Jumat, 22 Agustus 2008

Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan satu contoh konsep yang berkembang dari sederhana, luas, dan kualitatif menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif. Sebagian orang menyebutnya sebagai konsep yang fleksibel, karena begitu banyaknya definisi yang digunakan baik dalam dunia penelitian maupun dalam kebijakan. Tidak kurang sekitar 200 definisi telah dihasilkan dalam publikasi-publikasi ilmiah[1].
Pada dasarnya, ketahanan pangan (food security) adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi.
Konsep ketahanan pangan dalam paradigma pembangunan muncul sebagai reaksi dari bentuk-bentuk program bantuan pangan (food aid) sebelumnya. Food aid adalah satu paradigma dalam pembangunan yang berpandangan bahwa solusi untuk mereka yang ditimpa kelaparan adalah melalui bantuan pangan. Sedangkan fokus food security sangat berbeda, bahwa harus ada mekanisme didalam kebijakan pembangunan untuk memerangi kelaparan dan kekurangan gizi (malnutrition). Artinya, ketahanan pangan harus sudah tercakup secara inherent dalam kebijakan pembangunan nasional, bukan program-program yang reaktif atau program “pemadam kebakaran”.
Ketahanan pangan adalah sesuatu yang multikonsep, serta didefinisikan dan diinterpretasi secara bervariasi. Namun, hasil akhir yang ingin dicapai cednerung lebih disepakati, yaitu “.... the availability of adequate supplies at a global and national level; at the other end, the concern is with adequate nutrition and well-being”[2]. Jadi, yang ingin dituju adalah tersedianya pangan, tercukupinya kebutuhan gizi, serta tentu saja kesejahteraan. Ketahanan pangan memiliki tiga dimensi, yaitu ketersediaan (availability), akses (access), dan pemanfaatan (utilization). Bekenaan dengan itu, dalam mengevaluasi kondisi ketahanan pangan, dua hal pokok yang dipelajari adalah masalah ketersediaan dan masalah distribusinya.
Konsep ketahanan pangan sudah cukup lama bergulir. Berikut akan dipaparkan perubahan konsep ketahanan pangan dari masa ke masa secara kronologis. Perubahan definisi tampaknya selalu mengikuti berbagai event besar.
Pada dekade 1960-an dan 1970-an, dunia dihadapkan kepada permasalahan pangan, yaitu ketidakcukupan produksi dihadapkan dengan kebutuhan dari penduduk yang terus bertambah, terutama di negara-negara berkembang. Dari pertemuan World Food Summit tahun 1974 dikeluarkan definisi, bahwa ketahanan pangan adalah: “availability at all times of adequate world food supplies of basic foodstuffs to sustain a steady expansion of food consumption and to offset fluctuation in production and prices”[3]. Terlihat disini fokusnya adalah kepada aspek jumlah dan kestabilan suplai pangan.
Lalu, pada tahun 1975, melalui suatu konferensi pangan, PBB mendirikan komite Ketahanan Pangan Dunia (The Committee on World Food Security),  yang bertolak dari kondisi krisis pangan di berbagai wilayah. Krisis pangan tersebut menyebabkan fokus ketahanan pangan adalah pada produkstifitas yang cukup.
Namun konsep ini dirasa kurang tepat, yang terlihat dari definisi FAO tahun 1983, karena pangan yang cukup di satu negara belum jaminan untuk seluruh warganya. Ada masalah akses yang lupa dipertmbangkan. Maka konsep ketahanan pangan berikutnya memasukkan faktor jaminan akses. Disini terlihat perhatian yang berimbang dari sisi demand dan supply. Tekanannya adalah kepada akses secara fisik dan ekonomi kepada pangan utama. Definisinya menjadi: “ensuring that all people at all times have both physical and economic access to the basic food that they need” [4].
Di tahun 1986, karena pengaruh laporan Bank Dunia tentang “Poverty and Hunger” [5], maka konsep ketahanan pangan diperluas lagi dengan memasukkan kemiskinan, pendapatan, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik. Maka definisi ketahanan pangan menjadi: “acsess of all people at all times to enough food for an active, healthy life”.
Pada periode 1990-an, ketahanan pangan telah menjadi perhatian yang penting, dengan perhatian mulai dari level individual sampai level dunia. Konsep ketahanan pangan lalu memasukkan keamanan pangan (food safety) dan kekurangan protein dan energi (protein-energy malnutrition) yang dibutuhkan untuk hidup yang aktif dan sehat. Aspek preferensi pangan (food preferences), sosial dan kultural juga ikut dipertimbangkan. Laporan Pembangunan Manusia UNDP tahun 1994 mempromosikan konsep human security, dimana ketahanan pangan menjadi salah satu komponen yang diperhatikan.
Ketahanan pangan dapat dipelajari mulai dari level individu, rumah tangga, wilayah, nasional, maupun dunia.  Dalam definisi World Food Summit tahun 1996, disebutkan: “Food security, at the individual, household, national, regional and global level (is achieved) when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life” [6].
Pada tingkat rumah tangga, semakin tinggi aksesnya terhadap pangan, maka tinggi pula ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Ini tercermin dari pangsa pengeluaran RT untuk membeli makanan. Pangsa pengeluaran tergantung kepada harga, jumlah yang dikonsumsi, dan pendapatan total RT. Menurut Hukum Working[7], pangsa pengeluaran pangan terbalik dengan pengeluaran rumah tangga. Jadi, ketahanan pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Jika pangsanya besar, maka ketahanan pangan berarti rendah.
The World Food Summit diadakan di Rome pada bulan November tahun 1996, dengan tujuan untuk memperbaharui komitmen global untuk memerangi kelaparan. Pertemuan ini melahirkan dua kesepakatan yaitu tentang Deklarasi Roma untuk ketahana pangan dunia (World Food Security) dan Rencana Aksi (the World Food Summit Plan of Action). Deklarasi Roma menyepakati untuk seluruh anggota PBB untuk menargetkan bahwa pada tahun 2015 akan mampu mengurangi setengah dari jumlah orang yang kekurangan pangan di dunia. Target ini kemudian diadopsi pula dalam pertemuan “Millenium Summit” tahun 2000. Dan dipertegas lagi pada konferensi bulan Juni 2002 di Roma dengan topik “World Food Summit; Five Years Later”. Dalam rencana aksi diteteapkan berbagai target baik untuk lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan baik pada level individu, rumah tangga, nasional, regional, dan global.
Satu konsep dekat dengan ketahanan pangan adalah “kemandirian pangan”. Kemandirian apangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan nasional secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial, dan ekonomi yang dimiliki, dan berdampak kepada peningkatan keidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat. Ini kurang lebih sama dengan konsep swasembada yang populer pada era Bimas[8].
Bagaimana cara mencapai ketahanan pangan? Menurut Deptan, ketahanan pangan dapat dicapai melalui agribisnis. “Komponen dari sistem ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi; tidak lain adalah kegiatan usaha berbasis agribisnis. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan pendekatan sistem agribisnis, yang merupakan rangkaian yang terintegrasi antara subsistem hulu, usahatani, hilir, dan subsistem jasa” [9].
Ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu kelompok masayarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka  akan terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial dan budaya masyarakat tersebut. Intinya, sistem dan seluruh kelembagaan dalam masyarakat tersebut harus memiliki visi untuk mencapai ketahanan pangan. Selama ini terbukti, bahwa secara umum, negara-negara yang berhasil mengurangi tingkat kekurangan pangan dicirikan oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan khususnya peningkatan yang tinggi pada sektor pertaniannya. Selain itu, juga dicirikan oleh pertumbuhan populasi yang rendah, serta mampu mencapai rangking tinggi untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) [10].
*****
[1] Maxwell, S. and Smith, M. 1992. “Household food security; a conceptual review”. Dalam: S. maxwell and TR Frankenberger, eds. “Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements: A Technical Review”. New York and Rome: UNICEF and IFAD, (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO hal 25).
[2] FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO. Hal 3.
[3] United Nations. 1975. “Report of the World Food Conference, Rome 5-16 November 1974”. New York (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO. Hal 27).
[4] FAO. 1983. “World Food Security: a Reappraisal of the Concepts and Approaches”. Director General’s Report. Rome.
[5] Menurut Laporan FAO, tahun 1998 sekitar  828 juta orang mengalami kelaparan yang kronis, dan dua  milyar orang menglami kurang pangan  karena kemiskinan.
[6] FAO. 1996. “Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit Plan of Action.” World Food Summit 13-17 November 1996. Rome.
[7] Working, H. 1943. “Statistical Laws of Family Expenditure”. Journal American Stat. Association. Vol. 38 (221) March 1943. hal.  43-56.
[8] “Swasembada absolut” adalah apabila seluruh kebutuhan pangan berasal dari dalam negeri sendiri. Sedangkan “swa sembada on trend” adalah apabila dalam jangka menengah ketersediaan pangan tetap cukup, meskipun kadangkala mengimpor, namun diimbangi dengan mengekspor, dan secara agregat sesungguhnya cukup.
[9] Departemen Pertanian. 2002. Hal. 67.
[10] Dari The State of Food Insecurity in the World 2003.  (http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/docrep/006/j0083e/j0083e00.htm,11 Juli 2005).