Jumat, 22 Agustus 2008

Modernisasi


Modernisasi adalah proses menjadi modern, mulai dari hanya sekedar penampilan dan gaya, atau lalu menjelma menjadi karakter. Orang modern adalah orang yang mengadopsi perilaku, ide, dan gaya modern. Selain pada individu, modernisasi juga dapat terjadi dalam satu masyarakat, yaitu proses perubahan kondisi dalam masyarakat, dalam satu lembaga atau lainnya yang berkenaan dengan teknologi dan pengetahuan modern.
Lahirnya konsep “modernisasi” berkaitan dengan lahirnya paham liberalisme klasik. Konsep modernisasi datang dari pandangan bahwa masyarakat manapun pasti akan mengalami perkembangan yang berpola “evolusi”. Setiap masyarakat akan berkembang dari masyarakat barbar menjadi lebih beradab. Mereka akan menjadi modern yang ditandai dengan ciri lebih sejahtera, lebih kuat, lebih bebas, dan memiliki standar hidup yang lebih tinggi. 
Sesungguhnya setiap kelompok masyarakat memang akan mengalami perubahan. Namun perubahan yang disebut dengan “modernisasi” memiliki bentuk yang khas. Tidak seluruh perubahan merupakan modernisasi. Konsep modernisasi yang beredar selama ini  agak berimpit dengan konsep “Westernisasi”. Sehingga, perubahan yang modernisasi adalah terjadinya perombakan kultur dan struktur masyarakat yang cenderung mengikuti kultur dan struktur mayarakat Barat. Modernisasi memang lahir dari Barat. Westernisasi dengan komponen-komponennya berupa industrialisasi, demokrasi, saintisme, dan ekonomi pasar; adalah jenis modernisasi yang lazim pada abad ke 20.
Modernisasi adalah istilah yang jadi mode sehabis PD II. Ini berkenaan dengan munculnya teknologi-teknologi perjalanan ke luar angkasa, nuklir dan komputer. Padahal mesin uap dan mesin pemintal yang digunakan pada abad ke 18 juga disebut “modern” saat itu. Selain itu, kata “modern” juga berasosiasi dengan munculnya demokrasi dalam masyarakat, persamaan hak-hak warga negara, dan hilangnya kerajaan. 
Modernisasi adalah tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris (1760-1830) dan revolusi politik di Perancis (1789-1794) yang melahirnya negara bangsa (nation-state), walaupun ide-ide dasarnya telah lahir jauh sebelumnya. Revolusi Prancis mendorong tumbuhnya masyarakat dengan prinsip-prinsip demokrasi dan masyarakat yang lebih egaliter. Sementara revolusi industri di Inggris, yang pada awalnya hanya penerapan teknik produksi baru, mempengaruhi perlunya nilai dan norma baru.
Modernisasi dipahami sebagai perubahan dalam segala unsurnya, sehingga melahirkan bentuk masyarakat yang dicita-citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut dengan ‘baik’ dan ‘sempurna’[1]. Di dalam perubahan tersebut tercakup apa yang oleh Teori Evolusi disebut sebagai kemajuan, kemanusiaan, dan sivilisasi.
Sebagai teori, modernisasi lahir tahun 1950-an sebagai respon kaum intelektual terhadap Perang Dunia Kedua. Modernisasi dianggap sebagai jalan paling optimis untuk perubahan dunia akibat perang tersebut. Jadi pada dasarnya, teori modernisasi dikembangkan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dunia. Pada masa 1950-an, konsep modernisasi sudah menjadi istilah teknis di Eropa dan AS, yaitu: “sekumpulan proses akumulatif yang saling memperkuat di bidang modal, teknologi, partisipasi politis, pendidikan, dan sekularisasi kebudayaan” [2].             Penggunaan teori modernisasi dikomandoi oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia untuk membendung penyebaran komunis. Saat itu bersamaan dengan banyaknya negara-negara baru merdeka dan sedang mencari model pembangunannya. Amerika menawarkan bantuannya dengan mengirimkan ahli dan sekaligus dananya dibawah payung Program Marshal Plan.
Dari sisi sejarah, modernisasi adalah suatu jenis perubahan sosial sejak abad ke 18, berupa kemajuan ekonomi dan politik yang terjadi dalam beberapa masyarakat perintis, yang lalu disusul oleh masyarakat pengikut. Modernisasi dimaknai sebagai “sederetan langkah yang harus dilalui oleh setiap bangsa dalam urutan yang kurang lebih sama” [3].
Modernisasi mencakup bidang yang luas. Karena itu kita mengenal banyak definisi tentang modernisasi. Menurut Samuel Huntington (1976), modernisasi bersifat revolusioner, yaitu terjadinya perubahan secara cepat dari tradisional ke modern, kompleks (melalui banyak cara), sistematik, global (akan mempengaruhi semua manusia), bertahap, akan mewujud berupa homogenisasi (convergency), dan progresif. Untuk mengukur modernsiasi, Alex Inkeles telah mengembangkan alat untuk menentukan tingkat modernitas suatu masyarakat. Dari kacamata evolusi sosial, modernisasi adalah terjadinya proses diferensiasi, peningkatan penyesuaian diri (adaptasi), pemasukan, dan generalisasi nilai. Kemodernan dianggap sebagai puncak dari evolusi sosial.
Perspektif strukural fungsional (tahun 1950-an dan awal 1960-an) menjadi landasan pengembangan teori modernisasi[4]. Premis dasar metodologis perspektif struktural fungsional adalah, bahwa  masyarakat adalah suatu sistem yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Tiap bagian berperan terhadap keseimbangan sistem secara keseluruhan, dan bahkan bagian-bagian saling mendukung satu sama lain untuk terciptanya keutuhan sistem.
Ciri-ciri pokok modernisasi adalah berupa peningkatan sangat tajam dalam kecepatan dan intensitas penerusan ide-ide dan teknik-teknik dari masyarakat maju ke masyarakat pengikut. Sebagai perspektif pembangunan, moderniasi dianut hampir seluruh negara di dunia. Pada akhirnya, modenisasi dan pembangunan, satu sama lain, memiliki arti yang semakin mendekat (konvergen)[5].
Dalam konsep moderniasi, tradisional dipandang sebagai masalah, karena itu harus disingkirkan. Tekanan modernisasi ke masyarakat yang tidak siap, telah menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial, melemahnya solidaritas sosial tradisional, dan memudarnya nilai-nilai kesukuan. Namun, dalam waktu bersamaan nilai-nilai pluralisme semakin meningkat. Fokus moderniasi pada dasarnya adalah manusia, bukan pada struktur dan sistem masyarakat.
Modernisasi juga banyak dikritik, terutama dari kelompok neo-Marxisme dan kelompok ilmuwan sosial yang tidak percaya kepada adanya satu hukum universal ilmu sosial. Sebagian bahkan mengkritik, bahwa ada tahayul ideologis dalam konsep moderniasi yang disebarkan tersebut.
Jika “development” menghasilkan “ketergantungan”, maka “modernisasi” menghasilkan “keterbelakangan”. Modernisasi sebagai buah abad ke 19 dan 20 telah melahirkan berbagai problem pokok bagi kemanusiaan, yaitu: (1) melahirkan ketimpangan; (2) memunculkan pertanyaan apakah manusia masih makhluk otonom yang bisa bertanggung jawab satu sama lain?; dan (3) problem rationalization. Pendekatan rasional terhadap ilmu pengetahuan, pola produksi, serta kontrol atas industri dan kehidupan soial manusia memang telah banyak menghasilkan manfaat, namun juga telah membuat manusia kurang bebas dan tergantung kepada proses-proses yang tidak dapat dikontrolnya (alienasi).
Mulai dasawarsa 1980-an, muncul istilah “post modernisme” [6]. Sampai sekarang masih terus dirumuskan makna dan batasan tentang ini. Bagi sebagian orang, post modernisme merupakan terminologi, periodisasi, ataupun gagasan pemikiran yang problematis dan penuh kontroversi.  Post modernisme dalam perspektif etika (tentang perubahan gaya) misalnya kerap tumpang tindih dengan perspektif filsafat (kerangka dasar pemikiran). Sesungguhnya post-modern sudah dipakai di dunia Barat semenjak tahun 1950-an khususnya di dunia sastra. Baru semenjak 1970-an mulai populer dalam bidang seni yang lain misalnya arsitektur, tari, drama, seni lukis, film, dan musik[7].
Post-modern umumnya dipertentangkan dengan “modern”. Dalam konteks seni, post modern adalah jenis-jenis hiburan populer yang massal, yang mendukung kebudayaan massa. Ini dimulai tahun 1960-an, dengan pemberontakan terhadap ide formalisme, yang dikenal dengan counter culture. Sebaliknya, kelompok seni yang disebut modern, adalah yang menjaga kemurnian dengan mengikuti standar formal, dengan tujuan menjaga kebudayaan luhur masa silam.
Ketika tema post-modernitas masuk dalam alam pemikiran filosofis, maka batasan tentang post modernisme menjadi tidak lagi sederhana[8]. Pengertian post modernisme lalu merupakan istilah yang sangat longgar dan sangat ambigu juga Ia memayungi segala aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tidak persis saling berkaitan. Hal ini datang dari ambiguitas dan kelonggaran isitilah “modern” itu sendiri[9].
Para pemikirnya dapat dikelompokkan kedalam kelompok “dekonstruktif” dan “konstruktuif” atau “revisioner”.  Kelompok revisioner meskipun membongkar pasang beberapa aspek dari gambaran-gambaran dunia modern, namun masih berupaya mempertahankan berbagai aspek lain kemodernan yang dianggap penting dan bahkan mengolahnya secara baru dalam upaya mengkonstruksikan sebagai gambaran dunia yang baru pula. Dalam postmodernisme  memang gagasan-gagasan dasar seperti filsafat, rasionalitas, dan epistemologis dipertanyakan kembali secara radikal. Struktur modernisasi berakar pada pandangan mekanistik reduksionis. Lawannya misalnya adalah pandangan sistem dan ekologik yang berasal dari Fritjof Capra. 
Beberapa ciri post modernisme adalah penolakan terhadap grand narrative, menolak obyektifitas ilmu pengetahuan, dan menolak pemikiran dikotomis (binary position). Selain itu, ia memberi penekanan terhadap right of different (hak unutk berbeda), serta gaya dekonstruksi. Terlihat, post modernisme bermaksud menolak kapitalisme dan neoliberalism yang ingin menyeragamkan apapun di dunia ini.

*****



[1] Suwarsono dan Alvin Y.So. 1991.
[2] Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. (257 hal).  Hal.183.
[3] Bendix, Reinhard. 1985. Apa itu Modernisasi. Bab I (hal 3-31). Dalam: Beling dan Totten. 1985. Modernisasi: Masalah Model Pembangunan. Penerbit CV Rajawali Jakarta. Cet.2. Judul Asli: Developing Nation: Quest for a Model.  Hal. 4.
[4] Hoogvelt, 1985. Hal. 81. Hoogvelt, Ankie M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Beekembang. Penyadur: Drs. Alimandan. Rajawali Pers, Jakarta. 285 halaman. Judul asli: “The Sociology of Developing Societies”.
[5] Dube, 1988. Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed books Ltd., London.
[6] Nietzcshe diduga sebagai “Bapak Post-Modernisme (Hardiman, 1993. hal. 182).
[7] Hardiman, F. Budi. 1993. hal. 179-232.
[8] Istilah modernisme disejajarkan dengan strukturalisme, dan post-modernisme sejajar pula dengan post-strukturalis. Michel Foucault dan Jacques Derrida, adalah dua tokoh Filsuf Perancis sebagai pendukung post-strukturalisme.
[9] Sugiharto, 1996. Hal. 16. Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: tantangan bagi filsafat.  Penerbit Kanisius, Yogyakarta.