Jumat, 22 Agustus 2008

Globalisasi

Secara umum, “globalisasi” (globalization) adalah suatu proses yang menuju kepada menyatunya dunia menjadi satu komunitas. Titik perhatiannya adalah pada perubahan masyarakat dan eknomi, yang dihasilkan oleh peningkatan perdagangan dan pertukaran kultural. Gobalisasi dapat disebut sebagai proses terbentuknya sebuah kampung global (a global village), dimana terjadi interaksi yang semakin mudah dan dekat dari berbagai bagian kehidupan.  Terjadi peningkatan pertukaran personal (personal exchange), serta pemahaman dan kemitraan antara warga dunia ("world citizens"), sehingga mewujudkan  sebuah peradaban global (a global civilization) [1]. Globalisasi berdampak kepada terkikisnya konsep negara bangsa (nation-state) dan batas-batas negara (borderless). Ada yang mengusulkan istilah “internasionalisasi” untuk pengganti globalisasi.

Globalisasi adalah proses yang memiliki empat dimensi, yaitu globalisasi ekonomi, pembentukan opini dunia, demokratisasi, dan globalisasi politik. Dari begitu luas bidangnya, elemen globalisasi mencakup hilir mudiknya kapital, tenaga kerja, manajemen, berita, images, dan juga data [2]. Mesin dari globalisasi ini adalah perusahaan-prusahaan transnasional (transnational corporations), perusahaan media transnasional (TMCs), organisasi intergovernmental, dan LSM internasional [3].
Dalam globalisasi juga dicakup pergerakan komoditas secara internasional, uang, informasi, dan orang; serta pengembangan teknologi, organisasi, sistem hukum, dan infrastruktur yang mendukungnya. Pergerakan orang terlihat dari migrasi antar negara secara legal maupun ilegal. Karena globalisasi, pertumbuhan perdagangan internasional berjalan lebih cepat dari kemajuan ekonomi dunia. Karena begitu cepatnya lalu lintas investasi antar negara; pergerakan data karena teknologi internet, satelit, dan telepon; serta pertukaran aspek-aspek kultural karena televisi dan film.
Apa ideologi globalisasi? Salah satunya adalah: globalisasi pro terhadap liberalisasi. Karena pengaruh globalisasi, negara-negara sedunia harus menempatkan swasta sebagai penggerak ekonomi dan pembangunanya, juga menekan agar mampu mewujudkan tingkat inflasi yang rendah, stabilisasi harga barang dan jasa, mengurangi peran birokrasi, dan mendorong ekonomi ekspor.
Kapan globalisasi lahir? Kelompok skeptis memandang bahwa globalisasi telah ada semenjak zaman kuno ketika Romawi ketemu dengan China, serta abad 14 ketika Columbus sampai ke daratan Amerika. Sebagian mengatakan, globalisasi adalah proses yang sesungguhnya telah mulai semenjak 5000 tahun lalu, namun akselerasinya semakin nyata semenjak pecahnya Unisovyet tahun 1991. Istilah globalisasi  sendiri mulai populer pada dekade 1980-an. Namun, kelompok hiperglobalis merasa bahwa apa yang dimaknai dengan globalisasi baru terjadi 10 tahun ini, atau kira-kira awal 1990-an. Sedangkan kelompok transformatif (tengah), hanya menekankan bahwa ada perbedaan dalam hal velocity, intensitas, dan ekstensifitas. Yang terjadi hanyalah transformasi, bukan eliminasi dan anihilisasi.  Jadi, perbedaan pandangan antar kelompok terletak kepada bagaimana mereka mendefinisikan apa itu “globalisasi”.
Sebagian orang berpendapat, bahwa  globalisasi lahir pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire. Titik lahir tersebut adalah ketika para tokoh dunia memutuskan perlunya sistem ekonomi yang terpusat untuk mempromosikan pembangunan ekonomi global, sekaligus untuk mencegah perang, kemiskinan, dan membangun kembali dunia sehabis perang.  Dari pertemuan itu lahir Bank Dunia yang awalnya bernama Bank International untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), dan IMF. Lalu kemudian, muncul perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan (GATT) yang melahirkan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization = WTO). Meskipun secara ide telah dimulai tahun 1944, namun sebagian orang melihat bahwa gejala globalisasi mulai terlihat nyata pada tahun 1980-an. Tahun 1970-an sesungguhnya sudah mulai terlihat, yaitu terjadinya gejala dimana kultur dan struktur sosial menunjukkan tanda-tanda yang bersifat global. Terjadi difusi kultural dalam skala yang besar, karena operasi perusahaan-perusahaan kapitalis tingkat dunia, serta karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi.
Globalisasi yang dilihat mereka adalah adanya perubahan mendalam tentang cara mengalami hidup, juga terjadninya pertukaran barang, gagasan, perasaan, dan perkara-perkara maya (virtual). Tidak hanya tentang finansial dan ekonomi, tapi juga kultural, psikologis, sosial, hukum dan lain-lain. Tandanya adalah meningkatnya kekuatan para pelaku ekonomi transnasional yang demi kepentingannya membangun suatu “hukum perdagangan” yang melintasi batas kedaulatan satuan-satuan politik negara.
Era pertama globalisasi adalah setelah perang dunia pertama yang lalu melemah karena terjadinya krisis global pada 1920-an sampai tengah 1930-an. Kecepatan yang signifikan globalisasi tampak setelah perang dunia ke dua yang didorong oleh berbagai perjanjian perdagangan internasional (Trade Negotiation Rounds) yang diawali dengan GATT [4] yang menuju kepada perdagangan bebas. Putaran Uruguay (The Uruguay Round) menciptakan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization = WTO), yang lalu diikuti oleh berbagai perjanjian perdagangan regional lainnya semisal North American Free Trade Agreement (NAFTA), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) [5], dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) [6].
WTO mulai berlaku semenjak 1 Januari 1995, yang sebelumnya diawali dengan kesepakatan para menteri perdagangan negara-negara anggota WTO pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional  bagi para anggotanya, dalam konteks untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia. WTO merupakan forum bagi para anggotanya untuk melakukan perundingan perdagangan serta mengadministrasikan semua hasil perundingan dan peraturan-peraturan perdagangan internasional.
Saat ini telah lahir setidaknya dua kelompok dalam pandangan terhadap globalisasi, yaitu kelompok pendukung atau pro-globalisasi dan kelompok anti-globalisasi. Dari kelompok pendukung, misalnya dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia (FED), mereka berkeyakinan bahwa globalisasi dan liberalisasi perdagangan adalah jalan menuju kesejahteraan dunia.          Namun faktanya, pada awal abad ke 21 ini, 770 juta orang masih mengalami kelaparan, dan 800 juta orang kurang pangan. Faktanya lagi: negara maju memperoleh kelimpahan (affluency), sedangkan negara berkembang mengalami kelangkaan (scarcity), hampir dalam segala hal.
Pendukung democratic globalization yang biasanya dilabeli sebagai pro-globalisasi, berpendapat bahwa tahap pertama globalisasi adalah sikap “market-oriented”, yang kemudian akan disempurnakan dengan fase membangun institusi ploitik global sehingga melahirkan fenomea warga dunia (“World citizens”). Di kalangan ini termasuk para pendukung pasar bebas yang yakin bahwa pasar bebas akan menciptakan alokasi sumber daya lebih efisien, harga-harga akan lebih rendah, dan akan terjadi alokasi sumberdaya dan tenaga kerja yang lebih baik.
Di sisi sebaliknya, banyak pula suara yang membicarakan pengaruh buruk globalisasi dan yang menentang. Menurut kelompok anti-globalisasi ini, globalisasi hanyalah strategi imprealis baru, yang menjadikan negara-negara berkembang sebagai koloninya. Hanya Amerika Serikat saja yang punya the golden straitjacket, yang siap hidup dalam globalisasi. Karena masyarakatnya plural, berbahasa Inggris, dan secara geografis menguntungkan. Namun, AS yang menuntut pasar terbuka, justeru membatasi pasarnya sendiri. Perilaku negara-negara maju yang selalu melindungi petaninya sendiri secara berlebihan  dengan memberikan subsidi dan seperangkat proteksi lainnnya, telah membuat buntu perundingan-perundingan perdagangan internasional, terutama untuk produk-produk pertanian. Selain itu, globalisasi juga menuntut “demokrasi ala AS”.
Menurut Fukuyama, liberal-kapitalis yang diusung globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan (inevitable). Ini lalu dipakai sebagai pembenaran bagi mereka yang pro-globalisasi. Namun para aktifis dalam WSF dengan jargon “The Another World is Possible” yakin bahwa watak globalisasi yang ada saat ini bukanlah suatu konklusi, namun masih dapat dibelokkan. WSF tidak anti globaliasi, namun ingin membelokkan arahnya, menjadi globalisasi yang berwatak inklusif. Bagaimana agar globalisasi lebih memberi kemakmuran bagi banyak orang.
Globalisasi memang tidak terelakkan dalam konteks “proses”, namun sebagai “ideologi” kita jangan langsung menelan mentah-mentah saja ideologi yang dibawanya. Inilah yang menjadi titik perhatian kalangan World Social Forum, bahwa globalisasi memang tak terelakkan, tapi arahnya bisa diarahkan. Gloabalisasi tidaklah sesuatu yang alami. Memang ia tidak dapat dihindari, tapi tiap negara harus mengendalikannya.
Globaliasi dipertanyakan[7] oleh kalangan ahli. Point-point yang dipertanyakan tersebut terkait dengan fakta-fakta yang tak sesuai dengan gambaran ideal yang diusung globalisasi, di antaranya adalah: (1) Hanya sedikit eksponen globalisasi yang mengembangkan konsep yang secara logis berkaitan dengan ekonomi dunia, (2) Perluasan hubungan ekonomi sejak 1970-an tidak membuktikan adanya struktur ekonomi global yang berbeda, (3) Internasionalisasi perdagangan, arus modal, dan sistem moneter sesungguhnya sudah ada sejak 1870-1914, (4) Korporasi transnasional yang benar-benar global hanya sedikit, karena kebanyakan korporasi tetap beroperasi di basis nasional yang berbeda-beda, dan (5) Regulasi kerjasama internasional dan pembentukan blok-blok perdagangan belum selesai sampai sekarang.
Dalam Konferensi “Collonialism to Globalization: Five Centuries After Vasco da Gamma”, disepakati bahwa globalisasi tidak menjamin keadilan sosial. Ia tidak pro untuk yang miskin, karena motor terkuat di belakang globalisasi adalah kepentingan ekonomi murni (profit). Globalisasi beroperasi bersama dengan dogma neoliberalisme, yaitu pasar. Karena itu, negara ketiga harus mengambil sikap terencana dan selektif. Tiap negara semestinya dapat menentukan sendiri kadar keterbukaannya. Jika tidak, kolonialisme akan kembali, yaitu ketika segala sesuatu ditentukan oleh orang luar.
Berbagai aspek globalisas terlihat berbahaya bagi sebagian aktifis. Kritik utamanya adalah bahwa hasil globalisasi telah berdampak tidak adil terutama bagi kelompok masyarakat miskin. Berbagai pihak anti globalisasi melihat bahwa globalisasi hanya mempromosikan agenda para perusahaan-prusahaan besar (korporat), yang bekerja atas niat keuntungan belaka. Dalam konteks ini, globalisasi terlihat tak lebih sebagai bentuk-bentuk imprealisme saja.
*****

[2] Fred W. Riggs. “Globalization: Key Concepts”. http://www2.hawaii.edu/~fredr/glocon.htm. 11 Mei 2005.
[3] Motor globalisasi adalah kapitalisme global, yang terdiri dari  200 ribu spekulan, 53 ribu perusahaan, IMF (International Monetary Fund), World Bank dan WTO (World Trade Organization).

[4] Perdagangan multilateral diatur oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT tahun 1947) yang berlaku secara “ad interim agreement”  (bersifat sementara), terdiri dari 38 pasal dan hanya mengatur perundingan dibidang tarif.
[5] APEC adalah forum kerjasama ekonomi yang terbuka, informal, tidak mengikat dan tetap berada dalam koridor  disiplin WTO dan berbagai perjanjian internasional, dibentuk di Canberra November 1989. Keanggotaan APEC terdiri 21 ekonomi. Australia, Brunai Darussalam, Kanada,Cili, Republik Rakyat Cina,Hongkong-Cina,Indonesia,Jepang,Republik Korea,Malaysia,Meksiko, Selandia Baru,Papua New Guinea,Filipina,Singapura,Taiwan-Cina Taipe, Thailand, Amerika Serikat,Peru, Rusia, Vietnam. Pada KTT- APEC di Seattle-USA tahun 1993, Visi APEC dinyatakan “ Mewujudkan komunitas ekonomi Asia-Pasifik yang berdasarkan pada semangat keterbukaan dan kemitraan, serta upaya kerjasama untuk menghadapi tantangan perubahan, pertukaran barang, jasa dan investasi secara bebas, pertumbuhan ekonomi yang luas serta standar kehidupan dan pendidikan yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang berkesinambungan memperhatikan aspek-aspek lingkungan”.
[6] ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA. Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. AFTA diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6 sejak 1 Januari 2002 dengan fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya masih diperkenankan lebih dari 0-5%). Target tersebut diterapkan untuk negara ASEAN-6 sedangkan untuk negara baru sbb : Vietnam (2006); Laos dan Myanmar (2008); dan Cambodia (2010).
[7] Hirst, Paul dan G Thompson. 2001. Globalisasi adalah Mitos: Sebuah Kesangsian terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia, dan Kemungkinan Aturan Mainnya. Yayasan Obor Indonesia. Judul asli: Globalization in Question.