Kamis, 21 Agustus 2008

Sumberdaya Manusia

Istilah “sumber daya manusia”, seringkali dipendekkan menjadi “SDM”,  merupakan terjemahan langsung dari bahasa Inggris “human resource”. Dua konsep yang dekat dengan ini adalah “human capital” [1] dan “human labour”. Ketiganya memiliki banyak kesamaan, dimana manusia lebih dipandang dari kaca mata ekonomi yaitu peranannya dalam aktifitas ekonomi, dibandingkan banyak sisi lain dari manusia yang sesungguhnya dapat diperhatikan.

Dalam teori ekonomi klasik, human labour adalah bagian yang ditambahkan kepada lahan untuk memproduksi suatu produk. Namun, dalam teori ekonomi neoklasik, lahan dan tenaga kerja dipisahkan dari kapital berupa fisik, dimana faktor produksi terbagi menjadi tanah, tenaga kerja, dan kapital. Lebih jauh kemudian, kontribusi tenaga kerja dalam satu produksi dibagi menjadi konribusi murni tenaga kerja dan kontribusi dari ingenuity dan skill (sesuatu yang dipelajari). Pengembangan konsep baru terhadap human capital sangat membantu untuk menjelaskan kesenjangan setelah dihitung kontribusi lahan, tenaga kerja dan kapital. Inilah sesungguhnya peran apa yang disebut dengan human capital, beda dengan labour. Dalam konteks inilah pendidikan menjadi penting.

Ekonomi-politik klasik menganggap bahwa produksi barang dan jasa tergantung kepada tanah, modal (capital), dan tenaga kerja (labour). Ekonomi neoliberal tidak seobyektif itu dalam melihat modal dan tenaga kerja; namun lebih subjektif (subjective-voluntarist). Upah dari seseorang bukanlah “harga” dari tenaga kerja yang dijual, tetapi “laba” dari “modal” yang dipunyainya berupa otot, keterampilan, pengetahuan, dan lain-lain.
Satu penjelasan lain menyatakan bahwa “modal manusia” sesungguhnya terdiri dari dua unsur, yaitu berupa ciri genetis bawaan, serta  keseluruhan keterampilan yang dicapai dari gizi, pendidikan, latihan, dan lain-lain. Menurut pendapat lain, sumber daya manusia memiliki dua pengertian, yaitu[5]:
Satu, Usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Disini tekananya pada kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa.
Dua, Manusia yang mampu bekerja memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Ini menunjuk kepada manusianya atau orangnya yang mampu bekerja untuk pekerjaan ekonomi. Kemampuan bekerja diukur dengan usia, sehingga menjadi “usi kerja”. Ia disebut sebagi tenaga kerja atau “manpower”, umumnya adalah mereka yang berumur antara 15 sampai 65 tahun.
Salah satu  konsep yang dekat, namun berbeda sisi pandang dengan konsep SDM adalah konsep “kualitas manusia”. Konsep ini memandang manusia secara lebih luas. Secara umum kualitas manusia terdiri atas dua hal, yaitu fisik dan non fisik[6].  Secara fisik, menyangkut tentang kebugaran yang berkaitan dengan kesegaran jasmani, kesehatan, dan daya tahan fisik agar terus produktif. Salah satu cara pengukurnanya adalah melalui Physical quality of Life Index (PQLI), yang mengukur kesejahteraan fisik, yaitu usia harapan hidup waktu lahir, angka kesakitan, angka kematian, kemampuan paru-paru (vo max), serta tinggi dan berat badan. Sementara, kualitas non fisik diukur atas dasar [7]: (1) kualitas kepribadian yang mencakup kecerdasan, kemandirian, kreatifitas, ketahanan mental, serta keseimbangan antara emosi dan rasio; (2) kualitas bermasyarakat berupa kesetikawanan, solidaritas, dan keterbukaan; (3) kualitas berbangsa; (4) kualitas spritual berupa religiusitas dan moralitas; (5) wawasan lingkungan; dan (6) kualitas kekaryaan yang berupa aspirasi dan potensi untuk melakukan kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu sebaik-baiknya.

Satu aspek penting pada manusia yang sering dipelajari adalah “etos kerja”. Etos kerja merupakan sikap dasar, sikap hidup, semangat, dan nilai yang ada pada individu dan masyarakat terhadap kerja. Etos kerja merupakan pola bagi (fungsi nilai) dan unsur pendorong (fungsi sikap) untuk mewujudkan perilaku kerja. Ia merupakan wujud ideal serta wujud mentalitas dari manusia bersangkutan. Etos kerja menyangkut sistem nilai yang dianutnya. Dikenal empat konsep etos kerja yaitu: sebagai nilai, sikap dasar dan sikap hidup, terwujud pada perilaku, dan sebagai bentuk respon terhadap lingkungan.
Secara umum, sumberdaya manusia (human resources) adalah “…. the people who are ready, willing and able to contribute to organizational goals” [2].  Artinya, tidak semua manusia disebut sebagai sumberdaya manusia walau semuanya dapat berpotensi sebagai sumberdaya manusia.  Hanya mereka yang yang siap, ingin, dan berkontribusi nyata yang disebut dengan sumberdaya manusia.
Dalam batasan lain, SDM yang dimaknai sebagai “the persons employed in a business or organization”, manusia seringkali disebut sebagai “personnel”. Kita mengenal, bahwa Bagian Human Resources yang ada dalam satu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan, dengan melakukan rekruitmen, seleksi, pelatihan, dan program-program peningkatan kapasitas lainya. Manusia disini hanya dilihat dari sisi apa yang bisa dihasilkannya. Ibarat ayam, ia hanya dinilai dari berapa telor yang dihasilkannya tiap hari untuk perusahaan.
Setidaknya ada dua makna pokok untuk human resources, yaitu yang tradisional dan yang modern. Pada pengertian tradisional, human resources adalah manusia yang ada dalam perusahaan dan bidang bisnis lain, yang menunjuk kepada individu-individu dalam perusahaan, berkaitan dengan rekruitmen, penggajian, pelatihan, dan lain-lain. Pengertian ini datang dari konsep dalam ilmu ekonomi dan ekonomi politik, yang biasanya menggunakan istilah “labor”, sebagai satu dari dua faktor produksi lainnya yaitu tanah dan modal. Ini adalah pemaknaan yang sempit, yang hanya melihat pada aspek keterampilan dan kemampuan manusia dalam konteks employment. Dalam pengertian yang sederhana ini, manusia hanyalah faktor produksi dana sekligus komoditas yang cenderung homogen dan dapat dengan mudah dipindahkan dan dipertukarkan.
Dalam literatur-literatur lama akan ditemukan bahwa, SDM sama dengan "physical means of production" [3], sebagaimana mesin dalam sebuah pabrik. Dalam makna ini, manusia hanyalah aset perusahaan. Ia mudah dipertukarkan (substituable) dengan mesin misalnya, kalau perusahaan menginginkannya. Ini adalah makna yang sempit yang hanya berkenaan dengan keterampilan dan pengetahuan yang berguna atau bernilai eknomi sehingga orang mau menggunakan dan membayarnya.
Analisis yang lebih modern melihat bahwa manusia (human beings) tak dapat hanya dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang pasif dan bekerja sesuai kontrak belaka.  Manusia mestilah dipandang sebagai makhluk sosial (social beings) yang dicirikan oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh makhluk lain di bumi ini, yang  menyumbangkan tak semata-mata sekedar aspek “labor”-nya saja kepada masyarakat dan peradaban. Ini adalah konsep yang lebih luas yang telah mencakup kekomplekkan manusia. Manusia tak hanya memiliki tenaga yang upahnya dapat dihitung berdasarkan jam kerja, namun juga memiliki intellectual capital yang tidak mudah dinilai kontribusinya.
Dalam perjalanannya sesungguhnya ada debat antara "human resources" dengan “human capital”, sebagaimana debat antara  “natural resources” dengan “natural capital”. Namun, seringkali banyak penulis yang tidak sadar tentang perbedaan tersebut, dan menggunakan kedua istilah tersebut dalam makna yang sama. Dalam teori human development yang berkembang lebih jauh,  SDM telah diperdalam dalam konteks social trust sehingga melahirkan istilah social capital, kemampuannya berkomunikasi dan berbagi sehingga menghasilkan kemampuan instructional capital”, dan kemampuan kepemimpinan dan kreatifitasnya sehingga melahirkan “individual capital”.
Dalam konteks lain, misalnya dalam berbagai buku statistik akan kita temukan, bahwa “tenaga kerja” (employed) dibedakan atas 3 macam, yaitu tenaga kerja penuh (full employed), tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed) dan tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed)[4]
Dalam ilmu Ekonomi Sumberdaya Manusia dibicarakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan tenaga kerja, permintaan tenaga kerja, dan pasar kerja. Investasi untuk SDM disebut dengan human capital, yaitu berupa pendidikan, latihan, migrasi, serta perbakan gizi dan kesehatan. Lihat, disini digunakan istilah “investasi untuk SDM”, bukannya SDM itu sendiri adalah investasi. Jika bertolah dari istilah “investasi untuk SDM”, artinya pada masanya ia harus mampu berproduksi sesuai dengan investasi tadi. Jika SDM dipandang sebagai investasi, maka implikasinya akan lebih luas.
Salah satu cara pandang yang agak berbeda dan mendapat perhatian akhir-akhir ini adalah tentang konsep “modal manusia” menurut Hernando de Soto [8]. Menurutnya, manusia dengan kemauan, pikiran dan tenaga adalah modal pembangunan. Manusia yang memiliki semangat, sehat, dan kreatif, akan menjadi tenaga kerja produkstif. Ia mengkritik pandangan ekonomi konvensional, dimana yang dimaksud dengan modal hanyalah uang (cash money), serta aset lain yang bernilai ekonomi; sedangkan manusia bukan. De Soto merubah pandangan tadi, sehingga sumberdaya manusia dipandang sebagai asset, bukan lagi beban (liabilities) dalam pembangunan. Dalam konsep baru De Soto, manusia merupakan agen-agen aktif yang mengumpulkan modal, mengekploitasi sumberdaya alam, dan membangun organisasi-organisasi sosial. Manusia adalah solusi pembangunan, bukan masalah[9].
Bertolak dari konsep human resources”, satu aspek penting yang sering menjadi perhatian dalam dunia ekonomi dan bisnis adalah  konsep “pengembangan sumber daya manusia” (Human Resources Development = HRD). Salah satu metode yang digunakan disini adalah metode pendidikan untuk orang dewasa (andragogi) [10]. Metode andragogi bersama-sama dengan penerapan teori social capital dapat berkontribusi untuk mentransformasikan masyarakat tradisional, melalui lingkungan belajar yang kondusif, penekanan pada pentingnya social networks, kemitraan (partnerships), kerjasama, dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Social capital menyediakan jaringan yang sangat berarti untuk membantu belajar tentang lingkungan kerja sehari-hari.
Pengembangan sumberdaya manusia dimaksudkan untuk memastikan bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas akan selalu tersedia.  Beberapa kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal, pelatihan dan penyuluhan.  Ketiga faktor ini menentukan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan merupakan peubah utama dari kualitas sumberdaya manusia.   Makin meningkat pendidikan seseorang, maka kualitas kerjanya  (performance) juga meningkat.  Pendidikan mampu memperluas ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik seseorang.  Dalam paradigma tradisional, sumberdaya manusia dalam organisasi hanya dianggap sebagai pelengkap saja [11], sehingga peran utama sumberdaya manusia lebih bersifat sebagai pelaksana administrasi. 
Manusia terdiri atas tubuh (fisik, jasad, body), jiwa (roh, soul) dan perpaduan tubuh dan jiwa (nir fisik).  Jika pandangan terfokus pada fisik saja, maka digunakan istilah tenaga kerja, dimana peubah yang diperhatikan adalah masalah gizi, hari orang kerja (HOK), jumlah jam kerja, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai input produksi.  Namun sesungguhnya, tubuh dan jiwa tak terpisahkan. Gabungan tubuh dan jiwa disebut nir fisik, berupa akal dan ingatan yang mengendalikan tubuh,  Maka peubah yang diamati disini adalah: kemampuan, motivasi, kreativitas, inovasi, kekosmopolitan, empati dan antusiasme.  Hal ini merupakan landasan berfikir dalam pengembangan sumberdaya manusia. Walau saat ini masih bertumpu pada kemampuan (skill) saja dan sedikit pada pengembangan motivasi.
Faktor nir fisik terdiri dari kemampuan, motivasi, kreativitas, inovasi, kekosmopolitan (cosmopolitness), empati, dan antusiasme (semangat atau spirit).  Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan lebih hanya untuk peningkatan kemampuan, sedangkan pengembangan motivasi, kreativitas, inovasi, kekosmopolitan, empati dan antusiasme mengarah pada hal-hal yang mendukung kemampuan untuk mencapai produktivitas kerja  yang tinggi.
“Motif” merupakan daya gerak yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu.  Sementara, “motivasi” adalah kegiatan memberikan dorongan, membangkitkan motif atau daya gerak kepada diri sendiri (motivasi intrinsik) atau kepada orang lain (motivasi ekstrinsik) untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu tujuan atau kepuasan.  Motivasi dapat meningkatkan produktivitas kerja pegawai secara signifikan, terutama motivasi intrinsik.
Berbeda dengan “motif”, “antusiasme” berhubungan dengan dorongan semangat untuk mencapai sesuatu harapan.  Kemampuan yang tinggi didorong oleh semangat yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja.  Tanpa adanya semangat, orang tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan atau diharapkan. Sementara, “kreatifitas” banyak dikembangkan dalam kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan agar peserta lebih kreatif dalam mengembangkan sumberdaya yang ada untuk menghasilkan inovasi baru.  Petani dan pegawai yang kreatif dan inovatif  tidak akan mengalami masalah dalam bekerja.
Kekosmopolitan mengarah pada pengembangan wawasan sumberdaya manusia.  Seseorang yang berada di satu tempat saja tentu mempunyai wawasan yang lebih sempit bila dibandingkan dengan orang yang sering berpindah tempat.  Orang yang sering keluar negeri biasanya mempunyai wawasan yang lebih luas daripada orang yang hanya berada di Indonesia.
Empati berhubungan erat dengan kemampuan mengendalikan emosi dalam berkomunikasi dengan orang lain.  Empati membuat adanya tenggang rasa di antara sesama.  Dalam bekerja, tidak hanya kecerdasan otak atau IQ (Intelligence Quotient) yang dibutuhkan, tapi juga kecerdasan emosional (Emotional Quotient = EQ)[12], karena EQ dapat menjembatani celah antara apa yang diketahui dengan apa yang dilakukan, serta kecerdasarn spritual (Spiritual Quotient = SQ). Setiap kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dimaksudkan untuk mengembangkan aspek fisik dan nir fisik yang menyangkut IQ, EQ dan SQ yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup sumberdaya manusia.
Lebih mendasar dari itu, “Etos” adalah sikap mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup [13]. Ia merupakan aspek evaluatif, berkenaan dengan ide, cita, pikiran yang akan menceritakan sistem tindakan. Sumber yang kuat untuk menghasilkan etos adalah keyakinan religius. Artinya, kerja dianggap sebagai kewajiban hidup yang sakral. Yang lebih bernilai adalah “kerjanya”, bukan “hasil kerjanya”. Selain dari religi, etos juga dapat berasal dari nilai-nilai budaya dan sikap hidup suatu masyarakat. Jadi, sumber motivasi kerja seseorang dapat berasal dari agama yang dianutnya, kebudayaan, sistem soisal, kepribadian, dan lingkungannya.
Satu istilah yang sering pula hadir ketika membicarakan masalah sumber daya manusia adalah “Profesionalisme”, yang berkenaan dengan pekerjaan pelayanan, dan berkembang dalam bidang manajemen bisnis. Profesionalisme adalah suatu tipe profesi yang mempertunjukkan suatu kompleks karakteristik untuk berkembang. Elemen utamanya adalah tanggung jawab individual, aplikasi dari teknik-teknik intelektual, kecenderungan kepada sikap yang mandiri (self-organization), dan peningkatan motivasi altruistik. Seseorang akan menjadi profesional apabila memiliki  keterampilan yang didasarkan pengetahuan teoritis, keterampilan yang membutuhkan training dan pendidikan, menunjukkan kompetensi dengan melewati test, integritas, terorganisasi, dan pelayanan kepada pbulik.
Satu cara mengukur sumber daya manusia adalah melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004[14],  nilai NHDR Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index = HDI)[15] meningkat dari 64,3 persen tahun 1999, menjadi 66,0 persen taun 2002. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bertolak atas 3 dimenasi dasar, yaitu umur yang panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiganya berturut-turut diukur melalui tiga indikator, yaitu: (1) Harapan hidup saat lahir atau indeks harapan hidup, (2) Indeks pendidikan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta (3) Pengeluaran perkapita, untuk mengetahui indeks pendapatan.

*****




[1] Dalam The New Encyclopedia Britanica Edisi 15 tahun 1987 volume 18 hal. 105-6 ada entry untuk human capital dalam bagian “Social and Economic Education”, namun tidak ada untuk kata human resource.
[2] Werther Jr WB, Davis K. 1996. Human Resources and Personnel   Management. USA: McGraw-Hill, Inc.
[3] Dalam konsep ekonomi neoklasik, misalnya artikel "Investment in Human Capital" dalam The American Economic Review in 1961 oleh Theodore Schultz,  serta Jacob Mincer and Gary Becker dalam buku “Human Capital” yang dipublikasikan tahun 1964.
[4] Menurut batasan BPS, tenaga kerja penuh adalah tenaga kerja yang mempunyai jumlah jam kerja lebih atau sama dengan 35 jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan uraian tugas, sedangkan tenaga kerja setengah menganggur adalah tenaga kerja dengan jam kerja kurang dari 35 jam  dalam seminggu.  Dan, tenaga kerja yang menganggur (unemployed) adalah tenaga kerja dengan jam kerja nol sampai satu jam per minggu.
[5] Simanjuntak, Payaman J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 138 halaman.
[6] Dahlan, M. Alwi. 1993. Menjabarkan Kulaitas dan Martabat Manusia dan Masyarakat. Hal. 3-22.  Dalam: Sofian Effendi et al. (eds) 1993. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Gajah Mada University Press Cet.2. 700 hal.(hal. 8-10).
[7] Didasarkan kepada indikator yang dikembangkan oleh Kantor Meneg Kependudukan dan Lingkungan Hidup, tahun 1983.
[8] Hernando de Soto 2001. Mistery of The capital: Whay Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. New York: Basic Books.
[9] Hal ini telah dibuktikan oleh Singapur, Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Manusia-lah yang menjadi kunci kemajuan yang diperolehnya, meskipun mereka lemah dalam sumberdaya alam.
[10] Rob F. Poell dan  Joseph W. M. Kessels. Andragogy and Social Capital Theory: The Implications for Human Resource Development. University of Twente, the Netherlands  dan Tilburg University HR Studies Department, the Netherlands.
[11] Cascio WF.  1995.  Managing Human Resources, Productivity, Quality of  Work Life and Profit. 4th ed. NY: McGraw Hill, Inc.
[12] Menurut Patton P.  (1998:  EQ (Kecerdasan Emosional) di Tempat Kerja.  Jakarta:   Pustaka Delaprasata.  Terjemahan dari:  EQ (Emotional Intelligence) in  The Workplace), EQ artinya menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan di tempat kerja.
[13] Geertz, Clifford. Ethos, World View, and The Analisys of Sacred Symbols. Dikutip dari Taufik Abdullah. 1988. Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Hal. 3.
[14] Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (The National Human Development Report = NHDR) tahun 2004, Ekonomi dan Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. 20 juli 2004. Kerjasama BPS, Bappenas, dan UNDP.
[15] HDI diciptakan oleh Dr. Mahbub ul-Haq, dalam upaya memperbesar pilihan-pilihan manusia di semua bidang kehidupan.  HDI sangat economic tools, sangat fisikal, dan terlalu mereduksi. Hak atas pangan misalnya direduksi menjadi “konsumsi” dan “daya beli” belaka.