Kamis, 21 Agustus 2008

Petani

Meskipun sudah menjadi kata yang sangat umum, namun tak jarang apa yang dimaksud dengan “petani” pun dapat menjadi suatu penyebab terjadinya perdebaan yang tak berujung. Ada dua kata dalam bahasa Inggris berkenaan dengan “petani” yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu “peasant” dan “farmer”.  Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani yang subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau modernisasi.

Namun,  permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ada perdebatan yang cukup dalam tentang bagaimana sesungguhnya antara peasant dan farmer. Cukup berat usaha yang telah dilakukan untuk membangun pengetahuan apa yang dimaksud dengan peasant tersebut. Menurut Wolf, seorang antroplog, peasant adalah suatu kelompok masyarakat dengan kegiatan utama bertani, sebagai bentuk transisi antara masyarakat primitif (tribe) ke masyarakat modern. Tampak bahwa ia menggunakan pendekatan evolutif dalam pengkategorian ini.
Peasant adalah  suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa (tenants),  penyakap (sharecroppers), dan buruh tani. Meskipun berada pada level bawah, sesungguhnya mereka lah yang menggerakkan pertanian. Istilah peasant misalnya digunakan untuk menamai revolusi petani (peasant revolt) yang terjadi dulu di Eropa. Istilah “peasant revolt” juga digunakan dalam arti  yang luas, yaitu sebagai seluruh bentuk pelawanan yang datang dari petani.
Pada pengetahuan awal, peasant hanyalah orang-orang yang berusaha dalam pembudidayaan tanaman dan memelihara hewan yang hidup di pedesaan. Kalangan antropolog kemudian mncoba mempelajari ciri-ciri pola budaya masyarakat ini. Dari upaya ini kemudian diketahui bahwa salah satu ciri peasant adalah adanya hubungan patron-klien dalam masyarakatnya. Para petani kaya adalah patron, sedangkan sebagian besar petani adalah klien yang ada dalam posisi tersubordinasi [1]. Yang melekat pada peasant adalah sikap kerjasamanya satu sama lain, usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri[2]. Saat ini, petani yang berkarakter peasant masih tetap eksis.
Sesungguhnya sampai saat ini, upaya mempelajari “apa yang dimaksud dengan petani”, belumlah selesai. Berbagai perdebatan timbul karena perbedaan dalam metodologi dalam mempelajarinya. Misalnya perdebatan antara James Scott dan Samuel Popkin. Rasionalitas petani menurut James Scott adalah moral ekonomi petani yang hidup di garis batas subsistensi, yaitu mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott ini merupakan perilaku yang rasional. Namun Samuel Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Pada hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.
Satu gambaran tentang masyarakat petani yang perlu dipelajari adalah tulisan Chayanov. Menurut Chayanov, ciri khas ekonomi rumah tangga petani adalah penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usahatani bukan untuk mengejar produksi (ekonomi kapitalis), namun untuk mencapai kesejahteraan bagi anggota ruma tangga. Dalam bentuk ini, unsur-unsur biaya produksi dinyatakan dalam unit-unit yang tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Intinya adalah, bahwa untuk memahami, menganalisis, maupun mengembangkan petani haruslah bertolak dari pandangan yang khusus. Jika kita terima pandangan ini, itu berarti kita harus mengembangkan “ilmu ekonomi pertanian” yang tidak merupakan turunan dari “ilmu ekonomi industri”.
Secara umum, petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya berasal dari sektor pertanian.  Namun definisi ini memiliki bias.  Dalam batasan statistik, orang yang bekerja di sektor pertanian minimal satu jam seminggu, dapat disebut sebagai petani. Selian itu, orang yang tinggal di pedesaan dan secara psikologis menjadi petani, sering pula disebut sebagai petani.  Akibatnya jumlah petani menjadi sangat banyak. Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas di sektor pertanian, karena jumlah petani  merupakan faktor pembagi dalam pengukuran produktivitas.
Masalah rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya tenaga kerja setengah pengangguran menjadikan sektor pertanian menjadi tidak efisien. Masalah lain adalah banyak program pertanian telah dilakukan, namun karena usahatani yang dilakukan dibawah skala ekonomi, membuat petani terpaksa bekerja apa saja karena tidak dapat mengandalkan usahataninya untuk mencukupi kebutuhan hidup. 
Apa sesungguhnya makna dari “petani”? Petani umumnya adalah mereka yang menggunakan alam atau tinggal di wilayah hutan. Dalam batasan masyarakat Eropa, petani adalah mereka yang menggarap tanah sebelum revolusi industri dan revolusi agraria menyentuhnya.
Selaras dengan makna dari peasant, kita mengenal istilah “petani subsisten”. Petani subsisten (subsistence farmer) adalah mereka yang “… earns very little from his farming activities”. Aktifitas usahatani semata-mata adalah untuk konsumsi  sendiri. Sisa yang dibawa ke pasar hanya sedikit, dan hanya memberi sedikit pendapatan. Ia asing dengan pasar, terbatas terknologinya, dan memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen.  Karena pertanian tidak cukup menghasilkan pendapatan, maka mereka harus mencari usaha lain untuk memenuhi pendapatannya. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa dalam konsep “petani subsisten:, dipercaya bahwa suatu saat mereka akan meninggalkan  usahatani tersebut jika ada peluang.
Sebagai lawannya, adalah  “petani komersial” (commercial farmer). Secara umum mereka adalah “…The commercial farmer earns an ongoing and primary revenue from his farming business, which forms the major source of income for the family.  He has access to the technical, financial and managerial instruments to utilise the global market potential” [3]. Secara ringkas dapat pula didefinisikan menjadi: “… a person who produces agricultural products intended for the  market”
Ini jelas pembagian yang hitam putih, dan hanya dari aspek yang sangat terbatas. Merujuk pada kalangan antropologi dan sosiologi, kita akan temukan ada banyak ragam arti “petani” yang pernah dikemukakan. Menurut Kurtz[4], ada  empat dimensi pokok yang diacu dalam beragam kombinasi oleh pakar berbeda-beda dalam upaya mendefinisikan arti petani (sebagai “peasant”). Ada lima dimensi - dan lima kelompok ahli -  berbeda yang digunakan untuk melihat petani, yaitu: yang melihat petani sebagai pengolah tanah di pedesaan (“rural cultivators”) dengan berpegang pada “teori pilihan rasional”; dimensi yang melihat “komunitas petani”sebagai “lawan dari pola budaya “urban”; petani merupakan elemen pokok yang menghidupi komunitas desa meskipun mereka tersubordinasi oleh kekuasaan luar;  dari pengikut Marx yang melihat petani sebagai pihak yang menguasai dan memiliki tanah; serta para ahli yang mengacu pada keempat dimensi sekaligus mengikuti teladan Max Weber. Contoh ahli untuk tiap kategori secara berturut-turut adalah Samuel L. Popkin, Robert Redfield, James C. Scott, E. Wolf, dan Moore.
Selanjutnya, Kurtz menyimpulkan bahwa teori “ekonomi moral” tak berlaku dalam kasus modern atau dimana individualisasi tinggi, adanya transisi ke kapitalisme, dan dimana struktur komunitas masyarakat sudah lemah. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “free- riders” tidak signifikasn mempengaruhi perilaku kolektif. Teori Marx menurut Kurtz juga tak cocok, ketika  struktur kelas agraria kurang terkonsolidasi, dan dimana transisi ke kapitalisme berorientasi ekspor belum tuntas dijalankan.
Berapa sesungguhnya jumlah petani yang diperlukan di Indonesia? Dengan kata lain, berapa jumlah petani yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pangan sekitar 200 juta lebih rakyat Indonesia? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena selama ini pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan supply bukan pendekatan demand [5].  Untuk mengembangkan sumberdaya manusia petani, beberapa agenda yang harus diperhatikan adalah menetapkan definisi dan kualifikasi petani, lalu menentukan jumlah petani yang dibutuhkan, membuat rencana pengembangan  berdasarkan jumlah dan kualitas petani, serta menetapkan kriteria dan indikator pengembangan petani.
Dapat digambarkan beberapa hal tentang petani, atau sumberdaya manusia di sektor pertanian di Indonesia.  Jumlah petani dengan tingkat pendidikan SD kebawah  masih menjadi proporsi terbesar.  Persentase  penurunan kelompok petani dengan tingkat pendidikan SD kebawah ini selama tahun 1992-1997 hanya 2,6 persen, yaitu dari 89,30 persen pada tahun 1992 menjadi 86,70 persen pada tahun 1997.  Sebaliknya kenaikan persentase kelompok pendidikan SLTP, SLTA dan perguruan tinggi tidak menunjukkan kenaikan secara nyata, meskipun terjadi perbaikan komposisi tenaga kerja pertanian ke arah yang lebih positif. Jika perekonomian negara baik, akan banyak petani mencari alternatif pekerjaan yang lebih baik sehingga terjadi penurunan jumlah petani. Tetapi jika kondisi perekonomian negara kurang baik (krisis moneter, krisis ekonomi) maka terjadi penambahan jumlah petani.  Dinamika ini akan terjadi secara spontan.
Hari Petani Sedunia diperingati setiap tanggal 17 April. Tanggal ini sepakat ditetapkan yang bertolak dari suatu peristiwa di Brazil.  Pada tanggal 17 April 1996, di kota Eldorado dos Carajos, telah terjadi pembantaian terhadap petani yang sedang menuntut hak-haknya. Saat itu aparat keamanan Brasil memuntahkan pelurunya kepada para demonstran, sehingga 19 orang tewas dan 60 orang luka berat[6]. Tindak kekerasan ini turut mengukuhkan pikiran para ahli dan kalangan gerakan sosial untuk memperkuat perjuangan pembaruan agraria untuk petani. Tragedi ini belakangan dijadikan tonggak sejarah gerakan kaum tani se-dunia, dimana  La Via Campesina (suatu organisasi gerakan tani lintas negara) menetapkan tanggal tersebut sebagai International Day of Farmers Struggle[7].
*****
[1] Sebagaimana hasil penelitian James C. Scott (1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 384 hal)  di wilayah Vietnam dalam kondisi masyarakat pra-kapitalis.
[2] Nilsson, Stefan. 1997. Bondemyten och byfrågan. [The farmer-myth and the village-issue]. Thesis (10 credits) at the Advanced Course in Human Geography.
Supervisor: Ulf Jansson. Language: Swedish. 
[3] Committee Definitions Relating to The Crop Estimates Committee. (www.sagis.org.za/Flatpages/ CEC%20Definitions%20Final.doc, 11 April 2005).
[4] Kurtz, M. J. 2000. Understanding Peasant Revolution: from Concept to Theory and Case in Theory and Society (29:93-124). Dalam: Sajogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan.  Artikel - Th. I - No. 1 - Maret 2002.  (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_5.htm., 11 April 2005).
[5] Berdasarkan data Sakernas, jumlah tenaga kerja pertanian (petani) masih mendominasi hampir separuh dari tenaga kerja nasional.  Mulai tahun 1992 sampai 1997, jumlah petani terus menurun, namun meningkat lagi tahun 1998. Ini disebabkan karena krisis ekonomi, dimana sebagian tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian kembali lagi  menekuni bidang pertanian. Jumlah petani berturut-turut untuk angka mutlak dan persentase terhadap jumlah tenaga kerja nasional mulai tahun 1992 sampai 1998 adalah: 41.160. 615 (53.68%), 39.057.278 (49.31%), 36.851.780 (44.92%), 36.008.095 (42.98%), 35.164.410 (41.03%), 34.555.660 (39.70%), dan 39.474.765 (44.96%).
[6] Usep Setiawan. Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). “17 April, Hari Perjuangan Petani Sedunia”. Copyright Sinar Harapan 2003. (http://www.terranet.or.id/beritanya.php?id=11639, 21 April 2005).
[7] “The Via Campesina is a movement of peasant and farm organizations from all the regions of the world committed to solidarity and determination to move forward in the defence of people of the land and in the building of better alternatives”.  Dalam majalah “The Activist Magazine”,  Wednesday, 20 April, 2005. (http://www.activistmagazine.com, 21 April 2005)