Frank Hartwich, Willem Janssen, and Jaime Tola. “Public-Private Partnerships for  Agroindustrial Research: Recommendation from an Expert Consultation”. (http://www.isnar.cgiar.org/publications/pdf/bp-61.pdf., 9 Mei 2005).

Analisa SWOT

SWOT merupakan kependekan dari strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opprotunity (kesempatan), dan threat (ancaman). Analisa SWOT adalah analisa dengan menggunakan keempat faktor tersebut secara bersamaan. Keempatnya merupakan dua faktor internal dan dua faktor eksternal. Faktor-faktor internal adalah kekuatan dan kelemahan, dan dua faktor eksternal adalah kesempatan dan ancaman. Dari sisi lain, kekuatan dan kesempatan dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang positif, sedangkan kelemahan dan ancaman adalah faktor-faktor negatif.
Analisa SWOT - ada buku yang menyebut dengan “TOWS analysis” -  pertama kali dikenal dalam manajemen perusahaan bisnis tahun 1960-an, yang digunakan terutama untuk menyusun rencana pemasaran. Namun kemudian, karena kepraktisannya, alat ini berkembang untuk berbagai organisasi dan manajemen. Bahkan, prinsip dan metodanya dapat pula digunakan untuk perencanaan pembangunan pedesaan, yaitu untuk pengembangan produksi pedesaan (pertanian maupun industri). Dalam konteks ini, desa dianggap sebagai satu unit sosial, ibarat sebuah perusahaan yang memproduksi sejumlah barang atau jasa. Analisa SWOT dapat diterapkan untuk melihat desa secara keseluruhan, namun juga dapat untuk tiap-tiap unit kelembagaan di dalamnya misalnya untuk memahami bagaimana mengembangkan sebuah koperasi, sebuah kelompok tani, sebuah kelompok usaha, dan lain-lain.
Analisa SWOT merupakan salah satu bentuk analisa situasi yang sedang dihadapi. Secara sederhana, analisa SWOT adalah “… a simple framework for generating strategic alternatives from a situation analysis”. Dalam pembangunan pedesaan, alat ini mampu menyediakan kerangka analisa terhadap situasi yang dihadapi, untuk menggali masukan dari masyarakat, membangkitkan dan menggodok solusi serta kendala-kendala yang potensial, serta untuk mengumpulkan informasi yang berguna dalam aktifitas evaluasi nantinya.  Sebagai contoh, jika analisa digunakan dalam mengevaluasi proyek yang berjalan baik, maka “kelemahan” adalah apa elemen proyek yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, “kesempatan” adalah bagaimana poitn-point “kelemahan” tersebut dapat diatasi dan dibangun , dan “ancaman” adalah kendala yang ditemui dan yang akan menurunkan peluang yang sudah  di depan mata.
SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategis [1]. Analisa SWOT menyediakan sebuah kerangka pemikiran untuk lebih fokus melihat masalah. Umumnya analisa ini banyak ditujukan untuk penerapan dalam aktifitas bisnis. Analisa SWOT merupakan sebuah alat analisis yang cukup baik, efektif, dan efisien, serta cepat dalam menemukenali kemungkinan-kemungkinan. Ia dapat melihat seluruh kemungkinan perubahan masa depan sebuah institusi dengan pendekatan yang sistematik melalui proses instropeksi dan mawas diri ke dalam, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Makna dan pesan yang paling mendalam dari analisa SWOT adalah, apapun cara-cara serta tindakan yang diambil, proses pembuatan keputusan harus mengandung dan mempunyai prinsip berikut ini; kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap kesempatan, dan hilangkan ancaman. Agar efektif, analisa SWOT harus fleksibel, karena situasi dan kondisi yang cepat berubah. Maka analisis harus sesering mungkin dibuat dan disesuaikan.
Kenapa menggunakan analisa SWOT? Karena ia adalah alat yang sangat efektif untuk mengidentifikasi situasi. Kerangka pikir SWOT (SWOT framework) akan membantu untuk memfokuskan aktifitas kita ke dalam area dimana kita memiliki kekuatan, dan dimana peluang terbesar berada.
Langkah pertama dalam membuat analisis SWOT adalah membuat sebuah lembaran kerja dan membentuk empat kuadran, masing-masing kotak berisi satu untuk kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Langkah berikutnya adalah membuat daftar item spesifik yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi di bawah topik masing-masing. Daftar agar dibatasi misalnya sampai 10 poin saja, untuk menghindari generalisasi yang berlebihan [2]. Untuk mengisi masing-masing kotak tulis jawaban untuk berbagai pertanyaan berikut, atau bisa menggunakan pertanyaan yang mirip [3]
1.      Untuk mengetahui kekuatan, jawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa yang kelebihan yang kita punyai? Pekerjaan atau aktifitas spesifik apa yang dapat kita kerjakan dengan lebih  terampil dibanding orang lain?  Apa sumber daya yang relevan yang kita miliki? Apakah orang lain melihat kelebihan kita tersebut?
2.      Untuk mengetahui kelemahan: Apa aspek yang dapat ditingkatkan di dalam organisasi kita? Bagian apa yang kinerja selalu jelek? Kesalahan apa yang harus dihindari dan tidak terulang lagi terus-menerus?
3.      Untuk mengetahui peluang: Dimana kesempatan baik yang dimiliki? Gejala apa yang sedang berkembang atau menjadi trend di lingkungan kita?
4.      Untuk mengetahui ancaman: Apa hambatan yang sedang dihadapi? Apa yang dilakukan oleh pesaing usaha kita? Apakah dibutuhkan perubahan untuk ragam produk dan jasa? Apakah perubahan teknologi akan mengancam posisi kita? Adakah masalah hutang piutang dan finansial? Akankah segala kelemahan yang dimiliki akan mengancam bisnis kita secara keseluruhan?
Untuk mengembangkan bisnis misalnya, hal-hal yang biasanya menjadi kekuatan atau kelemahan adalah pengalaman, sumberdaya yang dimiliki, originalitas ide, pelayanan kepada konsumen, tingkat efisiensi yang mampu dicapai selama ini, keunggulan kompetitif, infrastruktur, dan kualitas produk yang dihasilkan. Sedangkan hal-hal yang dapat menjadi kesempatan atau ancaman adalah: perjanjian dan kerjasama bisnis yang sudah ada sebelumnya, produksi baru (barang atau jasa) yang ada di pasar, meningkatnya kejenuhan pasar, dan target terhadap segmen pasar yang baru [4].
Siapa yang melakukan analisa? Analisa SWOT dapat dilaksanakan secara individual atau oleh sekelompok orang. Teknik secara kelompok akan lebih  efektif khususnya dalam menggambarkan struktur, objektifitas, kejelasan dan fokus untuk diskusi mengenai strategi; sehingga tidak akan melantur, atau bahkan akan terpengaruh interest perseorangan yang kuat [5]. Idealnya tim analisa terdiri atas beragam bidang dan latar belakang (cross-functional team), misalnya melibatkan akuntan, bagian penjualan, manajer  eksekutif, ahli mesin (engineer), dan bagian hukum.    
SWOT sangat praktis dan tidak boros terhadap waktu, serta efektif karena kesederhanaannya. Ia dapat digunakan secara kreatif, sehingga dapat membentuk dan membangun fondasi, dimana dapat menciptakan sejumlah rencana strategis untuk pengembangan program-program baru. SWOT adalah sebuah teknik yang sederhana, mudah dipahami, dan juga bisa digunakan dalam merumuskan strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan. SWOT tidak mempunyai akhir. Artinya, ia akan selalu berubah sesuai dengan tuntutan jaman. Karena itu, analisa SWOT harus sering dilakukan.
Beberapa keuntungan atau kelebihan menggunakan analisa SWOT adalah:

  1. Mereka yang terlibat akan merasakan bahwa SWOT adalah alat yang mudah untuk menerangkan, mudah dalam penggunaan, dan mudah pula untuk dipahami oleh anggota komunitas sampai kepada yang level intelegensinya rendah sekalipun.
  2. Alat ini dalat digunakan untuk membuat analisa masalah (problem analysis), memonitor, dan juga untuk mengavaluasi kegiatan yang sedang berjalan.
  3. Alat ini menyediakan kerangka untuk pemahaman yang seimbang antara faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
  4. Terbuka, dalam, dan terfokus, karena diskusi akan difasilitasi jika menerapkan metodenya.
  5. Memungkinkan bahwa seluruh ide dari satu masalah didskusikan secara seimbang.
  6. Dapat merekam perubahan dalam sikap dan persepsi suatu masyarakat jika analisa dilakukan secara teokus dan konsisten.

Analisa situasi internal dan eksternal akan dapat menghasilkan banyak sekali informasi, dimana sebagian besar mungkin tidak terlalu relevan. Analisa SWOT menyaring informasi tersebut menjadi lebih sedikit, dan menjadikannya tertata (manageable). Jadi, analisa SWOT sangat berguna jika waktu yang tersedia terbatas untuk membuat suatu analisa situasi yang kompleks. Kelebihan lain adalah, analisa SWOT lebih informal sehingga dapat menggali partisipasi lebih baik. Partisipasi juga lebih terdorong, karena informasi yang digunakan adalah berupa informasi kualitatif, sehingga keterlibatan semua orang menjadi mungkin.
Hasil analisa SWOT biasanya berupa profil SWOT (SWOT profile). Yaitu berupa sebuah tabel dengan empat kotak, dimana masing-masing berisi point-point yang termasuk sebagai S, W, O, dan T. Alat yang biasa dipakai adalah matrik SWOT, yang menggambarkan bagaimana menggabungkan antara faktor internal dan eksternal, sehingga menghasilkan empat bentuk strategi sebagai berikut:
           



Eksternal
Internal

Strengths (S):
Tentukan faktor-faktor yang  merupakan kekuatan internal
Weaknesses (W):
Sebutkan berbagai faktor yang menjadi kelemahan organisasi
Opportunities (O):

Indikasi berbagai faktor ekternal yang bersifat positif untuk organisasi
Strategi S-O

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang yang tersedia
Strategi W-O

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan organisasi sehingga mampu memanfaatkan peluang.
Threats (T):

Tentukan berbagai faktor eksternal yang bersifat negatif bagi organisasi

Strategi S-T

Ciptakan strategi yang menggunakan kelebihan organisasi namun sekaligus mengurangi pengaruh negatif dari ancaman eksternal

Strategi W-T

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.

Meskipun banyak kelebihannya, analisa SWOT juga memiliki kelemahan. Sifat terlalu menyederhanakan (oversimplify) dari situasi yang dihadapi, seringkali menghasilkan kebingungan dalam menempatkannya. Kita sering bingung, apakah satu situasi internal akan dianggap digolongkan kekuatan atau kelemahan, dan apakah satu situasi eksternal akan diklasifikasikan sebagai kesempatan ataukah ancaman. Sebagai contoh, perubahan teknologi dapat dianggap sebagai ancaman ketika masyarakat dan prasarana tidak mendukung, namun juga dapat dikategorikan kesempatan jika kondisinya siap. Yang jadi masalah adalah, bagaimana kita dapat mendefinisikan situasi yang sedang kita hadapi secara tegas.
Selain itu, juga dapat ditemui berbagai kontradiksi, misalnya antara konteks ekonomi, sosial, dan lingkungan. Profil SWOT untuk satu komunitas pedesaan tidak cukup jika hanya dibuat dalam konteks ekonomi saja, namun memasukkan konteks lain. Permasalahannya adalah apa yang dianggap sebagai faktor kekuatan dalam konteks ekonomi, dapat menjadi kelemahan dalam konteks lingkungan.
Pada umumnya SWOT hanya mencerminkan pandangan seseorang atau kelompok, dimana hanya mencerminkan keberpihakan dalam menilai tindakan yang telah ditentukan sebelumnya, daripada digunakan sebagai alat untuk menemukenali kemungkinan-kemungkinan peluang baru. Hal penting yang perlu perhatikan bahwa kadang-kadang ancaman juga dapat dipandang sebagai kesempatan, tergantung orang atau kelompok yang terlibat. Ada pepatah yang menyatakan, "Seorang yang pesimis adalah orang yang melihat kegagalan di dalam suatu kesempatan, dan seorang yang optimis adalah orang yang melihat kesempatan di dalam suatu kegagalan" [6]. SWOT memang memungkinkan sebuah institusi untuk mengambil cara yang singkat daripada melakukan sebuah penelitian khusus kekuatannya yang sesuai dengan kesempatan, namun ini dapat mengabaikan kesempatan yang tidak dirasakan.
Dalam konteks analisa organisasi, dikenal pula alat “PEST analysis”. PEST adalah kependekan dari "Political, Economic, Social, and Technological " [7]. Analisa ini menerangkan kerangka pikir dari faktor-faktor lingkungan makro yang digunakan untuk memahami kondisi lingkungan (environmental scanning). Dalam konteks SWOT, analisa PEST dapat untuk membantu memahami faktor eksternal.
Faktor-faktor yang diperhatikan dalam PEST analysis secara sederhana dikelompokkan atas faktor politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Faktor politik mencakup misalnya berupa kebijakan pajak, hukum tenaga kerja, peraturan-peraturan tentang lingkungan,  pembatasan perdagangan, tarif, dan stabilitas politik. Faktor ekonomi mencakup pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga, nilai mata uang, dan tingkat inflasi. Faktor sosial melihat kepada aspek kultural termasuk kesadaran masyarakat tentang kesehatan, tingkat pertumbuhan populasi, distribusi penduduk atas kelompok umur, dan etos kerja. Faktor teknologi adalah aspek ekologi dan lingkungan yang dapatmenjadi pembatas, dan minimum produksi untuk efisiensi.  
Salah satu alat lain untuk membantu memahami permasalahan organisasi adalah “Analisa Tulang Ikan”. Analisa tulang ikan dipakai untuk mengkategorikan berbagai sebab potensial dari satu masalah atau pokok persoalan dengan cara yang mudah dimengerti dan sistematis. Alat ini dapat membantu dalam menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses,  dengan cara memecah proses menjadi sejumlah kategori yang berkaitan dengan proses, mencakup manusia, material, mesin, prosedur, kebijakan dan sebagainya. Langkah-langkah yang ditempuh adalah: menyiapkan sesi sebab-akibat, mengidentifikasi akibat, mengidentifikasi berbagai kategori, menemukan sebab-sebab potensial dengan cara sumbang saran, mengkaji kembali setiap kategori sebab utama, dan mencapai kesepakatan atas sebab-sebab yang paling mungkin. Manfaat Analisa Tulang Ikan adalah untuk memperjelas sebab-sebab suatu masalah atau persoalan yang dihadapi [8].




[1] Bartol, K.M., & Martin, D.C. 1991. “Management”. New York: McGraw Hill, Inc.
[2] Johnson, G., Scholes, K., & Sexty, R.M. 1989. “Exploring Strategic Management”. Scarborough, Ontario: Prentice Hall. (dalam Gatot Subroto. Staf Teknis pada Pusat Inovasi, Balitbang Diknas. ”Analisa SWOT: Tinjauan Awal Pendekatan Manajemen”.  Sebuah Pengenalan Inovasi Program pada Sekolah Kejuruan. (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/analisis_swot_gatot.htm., 4 Juli 2005).
[3] “SWOT Analysis: Understanding Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats”. (http://www.mindtools.com/swot.html., 4 Juli 2005).
[4] Hill, T. and Westbrook, R. 1997. "SWOT Analysis: It's time for a product recall". Long Range Planning, vol 30, no 1, tahun 1997.
[5] Glass, N.M. 1991. “Pro-active Management: How to Improve Your Management Performance”. East Brunswick, NJ: Nichols Publishing.
[6] Gatot Subroto. Staf Teknis pada Pusat Inovasi, Balitbang Diknas. ”Analisa SWOT: Tinjauan Awal Pendekatan Manajemen”.  Sebuah Pengenalan Inovasi Program pada Sekolah Kejuruan. (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/analisis_swot_gatot.htm., 4 Juli 2005).
[7] Adakalnya analisa PEST dimodifikasi misalnya menjadi analisa STEP, STEEP atau PESTLE (Political, Economic, Socio-cultural, Technological, Legal, Ethical).
[8] “Total Quality Management: Analisa Tulang Ikan”. (http://www.deliveri.org/guidelines/how/hm_1/hm_1_2_4i.htm., 4 Juli 2005).