Jumat, 22 Agustus 2008

Kebudayaan


Culture berasal dari bahasa Latin “colere” yang berarti “to cultivate”. Dalam makna yang paling dasar, “culture” (yang diindonesiakan menjadi “kultur”, “kebudayaan”, atau “budaya”) merupakan segala sesuatu yang ada di alam ini yang bukan disediakan oleh alam (nature). Jadi, ringkasnya, dunia ini hanya terbagi atas dua hal saja, yaitu: culture dan nature. Pengertian seperti ini tampak jelas pada kalangan antropologi, dimana “kebudayaan” menurut mereka adalah segala sesuatu hasil karya dan cipta manusia yang merupakan hasil kreasi manusia untuk kehidupannya.
Dalam pengertian yang paling umum, kebudayaan adalah hasil upaya yang terus-menerus dari manusia di dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya. Selain yang sudah dilakukan dan diciptakan, juga tercakup apa yang masih dicita-citakan, termasuk norma, pandangan hidup, dan sistem nilai.
Kebudayaan seringkali diartikan secara sempit hanya sebagai “kesenian”. Sebaliknya, kalangan ahli sosial mengartikan sangat luas yaitu: ”seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya dari manusia yang tidak berakar dari nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar” [1]. Konsep ini mencakup seluruh bentuk aktfitas manusia dalam kehidupannya. Menurut Koentjaraningrat[2], karena begitu luasnya makna kebudayaan, maka di kalangan ahli, kebudayaan dipecah ke dalam unsur-unsurnya. Ada tujuh unsur dalam kebudayaan, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasian kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharaian hidup (ekonomi), serta sistem teknologi dan peralatan.
Secara sederhana ada yang mendefinisikan kebudayaan sebagai “the way of thinking, feeling, believing, and behaving”. Sementara menurut UNESCO, kebudayaan adalah “total and distinctive way of life of a people or society”. Jadi, kebudayaan merupakan pandangan yang menyeluruh menyangkut pandangan hidup, sikap, dan nilai dalam kehidupan. Ini relatif sejalan dengan Raymond Williamns, yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah “the general body of arts. A whole way of life, material, intelectual, spiritual”. Kebudayaan merupakan instrumen atau alat dalam kehidupan masyarakat, dimana nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi patokan dan sekaligus tujuan hidup.
Kebudayaan diberi definisi yang sangat banyak, karena banyaknya aspek yang membentuk kebudayaan dan juga beragamnya pendekatan untuk memahaminya. Banyak cabang ilmu berkembang yang mempelajari kebudayaan, misalnya[3]cultural philosophy yang mempelajari aspek filsafat dari satu kebudayaan, cultural processes yang mempelajari aspek epistemologi kebudayaan, serta cultural anthropology dan cultural ecology yang mempelajari aspek antropologi kebudayaan.  Dari dimensi sosiologi dikenal cultural sociology yang mempelajari struktur sosial dan elemen-elemen kebudayaan, dan cross-cultural comparative studies yang mempelajari dari sisi ekonomi. Sementara itu, ilmu politik biasanya mempelajari kaitan kebudayaan dengan pembangunan. Selain itu juga dipelajari  aspek semiotic-linguistic yang memperdalam kebudayaan sebagai gudang simbol (signs), aspek philological yang mempelajari literatur, aspek psikologi mempelajari perbandingan kebudayaan dan  kognitif, aspek aesthetic mempelajari seni (termasuk visual, teater, dan musik), cultural heritage dan cultural history yang mempelajari sejarahnya; serta studi media yang mempelajari televisi, video, dan internet di tengah masyarakat. Dinamika masyarakat kontemporer dipelajari secara khusus melalui  Cultural Studies yang saat ini telah menjadi bidang sendiri dan banyak diminati.
Kita juga mengenal berbagai konsep turunan sebagai upaya untuk menjelaskan tentang kebudayaan. Ada sebagian ahli yang membedakan kebudayaan atas “kebudayaan material”, yaitu  segala produk yang dilahirkan berupa materi; serta “kebudayaan non material” yang adakalanya disebut “budaya adaptif”, yaitu kemampuan atas perubahan materi yang terjadi.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu[4]:

1.     Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, noma-norma peraturan, dan sebagainya. Ini disebut sebagai “wujud idel kebudayaan” yang sifatnya abstrak (ideofact), sehingga tak dapat diraba dan difoto, karena ia berada di dalam kepala-kepala atau dalam pikiran manusia.
2.     Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, yang disebut sebagai “wujud sistem sosial” atau “wujud kelakuan kebudayaan” (sociofact).
3.     Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, atau disebut dengan “wujud fisik kebudayaan” (artefact).

Ada perdebatan, apakah kebudayaan merupakan “produk” atau “proses”?. Menurut pandangan “esensialis terhadap kebudayaan” yang melihat kebudayaan sebagai produk, nilai-nilai dan norma-norma telah selesai, mantap, baku, dan mandiri. Asumsinya adalah bahwa perilaku ditentukan oleh nilai dan norma, dimana  nilai dan norma ada di “dunia ide” yang otonom, sedangkan tingkah laku adalah pantulan yang tidak sempurna dari nilai dan norma tersebut. Kaitan dengan pendapat ini seringkali kita mendengar ungkapan: “jangan salahkan kebudayaan, salahkan orangnya”.
Padahal kenyataannya, pendukung suatu kebudayaan secara aktif memberi bentuk dan isi pada kebudayaan mereka. Artinya, kebudayaan adalah wacana yang terus menerus dikonstruksikan secara sosial, atau kebudayaan dianggap sebagai proses. Korupsi misalnya pada akhirnya telah menjadi kebudayaan, dan diterima sebagai cara berperilaku yang kemudian dicari-carikan pembenarannya[5].
Jadi, jika ada satu perilaku menyimpang dalam masyarakat, jangan dilihat sebagai penyimpangan, tapi lihat potensinya untuk menjadi sesuatu yang baru yang berpotensi untuk dibakukan dalam kebudayaan tersebut. Ini sesuai dengan pandangan konstruksionis terhadap kebudayaan, yang menyatakan bahwa “orang yang tidak sanggup melakukan apa yang dipercayainya, akan cenderung percaya percaya apa yang dilakukannya”.
Semenjak akhir 1990-an di Indonesia mulai ramai pembicaraan tentang “multikulturalisme”. Ini merupakan paham yang mengedepankan kesetaraan dalam perbedaan. Multikulturalisme adalah suatu relasi pluralitas yang didalamnya terdapat problem mayoritas-minoritas, ada perjuangan pengekauan eksistensial, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice). Ia mengangkat sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Bukan keanekaragaman suku bangsa yang diutamakan, tapi lebih kepada keanekaragaman kebudayaan. Individu dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya, dimana mereka menjadi bagian darinya. Pada akhirnya akan dicapai kesederajatan secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Jadi, multikulturalisme adalah kata sifat, yaitu sikap normatif atas fakta keragaman (multikultural). Sikap ini sangat dibutuhkan Indonesia, karena kita memiliki 25 rumpun bahasa, lebih dari 250 rumpun dialek, dan lebih dari 400 kelompok etnik atau suku bangsa, serta 5 agama resmi ditambah kepercayaan[6].
Sementara itu, “pluralisme” adalah pandangan yang menghargai kemajemukan, penghormatan terhadap sang lain yang berbeda (others), membuka diri terhadap warna-warni keyakinan, kerelaaan untuk berbagi (sharing), keterbukaan untuk saling belajar (inklusivisme), keterlibatan untuk mencari persamaan-persamaan (common belief), dan menyelesaikan konflik-konflik.  Gerakan Neo-pluralisme dimulai dengan gerakan anti kemapanan di Eropa tahun 1970-an, berupa Punk, Hippies, Underground, Skinhead, Bohemian, dan lain-lain. Disini terjadi peralihan isu-isu lama dari agama, suku, dan ras; menjadi isu-isu tentang gender, subkultur, ekologi, dan budaya populer. 
Sejak 1970-an telah timbul diskusi untuk memadukan antara culture dengan development, yang juga menjadi agenda UNESCO. Ini datang dari kenyataan bahwa model pembangunan yang diciptakan banyak menghasilkan ketidakpuasan, terutama karena terlalu sempitnya mendefiniskan pembangunan hanya kepada sesuatu yang visual, yaitu pembangunan irigasi, pabrik, rumah, serta produksi makanan dan minuman. Kebudayaan memang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, namun mensyaratkan perlunya menggeser paradigma dari  statis culture yang memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang statis menuju ke progressive culture.
Pembangunan dapat pula dipandang sebagai sebuah strategi kebudayaan. Disini dilakukan pengembangan budaya melalui berbagai institusi yang ada pada level negara dan masyarakat. Pendidikan merupakan kunci dalam implementasinya. Pembangunan dengan menggunakan strategi kebudayaan dapat dimaknai sebagai “… that set of capacities that allows groups, communities and nations to define their futures in an integrated manner”.
Soedjatmoko pernah membahas, bahwa pembangunan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah kebudayaan (economic development as cultural problem) [7]. Disini kebudayaan diartikan sebagai pertautan etika kerja dan nilai-nilai kerjasama. Menjadikan kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi telah dibahas mendalam dalam ilmu sejarah, antropologi, dan sosiologi. Misalnya Gunnar Myrdal yang pada tahun 1960-an membandingkan antara “negara lembek” dengan “negara keras”. Negara lembek adalah negara yang kaya sumberdaya alam namun gagal dalam pembangunan, seperti Brazil dan Indonesia.  Sedangkan negara keras adalah negara posisinya tidak strategis dan juga miskin sumberdaya alam namun sukses, yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Salah satu bentuk pembangunan kultural (cultural development) yang populer adalah community cultural development (CCD)[8], atau dapat kita indonesiakan menjadi pembangunan komunitas berbasis kultural. CCD didasarkan kepada kerangka untuk memahami bahwa ada ketidaksepahaman di antara mereka yang terlibat dalam pembangunan, baik sebagai subjek maupun objek. Titik tolak dalam CCD adalah  community development. Namun, CCD lebih dari community development, karena ada tambahan unsur seni (art) di dalamnya.
Ini merupakan pendekatan yang unik, karena semua pihak dituntut untuk bekerja secara kreatif dengan komunitas menurut sifat dan kondisi mereka, dalam permasalahan mereka, melalui praktek-praktek kebudayaan. Akan terjalin kolaborasi secara setara antara artis dan pekerja kebudayaan (cultural workers) dengan komunitas,  yang mengintegrasikan seni dan kebudayaan dalam komunitas. Praktek CCD ditandai dengan keterlibatan komunitas di berbagai level, dalam manajemen proyek, dalam pengembangan ide-ide kreatif, dan dalam penciptakan kerja seni. Kadangkala ini berkenaan dengan pemecahan masalah secara kreatif, dan penggunaan seni untuk membuat permasalahan terlihat berbeda[9].
Membicarakan tentang kebudayaan perlu memahami beberapa konsep, terutama tentang adat, moral, etika, nilai, dan norma. Adat berasal dari kata Arab “aadab” yang bermakna sebagai kebiasaan. Ia merupakan berbagai perilaku yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
Sementara “adat istiadat” (custom) adalah pola tingkah laku suatu masyarakat yang dibentuk dari pranata-pranata kebudayaan. Jika ini dilanggar ada sanksi atau hukuman sosial. Untuk tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat, sanksinya lebih keras, misalnya dengan denda dan pengusiran.

“Nilai” (values) berkenaan dengan standar penghargaan yang dianut bersama oleh anggota suatu masyarakat. Ia merupakan konsep-konsep abstrak dalam diri manusia, tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Jadi, nilai adalah ide dan gagasan tentang hal-hal yang berharga, namun abstrak. Nilai berfungsi sebagai pedoman terhadap pembentukan norma, serta yang lebih rendah lagi berupa hukum dan aturan-aturan. Di Indonesia selama ini, nilai-nilai yang hilang misalnya adalah rasa takut bersalah, rasa malu, dan rasa takut pada hukum. Sementara, untuk pembangunan ekonomi kita membutuhkan nilai persaingan, serta nilai stratgei, nilai tahan uji, dan nilai-nilai wirausaha. Mental bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat adalah suka menerabas, tidak dispilin, tidak berorientasi ke masa depan, tidak hemat, dan tidak menghargai mutu. Kemudian Mochtar Lubis menambahkan pula mental penuh tahayul, feodal, dan munafik.

Nilai-pun dapat diklasifikasikan atas nilai ideologis, nilai strategis, dan nilai instrumental atau operasional. Berkenaan dengan ini, “pembangunan berbasis nilai” adalah pembangunan seluruh aspek baik aspek ekonomi, politik, fisik, dan sosial budaya; yang dilandasi oleh nilai-nilai tertentu [10]. Nilai yang dianut suatu bangsa tidak berdiri sendiri, namun dalam suatu konteks, yaitu dalam sistem pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya. Nilai budaya ada dua yaitu pandangan hidup yang stabil, idealis dan independen; dan nilai praktikal yang menjelma menjadi etos kerja.  Sistem nilai adalah pengikat segala kegiatan agar lebih bermakna, bermartabat, dan memberi perspektif terhadap masa depan.
Istilah “norma” (norm) berasal dari bahasa Latin “norma” yang bermakna sebagai “penyiku atau pengukur, aturan atau kaidah”  ("angle measure" atau (lawlike) "rule"). Dalam sosiologi, “norma” atau “norma sosial” diartikan sebagai pola berperilaku yang diharapkan untuk situasi tertentu dalam sebuah  masyarakat. Norma atau adakalanya  disebut “kaidah”, adalah aturan sosial, patokan perilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Norma berisi daftar tentang perilaku-perilaku buruk yang dilarang, dan perilaku-perilaku baik yang dianjurkan.
Norma memiliki tingkatan. Pada level yang lebih rendah adalah “cara” (usage), yang menunjuk suatu perbuatan yang lebih menonjol dalam hubungan antar individu, misalnya cara minum seseorang yang mengeluarkan bunyi. Berikutnya adalah “tata kelakuan” (mores), yaitu ketika kebiasaan meningkat dan diterima sebagai norma-norma pengatur. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Jika dilanggar, sanksinya lebih kuat. Selanjutnya, meningkat menjadi “kebiasaan” (folkways), yaitu ketika perbuatan diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut [11]
Moral (mores) berkenaan dengan kesusilaan, atau dapat dikatakan sebagai etika dalam arti sempit. Sebagian orang menyamakan moral dengan nilai, yaitu penilaian tentang baik dan buruk. Moral berasal dari bahasa Latin “mos” (jamak: mores) yang berarti cara hidup atau kebiasaan. Ia merupakan karakter dan sifat-sifat individu khusus, di luar ketaatan pada peraturan, misalnya berupa tingkah laku yang spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan lan-lain yang tidak terdapat dalam peraturan hukum. Sanksi moralitas bersifat internal, seperti isyarat-isayarat verbal, rasa bersalah, sentimen, dan rasa malu; sementara sanksi hukum berupa paksaan fisik. Etika ditambah moral, menjadi norma.
Sementara, moralitas adalah “the quality of being in accord with standards of right or good conduct”. Ia merupakan sistem ide tentang yang benar dan yang salah, yang diturunkan dari kebudayaan, religi, dan konsep-konsep filosofis.
Etika (ethics), berasal dari bahsa Yunani ethos, yang maknanya adalah “kebiasaan” atau “watak”.  Etika menunjuk kepada dua hal yaitu: (1) berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut manusia (etika sebagai cabang filsafat), dan (2) pokok dalam displin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup dan hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Contoh etika misalnya adalah tidak menepati janji. Pelanggarannya kurang serius dibanding moral (misalnya perbuatan bejat).
Etika dapat disebut sebagai kualitas moral, yaitu “motivation based on ideas of right and wrong”. Jadi, etika adalah istilah umum yang menerangkan moralitas. Di dunia filsafat, perilaku etika adalah tentang apakah itu benar atau salah. Dalam analisis filsafat, etika dibagi atas tiga yaitu: metaetika (metaethics), etika normatif (normative ethics) dan etika aplikasi (applied ethics).

*****
[1] Koentjaraningrat. 1992. “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cetakana ke limabelas. 151 hal. Hal 1-2.
[2] Koentjaraningrat. 1992.
[3] “Cultural Concepts:  or the Reality of Virtuality”. Research Institute for Austrian and International Literature and Cultural Studies. Cultural Studies and Europe. (http://www2.ville.montreal.qc.ca/ocpm/pdf/PD05/4lEN.pdf., 11 Mei 2005).
[4] Koentjaraningrat. 1992. Hal 5-6.
[5] Inilah yang dikhawatirkan M. Hatta, dimana korupsi menjadi kebudayaan di  Indonesia.
[6] Menurut M. Yunus Melalatoa (1995. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Depdikbud, Jakarta),  ada 400 sampai 500 etnis di Indonesia.
[7] Kajian antropologi ekonomi di Indonesia untuk sekian lama lebih berfokus pada perdebatan antara aliran substantivis dan aliran formalitas. Aliran substantivis menyatakan bahwa ada konteks kultural yang mewarnai bahkan melandasi kegiatan ekonomi masyarakat. Sementara aliran formalis mempercayai bahwa berbagai konsep dan teori ilmu ekonomi dapat digunakan untuk menjelaskan gejala ekonomi dalam masyarakat (Dalam: Barfield, T. ed. 1997. “The Dictionary of Anthropology”. Oxford: Blackwell Publishers Inc).
[9] Model ini tidak memiliki panduan model yang baku, karena proses-lah yang dipakai untuk merefleksikan apa yang sesungguhnya ingin dicapai. Proses CCD mungkin akan mencakup: (1) penamaan dan pengidentifikasikan terhadap isu, nilai visi, kriteria untuk sukses, jaringan  dan kesempatan; (2) perencanaan dan penelitian untuk menemukan solusi, arah, dan pendekatan; (3) pengembangan keterampilan untuk art production, bekerja secara kolaborasi, dan manajemen proyek; (4) monitoring dan evaluasi terhadap kemajuan, proses, dan hasil; (5) pengembangan sumberdaya untuk mendapatkan pendanaan, mitra, networks, informasi, dan ahli (expertise);  dan (6) audience development untuk memperoleh advokasi, promosi, dan penumbuhan kesadaran (awareness-raising).
[10] Negara Korea bangkit melalui tiga nilai penting yang menjadi basis pembangunannya, yaitu kerajinan (diligence), kemandirian (self reliance), dan gotong-royong (cooperation).
[11] Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru, Cet. 28. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.