Kamis, 21 Agustus 2008

Pembangunan Pertanian

Pertanian adalah suatu kegiatan produksi biologis untuk menghasilkan berbagai kebutuhan manusia, termasuk sandang, pangan, dan papan. Produksi tersebut dapat dikonsumsi langsung maupun jadi bahan antara untuk diproses lebih lanjut. Dalam batasan ilmiah, pertanian (agriculture), adalah suatu ilmu dan aktifitas yang memproduksi tanaman dan ternak dari sumbe daya alam. (”…science and practice of producing crops and livestock from the natural resources of the earth”). Pada literatur berbahasa Inggris kita juga mengenal “farming” yang sering kali diterjemahkan menjadi “usaha tani”. Secara umum, farming  adalah “the science, art, and business of cultivating soil, producing crops, and raising livestock”.

Pertanian awal pada masyarakat yang masih nomaden adalah dengan berburu binatang, menangkap ikan, dan mengumpulkan makanan yang jatuh dari pohon. Lahirnya pertanian komersial di Abad Pertengahan didorong oleh peningkatan komunikasi, revolusi komersial, dan peningkatan penduduk kota di Eropa barat, sehingga merubah dari pertanian subsisten ke komersial. Pada pola ini, teknologi menjadi sumber pertumbuhan produksi pertanian. Ketika pertanian sudah berkembang menjadi aktifitas yang semakin kompleks, maka berkembang berbagai aktifitas tersendiri, sehingga misalnya kita mengenal bidang-bidang agronomi, hortikultura, entomologi, peternakan, mesin-mesin pertanian (agricultural engineering), permasalahan kesuburan tanah, dan ekonomi pertanian.
Bertani juga berkaitan dengan masalah pertanahan (landholding) atau agraria. Ini menjadi titik masuknya masalah pertanian  ke dalam dunia politik. Politik pertanian kemudian juga berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri. Ada dua model pendekatan politik pertanian, yaitu [1]: (1) Model yang bersifat analisis teknis-ekonomi. Pada sisi pandang ini, pertanian dikalkulasikan dalam konteks untung rugi, sehingga indikatornya adalah hasil produksi, nilai produksi, beban biaya pembangunan, kebutuhan investasi, dan lain-lain. (2) Model yang bersifat kelembagaan. Disini kelembagaan menjadi perhatian dalam alokasi sumberdaya, dan menjadi orientasi kegiatan pembangunan atau investasi. Kelembagaan menjadi variabel penentu kegiatan secara keseluruhan.
Dalam buku-buku pelajaran di sekolah seringkali disampaikan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris.  Berdasarkan karakteristik sumber daya alam dan masyarakatnya, serta “posisi” dalam tatanan ekonomi dunia, semestinya memang pertanian merupakan leading sector pembangunan.  Akan tetapi, tampaknya perhatian terhadap pertanian belum memadai. Hal ini disebabkan paradigma bahwa kemajuan suatu negara diindikasikan oleh berapa proporsi pendapatan masyarakatnya dari sektor industri dan jasa. Model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan ‘menurunkan’ sumbangan sektor pertanian[2].
Satu kesalahan yang pokok yang dilakukan Indonesia selama ini adalah karena pembangunan sektor pertanian “disamakan” dengan sektor-sektor lain [3]. Semestinya didasarkan atas kondisi dan kebutuhannya, sehingga pembangunan pertanian harus dirancang sebagai sesuatu yang khas Indonesia. Perlindungan kita kepada petani sendiri lemah. Amerika Serikat contohnya, telah mengeluarkan Agricultural Adjustment Act tahun 1933 sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap keunikan pertanian. Demikian pula dengan Jepang. Inilah salah satu paradoks pembangunan, karena negara-negara maju yang mengandalkan sektor industri, justeru sangat memproteksi petani dan pertaniannya.
Revolusi hijau (green revolution) merupakan payung pembangunan pertanian yang berlangsung di berbagai belahan dunia sepanjang paruh kedua abad ke 20. Revolusi hijau adalah peningkatan produktifitas pertanian dengan menerapkan teknologi, yaitu penggunaan benih unggul (high-yield varieties), peningkatan dosis dan ragam jenis pupuk dan obat-obatan, mekanisasi pertanian, dan berbagai teknik lain. Dengan menggunakan teknologi secara efisien, diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi dan produktifitas.  Jadi, dalam revolusi hijau terjadi perubahan pola budi daya tanaman dengan tekanan kepada efisiensi. Tujuannya adalah untuk membantu negara-negara berkembang mencukupi kebutuhan pangannya karena tekanan penduduk yang masih terus meningkat.
Revolusi hijau dimulai ketika Rockefeller Foundation dan pemerintah Mexico mendirikan The Cooperative Wheat Research and Production Program untuk peningkatan produksi pertanian, tahun 1944. Keberhasilan produksi gandum di Mexico ini, lalu diikuti dengan pengembangan program di India dan Pakistan, dan diklaim telah mampu  menyelamatkan 1 milyar orang dari kelaparan. Program ini terutama berkembang di benua Afrika dan Asia, yangmarak pada tahun 1960-an. Seorang ahli yang merancang sekaligus menjadi pelaku aktif revolusi hijau adalah Prof. Norman Borlaug, yang untuk usahanya ini dianugerahi hadiah Nobel tahun 1970.
Menurut FAO, revolusi hijau telah mengajarkan kepada petani sedunia bagaimana pentingnya inovasi teknologi sehingga berhasil memberikan keuntungan bagi petani melalui peningkatan efisiensi usaha tani dan pendapatan. Peningkatan produktivitas, standar kehidupan, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akibat revolusi hijau telah mengangkat jutaan orang dari belitan kemiskinan [4].
Meskipun demikian, revolusi hijau juga banyak menuai kritik. Kritik tersebut terutama datang dari pemerhati lingkungan, yaitu tentang menurunnya keragaman biodiversitas (biodiversity) dan kualitas pangan, ketergantungan kepada bahan bakar fosil yang meningkat, serta penggunaan bahan kimia berlebihan untuk pupuk, pestisida, dan herbisida. Akibat pada lingkungan adalah peningkatan polusi karena sisa bahan kimia tersebut di air dan tanah, degradasi lahan karena penggunaan terus menerus, irigasi intensif, matinya mikroorganisme tanah karena kimia berlebihan, dan erosi tanah. Kritik dari sisi sosial, adalah terjadinya ketimpangan, karena usahatani skala kecil tidak mampu bersaing dengan usahatani skala besar yang lebih efisien. Selain itu, juga terjadi ketergantungan yang tinggi terhadap input luar usahatani seperti benih, pupuk dan obat-obatan. Ketergantungan ini bahkan terjadi pada skala makro, yaitu tergantungnya negara berkembang terhadap negara produsen input usahatani tersebut yang umumnya adalah negara-negara maju.
Di Indonesia seluruh teknologi revolusi hijau disatukan dalam paket “Panca Usahatani”. Revolusi hijau di Indonesia diimplemantasikan dalam program Bimas (Bimbingan Massal) yang merupakan suatu sistem yang diciptakan untuk program intensifikasi dan ekstensifikasi oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan. Dalam struktur Bimas terdapat kelembagaan penyuluhan, teknologi, kredit [5], dan koperasi untuk penyampaian input sarana produksi. Berkat revolusi hijau, tahun 1984 Indonesia diakui telah berswasembada beras oleh Food and Agriculture Organization (FAO).  Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi, penerapan kebijakan harga baik untuk sarana produksi dan hasilnya, serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur dari pemerintah.
Bersamaan dengan kritik terhadap revolusi hijau, juga banyak kritik terhadap Program Bimas. Gerakan Bimas dinilai gagal meningkatkan kesejahteraan petani secara keseluruhan karena terlalu berorientasi kepada peningkatan produksi. Meskipun seringkali dikatakan bahwa teknologi bersifat netral, namun manfaat terbesar diperoleh petani berlahan luas dan pemilik tanah, dan menyingkirkan petani kecil dan buruh tani. Selain itu, program Bimas mahal. Program ini mungkin rugi, jika dikalkulasikan antara perolehan manfaat dengan biaya ekonomi dan sosial yang telah dikeluarkan. Kerusakan lingkungan juga terjadi, khususnya pada air dan tanah karena penggunaan pestisida dan pupuk yang tidak terkendali.
Berdasarkan pelajaran dari kelemahan revolusi hijau, maka kemudian bergulir konsep “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”. Kerusakan sumber daya alam, terutama degradasi kesuburan tanah akibat eksploitasi berlebihan, akan mengancam kelangsungan produksi pertanian. Namun, jika dipelajari dari aspek yang mendasar, sumber utama kekeliruan pembangunan pertanian adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), namun tidak disertai pemerataan dan keadilan sosial. Meskipun di satu sisi dicapai peningkatan produksi, namun jika jumlah penduduk miskin tidak menurun, maka  secara keseluruhan pembangunan pertanian pun akan terancam.
Sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, satu konsep lain yang digulirkan “pertanian organik”. Pertanian organik (organic agriculture) adalah "….. a holistic production management system which promotes and enhances ecosystem health, including biological cycles and soil biological activity” [6]. Istilah pertanian organik  merujuk kepada proses yang menggunakan metode-metode yang sangat menghargai aspek lingkungan, mulai dari tahap produksi. Ia tidak semata-mata memikirkan produksi, namun mempertimbangkan keseluruhan sistem untuk memproduksi sampai dengan  mengantarkan ke konsumen. Pertanian organik didasarkan atas prinsip meminimalkan penggunaan input luar (external inputs), serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida buatan. Ia menginginkan untuk meminimalkan polusi udara, tanah, dan air. Perhatian utamanya adalah kepada “kesehatan manusia” dan “produktifitas pangan”.
Jadi, dapat dikatakan, melalui pertanian oragnik sesungguhnya terkandung keinginan untuk mandiri. Artinya, ada keinginan untuk lepas dari ketergantungan terhadap produsen berbagai input sarana produksi yang dikuasai perusahaan-perusahaan kapitalis dunia. Jadi secara filosofis, pertanian organik merupakan salah satu media untuk melawan keperkasaan liberalisme-kapitalis-globalisasi.

Di Indonesia, selepas program Bimas,   telah beberapa konsep pembangunan pertanian digulirkan. Dua di antaranya adalah corporate farming dan agropolitan. Corporate Farming adalah model konsolidasi pengelolaan usahatani dengan tujuan meningkatkan efisiensi, yaitu dengan penyatuan manajemen usaha sehingga dapat memenuhi skala ekonomi untuk dikelola secara modern dan menerapkan teknologi maju. Ini merupakan suatu bentuk kerjasama ekonomi sekelompok petani dengan orientasi kepada agribisnis [7].

Sementara,  agropolitan merupakan satu bentuk yang memadukan konsep pembangunan wilayah dengan pembangunan pertanian, dimana  kegiatan pertanian sebagai basis pembangunan wilayah. Dalam satu unit agropolitan dilakukan pewilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai dengan karakteristik alam dan manusianya. Pada pusat pertumbuhan dibangun aktifitas agroindustri, sementara wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang diorganisasikan dalam wadah koperasi, atau dalam perusahaan kecil dan menengah. Kunci keberhasilan pembangunan Agropolitan adalah dengan memberlakukannya sebagai suatu unit otonom mandiri, yang secara ekonomi mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertaniannya sendiri, dan terintegrasi secara sinergik dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya.

Secara umum, pembangunan pertanian perlu merubah paradigma dari sekedar memproduksi komoditas ke peningkatan kapabilitas, cara-cara baru agar mampu menghasilkan produk yang berkarakter the best commodity, yaitu unggul, lebih baik, lebih bercitra, dan dengan input yang sedikit[8]. Hanya dengan strategi inilah pertanian Indonesia mampu bersaing dalam pasar global.

*****
[1] Mubyarto. 1983. “Politik Pembangunan Pedesaan”. Hal 58-59.
[2] Mubyarto dan Awan Santosa. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik Terhadap paradigma Agribisnis”. Majalah Ekonomi Rakyat, Th. II  No. 3,  Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm,  31 maret 2005).
[3] Pakpahan, Agus dkk. (7 penulis). 2005. “Membangun Pertanian Indonesia: Bekerja Bermartabat dan Sejahtera”. Diterbitkan oleh Himpunan Alumni IPB. 207 halaman. Maret 2005 Cet. II. Hal 30-1.
[4] Persentase populasi yang menderita kekurangan pangan di dunia menurun selama 30 tahun terakhir sejak Revolusi Hijau dicetuskan, yaitu dari 28 persen pada periode 1969-1971 menjadi 17 persen pada tahun 1999-2001. Penurunan persentase kekurangan pangan tertinggi disumbang oleh wilayah Asia Pasifik, yaitu dari 42 persen menjadi 16 persen. Penurunan yang kecil terjadi di Amerika Latin dan Karibia.
[5] Kredit berasal dari bahasa Latin “credere” yang artinya percaya atau kepercayaan. Credit = dia percaya kepada. Artinya, suatu pinjaman adalah atas dasar kepercayaan. Pihak yang memberi disebut kreditor, dan pihak yang menerima disebut debitor.       Makna “kepercayaan” ini lalu menjadi bias, karena dalam pengertian umum, kredit adalah adalah pemberian uang, barang, atau jasa kepada orang yang perlu dengan syarat dibayarkan kembali dalam waktu yang ditentukan. Dari sisi hukum, suatu perjanjian disebut kredit jika pihak yang satu memberikan kelonggaran kepada pihak lain untuk menunda pembayaran hutangnya. Jadi disini, yang ditekankan adalah “waktu”, bukan “bunga”.

[6] Menurut batasan The Codex Alimentarius Guidelines for the Production, Processing, Labelling and Marketing of Organically Produced Foods. (Dalam” Nadia El-Hage Scialabba and Caroline Hattam (eds). “Organic agriculture, environment and food security”. Environment and Natural Resources Service Sustainable Development Department. (http://www.fao.org/documents/show cdr.asp?url_file=/ DOCREP/ 005/Y4137E/y4137e00.htm, 14 April 2005).
[7] Petani dirdorong ke luar usahatani ke pekerjaan non-farm dan off-farm. Di Deptan konsep ini digulirkan tahun 2000, namun kemudian banyak menuai kritik. Percobaan di beberapa lokasi tampaknya kurang memberi hasil yang menggembirakan, sehingga tidak lagi menjadi isu di tingkat pengambil kebijakan.
[8] Pakpahan, Agus dkk. (7 penulis). 2005. “Membangun Pertanian Indonesia: Bekerja Bermartabat dan Sejahtera”. Diterbitkan oleh Himpunan Alumni IPB. 207 halaman. Maret 2005 Cet. II. Hal 62.