Kamis, 21 Agustus 2008

Pemberdayaan


Kata “empowerment”, yang diindonesiakan menjadi “pemberdayaan”, berasal dari kata dasar “empower” yang berarti: “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “to equip or supply with an ability”. Jadi empower adalah tentang hal menguasakan, memberi kuasa, atau memberi wewenang sehingga menjadi kuasa. Dari konsep aslinya, “empower” adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (willingness) untuk mengkritisi dan  menganalisa situasi yang mereka hadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Atau dalam kalimat lain, empower adalah: “... taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing self-reliance”. Disini terjadi proses dimana orang-orang didorong dan dibesarkan hatinya  (encouraged) untuk memperoleh penuh keterampilan, kemampuan, dan kreatifitas.
Istilah empowerment telah lahir semenjak pertengahan abad ke-17 dengan makna “to invest with authority, authorize”. Dalam pengertian umum ia adalah: “to enable or permit”, atau “leading people to learn to lead themselves”. Dari banyak batasan, ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu, yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. (“.... process of enabling or authorizing an individual to think, behave, take action, and control work and decision making in autonomous ways”). Seseorang dikatakan telah empowered ketika misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri.
Pemberdayaan juga dapat dilakukan terhadap komunitas. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah “worthy of the best we humans have to offer”. Pada langkah awal, perlu dibangun visi personal komunitas terhadap greatness (kejayaan dan kebesaran). Namun,  perhatikan keseimbangan antara authonomy dengan dependence. Dengan memehami dependency, orang menjadi paham tentang struktur, membantu untuk merasa terkoneksi dengan orang lain, serta membantu kita belajar dari orang lain.
 “Kontrol” merupakan inti dalam pemberdayaan. Ada tiga tahap untuk membangkitkan pemberdayaan dari sisi ini, yaitu: (1) kontrol dan pengaruh yang dibatasi dari pihak luar, dengan aktifitasnya berupa pembuatan keputusan-keputusan minor, pemecahan masalah, dan konsultasi terhadap berbagai keputusan yang akan dibuat; (2) kontrol yang signifikan; serta (3) peningkatan pemberian otoritas kepada komunitas, dengan semakin sedikitnya kontrol dan adanya dukungan untuk membuat keputusan sendiri.
Dari sisi paradigma [1], pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne[2], pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Intinya tentu saja “kemandirian”. Ini agak beda dengan “self determination” yang dikenal dalam Ilmu Kesejahteraan.
Empowerment pada prinsipnya menunjuk kepada seluruh upaya “… to increasing the political, social or economic strength of individuals or groups”. Namun, empowerment dimaknai oleh berbagai pihak dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari sisi ilmu sosiologi, empowerment memberi perhatian kepada upaya mengurangi diskriminasi sosial untuk mereka karena perbedaan ras, etnik, religi, dan gender. Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan empowerment memfokuskan kepada upaya untuk memobilisasi kemampuan sendiri golongan miskin, dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk mereka. Sementara dalam bidang politik,  pemberdayaan adalah perjuangan untuk penegakan hak-hak sipil serta kesetaraan jender.
Menurut Bank Dunia[3], empowerment adalah “…. the process of increasing the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices into desired actions and outcomes”. Jadi, empowerment adalah proses untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara individual maupun kelompok. Masyarakat yang  telah berdaya (empowered) memiliki kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri.
Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung. Jadi, ia lebih berorientasi pada proses, bukan kepada hasil. Untuk itu, partisipasi harus berlangsung misalnya dengan mengadakan debat terbuka terhadap seluruh tahapan proses. Tujuan filosofis dari ini adalah untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada dirinya untuk ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu mandiri. Terlihat bahwa proses pembelajaran dan adanya proses menuju pembuatan perubahan yang permanen merupakan kunci utama dalam pemberadayaan.
Konsep pemberdayaan merupakan ideologi yang mewarnai beberapa paradigma pembangunan lain, misalnya untuk pengembangan civil society. Pada tataran bernegara disebutkan bahwa, pemberdayaan dimaknai sebagai partisipasi yang setara antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tampak bahwa ada kesejajaran dengan civil society, karena ketiganya adalah juga unsur-unsur pendukung dalam konsep civil society. Lalu, jika dihubungkan dengan konsep “demokrasi”, maka fokus pemberdayaan dalam proses pembangunan tertuju pada bagaimana melakukan transformasi alokasi sumberdaya ekonomi secara adil, sehingga mampu meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat miskin. Untuk itu, partisipasi lapisan bawah dibutuhkan untuk mewujudkan pemberdayaan di semua lapisan.
Asumsi-asumsi dasar yang melandasi dalam aksi pemberdayaan adalah[4]:

  1. Suatu tindakan individu harus dipandang sebagai upaya untuk memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur, atau mencari peluang dari struktur yang ada.
  2. Partisipasi diposisikan sebagai tindakan sukarela. Partisipasi merupakan kunci untuk mewujudkan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan serta bersedia menanggung resiko.
  3. Partisipasi sukarela akan mengarah kepada tindakan yang rasional.
  4. Program atau proyek dukungan dari luar adalah sumber daya yang langka.
  5. Kelompok dimaknai  sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus. Kelompok diharapkan akan menimbulkan sinergi yang lebih besar, karena ia bersifat inklusif, tanpa hierarkhi, dan menjaga keharmonisan dengan alam.
Menurut Taylor dan  Mckenzie[5], ada tujuh alasan kenapa inisiatif lokal perlu. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan,  yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.
Bank Dunia[6] selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional [7]. Namun, sebagian pihak melihat ketiga konsep ini saling tumpang tindih.
Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.  Pemahaman tentang pemberdayaan telah melewati antar waktu dan antar kultur. Di India misalnya, perempuan berkasta rendah telah merasa diberdayakan ketika mereka diikutkan dalam pertemuan warga. Di Brazil, yaitu di Porto Allegre, warga merasa diberdayakan ketika mereka dilibatkan dalam pembuatan keputusan tentang alokasi anggaran pemerintahan lokal. Dan di AS, pekerja migran merasa diberdayakan ketika mereka dapat menegosiasikan kondisi tempat kerja dan gaji mereka dengan pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia. Tak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa satu kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal.
Bidang apa yang dapat digarap dalam pekerjaan pemberdayaan? Setidaknya ada lima bidang yang dapat digarap, yaitu penyediaan pelayanan dasar, peningkatan kapasitas pemerintahan lokal, peningkatan kapasitas pemerintahan nasional, pengembangan pasar yang pro kemiskinan, dan pengembangan akses untuk bantuan keadilan dan hukum.
Kita juga pernah mendengar tentang “riset pemberdayaan”. Khusus dalam aktifitas riset, pemberdayaan baru bisa terjadi jika mereka yang memberi informasi terbebaskan dari suatu desain riset sepihak (yang dibuat oleh peneliti); dan mereka dapat menyampaikan pandangan serta nilai-nilai mereka, dan dapat bertindak dalam cara-cara yang mampu memberi hasil yang lebih baik menurut mereka. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, para subyek itu seyogyanya diberi peluang untuk dapat bekerjasama (dengan peneliti) dalam membuat desain kajian yang memberi tempat pada nilai-nilai yang mereka anut[8].
*****
[1] “Paradigma” adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran tertentu. Apa yang dilihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang dirasa bermanfaat untuk dipecahkan, apa metoda yang digunakan untuk memahaminya dan berbuat. Paradigma juga bermakna pilihan, sehingga menjadi tegas apa yang ingin dilihat,  serta yang tidak ingin dilihat atau tidak ingin diketahui. Lebih jauh, paradigma yang dipegang menentukan apa yang yang disebut baik dan buruk, serta adil dan tidak adil.
[2] Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press Ltd., London. Hal. 266.
[4] Agusta, I. 2002. Assumption of Empowerment at Workplace in Rural Indonesia. Makalah: The XVth International Sociological Association (ISA) Congress of Sociology, Brisbane, Australia. 7-13 Juli 2002.
[5] Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.
[6] Ada ruang khusus untuk topik-topik pemberdayaan di situs Bank Dunia, yaitu pada www.worldbank.or/empowerment. Dalam situs ini, empowerment berada di dalam entry tentang “poverty”.
[7] Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development. (http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EID=482, 11 Mei 2005).
[8] Pendapat Sajogyo (Dalam: Sarman, Muchtar (ed). 1998. Dimensi Kemiskinan: Agenda Pemikiran Sajogyo. Kata Pengantar Mubyarto. Pusat P3R-YAE. Bogor. Edisi terbatas. 121 hal. Hal. 85).