Kamis, 21 Agustus 2008

Pembangunan Sosial

               
Munculnya konsep “pembangunan sosial” (social development)  merupakan salah satu dari sekian bentuk koreksi terhadap kelemahan konsep pembangunan dengan paradigma pertumbuhan (growth) yang memiliki economic bias. Namun, “pembangunan sosial” bukan by product dari pembangunan ekonomi, karena masalah ini perlu ditangani secara khusus. Pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup untuk pembangunan sosial. Permasalahannya adalah bagaimana kebijakan-kebijakan ekonomi dapat memberikan keuntungan bagi banyak orang. Untuk itu perlu diperhatikan masalah kualitas dan proses distribusi dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Jadi, perlu keseimbangan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan sosial, khususnya pada investasi pada manusia  dengan tekanan kepada kualitas hidup manusia.
Paradigma pembangunan sosial terletak pada konsep “kebutuhan dasar”. Untuk mencapainya, pembangunan sosial mensyaratkan perubahan kelembagaan dalam banyak aspek, mencakup sosial, ekonomi, dan politik. Menurut salah satu batasan, pembangunan sosial adalah “planned institutional change including social, economic, and political change for the welfare of nation as a whole”.
Yang dimaksud dengan pembangunan sosial disini bukanlah daftar tanggung jawab dan aktifitas yang disandang oleh Departemen Sosial, sebagaimana Departemen Sosial di Indonesia misalnya. Konsep ini jauh lebih mendasar. Dalam pembangunan sosial manusia adalah kepentingan yang utama, dengan tujuan terjaminnya keadilan dan kebebasan sehingga terwujudnya masyarakat yang harmonis. Dengan pembangunan sosial akan diperoleh peluang dan kehidupan yang standar untuk semua, serta perhatian yang serius kepada hak-hak warganegara untuk diperhatikan (be nourished), akses terhadap perumahan, keamanan, dan akses untuk bekerja. Sebagai contoh, suatu program bantuan bagi orang miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, tidak hanya sekedar memberi kesempatan untuk memperoleh penghasilan, namun juga perlu terjaminnya akses terhadap pelayanan publik untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi dan air bersih.
Menurut Moeljarto[1], ada tiga kategori makna pembangunan sosial, yaitu: (1) Pembangunan sosial sebagai pengadaan pelayanan masyarakat, yang lalu melahirkan program yang berbasiskan strategi caritas (charity strategy);  (2) Sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi dengan adanya pelibatan pribadi dan pembebasan dirinya sendiri, tidak hanya sekedar penyediaan pelayanan; dan (3) Sebagai upaya terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat dan menghilangkan ketergantungannya. Makna yang ketiga ini merupakan konsep yang paling ideal. Untuk mewujudkan tujuan ideal tersebut, partisipasi merupakan bagian integral dari prosesnya yang tidak dapat diabaikan.
Pada 1970-an, dikembangkan model pembangunan ekonomi yang memadukan dengan program pengurangan kemiskinan, misalnya model redistribusi dengan pertumbuhan yang dikembangkan oleh Bank Dunia, dan Model Bacchue dari ILO mengenai strategi pemenuhan kebutuhan dasar. Model ini menggunakan pendekatan kebutuhan pokok (The Basic need Approach). Ini merupakan teori pembangunan yang baru untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Proposisinya adalah bahwa kebutuhan pokok tidak mungkin dapat dipenuhi jika mereka masih berada di bawah garis kemiskinan, serta tidak memiliki pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Dengan demikian, tiga sasaran utama nya adalah membuka lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.
Gagasan tentang kebutuhan dasar manusia pertama diajukan di Forum Konferensi Kesempatan Kerja Dunia (World Employment Conference) oleh ILO tahun 1976 di Jenewa. Namun, konsep pembangunan sosial menjadi semakin penting semenjak diselenggarakannya World Summit for Social Development pada tanggal 6-12 Maret 1995 yang menghasilkan The Copenhagen Declaration and Programme of Action. Salah satu konsep lain yang lahir dari pemikiran tersebut adalah konsep “people centered development”, dimana  manusia diposisikan sebagai pusat pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan dari implementasi konsep ini akan menuju kepada isu-isu penegakan keadilan (egnity), lingkungan yang sustainable, kemiskinan, lapangan kerja, pengurangan pengangguran, dan integrasi sosial[2].
Sejalan dengan kritik terhadap pendekatan yang melulu kepada ekonomi dalam Teori Pembangunan, muncul penilakan terhadap konsep GNP, dan  lahirlah indikator Human Development Index (HDI). HDI mengukur kemampuan dasar yang harus dimiliki tiap-tiap individu unatuk dapat berpartisipasi  di masyarakat, yaitu kemampuan untuk dapat mencapai hidup yang panjang dan sehat, kemampuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan kemampuan untuk dapat akses kepada sumber-sumber yang diperlukan dalam rangka hidup yang layak. Dalam HDI ada tiga komponen pokok yang diperhatikan, yaitu angka harapan hidup saat lahir (life expectancy of birth), tingkat pendidikan (educational attainment) yang terbagi menjadi adult literacy dan primary and secondary enrollment ratio, serta pendapatan (income). Nilai maksimum indeks HDI adalah 1. HDI dimuat dalam laporan Human Development Report yang diterbitkan UNDP setiap tahun semenjak tahun 1990. Isu yang dikedepankan selalu berubah-rubah dalam tiap laporan. Berbagai isu yang pernah diangkat selama ini misalnya tentang Gender-related Development Index (GDI), Gender Empowerment Measure (GEM), dan Human Freedom Index (HFI).
Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia[3], ditekankan prinsip “putting people first”. Human Development Report (HDR) diterbitkan oleh UNDP semenjak tahun 1990 yang meliputi tiga  hal, yaitu akses terhadap pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar dan sanitasi, serta usia harapan hidup. Indikator sosial terdiri atas 3 aspek, yaitu usia harapan hidup, angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup, dan angka melek huruf. Disini juga dicantumkan pencapaian pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang mencakup keamanan pangan, kesehatan dasar, pendidikan dasar, dan rasa aman.
Satu konsep yang paling dekat dengan pembangunan sosial adalah konsep “kesejahteraan sosial” (social welfare). Ia merupakan konsep moral yang merefleksikan preferensi terhadap nilai-nilai. Karakteristiknya adalah pemberian bantuan sebagai sebuah jaring pengaman (sfatey net), bersifat sementara, dan penyembuhan (curative) dari situasi sosial yang sedang berlangsung.
Ada dua pandangan terhadap konsep social welfare yaitu pandangan residual dan pandangan institutional. Menurut model residual, masalah kelas yang tak beruntung (unfortunate classes) dapat diperbaiki melalui kebajikan kelas menengah dan atas. Social welfare merupakan garis terdepan untuk masyarakat modern, yang bersama lembaga lain akan mencapai masyarakat yang lebih baik. Sementara dalam pendekatan institutional atau developemntal, social welfare dipandang sebagai cara untuk menghadapi masyarakat industri modern. Ia dianggap sebagai sesuatu yang normal dan diterima sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Menurutnya, masalah sosial berakar dari struktur sosial, dan karena itu perlu dilakukan perubahan sosial yang mendasar.
Landasan hukum untuk Indonesia adalah UU no 6 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kesejahteraan Sosial. Dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun sprituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila” [4].
Di Indonesia juga digulirkan program “Jaminan Sosial” (socal security).  Secara konseptual, ini merupakan mekanisme untuk pendistribusian sumber-sumber daya serta untuk mengurangi kondisi ketidaksamaan (inequality), serta mengatasi massalah-masalah kemiskinan dan ekses negatif dari pembangunan. Social security adalah “a government program that provides economic assistance to persons faced with unemployment, disability, or agedness, financed by assessment of employers and employees”. Social security merefer kepada konsep social welfare berkenaan dengan perlindungan sosial (social protection), asuransi (social insurance), perlindungan terhadap pendapatan (income maintenance), dana pensiun, ketakmampuan dan pengangguran, dan bantuan dalam bidang kesehatan serta  relasi dalam kerja industri. Pada intinya, social security berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dasar (basic security) berupa jaminan pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Jaminan sosial dicantumlah dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, Pasal 22 dan 25. Tiap negara berbeda dalam hal sejarah perkembangan, prosedur administrasi, perundangan-undangan, serta institusi yang mengaturnya. Dalam dalam Dokumen 1942 ILO tertulis bahwa: “ jaminan bahwa masyarakat diberikan perlindungan, melalui organisasi pemerintah dari resiko-resiko tertentu”. Standar minimum jaminan sosial ILO  Konvensi nomor 102 tahun 1952 merinci definisi formal jaminan sosial atas sembilan bidang, yaitu: jaminan pelayanan kesehatan, orang-orang sakit, orang yang tidak bekerja, orang-orang jompo, kecelakaan kerja, keluarga, ibu-ibu melahirkan, penyandang cacad, serta janda dan anak yatim piatu. Dalam konteks ini tidak dicakup jaminan sosial dari luar pemerintah, semisal dari keluarga, tetangga, dan institusi-institusi lain.

Secara naluriah, masyarakat telah mengembangkan dirinya sendiri, dan punya mekanisme sendiri terhadap jaminan sosial. Di Jawa misalnya ada sambat- sinambat, di Sulsel dikenal assitulung-tulungeng, di Sulut mapalus, masohi di Ambon, serta metetulungan dalam sekka suka duka yang berbasis di komunitas Banjar untuk di Bali. Pada waktu Jawa berbentuk desa komunal, hal ini ditanggung oleh para tetua desa, dimana semua warga dijamin kecukupan hidupnya. Dengan berlandaskan prinsip ini, pada zaman Tanam Paksa ketika lahan semakin sempit, maka setiap orang tetap memperoleh pekerjaan pada lahan yang tersedia, sehingga melahirkan apa yang disebut Clifford Geertz dengan kemiskinan berbagi (shared poverty)[5]. Namun, dengan invansi nilai-nilai individualisme dan kapitalisme bersamaan dengan terjadinya polarisasi sosial, maka ikatan ini melemah sehingga warga desa kehilangan sandarannya, dan sebagian terpaksa melarikan diri ke kota.

Jaminan sosial merupakan instrumen untuk pemerataan pendapatan dan untuk memobilisasi dana masyaraat. Prinsip-prinsipnya adalah perlunya solidaritas sosial dari seluruh lapisan karena kepesertaanya meliputi seluruh masyarakat, bersifat nirlaba dalam konteks good governance, investasi dana mengacu prinsip-prinsip yang aman, melalui mekanisme asuransi sosial dan prinsip hukum bilangan banyak (the law of large numbers), dan bedakan dengan bantuan sosial yang umumnya berupa program-program anti kemiskinan. Beberapa negara yang menganut welfare state  [6] yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. Alasannya adalah karena jaminan melalui bantuan sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional, sehingga adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Konsep kesejahteraan dan jaminan sosial dengan segala bentuk aksinya dapat dipandang sebagai mekanisme-mekanisme untuk mengimbangi berbagai ekses negatif dari penerapan paham kapitalisme dan liberalisme. Pada akhirnya konsep-konsep ini melahirkan bentuk “Negara Kesejahteraan” (welfare state). Negara kesejahteraan adalah “a social system whereby the state assumes primary responsibility for the welfare of its citizens, as in matters of health care, education, employment, and social security”. Konsep ini mulai dikembangkan dan diterapkan pada periode 1945 sampai ke tahun 1970-an, ketika pembangunan sedang marak-maraknya, yang juga disertai oleh berbagai bentuk penyakit sosial.
*****


[1] Moeljarto, V. dan S. Prabowo. 1997. Bidang Pendidikan dan Kesehatan Dalam Pembangunan Sosial. Hal. 41-66. Analisis CSIS tahun XXVI No. 1 Jan-Feb 1997.
[2] Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan sosial, sebuah konferensi tahun 1995 menyepakati antara negara industri dan berkembang untuk mengalokasikan 20 persen anggaran nasional dan 20 persen dari bantuan luar negeri, yang dikenal dengan  Official Development Assitance (ODA) untuk program-program pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
[3] The National Human Development Report ( NHDR) tahun 2004 diberi judul “Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia. Kerjasama BPS, Bappenas, dan UNDP.
[4] Adi, Isbandi R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas. LP Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Edisi Revisi 2003. 354 hal.
[5] Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Poses Perubahan Ekologi di Indonesia. Terjemahan S. Supomo. Kata Pengantar: Sajogyo. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
[6] Mohammad, Kartono. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Sistem Jaminan Sosial Nasional dan "Welfare State" Kompas, 16 Juni 2004. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/16/opini/1076462.htm, 14 april 2005).