Jumat, 22 Agustus 2008

Agribisnis

Makna secara harfiah “agribisnis” adalah ketika bertani sudah dipandang sebagai sebuah kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Lawannya adalah bertani sebagai subsisten. Dalam filosofi agribisnis, usaha pertanian perlu dijalankan sebagai mana layaknya sebuah aktifitas bisnis. Dua kata kuncinya adalah: untung dan efisien. Cara berpikir bisnis menjadi mutlak, ketika berbagai aktifitas yang esensial yang berkaitan dengan pertanian sudah dilakukan secara terpisah dan jauh dari sawah dan ladang (farm). Artinya, jika tidak mau menggunakan prinsip-prinsip bisnis, maka usaha pertanian apapun akan bangkrut.
Pengertian yang paling ringkas tentang  “agribisnis” adalah “agriculture regarded as a bussiness”. Agribisnis mencakup seluruh aktifitas mencakup  produksi,  penyimpanan (storage), distribnusi, dan processing bahan dasar dari usahatani; serta  suplai input dan penyediaan pelayanan penyuluhan, penelitian, dan kebijakan lain. Agribisnis telah menjadi bagian dari bentuk ekonomi modern, ketika aktifitas pertanian tidak lagi semata-mata hanya usahatani (farming). Banyak aktifitas terpisah dari usahatani yang menjadi faktor penentu pengembangan sebuah kegiatan pertanian. Pertanian membutuhkan pupuk yang diproduksi oleh pihak lain di tempat lain, demikian juga dengan produksi benih, kegitaan prosesing, pergudangan, dan distribusi. Adopsi teknologi dan perkembangan tatanan masyarakat, telah menyebabkan usahatani menjadi semakin terspesialisasi dan businesslike. Agribisnis mencakup bisnis banyak bidang, mulai dari usahatani, penyediaan benih, kimia (agrichemicals), mesin pertanian, perdagangan, processing, marketing, and perdagangan seceran (retail sales).
Sebagai sebuah aktifitas bisnis, maka skala menjadi penting. Karena itu kita mengenal pula salah satu definisi yang menyatakan agribisnis adalah “Farming engaged in as a large-scale business operation embracing the production, processing, and distribution of agricultural products and the manufacture of farm machinery, equipment, and supplies”. Agribisnis adalah aktifitas pertanian dengan skala besar, bukan sekala kecil sebagaimana pertanian subsisten (small family farms).
Menurut Davis dan Goldberg [1], agribisnis adalah rangkaian semua kegiatan mulai dari pabrik dan distribusi alat-alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produski pertanian, pengolahan, penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang yang dihasilkannya. Sistem agribisnis terdiri dari lima subsistem, yaitu: (1) agribisnis hulu (up-stream agribussiness) berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi pertanian, (2) pertanian primer atau disebut subsistem budidaya (on-farm agribussiness), (3) agribisnis hilir (down-stream agribussiness) atau subsistem pengolahan, adakalanya disebut dengan “agroindustri”, (4) subsistem perdagangan atau tata niaga hasil, dan (5) subsistem jasa pendukung berupa kegiatan penelitian, penyediaan kredit, sistem transportasi, pendidikan dan penyuluhan, dan kebijakan makro. Paradigma agribisnis berdiri di atas lima premis dasar, yaitu bahwa usaha pertanian haruslah profit oriented; pertanian hanyalah satu komponen rantai dalam sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang [2].
Ada satu pihak yang berpendapat bahwa agribisnis yang konsepnya dikembangkan di Amerika tersebut, sesungguhnya memiliki tujuan terselubung, yaitu ingin menguasai sumber-sumber daya negara-negara berkembang yang tidak mungkin lagi dikuasai dalam bentuk imprealisme seperti dulu. Penguasaan tersebut adalah dengan menciptakan ketergantungan petani terhadap teknologi-teknologi baru di bidang pertanian yang dikuasai sepenuhnya oleh negara maju, serta melalui sistem pasar terbuka antar negara yang tidak akan pernah berimbang dan adil.

Strategi pembangunan pertanian dengan menerapkan konsep agribisnis, sesungguhnya terdiri dari 3 tahap perkembangan yang semestinya terjad secara berurutan: yaitu:
  1. Agribisnis berbasis sumberdaya yang digerakkan oleh kelimpahan sumber daya sebagai faktor produksi (factor-driven), dan berbetuk ekstensifikasi agribisnis dengan dominasi komoditas primer.
  2. Agribisnis berbasis investasi (investasi-driven) melalui percepatan industri pengolahan dan industri hulu serta peningkatan sumberdaya manusia.
  3. Agribisnis berbasis inovasi (innovation-driven), dengan kemajuan teknologi. Komoditas bersifat padat ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik, serta nilai tambah yang besar dan pasar yang lebih luas.

Konsep agribisnis cepat berkembang. Konsep baru tentang agribisnis tidak lagi melihat sumberdaya alam dan asset sebagai titik tolak, namun customer. Kekuatan bisnis harus didasarkan kepada soft asset (tenaga kerja), bukan lagi hard asset berupa tanah, mesin dan bangunan. Aktifitas agribisnis tidak lagi harus terkonsentrasi secara geografis. Penguasaan asset pun sudah berubah dari owning asset menjadi cukup ke control asset. Jadi, pengusaha agribisnis tidak harus memiliki asset sendiri, namun yang penting adalah menguasainya ketika diperlukan. Jika sebelumnnya tenaga kerja dianggap sebagai beban, maka agribisnis ke depan harus memandangnya sebagai investasi. Pertanian tidak harus dipandang secara sempit sebagai farming belaka, namun lebih kepada proses produksi dan distribusinya. Tekanan yang sebelumnya diberikan kepada teknologi, mesti juga harus diubah menjadi ke masalah kelembagaan [3]. Bersamaan dengan itu, perhatian berlebihan kepada “efisiensi” pun sudah harus dialihkan kepada aspek “lingkungan”.
Di Departemen Pertanian, agribisnis diyakini dapat menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Karena agribisnis memiliki kemampuan untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional, mempromosikan kesejahteraan, pertumbuhan yang berkelanjutan, dan keseimbangan di antara pelaku maupun wilayah. Agribisnis dan pengembangan sistem agribisnis diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat untuk pembangunan ekonomi di Indonesia[4]. Arah Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis di Departemen Pertanian menuju empat tujuan yaitu membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis[5].
Agribisnis, baik konsep maupun implementasinya, cukup banyak dikritik. Pada sebagian pengkritik, agribisnis disejajarkan dengan konsep “corporate farming”, yang dikontraskna dengan konsep “family farm”. Konotasi negatif ini datang dari filosofi konsep "business" dan "corporation" yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang khas dari cara berpikir kapitalisme dan korporatisme.
Agribisnis juga dikritik karena dirasa tidak sesuai dengan petani di Indonesia. Menurut Mubyarto dan Santosa [6], bertani bagi sebagian besar petani di Indonesia selain untuk memperoleh pendapatan, adalah juga sebuah cara hidup (way of life atau livehood). Karena itu, petani selain sebagai homo economicus, juga harus dilihat sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah, harus dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis, sejalan dengan perubahan ilmu ekonomi menjadi ideologi, bahkan semacam agama. Ini terjadi dalam iklim, dimana model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian.
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun sesungguhnya perlu beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma tersebut, karena paradigma tersebut bukanlah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita [7]. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani dengan luas tanah sangat kecil, petani gurem, penyakap, dan buruh tani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita kepada mereka, yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Adalah tidak tepat jika hanya menghitung untung-rugi dan efisiensinya, namun sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moralitasnya. Jadi, mungkin agribisnis memang sudah sepantasnya untuk usaha-usaha pertanian yang berskala besar, misalnya perkebunan swasta, namun tidak  untuk semua petani.
Satu istilah yang sangat dekat dengan agribisnis adalah “agroindustri”. Agroindustri memiliki banyak makna. Dalam konteks teknologi, agroindustri adalah “.. a process of manufacture, preparation, preservation, packaging and commercialization, makes use of technology” [8] . Dalam skope sempit, agroindustri adalah sejumlah aktifitas yang memproduksi material dari barang primer (dari pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan), lalu memprosesnya yang dapat mencakup transformasi dan pengolahan secara fisik atau kimia, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Dalam pengertian luas, agroindustri merupakan seluruh aktifitas dalam rangkaian pertanian, sehingga menjadi sinonim dengan pengertian agribisnis[9].
Secara definisi, agroidustri adalah aktifitas mentransformasikan bahan baku hasil pertanian menjadi bahan jadi atau setengah jadi.  Disini terlibat kegiatan pengolahan yang merupakan perubahan fisik dan kimiawi, ataupun perubahan bentuk dan komposisi. Juga dicakup kegiatan penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Sebagian kalangan menyebut ini sebagai kegiatan “pasca panen”, meskipun pasca panen lebih kepada aspek teknisnya saja.
Suatu aktifitas tergolong sebagai agroindustri bila ada indikasi meningkatknya nilai tambah, menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan digunakan atau dimakan, meningkatkan daya simpan, serta menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Agroindustri biasanya diklasisfikasi atas empat level transformasi, yaitu: (1) trasformasi rendah hanya berupa pembersihan dan grading, (2) transformasi menengah yang melibatkan kegiatan pemotongan, penggilingan, dan pencampuran, (3) transformasi lanjut dengan adanya pasteurisasi, pemasakan, pengalengan, dehidrasi, ekstraksi, dan lain-lain, serta (4) transformasi rumit yang menyangkut chemical alteration dan texturization.

*****





[1] Davis, J. dan R.Goldberg. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard University, Boston, USA.
[2] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II  No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005)
[3] Dalam konteks ini, dikembangkan satu ide “agribisnis berbasis komunitas”. Pengusaha (perusahaan agribisnis) dan komunitas petani berinteraksi secara sinergis melalui kekuatan-kekuatan sosial ekonomi terhadap modal alami, yaitu modal ekonomi yang dikuasai oleh pengusaha dan modal sosial yang dikuasai kaum tani. Modal sosial adalah berupa institusi-institusi hubungan produksi pertanian yang bersifat informal-rasional, misalnya ragam bentuk penyakapan tanah (land tenancy) dan pengupahan buruh tani. (Sitorus, M.T. Felix dkk. 2001. “Agribisnis Berbasis Komunitas: Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial”. Diterbitkan untuk PT Sang Hyang Seri (Persero) Jakarta dan Pusat Kajian Agraria, LP IPB, Bogor. Hal 5-6).
[4] Bungaran Saragih. "Agribusiness System Development as a Prime Mover of the National Economy". Menteri Pertanian (http://www.deptan.go.id/english/konsep_e/5.5.2.htm., 9 Mei 2005).
[6] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II  No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005).
[7] Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II  No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005).
[8] Concept definition: Industry dealing with the supply, processing and distribution of farm products. (Source: PHC). http://www.isnar.cgiar.org/ppp/demands.htm., 9 Mei 2005.
[9] Frank Hartwich, Willem Janssen, and Jaime Tola. “Public-Private Partnerships for  Agroindustrial Research: Recommendation from an Expert Consultation”. (http://www.isnar.cgiar.org/publications/pdf/bp-61.pdf., 9 Mei 2005).