Kamis, 21 Agustus 2008

Pembangunan


Makna hakiki tentang membangun, terjemahan dari kata “development”,  adalah:  “menjadikan lebih baik”, atau “general improvement in the standard of living”. Dari batasan yang tampak sederhana ini, lalu berkembang menjadi konsep yang paling banyak diperdebatkan. Sepanjang paruh kedua abad ke 20 ini, konsep “pembangunan” terus menerus dimaknai ulang, diukur, dinilai, dikritik, disempurnakan dan dibuatkan konsep tandingannya. Selain dibicarakan, ia juga menjadi jiwa seluruh gerak pemerintahan di seluruh dunia. Inilah konsep yang paling ramai dibicarakan dan diperhatikan, sehingga ada yang menyebut abad ke 20 sebagai “The Age of Development”.

“Pembangunan” telah berkembang jauh dari hanya sekedar konsep, namun telah menjadi visi, teori, dan juga proses. Dalam dunia ilmu, selain sebagai konsep dan teori, juga berkembang menjadi satu metodologi penelitian. Konsep “pembangunan” yang banyak dibicarakan adalah konsep yang diciptakan oleh negara maju yang dipelopori Amerika, untuk digunakan di negara-negara dunia ketiga. Konsep ilmiahnya telah bercampur dengan konsep ekonomi politik tersebut.
Konsep pembangunan, dalam makna keilmuan, pertama kali lahir dari ilmu biologi, yaitu Teori Evolusi. Karena itu, salah satu pengertian development disamakan dengan evolution, yaitu “a progression from a simple form to a more complex one” [1]. Dari ilmu biologi yang memperhatikan sebuah organisme ini, kemudian dikembangkan untuk sebuah masyarakat. Sehingga masyarakat yang disebut mengalami proses pembangunan adalah masyarakat yang berkembang dari kesederhanaan menjadi terdiferensiasi dan kompleks dalam segala aspeknya [2].
Salah satu ilmuwan yang mengajarkan secara luas teri evolusi adalah Herbert spencer (1820-1903). Ia mencoba menerangkan semua fenomena di alam, termasuk masyarakat, berdasarkan hukum evolusi materi yang bertahap. Ia menyatakan bahwa masyarakat tidak terlepas dari proses evolusi, dimana dalam setiap tahapnya terjadi proses penyatuan dan pengintegrasian. Arahanya seragam,  yaitu terjadinya perubahan dari yang serba sama ke keadaaan berbeda. Teori evolusi merupakan inspirasi utama terhadap teori modernisasi.
Gagasan “development” dalam arti ekonomi politik,  mulai pada 20 Januari 1949, saat Presiden Amerika, Harry S. Truman, mengumumkan kebijakan luar negerinya untuk menjawab penolakan dunia ketiga  kepada kapitalisme, dan sekaligus jawaban ideologis terhadap Uni Sovyet [3]. Terlihat, bahwa development dari sisi ini dilontarkan demi Perang Dingin, untuk membendung sosialisme di dunia ketiga. Dapat dikatakan, jika perang dingin sudah usai, maka development pun mestinya usai dengan sendirinya. Namun faktanya, gagasan development bersama-sama dengan modernisasi menjadi pilar utama kebijakan bantuan dan politik luar negeri AS yang dipayungi oleh Foreign Assistance Act of 1966.
Bekembangnya konsep pembangunan sehingga menjadi Teori Pembangunan, dibangun melalui kalangan ilmuwan. Beberapa ilmuwan  yang utama misalnya adalah Rostow (dengan teori “The Five Stage Scheme”), McClelland, dan Inkeles. Selain ilmuwan, pemakaian teori pembangunan pada tingkat negara, bahkan menjadi sebuah ideologi (ideologi developmentalis), adalah hasil kerjasama yang padu antara teknokrat, intelektual di perguruan-perguruan tinggi, dan bahkan para lembaga non pemerintah. Konsep ini sangat berkembang karena menggunakan jaringan lembaga dana, universitas, lembaga riset, dan badan perencanaan pembangunan.
Sesuai dengan konfigurasi di dunia keilmuan, maka dikenal pula dua model utama pembangunan, yaitu “model kapitalis” dan “model sosialis”. Kaum developmentalis yakin bahwa negara maju yang kapitalis adalah bentuk ideal dari sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Pembangunan ekonomi merupakan syarat bagi demokrasi. Industrialisasi akan melahirkan kekayaan, dan kesenangan, maka kemudian orang akan mau berpartisipasi dalam politik, dan ujungnya kebebasan melahirkan demokrasi. Pembangunan bermakna sebagai industrialisasi, yaitu pergeseran aktifitas produksi dari semula dominan bidang pertanian dan  produksi barang mentah, ke aktifitas industri. 
Pembahasan awal teori pembangunan adalah tentang “Teori Pertumbuhan” yang merupakan pandangan ekonomi orthodok yang melihat pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan standar kehidupan yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, secara umum indikator pembangunan[4] dilihat dari tingkat urbanisasi, melek huruf, sirkulasi surat kabar dalam masyarakat, demokrasi politik dari sistem multi partai dan penggantian pemerintahan secara teratur dengan pemilu, kebebasan berusaha, sekularisasi (“rasionalitas” sebagai norma perilaku yang dominan), tingkat mobilitas sosial, diferensiasi mata pencaharian, perkembangan organisasi-organisasi  sukarela, serta badan peradilan yang independen.
Dari kalangan pengkritik, berpendapat bahwa development hanyalah bungkus baru dari kapitalisme, dan merupakan manifestasi ideologi modernisasi. Ia tidaklah netral, tapi memiliki “ideologi kontrol”. Investasi padat modal, berupa modal asing serta ahli asing dan teknologi dari luar, akan menimbulkan kemudian ketergantungan modal dan teknologi, sehingga akan melahirkan Teori Ketergantungan.
Salah satu bentuk tanggung jawab pembangunan yang diusung Amerika adalah program Marshal Plan, yang berupa bantuan. Fenomena bantuan lahir sejalan dengan berkembangnya era pembangunan di dunia yang menggejala semanjak berakhirnya perang duia kedua. Bagi negara-negara Eropah bantuan tersebut merupakan kelanjutan pengaruhnya terhadap negara-negara bekas koloninya, sebagai tanggung jawab moral. Bagi Amerika serikat, yang tidak memiliki koloni, bantuan dalam Marshal Plan merupakan upaya memperkuat dominasinya di dunia internasional sekaligus untuk melokalisir pengaruh sosialis. Namun, Uni Sovyet juga meakukannya[5], sehingga terjadilah “perang bantuan”.
Bantuan juga menimbulkan dampak negatif. Hasil bantuan Bank Dunia dengan donor dan tenaga ahlinya, misalnya fokus kepada pembangunan fisik dan mengabaikan keembagaan, sehingga lemah dan tak terjamin kelanjutannya[6]. Pembangunan juga telah mengambil biaya sosial yang mahal, misalnya hilangnya pengetahuan lokal (indigenous knowledge)[7], disebabkan pendekatan yang sentralistis, top down, dan seragam.
Di Indonesia, pembangunan diterapkan misalnya dengan upaya untuk mewujudkan Delapan Jalur Pemerataan, yang merupakan penjabaran dari Trilogi Pembangunan. Delapan jalur dimaksud adalah pemerataan dalam hal: (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) penyebaran pembangunan; dan (8) kesempatan memperoleh keadilan.
Amartya Sen, pemenang Nobel Eknomi tahun 1998, menyatakan bahwa pembangunan sarat dengan cucuran darah, keringat, dan air mata, serta identik dengan kekejaman, juga pemborosan sumber daya yang highly inefficient.  Permasalahan ini salah satunya berasal dari fenomena state monopoly capitalism, karena terlalu besarnya peran negara dalam modernisasi dan pembangunan.
Pembangunanisme juga sering disebut sebagai era Neo Kolonialisme, di mana penjajahan tidak lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Meskipun negara-negara Dunia Ketiga merdeka secara politik, namun dominasi negara-negara bekas penjajahnya tetap dilanggengkan melalui kontrol teori dan proses sosial. Dalam kondisi ini, pembangunan menjadi bagian dari media dominansi.
Setelah tigadasawarsa, teori modernisasi (klasik) mulai menunjukkan kegagalannya. Reaksi dari para ilmuwan, berupa Teori Ketergantungan, berasal fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga terhadap negara maju. Konsep trickle down effect tidak berjalan, sehingga timbullah ketimpangan dan kemiskinan. Teori ini tergolong radikal, dimana negara-negara dunia ketiga disarankan untuk melepaskan diri, melakukan revolusi sosial, dan menganut sikap politik dengan model pembangunan yang berdiri sendiri (self-reliance model). Salah satu tokohnya adalah Andre Gunder Frank yang mengatakan bahwa keterbelakangan (development of underdevelopment) bukan sesuatu yang alami, namun tercipta dari sejarah panjang dominasi kolonial, karena menerapkan model satelit-metropolis.
Konsep “dependencia” dipelopori oleh Cardoso, yang dimunculkan tahun 1970-an. Dua ketergantungan utama yang tampak adalah ketergantungan teknologi dan kapital. Dalam relasi kerjasama yang eksploitatif tersebut, yang meraih untung hanya elit bisnis dan politik. Karena itulah perlu pembebasan (liberation).
Teori modernisasi yang menjadi ideologi pembangunan dikritik oleh neo-Marxisme dan kelompok ilmuwan sosial yang menolak adanya bentuk universal ilmu sosial. Mereka mengembangkan Teori Modernisasi Baru (Neo-modernisasi) yang memandang bahwa kekayaan tradisi tidak lagi sebagai penghalang. Selain itu, lebih memperhatikan aspek historis dan faktorn ekstern dan konflik [8].
Permasalahan utama kegagalan teori pembangunan adalah karena ideologi pembangunan yang kita anut bersifat “a narrow Western capitalist ideology of development” yang sempit. Pembangunan dimaknai sebagai perkembangan eknomi an sich, yaitu produksi barang dan jasa dari masayarakat, dengan indikator pendapatan, GNP, GDP, dan lain-lain. Seluruh indikator ini seharusnya baru “means”, belum menjadi “aims” untuk mewujudkan pembangunan yangh sejati.
Meskipun banyak dikritik, namun konsep dan istilah “pembangunan” masih merupakan hal yang dipakai sampai saat ini. Kesepakatan baru tentang pembangunan telah dihasilkan, tampak dengan lahirnya Millenium Development Goals[9].
Semenjak tahun 1990-an, PBB melakukan beberapa konferensi internasional untuk merumuskan strategi pembangunan global dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Dimulai tahun 1992 konferensi tentang lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan di Brazil yang dikenal dengan Rio Conference. Lalu tahun 1994 di Cairo tentang kependudukan (International conference on population and Development), tahun 1995 di China tentang gender dan pemberdayaan perempuan, dan 1995 di Kopenhagen tentang Pembangunan Sosial. Puncaknya adalah di New York pada bulan September tahun 2000, yaitu Millenium Development Summit (MDS) tentang arah dan strategi pembangunan global untuk abad 21.
*****



[1] Dalam literatur luar, istilah pembangunan dekat misalnya dengan kata-kata  evolution, evolvement, growth, progress, change, buildup, enlargement, increase, improvement, dan progress. Dalam bahasa Indonesia, Talizudhu Ndaraha. (1990: Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta) mengumpulkan berbagai kata yang sinonim dengan pembangunan, yaitu: pertumbuhan, rekonstruksi, modernisasi, westernisasi, perubahan sosial, pembebasan, pembaharuan, pembangunan bangsa, pengembangan, dan pembinaan.
[2] Sebenarnya gagasan yang menggunakan proses evolusi untuk menerangkan masyarakat sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Namun biolog Charles Darwin lebih dikenal sebagai pencetus teori evolusi, dengan idenya tentang pembentuk evolusi, yaitu mekanisme seleksi alam. (Sanderson, StephenK. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Edisi kedua. Rajawali Pers, Jakarta).
[3] Mansour Fakih. 1995. Tradisi dan Pembangunan: Suatu Tinjauan Kritis. Hal. 440-450. Analisis CSIS Tahun XXIV No. 6 Nov-Des. 1995.
[4] Merupakan Compilation of Indicators of Development (Dalam: Hoogvelt, Ankie M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Penyadur: Drs. Alimandan. Rajawali Pers, Jakarta. 285 halaman. Judul asli: “The Sociology of Developing Societies”. Hal 99).
[5] Andrew Webster. 1984. Introduction to the Sociology of Development. MacMillan, Cambridge.
[6] Arturo Israel (1990: Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES, Jakarta) dari pengalaman program-program Bank Dunia di Afrika dan Asia.
[7] Michael R. Dove (1985: Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta), misalnya melihat dari berubahnya perladangan berpindah di masyarakat Bima.
[8] Norman Long. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. PT Bina Aksara, Jakarta.
[9] Sekjen PBB pada lampiran Millenium Development Goals menyatakan: “the millenium development goals, particularly the eradication of extreme poverty and hungers, cannot be achieved if questions of population and reproductive health are not squarely adressed. And that means stronger efforts to promote women’s right, and greater investment in education and health, including family planning”.