Agraria merupakan salah satu konsep yang penting dalam
pembangunan pertanian dan pedesaan. Namu demikian, konsep ini masih diliputi
oleh berbagai ketidaksepahaman di antara para ahlinya. Ketidaksepahaman
tersebut sedikit banyak menyumbang pula kepada terhambatnya implementasi konsep
tersebut, khususnya di Indonesia.
Secara etimologi, agraria berasal dari bahasa Latin “ager” [1]
yang berarti (a) lapangan (b) pedusunan, sebagai lawan dari perkotaan, dan (c)
wilayah; tanah negara. Kata lain yang dekat adalah “agger”, yang artinya adalah (a) tanggul penahan/pelindung, (b)
pematang, (c) tanggul sungai, (d) jalan tambak, (e) reruntuhan tanah, dan (f)
bukit. Dari pengertian ini, tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria
bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “pedusunan”, “bukit”
dan “wilayah’ jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya
tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di “pedusunan” terdapat
berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan
masyarakat manusia[2].
Pengertian ini sesungguhnya sudah berupaya diadopsi
dalam produk-produk hukum di Indonesia, walaupun sebagian besar orang
beranggapan bahwa agraria hanya berkaitan dengan masalah “tanah”. Dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa agraria
adalah “seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ....”.
Selanjutnya, dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, juga dinyatakan bahwa agraria meliputi bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jelas, bahwa
agraria tidaklah semata-mata tanah. Juga bukan semata-mata masalah fisik,
karena ada aspek sosial, ekonomi, dan politik di dalamnya.
Salah satu aspek penting dalam agraria adalah tentang
“pemilikan” dan “penguasaan” [3].
Pemilikan merupakan status hukum antara seseorang dengan sebidang tanah,
sedangkan penguasaan lebih kepada aspek ekonomi yaitu akses pemanfaatan seseorang
terhadap sebidang tanah. Namun, ada yang membedakannya menjadi: pemilikan merupakan penguasaan formal,
sedangkan penguasaan merupakan penguasaan efektif. Konsep ini dikembangkan dari
“land tenure” dan “land
tenancy”.
“Tenure” berasal dari Bahasa Latin
“tenere” yang mencakup arti “memelihara”,
“memegang”, dan “memiliki”. Maka, land
tenure adalah hak atas tanah atau penguasaan tanah, atau tepatnya tentang status
hukum dari penguasaan tanah (hak milik, pacht,
gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan juga kedudukan buruh tani). Saementara, land tenancy lebih kepada pendekatan
eknomi, yaitu menyangkut tentang penggarapan tanah[4].
Pemikiran
yang berkembang di tingkat dunia selama ini telah menyepakati, bahwa
negara-negara berkembang sudah saatnya melaksanakan kebijakan pembaruan agraria
secara sungguh-sungguh. Asumsi dasar
yang melandasinya adalah, karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan
hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih
adil merupakan instrumen yang esensial untuk mengurangi kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan terutama di pedesaan. Pemikiran ini sudah muncul
semenjak Konferensi oleh FAO yang bertajuk “World Conference on Agrarian
Reform and Rural Development” tahun 1979. Dalam pertemuan ini, pembaruan
agraria merupakan hal yang mendesak dan dilabeli status: “keharusan”.
Dalam konteks
agraria, dua konsep penting yang paling sering menjadi perhatian adalah
“Reforma Agraria” dan “landreform”. “Reforma agraria”, atau
pembaruan agraria, berasal dari kata “agrarian
reform”. Dalam salah satu tulisannya, Wiradi[5]
menyatakan: ”Ada yang mengatakan bahwa land
reform adalah sebagian dari agrarian
reform, ada yang mengatakan sebaliknya, dan ada yang berpendapat bahwa
kedua istilah itu sama saja”. Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik
berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi,
dimana redistribusi tanah tidak diutamakan. Namun dapat pula dengan
menitikberatkan kepada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, dengan
sasaran utama adalah redistribusi tanah.
Di
Indonesia, tampaknya yang dianut adalah bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform. Artinya, landreform
dipakai untuk sekitar redistribusi tanah, sedangkan agrarian reform kepada pengertian yang lebih luas dan komprehensif,
menyangkut berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian[6].
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001,
Pembaruan Agraria didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point yang
ditulis tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi
penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi
ini jelas berbeda. Yang pertama bicara tentang hubungan hukum antara manusia
dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara
fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan
yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan”
di sisi lainnya.
Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus
dilakukan secara seiring dalam pembaruan agraria. Namun sayangnya, sebagian
besar pihak hanya tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan
pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform.
Dari berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut
dengan “aspek landreform” dan sisi
kedua menjadi “aspek non-landreform”.
Landreform adalah penataan ulang
struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan
cara mengolah tanah (dalam pengertian “soil”,
yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan
kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian,
dan lain-lain. Jadi, reforma agraria - atau pembaruan agraria - tidaklah
semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan
berbagai hal lain, sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi
lebih bermanfaat, yaitu dengan sekumpulan aktifitas bagaimana penggunaan dan
pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya.
Struktur
permasalahan agraria di Indonesia, serta apa yang dapat dilakukan pada
masing-masing aspek tersebut disajikan pada tabel berikut.
Aspek dan Faktor-faktor
pembentuknya
|
Masalah yang dihadapi saat ini
|
Aktifitas Pembaruan Agraria yang
relevan
|
Aspek
Landreform
Dibentuk
oleh faktor tatanan hukum (negara dan adat), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis. lapangan kerja
non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain.
|
o
Konflik penguasaan dan pemilikan
secara vertikal dan horizontal
o
Inkosistensi hukum (antara UUPA dan
“turunannya”)
o
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan
o
Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga
tidak ekonomis
o
Ketidaklengkapan dan inkosistensi data
o
|
o
Penetapan objek tanah landreform
o
Penetapan petani penerima
o
Penetapan harga tanah dan cara pembayaran
o
Pendistribusian tanah kepada penerima
o
Perbaikan penguasaan, (mis. perbaikan
sistem penyakapan)
o
Penertiban tanah guntay (absentee)
|
Aspek
Non-Landreform
Dibentuk oleh faktor
geografi, topografi, kesuburan tanah,
infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global,
tekanan demografis,
ketersediaan teknologi,
ketersediaan kredit,
keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain
|
o
Degradasi tanah akibat pemanfaatan
berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis
o
Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara
vertikal dan horizontal
o
Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan
maraknya jual-beli tanah
o
|
o
Berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan
tanah
o
Pembangunan infrastruktur
o
Peningkatan produktifitas tanah
o
Perbaikan sistem pajak tanah
o
Pemberian kredit usahatani
o
Penyuluhan dan penelitian
o
Penyediaan pasar pertanian
o
Pengembangan keorganisasian petani
|
Salah satu bentuk kegiatan dalam reforma agraria adalah “konsolidasi tanah”. Secara umum, konsolidasi tanah adalah
penguatan nilai dan fungsi tanah sebagai hasil penataan bentuk, luas, dan letak
dari banyak bidang tanah dari banyak pemilik pada satu lokasi, sehingga menjadi
tertib dan teratur yang mendukung pemanfaatan tanah secara efektif dan efisien
sesuai potensinya. Dalam kegiatan ini juga dilengkapi dengan barbagai
prasarana, sarana, dan fasilitas. Konsolidasi tanah di wilayah perkotaan lebih
ditujukan kepada penataan pemukiman, lokasi perniagaan, dan untuk tranportasi;
sedangkan untuk wilayah pedesaan berisi tentang dimana lokasi pertanian,
perkebunan, areal untuk konservasi sumber daya alam, dan lain-lain. Konsep
tentang konsolidasi tanah dalam arti luas misalnya diadopsi menjadi Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) pada wilayah propinsi maupun kabupaten dan kota.
Pertanian merupakan aktifitas paling pokok yang
berkaitan dengan agraria[7].
Dalam konteks pembangunan pedesaan dan pertanian, maka persoalan tentang tanah
merupakan masalah pokok agraria. Ada empat permasalahan agraria di Indonesia
secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-perundangan,
penguasaan yang timpang, konflik penguasaan dan penggunaan [8],
serta degradasi sumber daya alam [9].
Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang dihadapi adalah penguasaan
yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik penguasaan, lahan kritis dan
marjinal, tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sulitnya
mewujudkan konsolidasi usahatani, dan
semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan antar petani.
Pembangunan pertanian di Indonesia, yang diwujudkan dalam
payung Revolusi Hijau, adalah sebuah strategi pembangunan pertanian tanpa landreform. Dalam Revolusi Hijau hanya
dibicarakan tentang “penggunaan dan pengmanfaatan”, yaitu bagaimana
menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah
dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit
usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.
Meskipun di Indonesia, implementasi landreform masih terkendala, namun pembangunan pertanian harus
jalan terus. Selain berbagai aspek yang sudah dicakup dalam Revolusi Hijau,
masih banyak hal lain yang sesungguhnya dapat dilakukan. Salah satunya adalah
dengan penataan “bagi hasil” yang
lebih adil. Dalam literatur
berbahasa Inggris, dikenal istilah ”tenancy”,
yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah yang bukan milik si penggarap. Dalam
pengertian ini tercakup sewa dan bagi hasil sekaligus. Orangnya disebut tenant atau share cropper, sementara owner crooper
adalah petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani
penggarap”. Di AS dikenal istilah cash
tenant untuk sewa dan share tenant untuk
bagi hasil.
Secara umum, “bagi
hasil” adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang
dalam bahasa Belanda disebut deelbouw,
merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia[10].
Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana
pembagian hasil terhadap dua unsur
produksi (modal dan kerja), dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari
hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan “sewa”, dalam bagi
hasil si pemilik tetap memegang kontrol
usaha.
Bagi hasil dikenal di seluruh daerah di Indonesia[11].
Di Aceh disebut dengan meudua laba untuk
bagi dua; di Sumatera Barat dikenal
sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi
Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk
bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon,
negmepat-empat, dan ngelima-lima;
sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu,
mrapat, dan seterusnya. Pemerintah telah berupaya mengendalikan bagi hasil
melalui UU Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No. 2 tahun 1960 untuk pertanian, dan
UU No. 16 tahun 1964 untuk perikanan. Namun, kedua peraturan ini hampir tidak
ada penerapannya sampai sekarang karena berbagai alasan.
Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw). Pembagian dari hasil kotor
mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan
investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung
resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih besar. Khususnya dalam
asumsi bahan yang dibeli bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika sarana
produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana
produksi yang ditanggung bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap
seluruhnya.
*****
[1] Berasal dari tulisan SMP
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi “Menelusuri Pengertian Istilah Agraria, Bogor , 1 Oktober 2001
(mimeo) yang dikutip oleh Sitorus (2002: 27).
[2] Sitorus , MT
Felix. 2002. Lingkup Agraria. (hal 25-40). Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds).
2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Yayasan Akatiga, Bandung . Hal. 28. Juga
dalam Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal
312-313. (Dalam: S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.
Yayasan Obor Indonesia
dan PT Gramedia, Jakarta ).
[3] Atas dasar aspek penguasaan
ini, dilakukan pelapisan sosial atas hak milik
atas tanah. Maka misalnya dikenal pembagian atas lapisan atas jika lebih
luas dari 0,5 ha, lalu lapisan menengah, sempit atau gurem jika kurang dari 0,5
ha, dan lapisan buruh dan petani tak bertanah (tuna kisma). (Dalam Pujiwati Sajogyo. 1985. Sosiologi
Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta dan BKKBN, Jakarta ).
[4] Wiradi, Gunawan. 1984. Pola
Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro
dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta .
[5] Wiradi, Gunawan. 1984. Hal
313.
[6] Wiradi, Gunawan. 1984. Hal
314.
[7] Keputusan
Presiden No. 169 tanggal 26 Agustus 1963 tentang tanggal lahirnya UUPA No. 5
tahun 1960, menetapkan tanggal 24 September sebagai “Hari Tani Nasional”.
[8] Salah satu konflik yang
ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan
swasta besar dimulai dari lahirnya
Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische
Wet) yang mengundang pihak swasta
kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan.
[9] Permasalahan ini tercantum
dalam Tap MPR No.IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
[10] Terdapat dalam hukum
Hammurabi pada lebih kurang 2300 SM. (Dalam: Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi
Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia , Jakarta. ).
[11] Scheltema, A.M.P.A. 1985.
Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
*****