Kamis, 21 Agustus 2008

Partisipasi


“Partisipasi” adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Secara sederhana, “partisipasi” dapat dimaknai sebagai “the act of taking part or sharing in something”.  Dua kata yang dekat dengan konsep “partisipasi” adalah “engagementdan “involvement.

Partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisitaif pembangunan. Maka, pembangunan yang partisipatif (participatory development) adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Dalam bidang politik dan sosial, partisipasi bermakna sebagai upaya melawan ketersingkiran (opposite of marginality). Jadi, dalam partisipasi, siapapun dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan.
Secara umum, sisi positif partisipasi adalah program yang dijalankan akan lebih respon terhadap kebutuhan dasar yang sesungguhnya. Ini merupakan suatu cara penting untuk menjamin keberlanjutan program, akan lebih efisien karena membantu mengindentifikasi strategi dan teknik yang lebih tepat, serta meringankan beban pusat baik dari sisi dana, tenaga maupun material. Namun sisi negatifnya, partisipasi akan melonggarkan kewenangan pihak atas sehingga akuntabilitas pihak atas sulit diukur, proses pembuatan keputusan menjadi lambat demikian pula pelaksanaan, serta bentuk program juga akan berbeda-beda karena masyarakat yang beragam. Di luar itu, program juga berpeluang untuk diselewengkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan kelompoknya.
Konsep “partisipasi” terutama dibicarakan dalam konteks dunia politik. Dalam ilmu politik, “partisipasi” merupakan istilah payung (umbrella term) yang kemudian memiliki banyak pengertian. Namun, intinya adalah bagaimana  keterlibatan publik dalam keputusan politik. Partisipasi merupakan materi yang esensial untuk terjadinya demokrasi, karena demokrasi membutuhkan keterbukaan (transparency). Pada akhirnya, tujuan partisipasi adalah untuk meningkatkan keteguhan diri (self-determination,) serta terbangunnya kontrol dan inisiatif masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya untuk pembangunan.
Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara pengambil kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Para ahli telah mampu membuat pengklasifikasian partisipasi. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi[1], yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal. yaitu:
1.        Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka.
2.        Partisipasi informatif. Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat  dan mempengaruhi  proses penelitian. Akurasi hasil penelitian, tidak dibahas bersama masyarakat.
3.        Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya. Belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
4.        Partisipasi insentif. Masayarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran  atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
5.        Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya.
6.        Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
7.        Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumber daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yanga ada dan atau digunakan.
Istilah partisipasi digunakan secara luas dalam literatur-literatur pembangunan, dan dengan beragam interpretasi[2]. Secara posisional, ia berada dalam range dari suatu kondisi kontrol luar yang hampir total, lalu pada keterlibatan local people, sampai kepada bentuk aksi kolektif masyarakat lokal yang menyusun dan mengimplementasikan rencana mereka sendiri dan absesnnya inisiasi dan fasilitator dari luar. Ada enam bentuk partisipasi masyarakat lokal yang secara berururutan semakin baik, yaitu [3]:

Bentuk partisipasi
Tipe Partisipasi
Peran masyarakat lokal sebagai

1. Co-option

Tidak ada input apapun dari masyarakat lokal yang dijadikan bahan.

Subjek


2. Co-operation

Terdapat insentif, namun proyek telah didesain pihak luar yang menentukan seluruh agenda dan proses secara langsung.

Employees atau subordinat

3. Consultation

Opini masyarakat ditanya, namun pihak luar menganalisis informasi sekaligus memutuskan bentuk aksinya.

Clients


4. Collaboration


Masyarakat lokal kerjasama dengan pihak luar untuk menentukan prioritas, dan pihak luar bertanggung jawab secara langsung kepada proses.

Collaborators


5. Co-learning

Masyarakat lokal dan luar saling membagi pengetahuannya, untuk memperoleh saling pengertian, dan berkejasama untuk merencanakan aksi, sementara pihak luar hanya memfasilitasi.

Partners


6. Collective action

Masyarakat lokal menyusun dan melaksanakan agendanya sendiri, pihak luar absen sama sekali.

Directors


Kontrol dari pihak luar semakin menurun dari tipe 1 sampai 6, bahkan pada tipe 6 kontrolnya nol. Sebaliknya potensi untuk keberlanjutan aksi dan rasa kepemilikan lokal semakin meningkat. Pada tipe 1 sampai 3 potensi keberlanjutannya nol, dan pada tipe 6 potensinya paling tinggi.
Bagaimana agar partisipasi berjalan? Secara umum,       partisipasi komunitas hanya akan terjadi apabila tidak ada dominasi oleh elit lokal pada pemerintahan lokal, dan terjaminnya akuntabilitas. Untuk memperkuat partisipasi, perlu penumbuhan kesadaran dan pengorganisisasian masyarakat. Komuitas harus didorong untuk memperkuat proses pengorganisasian mereka sendiri dan mendukung berbagai inisiatif yang timbul. Pemerintah harus mendorong penciptaan kebijakan yang mendukung aksi mandiri masyarakat tersebut.
Dalam format partisipasi dapat dilakukan berbagai upaya misalnya berupa public hearing, workshop, focus group discussion (FGD), menyusun kelembagaan untuk wadah penyampaian input dari publik, adanya media untuk mendiskusikan berbagai isu dan perhatian, dan iklim yang demokratis. Salah satu upaya menciptakan partisipasi dalam komunitas adalah melalui proses “Social Learning”, yang merupakan proses dimana baik individu maupun kelompok-kelompok mendapatkan pengetahuan baru dan memperoleh perilaku baru (new behaviour) melalui interaksi sesamanya. Beda dengan pelatihan, maka tekanan pada pendekatan ini adalah pada “perilaku group” yang terjadi melalui berbagi pengalaman (sharing experience).
Mengapa partisipasi dibutuhkan? Yang paling pokok adalah agar terjaminnya pembangunan yang berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan sangat tergantung kepada proses sosial (social process). Tiga aspek utama masyarakat – sosial, ekonomi, dan lingkungan – harus diintegrasikan, dimana individu dan lembaga saling berperan untuk terjadinya perubahan. Dalam “Agenda 21” tercantum esensi partisipasi  dalam pembangunan berkelanjutan, dimana partisipasi berada dalam konteks development co-operation. Ketika kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di negara, maka pembangunan harus responsif terhadap rakyat. Dengan kata lain, pembangunan diupayakan menjadi proses yang bertolak dari community driven, community led, dan community owned; sebagai kondisi dasar untuk keberlanjutan.
Partisipasi sebagai alat sudah umum dibicarakan, namun partisipasi sebagai tujuan masih diperdebatkan. Dalam konteks pembangunan, partisipasi sudah sangat diterima (fashionable) sebagai alat yang esensial. Partisipasi sebagai tujuan adalah “supporting people in articulating and negotiating their interest at the social, institutional, and policy-making levels in the partner country”. Sementara, partisipasi sebagai proses, atau sebagai satu prinsip dalam manajemen, adalah observasi yang melibatkan secara lebih intensif aktor-aktor yang terlibat dalam menentukan tujuan proyek, cara mengukur, dan proses. Dalam konteks ini, kita mengenal istilah “manajemen yang partisipatif”, yang tujuannya adalah untuk menjadikan masyarakat yang partisipatif dan mandiri sebagaimana tujuan dari capacity building.
Dalam berjalannya waktu, terjadi redefinisi terhadap partisipasi. Dalam praktek konvensional, seringkali hanya diminta partisipasi masyarakat sebagai donor atau sukarelawan (voluntary) dalam pembangunan. Sehingga yang terjadi hanyalah fenomena “partisipasi yang dibayar”, dimana partisipasi hanya muncul jika ada proyek dengan kucuran dana dari atas. Dalam tiga dasawarsa belakangan ini telah diperoleh sebuah spektrum makna dan semangat baru untuk melakukan partisipasi secara berbeda. Konsep partisipasi komunitas (community participation) berbeda secara esensial dengan partisipasi politik.
Akhir-akhir ini telah lahir konvergensi antara hasrat pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan implementasinya dengan terciptanya good governance. Telah diupayakan mencari berbagai bentuk baru partisipasi yang bersifat lebih langsung. Intinya  adalah bagaimana masyarakat dapat memperngaruhi pemerintah dan memaksa mereka agar lebih accountable[4]. Ada perubahan bentuk dan tekanan pada demokrasi, sebagaimana tabel berikut[5]:

Dari
Menuju
Pemanfaat (beneficiary)
Warga nergara (citizen)
Diimplementasikan dalam proyek-proyek
Masuk ke lingkup kebijakan
Berbentuk konsultasi (consultation)
Berbetuk pengambilan keputusan (decision-making)
Lebih sebagai pendekatan (appraisal)
Lebih nyata, karena menekankan pada implementasi.
Pada level mikro
Level maknro

 

Dalam aktifitas riset, juga dikenal pendekatan partisipatif.          Partisipasi dalam “kajian bersama” diinterpretasikan sebagai upaya untuk menghargai hak asasi setiap subyek, memberi mereka peluang untuk mengenali dan menyatakan pilihan dan nilai-nilai mereka, memberdayakan sehingga mampu berkembang menjadi manusia yang utuh, serta menghindarkan dari kehilangan kedaulatan terhadap nilai-nilai mereka. Partsisipasi epistemik riset sangat penting, karena[6]: (1) Validitas proposisi mengenai  pengalaman orang yang dihasilkan oleh suatu kajian diragukan jika tak punya dasar dalam pengalaman si peneliti; (2) Cara yang paling teliti untuk mencapai validitas itu adalah jika si peneliti mendasarkan pernyataan-pernyataannya langsung dari pengalaman sendiri, sebagai sesama subyek yang siap untuk saling berbagi informasi, dimana pengalaman itu sendiri mencakup suatu pengetahuan yang berasal dari partisipasinya; dan (3) Hal itu menjadikan peneliti mengetahui bukan saja bentuk-bentuk luar yang ditampilkan dalam perilaku orang per orang atau dalam perilaku kolektif, tapi juga mengenal ikatan-dalam, dampak dan raga, serta kesadaran dari bentuk-bentuk tersebut.
Dikenal pula partisipasi dalam monitoring dan evaluasi (Participatory monitoring & evaluation = PM&E),  yaitu proses dimana para stakeholders pada berbagai level terlibat dalam kegiatan monev dalam proyek atau kebijakan tertentu[7]. Ada proses berbagi kontrol  terhadap materi serta dalam proses dan hasil, sehingga aksi yang tepat akan lebih terjamin. Dengan fokus kepada keterlibatan aktif dari pelaku utama (primary stakeholders), maka tidak hanya akan dapat mengukur secara tepat keefektifan proyek, namun juga untuk terbangunnya rasa memiliki dan pemberdayaan untuk pihak penerima (beneficiaries), membangun akuntabilitas dan transparansi, dan mengambil peran untuk berjalannya proses yang tepat untuk meningkatkan kinerja dan hasil.
Pendekatan PM&E tidak lagi sebagaimana monev yang konvensional, dimana ahli dari luar datang untuk mengukur keinerja berdasarkan indikator yang sudah baku, serta prosedur dan alat yang standar. PM&E berupaya melibatkan (to engage) pihak-pihak stakeholders utama untuk lebih aktif dalam merefleksikan dan mengukur (assessing) kemajuan poyek mereka dan terutama dalam hal pencapaian hasil. Prinsip utama PM&E adalah:  (1) stakeholders utama adalah partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai sumber infomrasi, (2) membangun kemampuan masyarakat setempat untuk melakukan analisa,  merefleksikan dan ambil bagian, (3) terjadinya proses belajar bersama (joint learning) dari seluruh stakeholders pada berbagai level, dan (4) adanya komitmen untuk terciptanya proses yang lebih tepat.

*****


[1] Pretty, J. 1995. “Regenerative Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and Self-reliance”. London, Earthscan. (Dalam: R. Ramírez. “Participatory Learning and Communication Approaches for Managing Pluralism. http://www.fao.org/ documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/W8827E/w8827e08.htm., 9 Mei 2005).
[2] Carter, Jane. 1996. “Recent Approaches to Participatory Forest Resource Assessment”. Rural Development Forestry Study Guide 2. Rural Development Forestry Network Overseas Developemnt Institute, London. Hal. 3-5.
[3] Dimodifikasi dari Biggs (1989, hal. 3), Cornwall and Jewkes (1995, hal. 1669) dan Parkes and Panelli (2001, hal. 88). (Dalam: Emma Jakku, Peter Thorburn and Clare Gambley. “Decision Support Systems for Farm Management: a Theoretical Framework from the Sociology of Science and Technology”. Tropical Landscapes Program, CSIRO Sustainable Ecosystems, Queensland Bioscience Precinct, 306 Carmody Road, St Lucia
QLD 4067. http://www.cropscience.org.au/icsc2004/poster/4/1/1/1219_jakkues.htm, 9 Agustus 2005).
[4] “Situational Analysis of CBOs in Georgia: Participation”. (http://www.psigeorgia.org/undpsa/participation.htm., 13 Mei 2005).
[5] Andrea Cornwall and John Gaventa, 2001.  “From Users and Choosers to makers and shapers: repositioning participation in social policy”. IDS Working Paper 127. (Dalam: “Situational Analysis of CBOs in Georgia: Participation”. http://www.psigeorgia.org/undpsa/participation.htm, 13 Mei 2005).
[6]  Menurut Sajogyo (Dalam: Sarman, Muchtar. ed. 1998. “Dimensi Kemiskinan: Agenda Pemikiran Sajogyo”. Kata Pengantar Mubyarto. Pusat P3R-YAE. Bogor. Edisi terbatas. 121 hal. Hal. 85-6).