Kamis, 21 Agustus 2008

Pembangunan Berkelanjutan

         

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu dari beberapa koreksi terhadap “Teori Pembangunan”. Apa yang dibanggakan dengan “pembangunan” ternyata hanya dirasakan 20 persen penduduk bumi. Selain itu, terjadi kerusakan yang serius pada sumberdaya alam akibat eksploitasi yang mengejar keuntungan belaka.
Ide pokok lahirnya konsep “pembangunan berkelanjutan” (di buku ini saya singkat menjadi “PB”) berasal dari masalah “lingkungan”. Konsep “berkelanjutan” awalnya merupakan konsep dari kelompok  ahli sosial dan ekologi[1], namun kemudian juga diambil alih oleh orang-orang ekonomi. Ini karena mereka punya dana dan jaringan untuk mensosialisasikannya dengan cepat. Dalam konsepnya yang asli, teori ekonomi tidak sejalan dengan ekonomi berkelanjutan, karena mereka cenderung mengekploitasi alam secara besar-besaran. Koreksi terhadap pendekatan ini kemudian melahirkan cabang ilmu “ekonomi lingkungan”.
 Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah tentang “keberlanjutannya” (sustainable). Dalam batasan formal, “sustain” adalah “the act of one generation saving options by passing them on to the next generation”. Kata “sustain” bermakna menopang, menyokong, menahan, dan meneruskan. Sementara “sustainability” adalah “…to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more” [2]. Kedua kata ini menunjuk kepada sikap dan perilaku generasi saat ini untuk mewariskan alam ini dalam kondisi sebaik-baiknya dan seutuhnya untuk generasi mendatang.
Maka, makna pembangunan berkelanjutan secara umum adalah “upaya untuk menciptakan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam”. Dalam konferensi Rio tahun 1994[3] tercantum: “sustainable development is development that meets the needs of the present without compromissing the ability of future generations to meet their own needs”. PB adalah upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata antara generasi sekarang dan yang akan datang. Konsep ini pertama datang dari World Commission on Environment and Development (WCED) yang dikenal dengan Komisi Brundltland ke PBB tahun 1990. Definsi tersebut terlihat atraktif dan simple, namun tidak mudah dalam operasionalnya.
Terdapat tiga aspek penting dalam PB, yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial yang berkelanjutan, dan pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Tampak, bahwa ketiganya merupakan revisi terhadap orientasi pembangunan yang terlalu berlebihan mengejar “pertumbuhan” belaka. Karena PB mengintegrasikan tiga aspek (ekonomi, sosial, dan lingkungan) sekaligus, maka juga ada 3 sasaran utamanya, yaitu: (1) pembangunan sosial, berupa pemberantasan kemiskinan struktural, (2) pembangunan ekonomi, berupa pola produksi dan konsumsi yang harus diubah ke arah yang menopang keberlanjutan, dan (3) penyelamatan dan perlindungan ekosistem agar mampu menopang PB.
Komponen sosial sesungguhnya merupakan bagian yang penting dalam rumusan PB, selain ekonomi dan ekologi [4]. Jadi, selain perhatian kepada “lingkungan”, PB juga bepusat pada “manusia”. Menurut Emil Salim [5], pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. PB menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia untuk meningkatkan hidupnya di satu sisi, dengan pemeliharaan sumberdaya alam dan ekosistem di sisi lainnya. Jadi, pertumbuhan ekonomi tetap berjalan, namun bersama-sama dengan proteksi terhadap kualitas lingkungan. Satu sama lain harus saling bersinergi. Agar lingkungan tetap terjaga, maka  manusia jangan mengambil lebih dari apa yang dia berikan ke alam.
Menurut Ignas Kleden[6], PB didefinisikan sebagai jenis pembangunan yang di satu pihak mengacu kepada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumberdya manusia secara optimal, dan di pihak lain atau di saat yang sama, memelihara keseimbangan optimal di antara berbagai tuntutan yang belum tentu sejalan terhadap sumber-sumber daya tersebut. Ringkasnya adalah, bagaimana membangun tanpa merusak sumber daya[7].
Meskipun sudah disepakati secara formal, implementasi PB dihadapkan kepada sejumlah hambatan.  Pada peringatan lima tahun KTT Rio de Janeiro tahun 1997, dirumuskan berbagai faktor-faktor penghambat PB, yaitu: (1) globalisasi ekonomi dan perdagangan yang terlalu cepat, (2) sikap yang menganggap sumberdaya lingkungan masih sebagai faktor eksternal dalam pembangunan, (3) pola produksi dan konsumsi yang tidak ramah lingkungan, (4) proyek-proyek pembangunan ekonomi yang mengabaikan nilai-nilai lokal, hak-hak komunitas, dan menolak partisipasi, (5) Negara-Negara Utara tidak membantu finansial dan teknologi untuk Negara-Negara Selatan, (6) pertumbuhan ekonomi diidentikkan sebagai tingkat peradaban, (7) masih menjalankan ideologi developmentalis, dan (8) WTO dijadikan alat kepentingan ekonomi negara maju, dan mengambat ekonomi masyarakat negara berkembang dengan isu lingkungan (memiliki standar ganda).
Salah satu konsep turunan dari PB misalnya adalah “sustainability community development”. Dalam kaitan dengan komunitas, maka proses pembangunan harus didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan (human values), pembelajaran secara aktif (active learning), komunikasi dan partisipasi (shared communication and participation); yang berjalan dalam sistem yang cair yang mengintegrasikan antara belajar dan bekerja, dan menjadi bagian kultural dan lingkungan.
Ada lima elemen prinsip yang harus dipertimbangkan untuk tercapainya keberlanjutan yang disingkat menjadi “lima E”, yaitu[8]:
1.                  Economy. Aktifitas ekonomi yang selaras dengan kemampuan alam. Pembangunan ekonomi harus mampu memproteksi dan meningkatkan kondisi sumberdaya alam melalui perbaikan manajemen, teknologi, efisiensi, dan perubahan gaya hidup.
2.                  Ekology. Strategi pembangunan ekonomi harus memahami kapasitas ekosistem yang ada.
3.                  Equity.  Harus terjamin akses yang seimbang antara untuk pekerjaan, pendidikan, sumberdaya alam, dan pelayanan untuk semua orang.
4.                  Education. Seluruh warga dan kelembagaan-kelembagaan memperoleh informasi yang cukup dan komprehensif khususnya untuk perilaku-perilaku yang memperngaruhi keberlanjutan. Juga harus dikembangkan kurikulum yang interdisiplin untuk membuka kesempatan pelajar memahami tentang PB.
5.                  Evaluation. Identifikasi kunci-kunci keberlanjutan yang mengukur arah dan besar dampak dari aktifitas sosial dan ekonomi terhadap sumberdaya alam dan human system. Ini akan menyediakan feedback yang memungkinkan untuk melakukan koreksi terhadap apa yang sedang berjalan menuju keberlanjutan.

Konsep PB merupakan salah satu prinsip pokok dalam merumuskan Millenium Goals[9] memiliki delapan program, yaitu: (1) penghapusan kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan, serta mengurangi setengah jumlah penduduk miskin yang hidup kurang dari satu dollar AS per hari; (2) akses terhadap pendidikan dasar; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian balita; (5) peningkatan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain; (7) menjamin keberlanjutan lingkungan dengan  mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program-program tiap negara untuk menghambat kerusakan sumberdaya alam[10]; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan, dengan terus mengembangkan pasar terbuka dan sistem finansial, termasuk komitmen untuk good governance, pembangunan dan pengurangan kemiskinan.
Bagiamana mengukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan? Pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi harmoni yang diam, namun merupakan sebuah proses evolusi yang sedang berlangsung, dimana manusia mengambil peran sebagai pelaku pembangunan, yang berupaya memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengkompromikan dengan kemampuan generasi selanjutnya untuk juga memenuhi kebutuhannya.
Yang harus diingat adalah bahwa, PB merupakan masalah pilihan sosial (social choice), yaitu pilihan-pilihan yang dilakukan oleh individu, keluarga, komunitas, berbagai organisasi dalam masyarakat sipil, dan pemerintah. PB juga merupakan proses dua arah. Ringkasnya, PB mengikat kita semua untuk memperhatikan jangka panjang dan memperhatikan tempat kita dalam ekosistem. Ini membutuhkan refleksi yang terus menerus terhadap berbagai bentuk aktifitas manusia. Ia membutuhkan perspektif baru bagaimana melihat dunia, yaitu perspektif yang mampu menjembatani bebagai ide dan disiplin baik kontemporer maupun tradisional yang  sebelumnya tidak sejalan.
Sebagai panduan, dalam  “The Bellagio Principles” tercantum prinsip-prinsip untuk menilai keberhasilan PB, yaitu[11]:
1.              Guiding Vision and Goals. Untuk tahu bahwa ada kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan, maka perlu visi yang jelas tentang apa itu pembangunan berkelanjutan dan tujun yang akan dicapai dari visi tersebut.
2.              Holistic Perspective. Perlu pemahaman terhadap sistem secara keseluruhan, dan juga bagian demi bagian dari sistem tersebut. Perlu pertimbangan  baik dari sisi kesejahteraan sosial, ekologi, ekonomi. Dan juga paham konsekwensi positif dan negatif dari sistem ekologi dan manusia, dalam konsep finansial maupun bukan.
3.              Essential Elements. Pertimbangkan kecukupan namun juga disparitas secara tepat antara kebutuhan sekarang dengan generasi mendatang, berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, konsumsi berlebih dan kemiskinan, human rights, dan akses terhadap pelayanan. Pertimbangkan pembangunan ekonomi dengan aktifitas non pasar yang berkontribusi terhadap peradaban manusia.
4.              Adequate Scope. Pahami dari dimensi waktu dan keruangan.
5.              Practical Focus. Batasi isu-isu untuk dianalisis, juga jumlah indikator, lakukan standarisasi, dan perbandingan indikator.
6.              Openness. Susun metode dan data yang dapat digunakan dan diakses oleh semua pihak, buat pertimbangan ilmiah dan sumsi yang eksplisit, serta interpretasinya.
7.              Effective Communication. Buat desain yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, gambarkan melalui indikator dan berbagai alat yang memudahkan untuk pembuat  keputusan, dan gunakan bahasa yang sederhana, terstruktur, dan jelas.
8.              Broad Participation. Raih  keterwakilan yang luas sehingga dapat mewakili kalangan grass-roots, kaum profesional, kelompok teknik dan sosial, termasuk golongan pemuda, perempuan, dan indigenous people.
9.              Ongoing Assessment.  Kembangkan kemampuan untuk melakukan pengulangan pengukuran untuk mempelajari kemajuan, adapatif dan responsif terhadap perubahan dan hal-hal yang tak terduga, karena sistem bersifat kompleks dan seringkali berubah. Lakukan adaptasi terhadap tujuan, kerangka kerja, dan indikator berdasakan temuan-temuan baru di lapangan.
10.          Institutional Capacity. Agar penilaian kontinyu, maka tegaskan tentang dukungan dan tangung jawab berbagai pihak untuk tugas ini, sediakan lembaga khusus untuk melakukan pengumpulan data, memelihara data, dan mendokumentasikannya. Akan lebih baik jika dukung kemampuan kelembagaan lokal untuk melakukannya sendiri.

*****

[1] Ekologi berasal dari “oikos”, bahasa Yunani, yang berarti “tempat tinggal, kediaman, rumah, atau rumah tangga”. Ekologi merupakan suatu ilmu tentang makhluk hidup tidak sebagai individu, tapi sebagai anggota dari jaringan organisme yang kompleks dan saling terkait satu sama lain, termasuk manusia. Atau dapat juga disebut dengan studi tentang relasi dan interaksi di antara berbagai organisme, baik spesies yang sama maupun dengan yang berbeda, serta dengan lingkungannya. Semua organisme saling terkait erat, dalam satu interaksi yang saling tergantung secara luas. Pada perkembangannya, kemudian dikenal tiga kelompok menjadi ekologi binatang, ekologi tumbuhan, dan ekologi manusia. Ekologi menolak “Teori Lingkungan” yang cenderung antroposentris, dimana manusia dilihat sebagai makhluk yang terpisah di luar dan di atas alam.

[2] Serageldin, Ismail. 1996. Sustainability and The Wealth of Nations: First Step in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monogrpah Series No. 5. Washington DC: World Bank. Hal .3.
[3] Brundtland Commission. 1987. World Commission on Enviromental and Development 1987. Our Common Future. New York: Oxford University Press. Hal 43.
[4] Cernea misalnya merasa perlu dimasukkannya komponen sosial selain ekonomi dan ekologi. (Michael M. Cernea. 1993. The Sociologist’s Approach to Sustainable Development. Dala: Ismail Serageldin dan Andrew Steer. eds. 1993. Making Development Sustainable: From Concepts to Action. Paper Series No. 2, World Bank.)
[5] Brata, Suwandi. (ed) 1992. Pembangunan Berkelanjutan. Mencari Format Politik. PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan SPES, Jakarta.
[6] Brata, Suwandi (ed). 1992. Pembangunan Berkelanjutan. Mencari Format Politik. PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan SPES, Jakarta.
[7] Makna dan implementasi pembangunan berkelanjutan dapat berbeda antara wilayah. Penelitian Bruce Mitchell (1994. “Sustainable Development at The Village level in Bali, Indonesia”. Human Ecology an Interdisciplinary Journal. Vol. 22 no. 3 September 1994. (pp. 189-211) di Bali menemukan, bahwa apa yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan adalah adanya keseimbangan antara kekuasaan pemerintah pusat dan lokal, serta penerapan budaya tradisional yang menekankan kerjasama, konsensus, serta keseimbangan. Dalam Bali Sustainable Development Project (BSDP), kontinuitas sumberdaya alam dipandang sebagai pendukung dasar kehidupan, kontinuitas sumber daya  kebudayaan, serta kontinuitas produksi. Kebudayaan memiliki peran ganda, sebagai kelembagaan yang harus dijaga karena mengandung nilai-nilai kelestarian terhadap lingkungan, sekaligus sebagai sumber ekonomi bagi sebagian penduduknya dalam industri turisme.
[8] “Sustainabilty Development Features:Definitions”. (http://www.gdrc.org/sustdev/definitions.html., 11 Mei 2005).
[10] Mengurangi setengah dari orang-orang yang tidak akses ke sumber air minum yang sehat dan berkelanjutan, serta berupaya mencapai peningkatan kehidupan yang signifikan terutama untuk penduduk di daerah kumuh pada tahun 2020.
[11] Peter Hardi and Terrence Zdan. 1997. “Assessing Sustainable Development: Principles in Practice”. The International Institute for Sustainable Development,  Canada.  (http://www.iisd.org/pdf/bellagio.pdf., 11 Mei 2005).