Jumat, 22 Agustus 2008

Korupsi


Korupsi adalah fenomena yang sangat luas yang dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, dalam berbagai bentuk dan berbagai level. Ini adalah penyakit sosial yang faktanya sangat mempengaruhi hasil-hasil pembangunan. Karena itulah, kita perlu tahu apa itu korupsi. Korupsi oleh para perencana, pengambil kebijakan, dan pelaksana pembangunan telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap efektifitas pembangunan tersebut.
Istilah “korupsi” berasal dari Bahasa Latin, corruptio, yang berarti “pembusukan, kerusakan, kemerosotan, dan penyuapan”. Satu kata lagi yang agak dekat adalah “corrumpere” yang bermakna “merusak”. Secara umum, koupsi adalah gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka sehingga terjadi penyuapan, pemalsuan, pemotongan bantuan, penggelembungan (mark up) anggaran, dan lain-lain. Apapun istilahnya, pada pokoknya korupsi adalah perilaku mengambil uang negara secara tidak syah, bagaimanapun jalannya.
Dalam kamus, corruption” bermakna sebagai “degrading, immoral acts or habits”. Korupsi juga dapat dimaknai sebagai “lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain”. Koruptor adalah mereka yang tidak memiliki integritas dan kejujuran, dan menggunakan jabatannya untuk memperoleh pendapatan haram. Salah satu definisi tentang korupsi berasal dari Vito Tanzi, yang mengatakan bahwa: “Corruption is the intentional non-compliance with the arm’s-length principle aimed at deriving some advantage for oneself or for related individuals from this behavior” [1].
Menurut World Bank, korupsi adalah pembohongan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi(“the abuse of public for private gain”). Korupsi dilihat atas dampaknya kepada publik dan penyalahgunaannya (abuse) jabatan para pejabat publik. Selain itu, korupsi juga dilihat dalam relasinya dengan kekeliruan pengelolaan negara serta kepada berjalannya sistem pasar.
Menurut Alatas[2], ada tiga tipe fenomena korupsi, yaitu berupa penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Dari berbagai variasi bentuk-bentuk perilaku korupsi yang kita kenal, benang merahnya sama, yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan privat dengan melanggar norma-norma tugas dan kesejahteraan yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekwensi yang diderita oleh publik.
Korupsi berbeda dengan perilaku kriminal, mal-administrasi, atau mis-manajemen. Satu ciri khusus korupsi yang membedakan dengan kejahatan lain adalah adanya “kesepatan” yang melibatkan lebih dari satu orang. Semua pihak yang terlibat sepakat untuk berbuat kecurangan. Karena itu, kecurangan ini mesti ditutupi, sesuai dengan ciri penting berikutnya, yaitu “keserbarahasiaan”, meskipun kadang-kadang dilakukan di depan umum. Dalam korupsi dilibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik meskipun tidak melulu berupa uang, menyelubunginya dengan berlindung dibalik hukum, melibatkan mereka yang punya kuasa terhadap keputusan-keputusan, mengandung penipuan, suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, melibatkan fungsi yang kontradisktif, dan melanggar norma tugas.
Dalam literatur-litertur, korupsi begitu dibenci. Karena itu tidak aneh jika dari berbagai teori, konsep, maupun ulasan tentang korupsi selalu dipenuhi oleh berbagai ungkapan-ungkapan baru yang serba negatif. Tiap orang berlomba mencarikan kata-kata baru yang lebih lugas, tajam, dan keras untuk mengungkapkan “kejengkelannya” dalam mendefiniskan korupsi.
Menurut Schoorl[3] korupsi adalah “… penggunaan kekuasaan negara untuk memperoleh penghasilan, keuntungan, atau prestise perorangan, atau untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan cara yang bertentangan dengan UU atau norma akhlak yang tinggi”. Bentuk-bentuk perilaku korupsi mencakup penipuan, sogok, mark up, kontrak fiktif, serta tata buku yang tidak benar. Menurut definisi Schoorl, dalam koteks korupsi sesungguhnya sudah tercakup nepotisme.
Bagaimana korupsi tumbuh? Menurut Marcell Manss, seorang antropolog Perancis, korupsi adalah suatu bentuk perubahan dari “cultural gift” kepada “cultural of exchange”. ”Gift” (pemberian) adalah suatu kebiasaan yang umum terdapat dalam masyarakat. Suatu pemberian mengandung unsur sosial. Ada tiga serangkai perilaku yang tak terpisahkan dalam “pemberian”, yaitu memberi, menerima, dan membalas. Tujuan pemberian adalah untuk meningkatkan solidaritas. Perilaku ini memiliki nilai yang ambigu, dan tidak mau dikalkulasikan  dan digantikan dengan uang. Begitu suatu pemberian dinilai dengan uang, maka hilanglah nilai sosial intrinsiknya, dan ia jatuh derajatnya hanya sekedar menjadi komoditas pasar.  Jadi, pemberian hanyalah sekedar pertukaran materi yang memiliki aliansi sosial, bukan kesepakatan konstraktual.
Pemberian yang saling berbalas tersebut sangat berbalikkan dengan suap. Orang melakukan suap bukan karena niat untuk membina suatu hubungan sosial belaka. Suap sudah menjadi pertukaran pasar yang mengikat secara soial, sehingga tidak lagi berbentuk aliansi sosial. 
Untuk mempelajari korupsi, kita akan menemukan kesulitan masalah metodologisnya. Tidak sebagaimana riset terhadap aspek lain, untuk mempelajari korupsi pada satu kantor misalnya, kita tidak akan bisa memperoleh data dan informasi dengan wawancara, analisa statistik, memerika buku catatan dan dokumen, dan lain-lain. Koruspi adalah transaksi yang tidak jujur, yang sangat dijaga kerahasiaannya. Karena itu, kita hanya dapat mengamati fenomena itu beserta efek-efeknya dan dengan mengumpulkan keterangan-keterangan rahasia.
Seiring perkembangan, pihak yang melakukan korupsi semakin meluas. Jika  dulu hanya pejabat negara yang melakukan dan mendapat sorotan, pada perkembangan terakhir para pengusaha juga dikaitkan, yaitu mereka yang mendapat fasilitas dari negara secara langsung atau tidak namun tidak amanah terhadap kepercayaan tersebut[4].
Apa sesungguhnya penyebab korupsi? Lord Acton seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge yang hidup di abad 19, menyatakan satu postulat yang sangat terkenal, yaitu: “power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Intinya adalah, bahwa sesungguhnya tiap orang memiliki potensi untuk melakukan korupsi, dan mereka yang memiliki peluang, karena itu lantas berkuasa, akan melakukannya. Jadi, korupsi tidaklah semata-mata karena gaji yang kecil. Faktanya, sebagian besar uang yang dikorupsi ada pada mereka yang paling berkuasa, yang umumnya tidak bergaji kecil.
Bagamanapun, gaji rendah memang menjadi salah satu penyebab. Namun, korupsi semakin meruyak ketika gaji yang rendah ditambahi lagi dengan lemahnya pengawasan, godaan dari pihak luar, serta kerancuan menilai “hadiah” sebagai ucapan terima kasih. Satu pendorong lagi adalah karena pengawasan pers dan publik yang lemah, yang biasanya terjadi pada birokrasi yang tertutup.
Dalam pandangan ekonomi dikenal principle-agent theory. Teori ini didasarkan asumsi bahwa korupsi adalah akibat dari ketakseimbangan informasi antara penguasa dan birokrasi. Dari kacamata ekonomi, tiap individual akan mencari kesejahteraannya sendiri. Sebagai pelaku ekonomi, tiap orang berupaya terlibat dalam proses rent-seeking, yaitu proses menciptaakan dan mendistribusikan nilai tambah.
Di Indonesia, korupsi telah memiliki sejarah yang panjang, sehingga sunguh-sungguh sudah mengakar. Pada masa feodalis misalnya, pejabat menilep uang upeti dari pancen tanah yang semestinya diserahkan ke raja. Selanjutnya pada zaman VOC, para pejabatnya juga suka memotong keuntungan VOC dengan memotong setoran. Perilaku ini terus berlanjut sampai ke era Orde Baru dan entah sampai kapan.
Korupsi di Indonesia juga bertolak dari politik birokrasi yang mewarisi kultur politik kerajaan Mataram. Masyarakat yang disebut cacah, secara berjenjang dipimpin oleh penepuluh, penatus, dan penewu untuk mobilisasi perang. Sudah menjadi kebiasaan cacah memberi caos (pemberian) kepada penatus, dan seterusnya bertingkat ke atas. Dalam setiap jenjang selalu ada pemotongan. Inilah cikal bakal korupsi, yang kemudian diperparah lagi oleh birokrasi patrimonialisme.
Secara umum, ada tiga tahap korupsi di Indonesia[5], yaitu:

1.                  Tahap awal, korupsi bersifat legal dan politik. Runtuhnya VOC tahun 1799 adalah karena salah urus dan korupsi. Korupsi menjadi fatsoen politik, yaitu masalah keadilan antar para maling. Upeti saat itu disebut dengan “hernsdienst”.
2.                  Tahap orde Baru. Pada masa ini ramai pungli, kongkalingkong pejabat dengan pengusaha, jual beli jabatan, dan komersialisasi jabatan ketika pejabat menjadi komisaris perusahaan-perusahaan.
3.                  Tahap ketiga, ketika politik menjadi komoditas. Ketika ekonomi sulit, maka jabatan menjadi mata dagangan yang strategis. Karena kemacetan seluruh sistem, maka politik menjadi satu-satunya komoditas yang mendatangkan uang. Terjadi gejala democratic corruption, yaitu ketika korupsi dilakukan secara bersama-sama secara meluas. Korupsi berjamaah.

Bagaimana membenahi korupsi? Dalam masyarakat yang patenalistik, maka pembenahan dapat dimuai dari atas. Meskipun sesungguhnya korupsi bersifat top down dan bottom up. Kuncinya adalah pembenahan birokrasi[6], melalui pembenahan organisasi, penerapan sistem punishment pada manajemen kepegawaian, dan keterbukaan sehingga dapat diawasi publik.
Korupsi sudah menjadi perhatian dunia, karena itu merasa perlu ditetapkan “Hari Korupsi Sedunia” yang jatuh setiap tanggal 9 Desember. Indonesia sudah punya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta telah pula membentuk berbagai lembaga di tingkat nasional maupun daerah. Hukum tentang korupsi pertama di Indonesia secara yuridis ada dalam Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/06/1957 tentang  Pemberantasan Korupsi. Dalam aturan ini, korupsi didefinisikan sebagai “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”.
*****
[1] “Corruption: Concepts, Types, Causes, and Consequences”. Economic Reform: Feature Service. Center for International Private Enterprise. March 21, 2005. (http://www.cipe.org/pdf/publications/fs/032105.pdf., 11 april 2005).
[2] Alatas, Syed Hussein. 1975. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. LP3ES, Jakarta 77 hal.  Hal.12-14.
[3] Schoorl, J.W. 1988. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT Gramedia, Jakarta. Hal. 175.
[4] Menurut perhitungan lembaga Transparancy International (TI), korupsi di Indonesia selalu dalam taraf terburuk dan tak pernah berubah. Pada tahun 1998, Indonesia merupakan negara terkorup nomor enam dari 85 negara, dengan skor 2,0 dari skala 0-10 (terburuk sampai terbaik). Posisi ini relatif tetap dari tahun ke tahun, baik skornya maupun posisinya dibandingkan negara-negara lain yang disurvey. Tahun 2002 skor Indonesia adalah 1,9 dengan posisi nomor  tujuh terburuk dari   102 negara. Penelitian TI adalah melalui wawancara dengan para ekpert asing yang bekerja di satu negara.
[5] Emmanuel Subangun. “Tiga tahap Sejarah Korupsi di Indonesia”. Kompas 8 Juli 2002.

[6] “Birokrasi” berasal dari kata bureau = meja tulis, dan kratos = memerintah. Makna harfiahnya adalah “orang-orang yang bekerja pada kantor-kantor, khususnya lagi pegawai pemerintah”. Makna formalnya adalah sebagai suatu organisasi sosial dimana rasionalisasi dan kalkulasi dilakukan secara sengaja untuk mencari cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan. Cirinya adalah memiliki pola organisasi formal, hirarki jabatan, dan mengandalkan pada komunikasi tertulis. Sementara “birokratis” adalah suatu kondisi aturan yang terasa memberatkan bagi penggunanya, dengan berkedok setia pada aturan sehingga terkesan berbelit-belit. Birokratis juga dapat bermakna pemerintah yang terlalu banyak mengambil alih bagian masyarakat dan swasta.