Jumat, 22 Agustus 2008

Participatory rural appraisal (PRA)

Participatory Rural Appraisal (PRA), adalah istilah yang diberikan kepada pendekatan yang menggunakan metode partisipastif dengan menekankan kepada pengetahuan lokal dan kemampuan masyarakat untuk membuat penilaian sendiri, menganalisis sendiri, dan merencanakan sendiri. PRA memfasilitasi proses saling berbagai informasi (information sharing), analisis, dan aktifitas antar stakeholders. Meskipun pada awalnya pendekatan ini digunakan di pedesaan, namun terbukti juga sesuai pada berbagai kondisi, termasuk untuk masyarakat perkotaan. Pada intinya, tujuan PRA adalah “.... to enable development practitioners, government officials, and local people to work together to plan contextappropriate programs” [1]
PRA, yang lahir pada 1980-an,  dikembangkan dari konsep “Rapid Rural Appraisal” (RRA) yang  merupakan seperangkat teknik informal yang digunakan praktisi pembangunan di pedesaan untuk mengkoleksi dan menganalisa data. RRA dikembangkan pada dekade 1970-an dan 1980-an sebagai respon dari kesadaran bahwa pihak luar (outsiders) seringkali kehilangan (missing) atau salah paham (miscommunicating)  dengan masayarakat lokal ketika melakukan kegiatan pembangunan bersama.
Jika ditelusuri ke belakang untuk mengetahui apa yang mendasari lahirnya RRA dan PRA. Pada 1950-1960 diakui bahwa peran bantuan finansial dan teknologi ke pedesaan yang berada di bawah program Revolusi Hijau memang mampu meningkatkan produksi, namun program ini secara relatif lebih dinikmati hanya oleh petani kaya, sehingga  menimbulkan kesenjangan yang nyata di pedesaan. Lalu, pada awal 1970-an juga disadari bahwa program alih teknologi tak selalu sesuai untuk yang miskin. Ada hubungan yang kompleks antara faktor lingkungan, ekonomi, sosial, serta budaya. Seharusnya ia dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Tak mungkin merubah satu elemen tanpa mempengaruhi elemen lain. Implikasinya, ekonomi yang berkembang di satu desa saling terkait dengan misalnya bagaimana penduduk memposisikan lingkungan, bagaimana motivasi hidup mereka, serta nilai-nilai apa yang mereka pegang teguh. Jadi, sistem harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Dari latar belakang ini dikembangkan pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA) yang mengadopsi penelitian etnografi dan antropologi terapan, dengan memberi perhatian sunguh-sungguh kepada alasan-alasan dan pandangan hidup penduduk setempat. PRA dapat dikatakan sebagai penyempurnaan dari RRA. Bagi sebagian orang, beda yang esensial antara PRA dengan RRA adalah: apakah hasil proses tersebut menjadi milik masyarakat setempat atau belum?
PRA berada dalam konteks collaborative decision making, dan merupakan salah satu bentuk community-based method. Dalam PRA, koleksi dan analisis data dilakukan oleh masyarakat lokal, sedangkan pihak luar lebih sebagai fasilitator dibandingkan sebagai pengontrol kegiatan. Pada hakekatnya, PRA adalah suatu pendekatan untuk belajar bersama (shared learning) di antara masyarakat lokal dan pihak luar.
  1. Participasi. Masukan masyarakat lokal dalam aktivitas PRA merupakan suatu yang esensial, sebagai sesuatu metode yang bernilai dalam penelitian dan perencanaan, dan sebagai alat untuk mendifusikan pendekatan partisipatif dalam pembangunan.
  2. Teamwork. Validitas data yang dihasilkan dari PRA tergantung dari interaksi informal dan brainstorming di antara mereka yang terlibat. Data terbaik akan diperoleh bila dikerjakan oleh satu tim yang melibatkan masyarakat lokal dengan perspektif dan pengetahuan tentang kondisi wilayahnya, tradisi, serta struktur sosial setempat; sedangkan pihak luar (expatriates) melengkapinya dengan mencapurkan berbagai disiplin dan pengalaman.. Suatu tim yang seimbang akan mampu merepresentasikan keragaman sosial ekonomi, kultural, gender, dan generasi.
  3. Fleksibilitas. PRA tidak meyediakan suatu blueprints untuk pelaksana (practitioners). Kombinasi teknik yang cocok dalam satu objek yang spesifik, akan dipengaruhi oleh variabel dan ukuran serta keterampilan tim PRA, tersedianya waktu dan sumberdaya, dan topik serta lokasi kerja.
  4. Optimal ignorance. Agar efisien dalam konteks anggaran dan waktu, harus dikumpulan informasi yang cukup untuk pembuatan rekomendasi dan keputusan.  
  5. Triangulasi. PRA bekerja dengan data kualitatif. Untuk menjamin bahwa informasi valid dan dipercaya, tim PRA harus mengikuti aturan bahwa setidaknya tiga sumber atau metode harus digunakan atau dalam mempelajari satu topik yang sama.

Ada lima konsep utama yang menjadi tiang PRA (maupun RRA), yaitu:
  1. Empowerment. Pengetahuan adalah kekuatan. Pengetahuan dibangkitkan melalui proses dan hasil riset secara partisipatif, dan menjadi milik bersama. Jadi, kelompok profesional  dari luar tidak dapat memonopoli pengetahuan tersebut. Kepercayaan diri masyarakat lokal bangkit atau diperkuat (reinforced) berkenaan dengan validitas pengetahuan mereka. Pengetahuan luar harus dapat diasimiliasikan dengan pengetahuan lokal.
  2. Respect. PRA melakukan proses transformasi diri seorang peneliti menjadi murid (learners) dan pendengar (listeners), dengan menghargai kemampuan intelektual dan daya analisis masyarakat lokal. Peneliti harus membuang jauh-jauh sikap patronasenya yang cenderung mendominasi. Jika si peneliti telah memahami gaya canda masyarakat setempat, serta sastra dan nyanyiannya, maka berarti telah mulai mau memahami  kultur setempat.
  3. Localization. Gunakan secara ekstensif dan kreatif sumber daya setempat, seberapapun terbatasnya. Perlihatkan  sikap berbagi dengan jelas, dan hindari sikap lebih unggulnya pihak luar.
  4. Enjoyment. PRA adalah sesuatu yang fun, hanya dapat dijalankan jika fun, dan memang ia adalah sesuatu yang fun. Tekanannya bukan kepada “cepat”-nya, namun kepada ”proses”.
  5. Inclusiveness. Dorong sensitifitas melalui perhatian yang tinggi pada proses, termasuk perhatian kepada kelompok-kelompok masyarakat marjinal dan peka, perempuan, anak-anak, orang-orang tua, dan yang miskin.
Karena tim PRA berbentuk interdisiplin dan intersektoral, maka PRA menjadi ajang sebuah pengalaman belajar (exercise) yang mensyaratkan pendekatan “learning by doing” dan prosedur yang transparan. Karena itu, sejumlah pertemuan terbuka perlu dilakukan mulai dari initial open meeting, final meeting, maupun followup meeting. Beberapa metoda yang umum digunakan dalam PRA adalah: wawancara semi tersetruktur, diskusi grup secara terfokus (focus group discussions), rangking penilaian (preference ranking), pembuatan peta dan model (mapping and modeling), dan diagram musim dan histrorik (seasonal and historical diagramming).
Dua kunci utama PRA adalah analisa secara kolektif serta pendekatan yang baik (good rapport). Metode-metode lapang selengkapnya adalah: (1) team contract bagi tim untuk menginep di lokasi, melakukan diskusi malam dan brainstorming pagi;  (2) the nigh halt, karena hubungan yang baik akan terjalin jika tinggal di desa, serta tidur dan makan sebagaimana masyarakat setempat; (3) work sharing; (4) penulisan laporan “kasar” secara cepat di lapang (rapid report writing); (5) presentasi bersama; (6) melakukan transect walks dan observasi secara langsung; (7) pembuatan rangking kesejahteraan dan beberapa peta sosial; (7) wawancara semi terstruktur; (8) wawancara berantai; (9) pembuatan peta dan model secara partisipatif; (10) pembuatan kalender musiman dan profil aktifitas warga; (11) penyusunan sejarah lokal; (12) pembuatan diagram venn dan jaringan; serta (13) pembuatan matriks dan rangking.
Dalam hal keorganisasian, adalah suatu yang khas bahwa PRA melibatkan suatu tim yang bekerja dua sampai 3 minggu, mulai dari workshop discussions, menganalisa, dan bekerja di lapangan. Beberapa aspek keorganisasian yang harus dipertimbangkan di antaranya adalah: penyediaan logistik, training untuk anggota tim jika diperlukan, waktu yang cukup untuk pekerjaan lapang (untuk penulisan laporan, analisis data, penarikan kesimpulan, dan pembuatan rekomendasi), laporan terbaik akan dihasilkan bila langsung ditulis begitu kembali dari lapangan dengan didasarkan kepada catatan dari anggota tim. Laporan pendahuluan semestinya sudah dikerjakan pada minggu pertama di lapangan, atau setidaknya sampai akhir masa lapangan, namun laporan final harus dikerjakan oleh seluruh peserta termasuk seluruh pihak lokal yang terlibat.
Teknik PRA dapat mengkombinasikan sejumlah cara, tergantung topik yang dipelajari.  Pemetaan modeling adalah teknik yang bagus dipraktekkan di awal kegiatan, karena melibatkan beberapa penduduk setempat, dan dapat menjadi ajang untuk menstimulasi dikskusi dan antusiasme penduduk, serta memberikan kepada tim suatu gambaran menyeluruh terhadap desa. Untuk pembuatan peta transect dapat ditemani dan dibantu penduduk setempat . Pembuatan rangking akan bagus jika dilakukan di akhir kegiatan, ketika pendekatan dengan penduduk telah terjalin, karena ini merupakan informasi yang sensitif. Wawancara individual juga dapat diterapkan untuk beberapa kelompok masyarakat yang berbeda, dan untuk memperoleh alasan-alasan yang beragam.
PRA dapat dikatakan sebagai sekuel dari beberapa pendekatan dan metode yang telah dikembangkan sebelumnya. Salah satunya adalah pendekatan partsisipatif dalam riset (Participatory Approach = PA). PA dikembangkan pada dekade 1960-an dan 1970-an[2], yang diturunkan  dari sistem perencanaan pada akhir 1930-an dan pasca Perang Dunia II. Konsepnya sangat top down. Paradigmanya berbunyi: “pembangunan adalah sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk rakyat”. PA lahir dari fakta, bahwa metode ilmu yang dipakai dalam penelitian ilmu sosial formal pada akhir 1950-an, yang mengkombinasikan proses pengolahan dengan komputer dan mengandalkan data kuantitatif memakan biaya besar. Selain itu, ketelibatan stakeholder dalam penelitian rendah. Fakta lain adalah, tingginya kegagalan pembangunan untuk meningkatkan kehidupan sebagian masyarakat di negara berkembang. Pembangunan secara partisipatif (Participatory development) muncul sebagai reaksi dari situasi ini[3].
Pembangunan yang partisipatif menuntut pendekatan yang juga partisipatif. Maka lahirlah berbagai metode penelitian partisipatif. Secara umum, metode penelitian partisipatif dapat diklasifikasikan kepada empat tipe utama yang berbeda dalam gaya (style) dan etikanya (ethos), yaitu: Participant Observer, Rapid Rural Appraisal (RRA), Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Action Research (PAR).
Teknik "participant observer" banyak digunakan dalam penelitian antropologi, dan kemudian telah diadopsi oleh berbagai disiplin. Teknik ini berusaha memahami bagaimana masyarakat lokal hidup dan bagaimana memaknai berbagai data yang terkumpul.
Lalu, berkembang Rapid Rural Appraisal (RRA) yang berisi sejumlah teknik untuk melakukan penelitian yang "quick and dirty" yang ternyata sering memberi hasil yang kurang tepat, namun masih cukup meyakinkan dari pada dengan teknik riset kuantitatif klasik. Metode ini lebih ekonomis. Namun kelemahan utamanya adalah karena semua dilakukan untuk peneliti luar (outside researcher). RRA merupakan cara yang lebih efisien dan efektif bagi orang luar,  khususnya ketika mempelajari masalah pertanian, yang hanya mungkin dilakukan dengan survei secara luas dengan mengunjungi desa-desa oleh para “orang kota” (urban professionals). RRA dikembangkan dari pengalaman penelitian antropologi sosial di sepanjang 1930-an sampai 1950-an, dengan menekankan kepada pentingnya untuk memahami situasi lokal, dan pentingnya memperoleh pemahaman yang lebih luas dari hanya sekedar sekumpulan data statistik. Ia menggunakan pendekatan listening research, dan menciptakan kombinasi metoda iterative dan verifikasi, termasuk penerapan prinsip triangulasi.
Prinsip-prinsip dasar RRA (yang juga dipakai dalam PRA) adalah: (1) menghilangkan bias lokasi, project person, musim, atau sifat profesional; (2) penghargaan pada masyrakat lokal; (3) belajar dengan cepat, sehingga fleksibel, exploratory, interaktif, dan berdaya cipta (inventive); (4) apresiasi kepada pengetahuan lokal; (5) bukan untuk mencari pengukuran absolut, tapi cukup trends, skor, dan rating [4]; (6) menggunakan prinsip triangulasi, baik pada metoda, sumber, maupun disiplin; (7) mencari keragaman dan sekaligus perbedaan; serta (8) investigasi secara langsung dari dan dengan masyarakat lokal. Jadi, ini adalah suatu penelitian aksi [5] yang berorientasi pada tujuan, yaitu untuk melakukan sesuatu berupa praktek[6].
Terlihat bahwa antara RRA dan PRA sangat mirip. Seringkali peneliti yang menggunakan metode RRA meyakini bahwa mereka menggunakan PRA, padahal makna partisipasi terbatas hanya penyediaan informasi oleh komunitas kepada tim peneliti. Cara sederhana untuk membedakannya adalah: apa nilai tambah yang diperoleh, dan siapa pemilik produk penelitian tersebut. Jika penduduk menggambarkan peta karena kita menayakannya, itu adalah RRA. Namun, jika mereka merasa bahwa peta tersebut milik mereka, dan ingin memilikinya untuk digunakna sendiri, maka itulah PRA.
Sementara, Participatory Action Research (PAR) merupakan suatu  pendekatan yang banyak digunakan para aktifis yang bekerja untuk memperkuat masyarakat lokal, untuk menghasilkan power politik yang lebih kuat[7]. Efektifitasnya tergantung kepada seberapa jauh kesadaran dan kecakapan politis mereka untuk bekerja sama dengan pendukung dari luar. PAR menekankan kepada partisipasi, capability building, penguasaan pengetahuan dan pemberdayaan. Pendekatan ini sangat menyita kemampuan intelektual. 

*****

[3] Hal ini dipopulerkan oleh Gordon Conway and Robert Chambers (1992), dan David Korten (1996). (Dalam http://www.iisd.org/casl/CASLGuide/PRA.htm. 22 Maret 2005).
[4] Atau dapat dikatakan ia mengutamakan data kualitatif. Istilah “kualitatif” dalam penelitian kualitatif menunjuk kepada suatu penekanan kepada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas, ataupun frekwensi. Kualitatif adalah berupa situasi, objek, proses yang berkaitan dengan baik, cukup, dan tidak sekedar jawaban yes or no. Karena sifat datanya yang berbeda, maka penelitian yang menggunakan data kualitatif sebagai data utamanya, menggunakan penelitian kualitatif. Realitas sosial merupakan wujud bentukan yang dikontruksi oleh individu-individu yang terlibat dalam penelitian tersebut, baik penelitinya maupun pihak yang diteliti. (Dalam: Denzim, Norman K. dan YS Lincoln (eds). 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publication. Hal.4).
[5] Menurut Michael Argyle. (1957. “The Scientific Study of Social Behaviour”),  penelitian aksi haruslah mampu meraih dua jenis hasil yaitu: (1) untuk membuktikan bahwa suatu aktivitas efektif dalam meningkatkan output atau mengurangi konflik, dan (2) harus menunjukkan kondisi yang sesuai menuju tujuan yang ingin diraih. Dasar teorinya adalah Human Relation. (Dalam: Mitchell, G. Duncan. ed. 1968. A Dictionary of Sociology. Routledge and Kegan Paul, London).
[6] Beberapa bacaan yang disarankan untuk memahami RRA misalnya adalah: (1) Chambers, R. 1992. “Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory”. Institute of Development Studies Discussion Paper 311. Sussex: HELP. (2) International Institute for Environment and Development, Sustainable Agriculture Program. 1991-present. “RRA Notes (now titled PLA Notes)”. United Kingdom, (3) McCracken, Jennifer A., Jules N. Pretty, and Gordon R. Conway. 1988. “An Introduction to Rapid Rural Appraisal for Agricultural Development”. London: International Institute for Environment and Development, dan (4) Theis, J. and H. Grady. 1991. “Participatory Rapid Appraisal for Community Development”. London: Save the Children Fund.
[7] Berbagai intervensi dilakukan, misalnya World Bank yang memberi kredit, program Grameen Banks untuk masyarakat miskin, training paralegal berbasis komunitas, pendidikan pemilihan umum untuk kelompok marjinal, dan lain-lain.