Jumat, 22 Agustus 2008

Kelembagaan

Penjelasan tentang konsep "kelembagaan" ini agak panjang, karena memang tidak mudah menyampaikannya dalam narasi pendek. Selain itu, agar clear, maka dijelaskan sekaligus dengan konsep "organisasi".
Perkembangan Konsep Dan Teori “Lembaga” Dan “Organisasi” Serta Timbulnya Teori Kelembagaan Baru (New Institutionalim Theory)

Objek pengorganisasian petani dalam menjalankan usaha pertanian didekati dengan konsep dan teori “lembaga” dan “organisasi”. Penggunaan istilah ”institution” pada literatur berbahasa Inggris, ataupun istilah ”lembaga” dan ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak memperoleh pengertian yang sama antar ahli, demikian pula dengan konsep ”organization” [1]. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”. “Lembaga koperasi” misalnya menunjuk pada koperasi sebagai sebuah organisasi, berkaitan misalnya dengan aspek kepemimpinan dalam koperasi dimaksud, keanggotaannya, dan kapasitas keorganisasiannya.
Penyebabnya adalah karena banyak pihak yang menulis tentang objek ini namun tidak mengembangkan konsep dan teorinya. Ketidaksepakatan ini dinyatakan oleh Uphhof (1986: 8) bahwa: “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term institution and organization are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguity and confusion”. Richard Scott yang telah merangkum seluruh perkembangan teori kelembagaan juga menemukan hal serupa. Scott (2008: vii) menyatakan bahwa: “The existing literature is a jungle of conflicting conceptions, divergent underlying assumptions, and discordant voices”. Ia menemukan penggunaan asumsi yang berbeda dan penuh pertentangan satu sama lain. Sementara, Soemardjan dan Soemardi juga mengakuinya. “Belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’……. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ ….. ada pula yang ‘bangunan sosial’” (Soemardjan dan Soemardi, 1964; 61).           
Penggunaan istilah ”institution” dan ”organization” dalam literatur berbahasa Inggris sering kali juga tidak konsisten (lihat Horton dan Hunt, 1984). Sebagian mendefiniskan social institution yang mencakup aspek organisasi, sebaliknya ada yang memasukkan aspek-aspek lembaga dibawah topik social organization. Para ahli menggunakan entry istilah yang berbeda, namun membicarakan hal yang sama [2].
Dalam hal konsep, setidaknya ada empat bentuk cara pembedaan antara lembaga[3] dan organisasi, yakni sebagai tradisional dan modern[4] asal pembentukannya dari bawah dan atas (Tjondronegoro, 1999: 22), berbeda level namun dalam satu kontinuum (Uphoff, 1986: 8; Huntington, 1965: 378), dan pembedaan dimana organisasi merupakan elemen dari lembaga[5]. sebagaimana ahli ekonomi kelembagaan (Douglass C. North[6] dan Lionel Robbins [7]) dan pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism) (Scott, 1995;  2008). Kedua objek tersebut pada awalnya berbaur lalu kemudian menjadi terpisah [8]. Ini karena penulis bersangkutan hanya mengenal satu kata saja dalam menerangkan fenomena sosial: institution saja, atau organization saja[9].
Studi mengenai lembaga dan analisis bagaimana lembaga mempengaruhi individu dalam masyarakat dimulai kalangan sosiologi abad ke-19 dan 20 misalnya Max Weber dalam studi birokrasi dan bagaimana birokrasi mempengaruhi cara berprilaku masyarakat (Weber, 1914). Perhatian terhadap lembaga cukup konstan dari masa ke masa meskipun menggunakan berbeda istilah (Scott, 2008: 8).  Melalui pendekatan teori perilaku (behavioural theory) dan teori pilihan rasional (rational choice theory), studi kelembagaan menjadi  lebih mikro dan individual.
Dalam dekade sosiologi klasik, Spencer misalnya melihat masyarakat sebagai sebuah sistem organis yang terbentuk oleh proses waktu. Sementara bagi Sumner, lembaga berisi konsep (ide, notion, doktrin, interest) dan sebuah struktur (Sumner dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67), sementara Cooley melihat pada kesalinghubungan antara individu dengan lembaga dalam konteks self dan structure. Perilaku individu terbentuk atau terpengaruh oleh lembaga tempat dimana ia hidup (Scott, 2008: 10). Dalam kurun ini pula, Durkheim  menjelaskan masyarakat dengan memberi perhatian terhadap lembaga yang menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan-tindakan rasional (Durkheim, 1965) Bagi Durkheim, lembaga sosial adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral (Dalam Scott, 2008: 12).
Kelembagaan juga dipandang sebagai suatu konsep kultural (cultural concept), dimana Gillin dan Gillin mendefinisikan kelembagaan sebagai: “A Social institution is a functional configuration of cultural patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural aquipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt  social need” [10]. Lembaga juga berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup. Sebagaimana menurut Hebding et al. (1994), lembaga sosial merupakan sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai penting. Jika masyarakat ingin survive, maka lembaga sosial harus ada. Keluarga misalnya, merupakan institusi sosial pokok yang mempertemukan kebutuhan sosial yang dinilai vital.
Norma sebagai pembentuk perilaku banyak menjadi perhatian kalangan sosiologi klasik, misalnya Weber dan Parsons. Menurut Parsons lembaga adalah ”sistem norma yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008: 14-15). Nilai dan norma juga merupakan aspek yang dikaji oleh Durkheim (dalam Suicide, tahun 1968). “ …. Social integration and individual regulation through consensus about morals and values”. Demikian pula  dengan Soekanto (1999: 218) yang menyebut bahwa lembaga adalah sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan atau diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks ini pula Sumner atau Cooley memaknai lembaga sebagai “established norm” (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75), demikian pula dengan Hamilton yang memaknainya dengan “…. a complex normative pattern that is widely accepted as binding in particular society or part of a society” (dalam Johnson, 1960). Sementara Uphoff (1992) mendefinisikan   lembaga sebagai “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving some socially valued purpose”.
Pada perkembangan yang lebih baru, beberapa sosiolog memberikan perhatian pada pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu  di tengah masyarakat. Bourdieu misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka  pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap  pihak lain (Ritzer, 1996; Perdue, 1986). Demikian pula dengan Berger dan Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan realitas sosial yang memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai kebutuhan (end).
Sementara, studi tentang organisasi diawali dengan studi tentang birokrasi oleh Weber (Colignon, 2009), lalu Robert Merton yang dengan kerangka kerja Weber membangun teori lebih rendah (middle range theory), dan dilanjutkan Selznick dengan menggunakan teori struktural fungsional dan membangun pendekatan kelembagaan lama (old institutional). Selznick menekankan pentingnya kontrol norma (normative controls) yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi (internalized) aktor dan menekannya dalam situasi sosial (social situations). Pendekatan kelembagaan baru terhadap organisasi dimulai dari  usaha Meyer and Rowan (tahun 1977) yang membangun dari pendekatan kelembagaan Selznick. Mereka mempelajari “ ……how organizational decision making is shaped, mediated, and channeled by normative institutional arrangements (DiMaggio, 1991).
Dalam konsep yang paling umum, istilah organisasi sosial (social organization) diartikan sebagai kesalinghubungan antar bagian, yang dinilai esensial bagi tercapinya suatu kesatuan sosial, baik pada satu grup kecil, komunitas, maupun masyarakat yang lebih luas (Mitchell, 1968:  172-3). George C. Hommans dalam The Human Groups, tahun 1950, dengan tekanan pada sistem sosial menyatakan bahwa social organization merupakan “…… the interrelated parts of social   system are interaction, and sentiment” (Mitchell, 1968: 173).
Menurut Beals et al., (1977), struktur sosial merupakan fokus pokok ketika membicarakan organisasi sosial. Penggunaan kata “struktur’  merupakan perluasan dari konsep struktur yang biasa digunakan dalam mengkaji masyarakat, yang berkenaan dengan status, posisi, peran, serta label. Analisa tentang struktur digunakan dalam membicarakan grup primer, face to face group, maupun grup sekunder, perbedaannya terletak pada bagaimana keanggotaan dicapai, apa yang anggota lakukan, bagaimana keputusan dibuat, seberapa tingkat keformalannya, dan seberapa hierarkhisnya.
Semenjak tahun 1980-an, kalangan sosiologi organisasi telah menyadari pentingnya kajian teoritis dan keefektifan organisasi sebagai grup. Hal ini mendorong tumbuhnya pendekatan-pendekatan baru, dimana terjadi perubahan perspektif dari organisasi individual kepada jaringan antar organisasi, termasuk bagaimana relasi organisasi dengan negara. Pendekatan “organization-state approach” mempelajari bagaimana relasi organisasi dengan pasar dan negara dalam hal materi dan ide. Dalam kajian ini juga dipelajari bagaimana negara dengan aktor-aktor sosial merundingkan hak-hak kepemilikan (property rights), struktur pemerintah (governance structures), dan aturan pertukaran yang berperan dalam menentukan lingkungan pasar market environment) terhadap berjalannya organisasi.
Saat ini, disadari bahwa kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh norma dan harapan (expectations), juga oleh teknologi dan pasar (Colignon, 2009). Perusahaan swasta misalnya menghadapi sekaligus tekanan pasar dan persoalan legitimasi. Menghadapi kondisi ini digunakan pendekatan majemuk (multiple approaches). Pendekatan jaringan organisasi (organizational networks) digabungkan dengan persoalan “fields” serta relasi dengan negara (state-organization relations) (Casey, 2002: 4-5). Masyarakat modern dicirikan oleh kehidupan berorganisasi [11].
Interaksi antara Teori Kelembagaan (Institutional Theory) dan Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (New Institutionalisme Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan organisasi mulai berinteraksi semenjak era 1970-an,  yaitu dengan tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan ranah organisasi (organization fields). Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber dengan teori birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap organisasi, Herbert Simmon yang berkerjasama dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada organisasi, Selznick yang mempelajari teori kelembagaan terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23),  serta Victor Nee dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) yang mempelajari hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings) [12].
Pertautan ini menurut Nee dan Ingram (1998) berasal dari teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam konteks kelembagaan baru berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui aturan-aturan (rules), norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive), dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial.
Dasar pendekatan mikro terhadap teori kelembagaan (microfoundations of Institutional Theory) relatif sejalan dengan ini. Dalam pandangan mikro ini, dipelajari bagaimana individu memposisikan dirinya dalam relasi sosial dan memahami konteks yang melingkupinya, serta bagaimana orang-orang dalam organisasi menjaga dan mentransformasikan kekuatan-kekuatan kelembagaan dalam praktek hidup sehari-hari (Powell dan Colyvas, 2008). Melalui kacamata mikro ini akan dapat menjelaskan kondisi makro. Sumbangan lain diberikan Battilana (2006), dimana studinya dengan menggunakan analisis pada tingkat individual (dengan kerangka Bourdieu), sesuatu yang selama ini diabaikan kalangan kelembagaan baru; mendapatkan bahwa posisi sosial individu merupakan satu variabel kunci dalam memahami bagaimana mereka dapat menjadi seorang institutional entrepreneurs dalam satu tekanan kelembagaan.
Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism” dengan menolak model aktor rasional dari ekonomi klasik. Menurut Scott (2008: 36), teori kelembagaan baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi [13]. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada 3 unsur yang disebut dengan pilar (pillar) yang membangun lembaga yakni aspek regulatif, normatif, dan aspek kultural-cognitif [14].
Perumusan Istilah dan Rekonseptualisasi “Lembaga Dan Organisasi” Yang Lebih Operasional
Sebagaimana ditunjukkan di atas, baik dalam dalam literatur berbahasa Inggris maupun Indonesia, ditemui berbagai ketidaksepakatan dan ketidakkonsistenan penggunaan istilah. Ketidakkonsistenan dalam literatur berbahasa Indonesia terjadi antara istilah ”lembaga”, ”kelembagaan” dan ”organisasi”  Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institutional” dalam literatur berbahasa Inggeris. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”.       Menghadapi berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan ini, dilakukan perumusan rekonseptualisasi sebagaimana matriks berikut.

Tabel. Rekonseptulasisasi “lembaga” dan “organisasi” berpedoman kepada literatur terakhir


Dengan demikian, ”lembaga” adalah terjemahan langsung dari ”institution”, dan organisasi adalah terjemahan langsung dari ”organization”. Keduanya merupakan kata benda. Sementara ”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”, yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga”. Demikian pula dengan ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”) yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan organisasi” [15].


Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang, semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru (new institionalism), maka ada tiga bagian pokok yang ada dalam lembaga (selengkapnya disampaikan dalam Lampiran). Pertama, aspek normatif. Beberapa kalangan sosiolog yang menyebut bahwa norma sebagai penentu pokok perilaku individu dalam masyarakat adalah Durkheim, Parsons, Sumner dan Cooley, Selznick, Soekanto,  serta Uphoff. Parsons menyebutkan bahwa ”sistem normalah yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008: 14-15), sementara Durkheim (dalam Suicide, tahun 1968) menyebut bahwa “ …. social integration and individual regulation through consensus about morals and values”, Soekanto (1999: 218)  menerjemahkan lembaga sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan atau diwujudkan dalam hubungan antar manusia; Sumner dan Cooley memaknai lembaga sebagai “established norm”,  demikian pula dengan Uphoff (1992) yang mendefinisikan   lembaga sebagai “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving some socially valued purpose”. Selznick menekankan pentingnya kontrol norma (normative controls) yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi (internalized) aktor dan menekannya dalam situasi sosial (social situations).
Norma merupakan komponen pokok dan paling awal dalam lembaga. Karena itulah, para ahli yang berada di sisi ini sering mengklaim sebagai telah melahirkan “genuine institutionalism”. Pada prinsipnya, norma (how things should be done) akan menghasilkan preskripsi,  bersifat evaluatif, dan melahirkan tanggung jawab dalam kehidupan aktor di masayarkat. Norma memberi pengetahuan apa tujuan kita, dan bagaimana cara mencapainya. Norma bersifat membatasi (constraint) sekaligus mendorong (empower) aktor. Kompleks norma pada hakekatnya menjelaskan apa kewajiban bagi aktor (supposed to do). Bagi sebagian kalangan, lembaga yang menjadikan norma sebagai objek pokoknya disebut dengan “normatif instistution” atau “historical institutioanlism”
Kedua, aspek regulatif. Aspek ini terutama datang dari kalangan sosiolog yang banyak memperhatikan perilaku ekonomi, sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan aliran “rational choice institusionalism”. Binswanger dan Ruttan (1978) berada di sisi ini yang menyebut lembaga sebagai  “ … the set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and relationship”, Sejalan dengan ini, Nee (2005) dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) juga menyebut hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings) [16]. Portes (2006) juga menyebut lembaga sebagai “.. they are the set of rules (formal or informal), governing relationships among role occupants in social organizations ….”.
Dalam objek ini terkait perihal rule setting, monitoring, dan sanksi-sanksi. Lembaga diukur dari kapasitasnya untuk menegakkan aturan, misalnya melalui mekanisme reward and punishment. Aturan ditegakkan melalui mekanisme informal (folkways) dan formal (melalui polisi dan pengadilan). Aturan bersifat represif dan membatasi (constraint), namun juga memberi kesempatan (empower) terhadap aktor. Menghadapi kompleks aturan ini, maka aktor berupaya memaksimalkan keuntungan. Karena menjadikan regulasi sebagai objek pokoknya, lembaga jenis ini seringpula disebut dengan “kelembagaan regulatif”.
Ketiga, aspek kultural-kognitif. Tokoh-tokoh yang menjadikan ini sebagai aspek penting lembaga adalah Geertz, Douglass, Berger, Goffman, Bourdieu, Meyer, DiMaggio, Powel, dan Scott. Inti dari objek kultural-kognitif ini adalah pada makna (meaning). Fokus dalam kultural-kognitif adalah pada bagaimana kehidupan sosial menggunakan kerangka makna dan bagaimana makna-makna diproduksi dan direproduksi. Dalam konteks ini diperhatikan proses sedimentasi dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif melalui proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal.
Bourdieu misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka  pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap  pihak lain (Ritzer, 1996; Perdue, 1986). Sementara Berger dan Luckmann (1976) yang fokus pada penciptaan realitas sosial memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai kebutuhan (end). Realitas sosial adalah konstruksi manusia sebagai produk interaksi sosial, dimana individu bertindak sesuai persepsinya terhadap dunia sosial. Tumbuhnya perhatian pada objek pengetahuan (cognitive) dalam kajian lembaga merupakan penyumbang utama lahirnya Teori Kelembagaan Baru.
Berdasarkan tiga objek ini, maka “lembaga” dapat dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor [17]. Fungsi lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan (order) dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah. Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam bidang agribisnis. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif). Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang ia sukai [18]. Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and obligatory dari kehidupan sosial (Blom-Hansen 1997) dan memberi kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989; Scott 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup. 
Sementara, dari pendekatan sosiologi ekonomi,  Victor Nee (Nee, 2003, 2005: dan Nee dan Swedber, 2005) menyusun Teori Kelembagaan Baru pada Sosiologi Ekonomi (The New Institutional Economic Sociology) dengan mengkomparasikannya (dan mengkritik) dengan pemahaman ekononomi kelembagaan baru (New Institutional Economic). Dalam konsep ekonomi, aktor bertindak didasari oleh pertimbangan rasional dan mendasarkan pada utilitas individualnya. Jika dalam ekonomi individu bersifat otonom, sementara  dalam sosiologi ekonomi dipahami bahwa individu sangat memperhatikan hubungan dengan individu lain dalam tindakannya. Sebagaimana Semelser dan Swedberg (2005), bahwa relasi aktor dan posisi aktor dalam struktur sosial merupakan hal yang penting dalam proses-proses sosialnya. 
Dalam teorinya  Nee (2005) menjelaskan bagaimana lembaga (institution) berinteraksi dengan jaringan sosial (social network) dan norma-norma sosial dalam mengarahkan tindakan-tindakan ekonomi.  Ia menyatakan bahwa  aktor ekonomi bukanlah laykanya atom yang lepas dari konteks masyarakat, bukan pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial. Tingkah laku aktor melekat pada realitas relasi sosial. Norma-norma yang ada akan berinteraksi dengan aturan formal (formal rules) dalam merealisasikan kepentingan individu.  Pada intinya,  Nee (2005)  mengemukakan adanya mekanisme integrasi hubungan formal dan informal pada setiap level kausal, yakni pada tataran mikro (individu), meso (kelompok ataupun organisasi), dan tataran makro berupa lingkungan kebijakan (policy environment). Keinginan individu untuk memaksimalkan keuntungan dibatasi oleh adanya ketidakpastian,  informasi tidak simetris dan kemampuan kognitif yang tidak sempurna (Nee, 2005). Aturan tersebut berada dalam sebuah arena yang terkonstruksi secara sosial (socially constructed), dimana setiap individu mengidentifikasikannya dalam kerangka mencapai kepentingan dan tujuannya. Disini, aktor dipersepsikan sebagai makhluk yang aktif.
Menurut Nee (2005: 55) lembaga adalah sistem dominan dari elemen-elemen yang bersifat formal dan informal seperti; kebiasaan, kesepakatan-kesepakatan, normanorma, dan kepercayaan yang dibagi bersama (shared beliefs), dimana para aktor mendasarkan tindakannya ketika memenuhi kepentingan-kepentingannya. Lembaga adalah struktur-struktur sosial yang menyediakan pedoman untuk tindakan bersama, dengan cara mengatur kepentingan masing-masing orang dan memperkuat hubungan antar mereka. Menurut Nee (2005) lembaga merupakan sebuah sistem dominan dari elemen formal dan informal yang saling berhubungan seperti kebiasaan (customs), kepercayaan yang dianut bersama (shared belief), konvensi (conventions), norma (norms), aturan (rules), dimana aktor melandasi perbuatannya ketika memenuhi kepentingan-kepentingan mereka. Aktor mencakup individual maupun organizasi.
Aspek formal dan informal saling berhubungan dan menjadi dasar bagi perilaku ekonomi manusia. Aspek formal berupa peraturan formal dari negara, sedangkan aspek informal berupa norma, nilai agama (shared belief), jaringan sosial (social network), kelekatan sosial (social embededdness) sesuai konteks sosial-budaya tertentu. Sementara organisasi merupakan cetak biru (blueprint) struktur sosial yang memiliki peran-peran (roles), misalnya perusahaan dan asosiasi nirlaba [19]. Lembaga adalah sebuah social structures yang menyediakan peluang untuk melakukan tindakan kolektif dan memfasilitasi organisasi dan aktor (interests of actors). Lingkungan kelembagaan (institutional environment) adalah “ ... the formal regulatory rules monitored and enforced by the state that govern property rights, markets and firms—imposes constraints on firms through market mechanisms and state regulation, thus shaping the incentives structure.  .... shape the incentive structure for organizations and individuals, and thereby the contexts in which proximate mechanisms operate “ (Nee, 2003: 25). Pada gambar 2 hal 26, digambarkan bahwa lingkungan kelembagaan memberikan kerangka kelembagaan (institutional framework) yang lalu mempengaruhi kelompok sosial dan individu.
Tentang aktor, Nee (2003) menyebutkan bahwa “actors are motivated by interests and preferences, often formed and sustained within such groups” (p.27).  Aktor bersifat rasional, yang bertindak dengan berpedoman kepada norma-norma untuk kesejahteraannya (“welfare-maximizing” norms). Tindakan aktor bergantung kepada sturktur yang memberi peluang (the incentives structured) dalam lingkungan kelembagaannya [20]. Mekanisme ini memungkinkan aktor untuk bekerjasama dalam kelompok-kelompok dan memungkinkan aktor untuk terlibat  dalam tindakan kolektif dan mencapai tujuan-tujuan kelompoknya. Mekanisme tersebut berupa penghargaan dan kepuasan yang ditunjukkan dari kesuksesan kelompoknya mencapai tujuan.  Norma mengkoordinasi para aktor di dalamnya.
Nee and Swedberg (2005) menyebut pentingnya konsep ketertarikan (interests). Ini merupakan suatu kekuatan yang memotivasi dan menggerakkan individual, yang dapat berupa ide maupun materi. Karena itu, interest merupakan konsep pokok dalam lembaga. Seorang individu akan merealisasikan ketertarikan pribadinya (self-interest), dengan mengikuti aturan umum atau preskripsi untuk bagaimana ia mencapainya. Namun, individual dapat pula untuk tidak mengikuti model kelembagaan (institutional model), meskipun ia sadar akan mendapat sanksi. Nee mengembangkan apa yang ia sebut sebagai aktor yang bebas (independence of the actor), dimana ia memaknai lagi aturan (“orienting oneself to rules”) lebih dari pada sekedar mengikutinya (“following rules”). Pemikiran ini lebih kurang sejalan dengan penjelasan pada pilar kultural kognitif pada Scott (2008). Ketertarikan pribadi merupakan motivasi utama tindakan (self-interest as motivation for action). Sehingga yang eksis sesungguhnya bukan “institutions per se” tetapi adalahinstitutions in action”.  Mekanisme kelembagaan (institutional mechanisms) membentuk “ .... the incentive structure for organizations and individuals, and thereby the contexts in which proximate mechanisms operate and interests are realized” (Nee and Swedberg, 2005: 801).
Selanjutnya, dalam hal konsep ”organisasi”, organisasi merupakan elemen dari lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995;  2008). Menurut Scott (2008: 36), dalam Teori Kelembagaan Baru digunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi organisasi. Proses kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi dan perilaku. Teori Kelembagaan Baru, tidak sebagaimana ”old institutionalism”, menyediakan jalan untuk melihat organisasi pada masyarakat kontemporer [21]. 
Konsep dan Teori Organisasi dalam Pendekatan Kelembagaan Baru
Keberadaan organisasi sangat tergantung pada lingkungan kelembagaannya, sebagaimana dijelaskan Meyer and Rowan (1977), Selznick, DiMaggio (1991), dan Colignon (2009). Hal ini sejalan pula dengan konsep Bourdieu tentang ”field’ (arena sosial) sebagai konsep yang sangat berguna untuk meletakkan lokus proses kelembagaan yang paling baik untuk membentuk organisasi. (Scott, 2008: 16)
Organisasi merupakan sebuah decision making unit (sebagaimana Binswanger dan Ruttan, 1978), tempat aktor berinteraksi secara lebih intensif untuk menjalankan aktifitas mencapai beberapa tujuan yang telah didefinisikan secara lebih tegas. Dalam dunia pertanian, organisasi, sebagaimana Scott (2008), terdiri atas beragam level, mulai dari level internasional sampai dengan grup-grup kecil (individual organization), misalnya kelompok tani dan koperasi-koperasi pertanian.
Organisasi juga menjadi wadah untuk mengelola sumber daya. Dalam konteks relasi dengan negara, pendekatan “organization-state approach” telah lama mempelajari bagaimana relasi organisasi dengan pasar dan negara dalam hal materi dan ide. Dalam kajian ini juga dipelajari bagaimana negara dengan aktor-aktor sosial menegosiasikan hak-hak kepemilikan (property rights), struktur pemerintahan (governance structures), dan aturan pertukaran yang berperan dalam menentukan lingkungan pasar (market environment) terhadap berjalannya organisasi. Kehadiran negara dan pasar merupakan ciri masyarakat modern, dan ”organisasi adalah ciri masyarakat modern” (Casey, 2002: 4-5) [22].
Organisasi merupakan arena sosial dimana tindakan rasional berlangsung (Selznick dalam Scott, 2008: 21). Perilaku dalam organisasi pasti rasional, karena pilihan-pilihan dibatasi dan dipandu oleh aturan-aturan (Scott, 2008; 25). Adanya organisasi  akan mempercepat tercapainya kestabilan perilaku. Ini merupakan jiwa dasar dari pelembagaan [23]. Nee (2005) juga sejalan dengan ini, dimana menurutnya lingkungan kelembagaan dikristaliasi pada organisasi.
Adanya organisasi akan membantu untuk menyederhanakan dan mendukung pembentukan keputusan individu. Aktivitas bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah memberi cukup pedoman dan kesempatan. Namun, dalam organisasi perilaku akan lebih tertata, lebih terpola, sehingga lebih bisa diprediksi pula. Pendekatan kelembagaan baru paling tepat digunakan dalam mempelajari organisasi, karena ia telah menjadi prespektif yang pokok dalam memahami tindakan-tindakan ekonomi, dimana ia lebih banyak perhatian pada konteks sosial (Portes, 2006; Nee, 2005) [24]
Objek “oganisasi” tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran teori kelembagaan. Organisasi adalah aktor dan sekaligus bentuk social form yang dipandang lebih efektif dalam kehidupan sosial. Semenjak tahun 1980-an, kalangan sosiologi organisasi telah menyadari pentingnya kajian teoritis dan keefektifan organisasi sebagai grup. Hal ini mendorong tumbuhnya pendekatan-pendekatan baru, dimana terjadi perubahan perspektif dari organisasi individual kepada jaringan antar organisasi, termasuk bagaimana relasi organisasi dengan negara.
Saat ini, disadari bahwa kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh norma dan harapan (expectations), juga oleh teknologi dan pasar (Colignon, 2009). Perusahaan swasta misalnya menghadapi sekaligus tekanan pasar dan persoalan legitimasi. Menghadapi kondisi ini digunakan pendekatan majemuk (multiple approaches). Pendekatan jaringan organisasi (organizational networks) digabungkan dengan persoalan “fields” serta relasi dengan negara (Casey, 2002: 4-5).
Interaksi antara Teori Kelembagaan (Institutional Theory) dan Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (New Institutionalisme Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan organisasi mulai berinteraksi semenjak era 1970-an,  yaitu dengan tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan organisasi (organization fields). Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber dengan teori birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap organisasi, Herbert Simmon yang berkerjasama dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada organisasi, Selznick yang mempelajari teori kelembagaan terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23),  serta Victor Nee dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) yang mempelajari hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings)[25].
Pertautan ini menurut Nee dan Ingram (1998) berasal dari teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam konteks kelembagaan baru berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui aturan-aturan (rules), norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive), dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial. Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism” dengan menolak model aktor rasional dari ekonomi klasik. Sementara menurut Scott (2008), akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi[26].
Adanya organisasi akan membantu untuk menyederhanakan dan mendukung pembentukan keputusan individu. Dalam dunia pertanian misalnya, aktivitas bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah memberi cukup pedoman dan kesempatan. Namun, dalam organisasi perilaku akan lebih tertata, lebih terpola, sehingga lebih bisa diprediksi pula. Pendekatan kelembagaan baru paling tepat digunakan dalam mempelajari organisasi, karena ia telah menjadi prespektif yang pokok dalam memahami tindakan-tindakan ekonomi, dimana ia lebih banyak perhatian pada konteks sosial (Portes, 2006; Nee, 2005) [27]
Pendekatan kelembagaan baru (neo-institutional approach) yang dimulai oleh Meyer and Rowan tahun 1977, memandang bahwa strukur organisasi merupakan hasil dari lingkungan teknik dan ekonomi (“organizational structure is the result of technical and economic contingencies in the environment”). Organisasi lahir dan hidup untuk memenuhi harapan normatif (normative expectations) dari lingkungannya. Tekanannya disini adalah bagaimana keputusan organisasi dibuat, dimediasi dan disampaikan oleh seperangkat kelembagaan normatif (DiMaggio 1991).
Pendekatan kelembagaan dipandang lebih sesuai untuk organisasi dalam masyarakat (public sector organizations) karena lebih sensitif terhadap harapan normatif dan legitimasi. Dari kalangan ekologi populasi, Hannan and Freeman (1977) dan Aldrich and Pfeffer (1976) mempelajari kuatnya relasi antara berbagai bentuk organisasi (organizational form) dengan penekanan pada dampak lingkungan terhadap daya hidup organisasi.
******



[1] Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institution” dalam literatur berbahasa Inggris. Contohnya, ”kelembagaan”  sering digunakan untuk menyebut organisasi petani pengguna air di Bali yaitu”subak”, padahal dalam literatur berbahasa Inggris subak biasanya disebut sebagai ”nonformal organization”.
[2] Soekanto (1999) dan Hebding dan Glick (1994: 301-2) misalnya hanya mengenal istilah isntitusi yang disebutnya dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial dan tidak mengenal sub bab organisasi sosial secara khusus. Untuk organisasi dengan pembahasan tentang grup, kelompok, dll. Sedangkan Ralph et. al (1977:. 423-4) mengenal istilah social organization dan tak menjadikan institusi atau istilah yang sinonim dengannya sebagai bab atau sub bab. Ini tidak cukup untuk menyimpulkan, bahwa insitusi dikenal di sosiologi sedangkan organisasi dikenal di antroplogi, namun hanya menunjukkan bahwa tiap penulis menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut objek yang sama.
[3] Literatur berbahasa Indonesia biasanya menggunakan kata “kelembagaan”, karena mereka menggunakan “lembaga” sebagai sebutan lain untuk “organisasi”.
[4] “Some institutional manifestations are indigenous or diffuse and thus are difficult to adress in terms of technical or financial assistance, so we are focusing on organizational structure or channels which have been, or could be, more readily institutionalized” (Uphhof, 1986. Hal. 8). Juga Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww-Hill Book Company;  Sidney, Tokyo, dan lain-lain. Hal. 211.
[5] Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan Ruttan mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and relationship. An organization is generally seen as a decision making unit – a family, a firm, a bureau – that exercise control of resources….. the concept of institution will include that of organization” (Binswanger, Hans P.  dan VW. Ruttan.  1978. Induced Innovation: Technology, Institutions and Development. The Johns Hopkins  University Press, Baltimore and London. Hal. 329).
[6] Douglass C. North.  “Prize Lecture: Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993. (http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html., 27 April 2005.
[7] Lionel Robin. “Understanding Institutions: Institutional Persistence and Institutional Change”. hhttp://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/ events/2004/20031222t0946z001.htm., 27 April 2005.
[8] Perubahan ini misalnya dapat ditelusuri pada Mitchell, G. Duncan (ed). 1968. hal 172-3, dan di bawah entry social institution dan social organization.
[9] Perhatikan dua definisi berikut antara yang menggunakan social institution dengan yang menggunakan social organization. Objek yang dilihat sesungguhnya sama, namun menggunakan dua kata yang berbeda. Sumner memasukkan aspek struktur ke dalam pengertian kelembagaan: “An institution consist s of a concept (idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework, or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds  the concepts and furnishes instrumentalis for bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interaest of men in society” (W.G. Sumner. 1906 Folkways. Ginn and Co., Boston. Hal. 53-4. Dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964. hal. 67. Juga dalam Mitchell, 1968. hal. 99). Sebaliknya Cooley  dalam buku Social Organization yang terbit tahun 1909, memasukkan objek mental dalam pembahasannya tentang grup primer. Ia menyatakan: “…. his view of social organization as the ‘diferentiated unity of mental or social life’….. mind and one’s conception of self are shaped through social interaction, and social organization is nothing more than the shared activities and understanding which social interaction requires” (Mitchell, 1968: 173).
[10] John L. Gillin dan J.P Gillin. 1954. Cultural Sociology. The Mac Millan Book Company, New York. hal. 313-320. Dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964. hal. 67.
[11] Casey mengikuti pemikiran Alain Touraine, yang memandang kehidupan masyarakat modern sebagai: “ ….. society conceived as rationally organized around a central system of institutional and behavioural regulation”. 
[12] Vicki D. Alexander dari University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New Institutionalism in Sociology. Russell Sage Foundation: New York. xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[13] Richard Scott merumuskan lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities  and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
[14] Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman (1979).
[15] Ini serupa dengan kata ”kepresidenan” yang bermakana segala hal yang berhubungan dengan presiden, dan ”kehutanan” yang bermakna sebagai hal-hal yang berhubungan dengan hutan. Dalam kamus, tambahan suffix –al dalam bahasa Inggris menjadikan kata asal yaitu kata benda menjadi kata sifat. Namun, dalam tata bahasa Indonesia, saya merasa lebih sesuai bahwa kelembagaan, keorganisasian, kepresidenan, dan kehutanan adalah ”kata benda abstrak”, bukan ”kata sifat”.
[16] Vicki D. Alexander dari University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New Institutionalism in Sociology. Russell Sage Foundation: New York. xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[17] Scott merumuskan lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities  and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
[18] “Institutions do not just constrain options; they establish the very criteria by which people discover their preferences” (DiMaggio and Powell 1991:11).
[19] Sebuah lembaga (institution) adalah “ a system of interrelated informal and formal elements—custom, shared beliefs, conventions, norms, and rules—governing social relationships within which actors pursue and fix the limits of legitimate interests. (Nee, 2003: 22). Sementara pada Nee and Swedberg (2005: 797) definisinya adalah “An institution may be conceptualized as a dominant system of interrelated informal and formal elements—customs, shared beliefs, norms, and rules—which actors orient their actions to when they pursue their interests. In this view, institutions are dominant social structures which provide a conduit for social and collective action by facilitating and structuring the interests of actors and enforcing principal agent relationships”.
[20] Nee juga menggunakan konsep keterlekatan (embeddedness), yaitu: ”....the nature and structure of social relationships have more to do with governing economic behavior than do institutional arrangements and organizational form”.  (Nee, 2003: 27)

[21] “It is my strong conviction that institutional theory provides the most promising and productive lens for viewing organizations in contemporary society” ( Scott, 2008: viii).
[22] Casey mengikuti pemikiran Alain Touraine, yang memandang kehidupan masyarakat modern sebagai: “ ….. society conceived as rationally organized around a central system of institutional and behavioural regulation”. 
[23] Menurut Scott, 2008: 22-23: ”Organization vary in their deggre of institutionalization”, dimana ia menjadi wadah atau kendaraan untuk melekatnya nilai-nilai.
[24] Menurut Nee (2005: 49), kelembagaan baru “integrating  social relations and institutions, highlighting the mechanisms that regulate the manner in which formal elements of institutional structures (distal) and informal social organization of networks and norms (proximate) facilitate, motivate, and govern economic action”.
[25] Vicki D. Alexander dari University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New Institutionalism in Sociology. Russell Sage Foundation: New York. xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[26] Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman (1979).
[27] Menurut Nee (2005: 49), kelembagaan baru “integrating  social relations and institutions, highlighting the mechanisms that regulate the manner in which formal elements of institutional structures (distal) and informal social organization of networks and norms (proximate) facilitate, motivate, and govern economic action”