Jumat, 22 Agustus 2008

Kemiskinan

Pada hakekatnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak dulu, dan mungkin akan terus menjadi persoalan sampai nanti. Belum ada rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna sampai sekarang. Namun pemahaman konsep ini penting, sebagai upaya untuk merumuskan lagi konsep, indikator, serta strategi pengentasannya di masa depan.  Membicarakan konsep sangat penting, karena dari konsep dapat dikembangkan batasan kemiskinan, lalu memilih metoda untuk mengukurnya, dan lebih jauh kepada paket-paket kebijakan dan program apa yang akan dihasilkan dan diimplementasikan.
Secara umum, “miskin” adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan fikirannya dalam kelompok tersebut. Menurut Mahatma Gandhi, “kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk”. Sedang menurut Amartya Sen, “orang jadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”, yaitu akses ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Banyak sekali definisi yang telah diciptakan tentang kemiskinan. Hasil dari American Episcopal Conference[1], merumuskan bahwa ada 3 makna kemiskinan, yaitu: (1) kemiskinan nyata yang lahir karena ketidakadilan, manipulasi, dan kekerasan; (2) kemiskinan karena seseorang dianggap bukan manusia (non persons), kehilangan hak hidup, dan kebebasan menentukan pilihan; dan  (3) kemiskinan rohani, yaitu kehilangan kesadaran spritual dan rasa solidaritas dengan sesama, terutama terhadap yang miskin dan butuh pembebasan.
Kemiskinan mendapat perhatian bukan semata karena  kemiskinan itu saja. Ia menjadi penting, karena  kemiskinan memiliki korelasi sangat kuat dengan berbagai masalah sosial, terutama masalah kriminalitas dan penyakit. Kefakiran menjadi sumber kekafiran.
Ada berpuluh-puluh cara pengukuran kemiskinan, karena kemiskinan dilihat sebagai fenomena yang multi dimensi[2]. Kemiskinan dapat diukur sebagai absolut ataupun relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari kehidupan yang dibawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan kekurangan nutrisi. Menurut Copenhagen Declaration, kemiskinan absolut adalah:  "a condition characterised by severe deprivation of basic human needs, including food, safe drinking water, sanitation facilities, health, shelter, education and information".  Sementara kemiskinan relatif dilihat dalam perbandingannya dengan segmen yang lebih atas.
Kemiskinan juga didekati dari sisi objektif dan subjektif. Objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan subjektif pada penilaian masyarakat setempat [3]. Dalam Laporan Pembangunan Indonesia (LPMI) tahun 2004, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) diindikasikan dengan kemungkinan tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun, angka buta huruf, dan persentase penduduk yang tidak akses pada air bersih, sarana kesehatan, dan jumlah balita yang kurang gizi.
Bank Dunia memberi batasan bahwa "extreme poverty" adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per hari, dan "poverty" jika kurang dari 2 dollar AS per hari[4]. Dalam batasan ini, Bank Dunia hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual.
Biro Pusat Statistik membuat batas garis kemiskinan yang membedakan untuk masyarakat kota dan desa. Sebagai contoh untuk tahun 2001, garis batas untuk kota adalah dengan pendapatan Rp. 100.011 per bulan dan desa Rp. 80.382 per bulan. Lebih detail lagi, Sajogyo[5] membagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita per tahun setara dengan nilai tukar beras. Berturut-turut untuk wilayah desa dan kota adalah: (1) miskin = 320 kg dan 480 kg, (2) sangat miskin = 240 kg dan 360 kg, serta (3) melarat = Rp. 180 kg dan 270 kg.
Ukuran kemiskinan juga berbeda antar waktu. Tahun 1969/1970 pernah diterapkan untuk pedesaan Jawa, miskin adalah apabila pendapatan Rp. 1000,-/orang/bulan, sedangkan di perkotaan Jawa adalah Rp. 1250/orang/bulan [6].
Pada Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong  Pra Sejahtera dan Sejahtera I. BKKBN mengkategorikan semua rumahtangga di Indonesia dalam lima kategori kesejahteraan, yakni: Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Kelauarga Sejahtera III, dan Keluarga Sejahtera III plus. Klasifikasi menurut BKKBN tersebut dibuat berdasarkan beberapa indikator. Keluarga miskin adalah keluarga yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, serta tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian. Selain itu, bagian terluas rumahnya berlantai tanah, dan tak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
Pada umumnya, batasan kemiskinan dibangun dari kebutuhan konsumsi untuk hidup secara sehat bagi manusia dewasa. Menurut golden standard, tiap orang butuh 2.300 kcal/hari. Jika konsumsi kalori seseorang kecil dari 70 persen, maka ia tergolong miskin. Namun, menurut FAO dan WHO, kebutuhan manusia agar dapat hidup normal cukup 1.600 kcal/hari ditambah 40 gram protein. Beda lagi dengan keduanya, menurut BPS hanya 2.100 kcal/ hari.
Komite Penanggulangan Kemiskinan menyatakan bahwa ada empat dimensi pokok kondisi kemiskinan di Indonesia, yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan, serta ketidaberdayaan.  “Keluarga miskin” adalah apabila tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: paling kurang sekali seminggu makan daging, ikan, dan telur; sekali setahun seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel pakaian baru; dan lantai rumah paling kurang 8 m2 per penghuni. Dan disebut “keluarga miskin sekali” jika tidak mampu memenuhi satu atau lebih indikator: pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian; serta bagian lantai terluas bukan dari tanah.
Berdasarkan level kemiskinan, kita mengenal ada tiga kategori kemiskinan, yaitu:  (1) Kelompok yang paling miskin (destitute),  yaitu yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki sumber pendapatan, dan tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial; (2) Kelompok miskin (poor), yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun masih memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar; dan (3) Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini memiliki kehidupan yang lebih baik, namun mereka rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya.
Apa penyebab kemiskinan? Kemiskinan - dan penyebab serta kemudian pendekatan untuk memperbaikinya -  dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas, maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya karena  perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya. Penyebab kemiskinan dapat karena faktor keluarga dimana si miskin hidup; faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola pembelajran dan prinsip berbagi dari komunitasnya; faktor luar misalnya karena peran kebijakan pemerintah atau karena strukutur eknomi yang tidak adil; dan penyebab struktural, dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Pada sebagian kalangan, yang melihat sebagai isu politik, kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah yang melahirkan ketidakadilan sosial dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Ada banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Setidaknnya ada dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial demokrat[7].  Secara garis besar, para pendukung neo-liberal[8] berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau  sementara. Negara hanya turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) merupakan contohnya.
Sebaliknya, menurut kaum sosial demokrat[9], pasar bebas hanya akan menghasilkan kemiskinan dan dan eksploitasi. Mereka memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, namun kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih manusiawi.
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara mestinya harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 
Untuk itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga), misalnya berupa program jaminan sosial. Pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar sehingga orang akan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya. Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency). Sebaliknya, bagi kaum neoliberal, strategi penanganan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan.
Untuk menanggulangi kemiskinan, salah satunya kita dapat bertolak dari apa sesungguhnya kebutuhan manusia. Dalam konsep ADB (1999), ada 3 hierarkhi kebutuhan, yaitu (1) kebutuhan survival berupa makanan, gizi, kesehatan, air bersih, sanitasi, dan pakaian; (2) kebutuhan security berupa rumah, kedamaian, adanya sumber pendapatan dan pekerjaan; dan (3) kebutuhan untuk mencukupi pendidikan dasar, partisipasi, perawatan keluarga, dan psikososial. Berbagai aksi yang dapat dirancang untuk mengurangi kemiskinan adalah melalui pendidikan, industrialisasi, dan berbagai bentuk program social welfare.
Dasar program penanggulangan kemiskinan di Indonesia terdapat pada UUD 1945 pasal 34 (amandemen ke IV, 10 Agustus 2002), yakni:
Ayat 1: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Ayat 2: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Ayat 3: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
           
Dalam UU No. 5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), ada 4 strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu: (1) Penciptaan kesempatan (create opporunity) melalui pemulihan ekonomi makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum; (2) Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan akses kepada sumber daya ekonomi dan politik; (3) Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan perumahan; (4) Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacad fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik sosial.
Timbulnya kesadaran kemiskinan di tingkat dunia mulai pada awal 1970-an, dimana meskipun dicapai kemajuan ekonomi di suatu negara, namun warganya masih ada yang miskin. Sejak tahun 1970-an itulah kemudian dikenal program-program khusus untuk kemiskinan. Ada kesadaran, bahwa program yang tidak spesifik untuk kelompok yang miskin, tidak dapat diakses oleh masyarakat miskin, atau tidak menguntungkannya, sehingga ketimpangan semakin besar. Dalam perjalanannya terjadi perubahan isu dari pemberantasan kemiskinan (poverty alleviation) menjadi pengurangan kemiskinan (poverty reduction).
Untuk melakukan pemberantasan kemiskinan, maka harus tegas dulu bagaimana kemiskinan kita maknai. Aapakah kemiskinan hanya dilihat secara sempit sebagai “income yang rendah”, atau lebih luas sebagai “kegagalan memperoleh kemampuan (=ketakmampuan)”?. Apakah kemiskinan hanya untuk yang sudah kronis, ataukah yang temporal juga? Apakah kemiskinan berkaitan dengan ketidakadilan (inequity), ataukah kerawanan terhadap banyak hal dan social exclusion (penyingkiran atau pemarjinalan)?.
Di Indonesia [10], pemberantasan kemiskinan didekati melalui berbagai cara. Pendekatan melalui pembangunan wilayah misalnya berupa bantuan-bantuan dalam paket Inpres Desa Tertinggal (IDT). Penetapan desa tertinggal didasarkan atas 22 variabel [11], di antaranya adalah tipe LKMD, jalan utama, jarak ke kecamatan, pola nafkah, pengusahaan lahan pertanian, fasilitas (pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan pasar), kepadatan penduduk, sumber air minum, bahan bakar, jamban, penerangan umum, tempat ibadah, pengusahaan ternak, pemilikan TV dan telepon, dan jumlah rumah tangga pertanian.

*****
[1] CELAM di Meddelin, tahun 1968. On Poverty 9.
[2] Chambers, R. 1995. “Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?” IDS Discussion Paper 347, 1995.
[3] Renata Lok-Dessallien. “Review of Poverty Concepts and Indicators”. (http://www.undp.org/poverty/publications/pov_red/Review_of_Poverty_Concepts.pdf. 11 Mei 2005).
[4]Dengan standar tersebut, maka 21 persen  populasi dunia tergolong sebagai extreme poverty, dan lebih dari setengah populasi dunia tergolong miskin pada tahun 2001. (http://www.developmentgoals.org/Poverty.htm#percapita., 11 Mei 2005).
[5] Sajogyo. 1977. Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa. Majalah Prisma No. 3 Maret 1977. Hal. 10-17.
[6] Menurut Data Susenas , tahun 1969/1970, jumlah warga miskin di desa adalah 32,6 persen, dan dikota 40,1 persen. Secara rata-rata di Indonesia adalah 33,4 persen.
[7] Edi Suharto. “Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial”. (http://www.policy.hu/suharto/makIndo15.html. 11 april 2005).
[8] Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith “The Wealth of Nation” (1776), dan Frederick Hayek “The Road to Serfdom” (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy”.
[9] Didasarkan kepada analisis Karl Marx dan Frederick Engels. Menurut pendukung sosial demokrat:  “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave. 1998. Social Policy in Aotearoa New Nealand: A Critical Introduction, Auckland: Oxford University Press. Hal  91 dan 97). 
[10] Empat contoh program anti kemiskinan di Indonesia, misalnya adalah (1) Instruksi Presiden mengenai Desa Tertinggal (IDT); (2) Program Pembangunan Keluarga Sejahtera melalui Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra); (3) Proyek Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K); dan (4 Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
[11] Tiap indikator diberi skor 1 sampai 3, sehingga akan diperoleh nilai total antara 22 sampai dengan 66. Sebuah desa tergolong tertinggal bila memiliki nilai lebih rendah dari 32. pada tahun 2000 tercatat ada 28.376 desa tertinggal di Indonesia. Sementara menurut kriteria BPS, ada 27 varabel untuk desa, dan 25 variabel untuk kota dalam penetapan Desa Tertinggal.