Jumat, 22 Agustus 2008

Gender

Dalam setiap masyarakat, pria dan wanita berhubungan melalui cara spesifik dengan pola budayanya yang khas.     Analisa gender, yang diindonesiakan menjadi “jender”,  bermula dari kenyataan bahwa bagian terbesar dari yang dianggap sebagai “peran alamiah” antara pria dan wanita tidak ditetapkan secara biologis. Namun dari konstruksi sosial yang tumbuh, diakui, dan sekaligus dipelihara oleh masyarakat tersebut. Sehingga, apa yang dilakukan sehari-hari atau menjadi kewajiban wanita di satu masyarakat,  bahkan satu rumah tangga, tidak persis sama dengan di rumah tangga lain. Yang sama hanya hamil, melahirkan, dan menyusui. Di luar itu, variasinya bisa bermacam-macam. Jadi, jender adalah: “culturally and socially constructed roles, responsibilities privileges, relations, and expectations of women, men, girls, and boys”. 
Jender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan perempuan. Ia membahas tentang apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilaukan oleh laki-laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam kehidupan keluarga, dalam masyarakat dan bahkan dalam berbangsa[1]. Jender adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural[2]. Nilai-nilai atau ketentuan jender di atas bisa berbeda-beda pada kelas atau kelompok sosial yang berbeda. Selain berbeda menurut kelompok kelas dan etnis, ketentuan jender juga bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu pada masyarakat yang sama.
Jender berbeda dengan pengertian jenis kelamin (sex), karena jenis kelamin merupakan kategori biologis perempuan atau laki-laki. Jenis kelamin merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, sering dikatakan sebagai ketentuan dari Tuhan atau kodrat, sehingga hal ini tidak bisa dirubah atau dipertukarkan satu dengan yang lainnya.
Sejarah pembedaan jender terbentuk melalui proses yang panjang. Ia berkembang melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi, yang diperkuat dan dilembagakan baik secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan, dan bahkan melalui peraturan-peraturan negara. Akibatnya, sering dianggap bahwa ketentuan jender merupakan ketentuan yang tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya. Dalam satu kelompok masyarakat akan ada satu sex gender system[3] yang cenderung khas, yaitu bagaimana wanita dan pria menjadi perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya.
Di Indonesia, pilihan sebutan “wanita” atau “perempuan” merupakan suatu yang serius. Dengan berbagai pertimbangan, maka yang disetujui dipakai adalah sebutan “perempuan”. Sebutan “pria dan wanita” cenderung menunjuk kepada jenis kelamin, namun “laki-laki dan perempuan” untuk membicarakan gender. Demikian pula dalam literatur berbahasa Inggris: “male dan female” digunakan untuk menyebut perbedaan secara biologis, sedangkan “man dan woman” untuk perbedaan secara sosial.
Ilmu tentang jender telah berkembang jauh, sehingga memunculkan berbagai istilah baku yang mengiringinya. Salah satu di antaranya adalah istilah “kesadaran jender” (gender awarreness). Secara sederhana, seseorang telah dikatakan memiliki kesadaran jender apabila telah mempertimbangkan bahwa pria dan wanita berbeda peranannya dalam masyarakat. Dan karena itu, tentu berbeda pula kebutuhannya. Para perencana dan pengambil kebijakan harus memiliki kesadaran tentang itu.
Kesadaran jender pada para pengambil kebijakan akan memberi mereka “wawasan jender”. Konsep wawasan jender didasarkan atas tiga prinsip yaitu efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas. Pendekatan wawasan jender meliputi komponen analisis yang terdiri atas analisis konteks pembangunan, analisis stakeholders, analisis mata pencaharian, serta analisis kebutuhan sumber daya dan kendala. Tingkatan analisis terdiri atas tingkat makro (nasional dan internasional), tingkat intermediate (sektor) dan tingkat mikro (masyarakat dan keluarga).
Derivasi dari kesadaran tersebut, diwujudkan dalam bentuk “pengarusutamaan jender” (gender mainstreaming), yaitu suatu sikap yang menempatkan jender dalam semua kebijakan, program, dan  sektor. Pendekatan ini digunakan untuk mengintegrasikan kebutuhan dan pengalaman pria dan wanita ke dalam desain, implementasi, monitoring dan evalusasi kebijakan dan program untuk seluruh bidang kehidupan (politik, ekonomi, religi, dan sosial).
Alasan pokok kenapa perhatian terhadap jender dibutuhkan, adalah karena adanya  “diskriminasi jender”.  Ini merupakan gejala umum di masyarakat manapun. Diskriminasi jender adalah perilaku yang berbeda dari orang-orang karena perbedaan biologis. Perbedaan ini menyebabkan ketidakadilan struktur dalam masyarakat.
Dalam hal kaitan antara perempuan dengan pembangunan, berkembang berbagai bentuk analisis[4]. Analisi WID (Woman in Development) berkembang lebih dahulu, sebagai usaha praktis yang berusaha mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan[5]. Dalam konsep WID diupayakan mengintegrasikan wanita dalam pembangunan, tapi belum mampu mentransformasikan hubungan yang tidak seimbang yang terjadi di masyarakat. Lalu berkembang konsep WAD (Woman and Development) yang berisi ulasan kritis terhadap peranan perempuan dalam pembangunan, serta pengaruh kebijakan dan proyek-proyek pembangunan terhadap perempuan. Dan terakhir, muncul konsep GAD (Gender and Development) yang lebih mempertegas hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan.
Konsep WID - dimana perempuan menjadi fokus perhatian dalam pembangunan - dilandasi oleh pemahaman bahwa peranan perempuan belum dipertimbangkan dalam proses pembangunan, perempuan memiliki akses yang kurang terhadap sumber daya, masalah dan kebutuhan perempuan adalah masalah yang khusus, dan perempuan adalah kelompok yang sangat memerlukan. Pendekatan WID memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan perempuan seperti: kemiskinan perempuan, persoalan perempuan yang khusus, status sosial ekonomi yang rendah karena perempuan kurang memiliki keterampilan dan akses terhadap teknologi, serta pekerjaan perempuan di sektor produktif yang kurang mendapat penghargaan. Program-program untuk mengatasinya antara lain berupa program pelayanan kesehatan, gizi, pemeliharaan anak, peningkatan keterampilan perempuan, dan dukungan untuk usaha-usaha ekonomi perempuan.
Pendekatan GAD adalah pendekatan yang lebih memperhatikan persoalan jender daripada persoalan perempuan secara terisolasi. Pendekatan pengembangan yang sadar jender memperhatikan bagaimana hubungan sosial laki-laki dan perempuan terbentuk, yaitu bagaimana laki-laki dan perempuan memainkan peran yang berbeda; bagaimana perbedaan jender ini terbentuk oleh faktor-faktor sejarah, etnis, kebudayaan, politik dan sosial ekonomi; serta sejauh mana kondisi peran jender berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Dalam GAD dibedakan antara kebutuhan perempuan dan kebutuhan jender (dari perempuan atau juga dari laki-laki). Kebutuhan perempuan adalah kebutuhan berdasarkan kepentingan biologis, sedangkan kebutuhan jender adalah sesuatu hal yang memungkinkan perempuan (atau laki-laki) dapat berkembang berdasarkan posisi sosial dalam masyarakat. Kebutuhan jender dapat bersifat praktis dan juga strategis [6]. Jadi, dalam pendekatan jender, selain dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan kesejahteraan (welfare), juga dilakukan upaya-upaya yang bersifat pemberdayaan (empowerment). Yang dituju adalah keseimbangan fungsi dan peranan laki-laki dan perempuan yang lebih kondusif.
Dari perkembangan konsep-konsep ini, terlihat adanya pergeseran dari kebutuhan praktis menjadi kepentingan strategis. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kesadaran bahwa women, poor men, dan kelompok yang kurang beruntung lain adalah korban dari struktur sosial yang berdampak negatif kepada mereka. Dengan menerapkan konsep-konsep tersebut sebagai pendekatan dalam pembangunan, diharapkan akan tercipta pembangunan yang lebih adil (equitable) dan berkelanjutan, yaitu dengan memberdayakan pria dan wanita untuk menciptakan transformasi sosial dalam kerangka gender perspective. Dengan bantuan gender perspective akan terumuskan bagaimana pria dan wanita berpartisipasi, memperoleh manfaat, dan  mengontrol proyek-proyek pembangunan.
Konsep penelitian pertanian berwawasan jender diperkenalkan FAO pada tahun 1993 untuk mendukung sensitivitas jender pada berbagai tantangan pembangunan yang terjadi sekitar tahun 1990-an. Pengembangan prinsip wawasan jender yang dilakukan oleh FAO, UNDP dan Bank Dunia mempercepat penyebaran konsep ini, demikian pula evaluasi terhadap pendekatan program pembangunan wanita melalui Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD). Pengembangan konsep ini dilandasi oleh suatu kebutuhan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pembangunan dan program-programnya akan mempengaruhi aktivitas ekonomi dan hubungan sosial diantara kelompok-kelompok ataupun individu yang ada dalam masyarakat.
Untuk mempelajari situasi jender dalam suatu masyarakat dan merumuskan program-program pengembangan yang memperhatikan isu-isu jender, dilakukan melalui “analisis jender”. Analisis jender membantu untuk mensistematisasikan pengalaman relasi laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat, serta implikasinya bagi kehidupan laki-laki dan perempuan serta kehidupan masyarakat pada umumnya. Salah satu model alat analisis yang biasa digunakan adalah Harvard Model yang dikembangkan oleh Harvard Institute of International Development. Unsur- unsur yang dianalisis dalam model atau kerangka analisis ini meliputi: analisis profil peran laki-laki dan perempuan, profil akses & kontrol terhadap sumber daya, analisis faktor penyebab terjadinya situasi jender yang ada, analisis dampak situasi jender dan analisis program pengembangan yang berwawasan jender.
Profil peran laki-laki dan perempuan digunakan untuk melihat: siapa yang melakukan peran produktif, reproduktif dan kemasyarakatan; kapan dan dimana kegiatan dilakukan, alokasi waktu yang diperlukan untuk masing-masing kegiatan dan pendapatan yang dihasilkan melalui keiatan tersebut. Analisis pembagian kerja ini perlu untuk mengidentifikasikan: (1) kegiatan apa saja yang memiliki potensi untuk dikaitkan dengan program pengembangan yang akan dilakukan, (2) kapasitas waktu yang dimiliki laki-laki dan perempuan untuk dilibatkan dalam kegiatan pengembangan, (3) ketidakseimbangan beban kerja laki-laki dan perempuan, dan (4) ketidakseimbangan hak laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Analisis profil perempuan dan laki-laki dalam kegiatan sosial kemasyarakatan digunakan untuk melihat hierarki wewenang yang ada di satu kelompok masyarakat, ketidakseimbangan peran dalam lembaga-lembaga yang ada, alasan keterbatasan peran salah satu pihak dalam lembaga-lembaga tersebut, dan di lembaga mana peran perempuan perlu diperkuat.
Selanjutnya dalam analisis profil akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada dapat digunakan untuk melihat siapa yang memiliki peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik berupa tanah, hutan, modal, peralatan, rumah dan lain- lain; serta sumber daya non fisik berupa pendidikan, latihan, informasi, jasa-jasa pelayanan dan lain- lain. Analisis faktor-faktor penyebab terbentuknya situasi jender berguna untuk mengidentifikasi faktor- faktor penyebab yang dapat dipengaruhi secara langsung melalui kegiatan proyek dan berguna untuk menyusun asumsi yang akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan proyek.
Khusus untuk tingkat rumah tangga, salah satu cara pengukuran yang sering dipakai dalam penelitian-penelitian jender adalah “Analisis Levy” [7], yang merupakan tokoh strukural fungsional, dengan menelaah fungsi-fungsi keluarga sebagai sistem dengan fungsi-fungsinya. Aspek-aspek yang diukur adalah: (1) diferensiasi peranan yang dinalisis dengan ukuran alokasi waktu dan curahan tenaga, (2) alokasi ekonomi dengan mengukur pendapatan individu terhadap total rumah tangga, (3) alokasi kekuasaan dengan lima opsi pola pengambilan keputusan, yaitu oleh suami sendiri, oleh isteri sendiri, suami isteri bersama, bersama namun pengaruh isteri lebih besar, serta bersama namun pengaruh suami lebih besar.
Dalam tiap rumah tangga terdapat pembagian kerja. Perempuan di dalam rumah tangga umumnya melakukan pekerjaan reproduktif,  yaitu pekerjaan yang tidak langsung menghasilkan dalam bentuk produksi barang tertentu yang dapat menjadi pendapatan rumah tangga. Contohnya adalah pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mengasuh anak, mengambil air, dan  membersihkan rumah. Ini menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli, bagaimana memaknai pekerjaan-pekerjaan reprodukstif tersebut. Karena itu, bekerja[8] itu sendiri perlu pula didefinisikan. Menurut Boserup[9], “bekerja” meliputi lima hal, yaitu: (1) para pelaku yang mempunyai peranan itu mengeluarkan energi, (2) memberikan sumbangan dalam produksi barang maupun jasa, (3) menjalin suatu pola interaksi sosial dengan lingkungannya dan memperoleh status, (4) mendapatkan hasil berupa cash maupun natura, dan (5) mendapatkan hasil yang mempunyai nilai waktu.
Di negara berkembang umumnya, wanita merupakan kelompok yang kurang beruntung. Mereka seringkali mengalami marginalisasi baik di bidang politik, ekonomi, pengetahuan dan sosial. Demikian pula di bidang pertanian, dimana peran wanita kurang diperhatikan, meskipun sebagian besar (lebih kurang 60 persen) kegiatan pertanian dilakukan oleh wanita. Oleh karena itu, perlu suatu metode agar peran wanita dalam pembangunan menjadi nyata.  Intinya, bagiamana agar  peran wanita dan pria dilihat sama pentingnya. Dengan itu diharapkan akan tercapai  efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas.
Pembedaan jender berdampak terhadap pembedaan dalam distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang selanjutnya berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam akses dan kontrol terhadap pendapatan. Perempuan mengontrol lebih sedikit aset produktif dibanding dengan laki-laki. Ini berimplikasi kepada kondisi kesehatan dan gizi perempuan, dan anaknya[10].
Di masa Orba kita sering mendengar tentang “emansipasi wanita”. “Emancipatio” berasal dari bahasa Latin, yang artinya adalah “pembebasan”.  Gerakan emansipasi wanita di Eropa menuntut persamaan hak dan kedudukan sosial; sedangkan di Indonesia menuntut pembebasan dari ketergantungan dengan orang lain, terutama ketergantugan kepada pria. Pada era 1980-an, negara-negara berkembang dan dunia internasional secara eksplisit memasukkan isu perempuan ke dalam rencana pembangunan, bahkan sampai kepada pembentukan badan khusus, misalnya berupa kementrian khusus [11]. Pembicaraan tentang jender seringkali bias ke perempuan, sehingga beralih menjadi konsep “feminis”.
Dalam Laporan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004 juga dilapokan hasil-hsail pembangunan jender melalui Indeks Pembangunan Jender (IPJ). IPJ mengukur pencapaian pembangunan manusia dengan memperhatikan disparitas jender, yang indikatornya sama dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selain IPJ juga ada pengukuran tentang Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ) dengan didasarkan kepada (1) partisipasi politik (proporsi perempuan dan laki-laki di parlemen), (2) partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan dalam pekerjaan profesional, teknisi, pimpinan, dan tenaga ketatalaksanaan, serta (3) penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi melalui perkiraan penghasilan perempuan dan laki-laki.

*****




[1] Brett, A. 1991. “Why Gender is A Development? (Dalam Tina Wallace. ed. “Changing Perceptions: Writing on Gender and Development”. London).
[2] Faqih, M. 1996. “Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[3] Evita, E.U. 1992. “The Political Economy of Gender: Woman and the Sexual Division of Labour in The Philippines”. Part I: Contours of the discussion. Zed Books, New Jersey.
[4] Saptari, R. dan b. Holzner. 1997. “Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan”. Penerbit Grafiti, Jakarta.
[5] Pada tahun 2002, Indonesia merupakan nomor 92 dari 162 negara dalam hal peran perempuan dalam pembangunan (Harian Kompas, 13 Juli 2002).
[6] Moser, CON. 1989. “Gender Planning in The Third World: Meeting Practical and Strategic Gender Needs”. World Development.
[8] Istilah bekerja (employed) dalam statistik adalah berumur 10 tahun atau lebih, dan bekerja setidaknya satu jam selama periode tertentu, baik dibayar maupun tidak.
[9] Boserup, Ester. 1984. “Peranan Wanita dalam Pembangunan Ekonomi”. Kata Pengantar oleh Pujiwati Sajogyo. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Judul asli: “Woman’s role in Economic Development”. Hal xv.
[10] Satu topik lain yang cukup menyita perhatian adalah tentang “kekerasan terhadap perempuan”. Di Indonesia telah dibentuk Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan berbadasarkan Keppres No. 181 tahun 1988.
[11] Anonim. 1985. “Women in Development: a Framework for Project Analisys”. Kumarian Press, Inc. Chapter One.