Jumat, 22 Agustus 2008

Ekonomi kerakyatan

Ada tiga istilah yang satu sama lain berdekatan, namun adakalnya juga saling dipertukarkan. Ketiganya itu adalah “ekonomi rakyat”, “ekonomi kerakyatan”, dan “Ekonomi Pancasila”. Semuanya berasal dari ilmuwan Indonesia, sebagai upaya mencari bentuk konsep ekonomi alternatif yang dirasa lebih sesuai di Indonesia, dan sebagai bentuk kritik terhadap teori-teori ekonomi dari Barat.  Ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Ilmuwan ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius”.  Ini terjadi karena ilmu ekonomi diajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik dan matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Meskipun judul bab ini adalah “ekonomi kerakyatan”, namun ketiganya dibahas dalam bab ini.

Banyak kritik yang dialamatkan terhadap ilmu ekonomi. Kritik terhadap ekonomi ortodoks yang paling keras misalnya datang dari Paul Ormerod [1], yang menyatakan “tidak ada sebuah model ekonomi yang bisa dipakai dimana saja”. Para forecaster telah beralih ke pendekatan judgmental adjustmenst (perkiraan pribadi) dari model-model ekonomi makro lama. Lebih jauh ia menyarankan:

“Ekonomi pelu menggunakan analisis ex-post, yaitu mempelajari setelah sebuah persitiwa tejadi. Yaitu seperti paleontologi (ilmu tentang fosil), astronomi dan klimatologi; yang teorinya dibangun dari data-data yang dikumpulkan secara nyata bertahun-tahun”.

Intinya, ilmu ekonomi harus dikembangkan secara induktif. Untuk Indonesia, ini jelas sangat relevan. Karena sejarah ekonomi Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sehingga membutuhkan bangun teori yang spesifik pula. Aspek inilah yang ditangkap oleh para ekonom Indonesia, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi rakyat”, ataupun “ekonomi Pancasila”.

Istilah “ekonomi rakyat” pertama dirintis oleh Bung Hatta, untuk menunjuk kepada sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang sering kali disebut sebagai sektor informal. Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) [2] menulis artikel berjudul “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut: “Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan” [3].

Belakangan, tambahan “sektor informal” ini dikritik banyak pihak. Sektor ekonomi rakyat tidak sama dengan sektor informal, karena sektor informal cenderung diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”.
Secara umum, ekonomi rakyat adalah suatu bentuk ekonomi yang pelakunya adalah masyarakat banyak yang dicirikan dengan pemilikan sumber daya dan keterampilan yang rendah, namun harus dimanajemen secara efisien, menguntungkan, dan berdaya saing. Cirinya adalah masyarakat banyak sebagai pelakunya, bukan sebagai tenaga kerja, tapi sebagai pemilik. Karakteristik yang lain adalah harus menggunakan sumber daya ekonomi setempat, dan nilai tambahnya pun kembali kkepada masyarakat tersebut. Jadi, disini terlihat ada kandungan kemandirian, kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.
Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy”, atau “ekstralegal sector”.
Pada awalnya istilah “ekonomi rakyat” sudah lama muncul, namun karena dianggap berkonotasi komunis diganti menjadi “ekonomi kerakyatan”.  Istilah “ekonomi kerakyatan” secara resmi dicantumkan dalam Ketetapan MPR yaitu Tap Ekonomi Kerakyatan No. XVI tahun 1998. Istilah ini semakin mantap dengan masuk pada berbagai produk hukum dan kebijakan, misalnya dalam UU No. 25/2000 tentang Propenas [4].
Dari banyak istilah di atas, Mubyarto lebih memilih istilah “ekonomi rakyat” karena dirasa lebih jelas dan tak akan membingungkan. Penggunaan kata “rakyat” selama ini sudah dikenal misalnya dalam istilah “perkebunan rakyat”, “pertanian rakyat”, “perikanan rakyat”, dan “perumahan rakyat” [5]. Akhir-akhir ini, istilah “ekonomi rakyat” tampaknya diganti dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang berasal dari istilah Small and Medium Enterprises (SME).
Pada prinispnya, ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi rakyat, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 194). Artinya, ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan “aturan main etik” bagi semua perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi [6].
Sementara itu, “Ekonomi Pancasila” juga digulirkan salah satunya oleh Mubyarto[7], sebagai lawan dari konsep kapitalisme liberal. Menurutnya, adalah keliru memisahkan masalah ekonomi dari politik dan budaya. Kritis moneter, misalnya, tak cukup hanya diterangkan dari sisi ekonomi saja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mungkin sudah menggembirakan dari sisi ekonomi, namun belum memperhitungkan apakah di dalamnya ada kesenjangan, inefisiensi, dan lain-lain. Mubyarto melihat bahwa ekonomi ortodoks (atau ekonomi neoklasik) terlalu berlebihan dalam menggunakan matematika, dan seolah lupa bahwa ia adalah ilmu sosial. Ia mengajukan “ekonomi kelembagaan”, “ekonomi moral”, “ilmu sosial-ekonomi” atau “sosionomi” sebagai alternatif dan perangkat untuk mengembangkan ilmu ekonomi  yang lebih tepat Indonesia.
Dalam penjelasan Mubyarto, ekonomi Pancasila selengkapnya adalah: Sila 1 bermakna bahwa roda ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Sila 2 adalah kehendak untuk mewujudkan kemerataan sosial (egalitarian) sesuai dengan asa kemanusiaan. Sila 3, nasionalime menjiwai ekonomi. Sila 4, koperasi adalah soko guru, bentuk konkret dari usaha bersama. Sila 5, imbangan perencanaan di atas dan desentralisasi.

Sedikit berbeda, dari sisi pandang Sri Edi Swasono[8] misalnya, Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berorintasi kepada sila-sila Pancasila dengan orientasi kepada: (1) sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan adanya etika moral agama, bukan materialisme, (2) sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dengan tidak mengenal pemerasan, (3) sila ketiga Persatuan Indonesia dengan mengedepankan kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong tidak saling mematikan, bantu membantu antara yang kuat dan lemah, nasionalisme dan patriotisme ekonomi, (4) sila keempat Kerakyatan dengan mewujudkan demokrasi ekonomi, mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak, serta (5) sila kelima dengan persamaan, kemakmuran masayarakat dijadikan tujuan utama bukan orang seorang. Dalam konteks ini, keadilan sosial merupakan titik tolak, mekanisme pengontrol, dan bahkan tujuan pembangunan nasional.

Sistem Ekonomi Pancasila mencakup kesepakatan ”aturan main etik” sebagai berikut: (1). Ketuhanan yang maha esa = perilaku setiap warga negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab = ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional; (3) Persatuan indonesia = nasionalisme ekonomi; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan = demokrasi Ekonomi; dan (5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia = desentralisasi dan otonomi daerah.

Pada hakekatnya, sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi rakyat. Ia memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang berperspektif Pancasila memihak pada kebijakan untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan petani. Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila [9]. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan.
Menurut ekonom-ekonom UGM, ekonomi pancasila  mengacu pada kelima silanya sebagai berikut [10]: (1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;  (2) Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial; (3) Semangat nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi,  dengan urgensi untuk terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri; (4) Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan dengan eksisnya koperasi dan usaha-usaha kooperatif yang menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat; (5) Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.
Dari uraian di atas, ekonomi kerakyatan, ekonomi rakyat, ataupun ekonomi Pancasila adalah suatu sistem ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sekarang mari kita beranjak ke dunia nyata. Jika ekonomi rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus diteliti secara mendalam apa yang menyebabkan ketidakberdayaan tersebut. Ekonomi rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, tampaknya karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, yang dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat. Maka, cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli. Cara lain yang juga sudah sering dianjurkan adalah melalui pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah kepada petani dan pelaku ekonomi lemah lainnya.
Tekanan dalam ekonomi rakyat adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.
*****



[1] Paul Ormerod dalam bukunya “The death of Economics” (tahun 1994) mengatakan bahwa ramalan ekonomi yang bersandar kepada matematika linear tak cocok. Pandangan ekonomi ortodoks yang menggunakan pandangan dunia idealistik dan mekanistik sudah tumpul. Unit usaha ekonomi sebagai individu yang tersisolasi, tidak tepat. Intinya, apa yang disebut “rasional” oleh ekonomi ortodoks sudah tidak tepat.         
[2] Mubyarto. “Capre/Cawapres dan Ekonomi Rakyat”. Makalah Seminar Publik “Peningkatan Kualitas dan partisipasi Politik Rakyat dalam Pemilu” Yogyakarta, 1 Juli 2004. Artikel dalam majalah Ekonomi Rakyat dan Reformasi Kebijakan,  Juli  2004. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm., 14 april 2005).
[3] Soekarno. 1930. “Indonesia Menggugat”. 1930. Hal. 31.
[4] Mubyarto. 2002. “Ekonomi Rakyat Indonesia”. Artikel  Th. I  No. 1,  Maret 2002. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm., 14 april 2005).
[5] Istilah yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah, disebut Bung Karno sebagai “kaum marhaen”.
[6] Mubyarto. Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika. Makalah disampaikan pada Pertemuan I Seminar Pendalaman Eknomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta 22 Januari 2002.
[7] Ini digulirkan oleh Mubyarto dalam buku “Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia” (tahun 1981).
[8] Sri-Edi Swasono. 1983. Membangun Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Indonesia. Dalam Swasono, 1983 (ed). Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Era Orde Ekonomi Indonesia. UI-Press, Jakarta. hal. 145.
[9] Mubyarto. Pakar Ekonomi Kerakyatan. Makalah Kuliah Umum Ekonomi Pancasila di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 9 Januari 2003, berjudul: “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila Di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia”. (http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/mubyarto/index.shtml., 14 april 2005).
[10] Mubyarto. 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM.