Jumat, 22 Agustus 2008

Otonomi Daerah

   
Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, “Otonomi Daerah” adalah “kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan”. Definisi ini sedikit berbeda  dalam UU No. 32 Tahun 2004, dimana Otonomi Daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Perbedaannya adalah, pada peraturan pertama hanya berupa “kewenangan”, sedangkan pada yang kedua adalah “hak, wewenang, dan kewajiban”.
Hal paling pokok dalam konteks otonomi daerah adalah tentang makna “pemerintahan”. Kata “pemerintah” kita ambil dari bahasa Inggris “government”, padahal makna keduanya jauh berbeda. Dalam bahasa Inggris, dan bahasa Eropa lain, lembaga yang wajib mengupayakan kesejahteraan dan pelbagai hajat hidup rakyat adalah “government”, “gouvernement”, “Gouverneur”. Asal katanya adalah “govern” yang bermakna menata, mengatur, mengurus kehidupan rakyat banyak. Sebaliknya di Indonesia, pemerintah asal katanya adalah “perintah”. Maka tak heran sikap menata dan melayani tertutup oleh sikap memerintah. Dan kita lalu menjadi akrab  dengan “instruksi presiden”, “instruksi menteri”, dan lain-lain.
Dalam bagian “Menimbang” pada  UU  No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta[1]. Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu  yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu.
Otonomi daerah adalah kondisi politik yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimiliknya secara optimal. Otonomi diharapkan akan mendorong kemampuan daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik ekonomi, geogragfis dan sosial budayanya. Diharapkan perkembangan seperti ini akan dapat mengurangi kesenjangan antar daerah.
Banyak pihak menginginkan, otonomi semestinya ditempatkan di level desa. Karena Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tidak mengandung otonomi desa. Dalam aturan tersebut pemerintah desa tidak bertanggung jawab kepada masyarakat desa, sementara kelurahan merupakan daerah administratif. Posisi desa menjadi tanggung, karena otonom tidak, administratif pun tidak.
Pemberian otonomi daerah dari atas sebagaimana dalam UU Otonomi Daerah, berbeda secara konseptual dengan apa yang dimaksud dengan otonomi dari bawah. Contohnya sejatinya ada di tingkat desa. Untuk pemerintahan desa, masyarakat desa lah yang memberikan legitimasi kepada pemerintahan desa, bukan siapa-siapa. “Nagari” di Sumatera Barat atau “banjar di Bali berbentuk self contained dan otonom, dan mampu berdiri sendiri.
Mempelajari otonomi daearah akan terkait dengan beberapa istilah lain yang sering membingungkan, yaitu “desentralisasi”, “dekosentrasi”, dan “tugas pembantuan”. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Fondasi dan nilai utama desentralisasi adalah kehendak untuk mengubah dari kultur top down menjadi bottom up. Mengubah penguasaan pusat yang berlebihan menuju kebebasan lokal yang sewajarnya. Setiap proses desentralisasi atau otonomi dibarengi atau dilambangkan dengan penyerahan tugas dan kekuasaan[2] .
Desentralisasi memiliki konotasi yang positif seperti adanya unsur fleksibiltas, akan adanya pendidikan politik, akuntabilitas, dan stabilitas politik. Desentralisasi administrasi adalah pelimpahan wewenang kepada kepanjangan tangannya di daerah, sementara kekuasaan untuk membuat keputusan masih tetap di pusat. Sementara desentralisasi politik adalah transfer power atau otoritas dari pemerintah pusat ke komunitas atau masyarakat lokal. Pada dasarnya pemerintah pusat akan melimpahkan seluruh wewenangnya, kecuali untuk bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, peradilan dan fiskal moneter[3].
Sementara, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai  wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.   Dan, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.  
Dalam literatur luar, konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah “local government”.  Menurut Wolman and Goldsmith, Local Government Administration (LGA)[4]adalah: “…. the government’s ability to have an independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Sedikit lebih luas, Boyne (1996)[5] mendefiniskan menjadi:  “… powers the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin[6] merubah “government” menjadi “governance”, dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make and carry through collective choices for a geographically defined group of people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya   keterlibatan masyarakat setempat. Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi  unsur-unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komunitas [7].
Ada dua pendekatan untuk mewujudkan otonomi daerah yang didasarkan pada dua proposisi. Menurut pendekatan federalistik [8], segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkannya, kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa. Sedang menurut pendekatan unitaristik, seluruh persoalan pada dasarnya harus diserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah.  UU No.22 thun 1999 tampaknya disemangati oleh proposisi pertama[9].
Pemberian otonomi berbeda dengan konsep federasi. Negara federal adalah Holding Country yang terdiri dari gabungan beberapa negara yang menyerahkan kedaulatannya pada sebuah pemerintahan terpusat. Otonomi masih berada dalam konsep “negara kesatuan”,  dimana semua kebutuhan diurus oleh pusat dengan jalan atau sistem dekonsentrasi.
Pemikiran tentang konsep hubungan dan peran negara dengan warganegara, dapat ditelusuri dengan melihat teori kontrak sosial. Sejak abad ke-17, teori kontrak sosial menjadi acuan tentang bagaimana relasi negara dan warganegara dikembangkan. Kontrak sosial adalah perjanjian tak tertulis antara negara dan warganegara menyangkut tugas dan kewajiban negara dan warganya[10]. Telah lahir banyak sistem dalam konteks relasi ini. Dalam Sistem Kapitalisme, negara menjadi pelindung kapitalis. Bahkan Marxisme, negara dalam prakteknya adalah alat kelas berkuasa (ruling class), dimana para pemilik kapital melalui negara juga menguasai politik. Bekenaan dengan itu, lahirlah teori state monopoly capitalism dimana negara muncul sebagai kekuatan ekonomi dan aktif secara langsung dalam akumulasi kapital.  Sementara menurut paham developmentalisme, negara mendapatkan peran dalam pengembangan ekonomi. Sebaliknya, paham neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi[11].
Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance, cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya, terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assitance, pemerintah menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada cooperation, peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif. Juga dikenal ada dua pendekatan pembangunan pelayanan kepada masyarakat (public services delivery), yaitu pendekatan "kewilayahan", seperti wilayah provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan kelurahan; dan pendekatan "sektoral", seperti sektor ekonomi, pendidikan, dan transportasi. Prinsip subsidiari, adalah prinsip untuk mengatur hubungan antar negara dengan pemerintah. Ringkasnya, prinsip ini menekankan bahwa keputusan harus diambil di tingkatan pemerintah yang paling terdekat ke masyarakat [12].
Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: untuk memaksimumkan nilai, sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah, dan sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi efisiensi dapat dicapai. Meskipun otonomi daerah telah digulirkan, namun bagaimana bentuknya yang lebih sesuai masih boleh diperdebatkan.  Karena beragamnya persoalan antar wilayah maka tak pendekatan "one solution fits all". Secara konseptual otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances antara pemerintah dengan warganya.
*****
[1] Faisal H. Basri. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya, Malang. (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang_tantangan.pdf., 22 Maret 2005).
[2] Hasil pemantauan Direktur Eksekutif Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Dalam harian Kompas, 14 Agustus 2003): pada pertengahan tahun 2003, diketahui bahwa 65 persen dari 3.500 Perda di 250 kabupaten/kota layak dicabut atau dibatalkan. Bahkan Menteri Keuangan merekomendasikan untuk mencabut 206 Perda, karena dinilai menghambat ekonomi yaitu memberatkan pengusaha dan lain-lain.        
[3] “Memberi Kekuatan Pada Daerah: Menelaah Konsep Otonomi Daerah Tk. II”. (http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6berita_3.html, 22 Maret 2005).
[4] Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful Analytic Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27.
[5] Boyne, George A. 1996. “Competition and Local Government: A Public Choice. Perspective,” Urban Studies 33, 4-5: 703-721.
[6] Kirlin, John J. 1996. “The Big Questions of Public Administration in a Democracy,” Public Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320.
[7] Jeffrey I. Chapman. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of California”. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper (http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).
[8] Di Indonesia, masyarakat sempat geger ketika DR. Amien Rais melontarkan gagasan pembentukan negara federal, sebagai alternatif dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gagasan yang dilontarkan sebagai wacana publik ini didukung oleh banyak akademisi. Namun, para politisi, serta pejabat pemerintah umumnya menolak gagasan federasi ini.
[9] Faisal H. Basri. Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah. Universitas Brawijaya, Malang.  (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang_tantangan.pdf., 22 Maret 2005).
[10] Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau adalah tiga pemikir yang mengembangkan pemikiran ideal tentang bagaimana perjanjian peran dan tugas negara serta kewajiban negara maupun warganegara. Bagi Hobbes, keamanan dan ketertiban umum hanya mungkin dapat dicapai, jika ada kontrak, dimana warganegara menyerahkan segenap kekuasaan dan kekuatan individual masing masing kepada kekuasaan yang terpusat, dan sebagai imbalannya, mereka mendapat perlindungan pada kehidupan dan harta miliknya. Locke justru menganjurkan sebaliknya. Biarkan masing-masing individu bebas dan hanya diatur oleh hukum alam saja. Gagasan ini menjadi landasan demokrasi liberal. Rousseau menghayalkan suatu kontrak tersebut memerlukan dasar “equalitas” yang penuh dan partisipasi yang demokratis berdasarkan ekspresi “kehendak umum” (general will). Gagasan Rousseau ini tetap menjadi pemikiran banyak orang sesudahnya tentang tujuan pemerintah dan karakteristik dari suatu masyarakat yang ideal.
[11] “Relasi Negara dan Warganegara”. Majalah: Cidadaun On line. No 19. Minggu III, Desember 2001. (http://yayasanhak.minihub.org/txt/19/09.html, 24 Maret 2005).
[12] Michael Reid. “Thinking About Local Government -Time to Change the Paradigm?”. Future Times 1999, Vol 4. (http://www.futurestrust.org.nz., 6 April 2005).